Dampak Ibu Bekerja Terhadap Aspek Sosial Anak A. Budaya
b Kondisi Budaya “AD”
Begitupun dengan informan “AD”, ketika ibu “S” dan ayahnya “D” sibuk bekerja “AD” dan adiknya diasuh oleh tetangganya yang biasa
dipanggil bule. Kakek, nenek, dan kerabat “AD” pun tinggal berjauhan, sehingga ibu “S” memilih untuk menitipkan anaknya kepada bule.
Walaupun terpisah jarak yang cukup jauh dengan ibu “S” namun “AD” selalu melakukan komunikasi setiap hari baik untuk menanyakan kondisi
maupun pelajaran. “AD” lebih dekat dengan adiknya “AF” di mana dalam kesehariannya ia akan menghabiskan waktu bersama adiknya. “AD”
jarang menceritakan permasalahannya kepada anak yang lain sesekali ia bercerita kepada ibunya, namun jika ada masalah ia hanya berdo’a
berharap agar masalah bisa teratasi. Seperti yang diucapkan oleh “AD”: “Paling sama mama aja curhat, sama adek juga, sama bule
kalo sama temen jarang. Kalo di sekolah main sendiri mulu, soalnya disono pikirannya tinggi terlalu dewasa. Jadi engga
boleh main sama yang terlalu dewasa engga bagus.”
109
“AD” menarik diri dari teman-teman sekolahnya di karenakan pola pikir temannya yang sudah dewasa dan membuatnya tidak nyaman,
selain itu ia ingat akan pesan ibunya untuk selalu belajar dan mengurangi main. Begitupun dengan lingkungan rumahnya, “AD” jarang bermain
dengan temannya sebaya di lingkungan tempat tinggalnya dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Di lingkungan tempat
tinggalnya “AD” hanya bermain dengan adiknya “AF” dan teman dekatnya “L”. Budaya yang terkait dengan prilaku “AD” terjadi ketika ibu
109
Wawancara dengan informan “AD” Cilandak, 1 Juni 2016.
selalu menasihatinya untuk belajar agar memperoleh nilai akademis yang baik tanpa memperhatikan keadaan lingkungan sosial anak.
c Kondisi Budaya “KK”
“KK” ketika ditinggal ibunya bekerja ia diasuh oleh kedua kakaknya. Ayahnya “B” juga menjaganya ketika siang hari dan ketika ibu
“I” sudah pulang bekerja pada sore harinya, ayah “B” akan pergi bekerja sebagai tukang ojek. “KK” paling dekat dengan kedua orang tuanya selain
itu “KK” juga termasuk pribadi yang introvert, jarang menceritakan permasalahan pribadinya terhadap orang-orang terdekatnya. Walaupun
memiliki kepribadian yang introvert dan tomboy, “KK” mampu bersosialisasi dengan baik. Berikut penuturan ibu “I” :
“Aku juga bingung ya, kalo main sama anak perempuan atau anak laki yang segini-gini anak kecil harusnya kan malu
yaa, dia engga malu sama bapak-bapak aja engga malu hahaha. Dia sama uwa adeng atau sama siapa aja nyambung
aja kalo diajak ngobrol hahaha haduh, pokoknya dia tuh anak tomboy, engga merasa cewek banget ataupun cowok
banget.”
110
“KK” dalam melakukan interaksi sosial tidak pilih-pilih, ia akan menyapa terlebih dahulu kepada orang-orang yang lebih tua darinya. Perlu
diketahui bahwa ketika usianya ± 3 tahun ia pernah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan tetangganya sendiri. Namun hal tersebut tidak
110
Wawancara dengan ibu “I” dari orang tua “KK”, Cilandak, 30 Mei 2016.
membuat “KK” menarik diri dari lingkungannya. Begitupun jika nilai-nilai budayanya dilanggar “KK” akan marah, berikut penuturan ibu “I”:
“Pernah mba waktu itu lagi bulan puasa Ramadhan. Tetangga saya itu orangnya emang engga sopan makan di depan pintu
pas orang pada puasa. Itu “KK” sampe pernah negor dia “Mba Yanti kalo orang lagi pada puasa jangan makan di
depan dong engga sopan”. Memang tetangga saya itu berbeda agama, tapi kan kita harus saling menghormati toh.”
111
Ketika nilai-nilai budaya yang diyakini “KK” dilanggar, ia cenderung bersikap emosional. Karena orang tua “KK” selalu mengajarkan untuk
menghormati dan menghargai orang lain dalam situasi dan kondisi apapun. Dari data diatas diketahui bahwa budaya yang diterapkan oleh keluarga
berpengaruh terhadap nilai yang diyakini anak.
d Kondisi Budaya “RMR”
Berbeda halnya dengan “RMR” ketika ditinggal orangtuanya bekerja, ia diasuh oleh pengasuh “B”. Walaupun kakek dan nenek “RMR”
berada di Jakarta namun kedua orang tua “RMR” memilih untuk menyewa pengasuh agar tidak merepotkan kedua orang tuanya. Sebelum “RMR”
diasuh oleh pengasuh “B” ia terlebih dahulu diasuh oleh “P” yang merupakan sepupu dari ibu “IM”. Ketika diasuh oleh pengasuh
pertamanya “RMR” jarang melakukan komunikasi karena pengasuhnya hanya memberikan makan dan memandikan anaknya sehingga sampai
“RMR” berusia 4 tahun ia mengalami keterlambatan bicara. Padahal pemberian stimulus merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh
111
Wawancara dengan ibu “I” dari orang tua “KK”, Cilandak, 30 Mei 2016.
kembang anak. “RMR” sendiri jarang dibiasakan melakukan interaksi
dengan tetangga dilingkungan apartemennya, berikut penuturan ibu “IM” : “Engga juga, dia kalo main yaa main aja. Saya kan juga
tinggalnya di apartemen, jadi anak jarang main keluar lebih banyak di dalem rumah. Juga disini ada kolam renang jadi
komunikasi sama temen-temennya di kolam renang. Tiap sabtu sama minggu kalo saya ada di rumah, saya ajak
dia”.
112
“RMR” lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam apartemennya dan jarang berkomunikasi juga menyebabkan “RMR”
mengalami speech delay. Jarang bersosialisasi sehingga ia takut untuk bertemu dengan orang baru. Seperti hasil observasi yang peneliti dapatkan:
“RMR” merupakan anak yang takut bila bertemu orang baru. “RMR” takut dengan orang yang baru ditemuinya.
Peneliti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkomunikasi, sehingga peneliti menggunakan metode
bermain seperti main games di hp bersama dan menggambar bersama.”
113
Memang “RMR” membutuhkan penyesuaian terhadap orang baru sebelum melakukan interaksi karena “RMR” tidak seperti anak normal
lainnya. Dari data diatas terlihat bahwa ketika orang tua tidak membiasakan anaknya untuk melakukan interaksi sosial membuat “RMR”
takut terhadap orang baru dan mengalami keterlambatan bicara dimana akan mempengaruhi tumbuh kembang intelegensi nya.