Kondisi Psikologis Kondisi Biopsikososial a. Kondisi Biologis

2 Jenis Pola Pengasuhan Pola asuh ini sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi anak terhadap orang tua. Bagaimana anak terbentuk tentunya didapat dari pembiasaan-pembiasaan yang terjadi pada situasi rumah. Hal inilah yang terkadang mendasari anak untuk mengembangkan dirinya seperti yang dijelaskan pada bab 2 h. 49. Berdasarkan hasil temuan lapangan orang tua dari “BP” dan “RMR” memilih menggunakan untuk menggunakan pola asuh otoritarian. Dampak dari pola pengasuhan ini yakni anak seringkali tidak bahagia, ketakutan minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah seperti yag dijelaskan pada bab 2 h. 49. Hal ini saya seperti apa yang dialami oleh “RMR” dimana ia mengalami speak delay sehingga membuatnya sulit untuk berkomunikasi dengan teman dan lingkungan sosialnya. Selain itu putra dari orang tua yang otoriter mungkin berprilaku agresif Hart dkk,. 2003. Hal ini yang terjadi pada informan “BP” dimana kedua orang tuanya dan pengasuhnya memberikan hukuman fisik jika “BP” melakukan kesalahan, karena itulah akhirnya “BP” jika bermain dengan temannya suka berkelahi dan memukul yang membuatnya mengalami penolakan dari teman sebaya lihat pada bab 4, h. 89. Kemudian orang tua dari “AD” dan “KK” memilih menggunakan pola pengasuhan otoritarian. Dampak dari pola pengasuhan otoritatif yakni anak akan sering ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi, cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik. Hal ini yang terjadi pada informan “AD” tumbuh sebagai anak yang mandiri dan prestasi belajarnya pun juga baik serta tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab dan mandiri walaupun ditinggal ibunya bekerja lihat pada bab 4, h. 90. Begitupun dengan “KK” ia tumbuh sebagai anak yang mandiri dan bisa mengendalikan diri dimana “KK” bisa mengatasi stress dengan baik walaupun dulu saat usianya masih ± 3 tahun ia pernah mengalami kekerasan seksual. Mampu bersosialisasi dengan teman sebaya ataupun orang yang lebih tua darinya lihat pada bab 4, h. 92. 3 Status Ekonomi Orang Tua Berdasarkan hasil temuan lapangan ternyata mayoritas ibu bekerja karena faktor ekonomi untuk membantu suami dalam mencari nafkah dalam mensejahterakan keluarga mereka. Dengan ibu bekerja otomatis anak akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dengan adanya fasilitas yang lebih. Namun sebaliknya jika orang tua tidak memperhatikan didikan anaknya, bisa jadi anak berkembang dengan tidak wajar seperti yang dijelaskan pada bab 2 h. 51. “BP” misalnya sampai saat ini belum bisa membaca, menghitung ataupun menulis padahal ibu “SP” pernah memasukkannya ke TK. Faktor kelelahan membuat ibu “SP” kurang memperhatikan perkembangan anaknya dalam pelajaran, tidak sabar dalam mengajarinya menjadi faktor penyebab lainnya lihat bab 4, h. 94. Hal yang sama juga terjadi pada informan “KK” dimana orang tua selalu mendukung apa yang menjadi kemauannya untuk aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler padahal nilai-nilai akademisnya sangat kurang baik ditambah ia pernah tinggal kelas sebanyak dua kali. Ibu “I” pun jarang untuk mengajari anaknya dalam belajar begitu juga dengan ayahnya lihat bab 4, h. 96. Berbeda dengan informan “RMR” yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah atas, saat ini “RMR” mengalami keterlambatan bicara karena kurangnya interaksi sosial dan jarang melakukan aktivitas komunikasi diantara keduanya padahal ibu “IM” sampai menyewa pengasuh dan memasukkan anaknya ke sekolah TK di dekat apartemennya lihat bab 4, h. 96. Status ekonomi orang tua juga berdampak pada pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya, dimana ketika ibu bekerja dapat memberikan fasilitas yang lebih namun kurang membimbing dan cenderung mengabaikan anaknya maka bisa menimbulkan dampak negatif.

c. Kondisi Sosial

Pengalaman dari masing-masing anak ketika ditinggal ibunya bekerja memberikan dampak yang berbeda. Ditinjau dari aspek sosial anak bahwa pengasuhan alternatif dan budaya juga mempengaruhi perkembangan anak. seperti yang dijelaskan pada bab 2 h. 53. Berdasarkan hasil temuan lapangan, ternyata masing-masing informan mengalami dampak yang berbeda-beda. Seperti yang dialami oleh “BP” dimana prilakunya yang suka memukul “BP” jika melakukan kesalahan sehingga ketika sedang bertengkar “BP” akan memukul dan banyak teman sebayanya menolak untuk bermain dengannya. Hal ini berdampak pada perkembangan sosial “BP” dimana kurangnya interaksi sosial dengan teman sebaya lihat pada bab 4, h. 98. “AD” dalam kesehariannya hanya bermain dengan adiknya “AF”, dan “L” teman dekatnya. Ia tumbuh menjadi anak yang asosial dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar karena ia ingat akan pesan ibunya ketika ibunya bekerja untuk lebih banyak belajar daripada bermain lihat pada bab 4, h. 99. Dari kecil orang tua “KK” tidak memiliki pengasuh untuk mengawasi anak-anaknya ketika “KK” berusia 3 tahun ia pernah mengalami kekerasan seksual namun ia tidak menarik diri terhadap lingkungan sosialnya lihat bab 4, h. 100. Hanya saja “KK” bersikap acuh terhadap permasalahan yang sedang dialaminya. Berbeda dengan “RMR” ketika ditinggal ibu bekerja usianya baru 10 bulan, dimana pengasuh pertamanya hanya memberikan makan dan minum tanpa mengajaknya berinteraksi sosial seperti jarang mengajak bicara atau jarang diberi stimulus sehingga anak mengalami keterlambatan biccara seperti yang dialami “RMR”. Ketika orang tuanya pulang bekerja pun “RMR” juga jarang melakukan komunikasi lihat pada bab 4, h. 101.

d. Kelekatan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelekatan antara keempat informan dengan ibu mereka berbeda-beda. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab 2 h.54. Hasil penelitian kepada masing-masing informan menunjukkan bahwa tiga dari empat informan tidak dekat dengan ibu mereka. “BP” termasuk dalam tipe anak-anak dengan kelekatan insecure ambivalent yaitu “BP” hanya menunjukkan sedikit kepedulian kepada ibunya jika ditinggal bekerja. Bahkan “BP” menghindar saat ibunya mencoba untuk mengajaknya berinteraksi, ia lebih suka melawan ibunya saat diberi nasihat. Ibu “SP” juga selalu memberikan materi untuk anaknya agar “BP” menuruti perkataannya. Selain itu Orang tua “BP” juga menerapkan pola pengasuhan otoritarian dimana mereka memberikan hukuman kepada anak dengan hukuman fisik sehingga “BP” berprilaku agresif lihat bab 4, h. 103. “RMR” juga dengan tipe kelekatan insecure avoidant dimana ketika ditinggal orang tuanya bekerja ia tidak pernah menangis dan ketika ibunya kembali sewaktu ibu mengajak berkomunikasi justru “RMR” memilih untuk menggambar dan bermain game. “RMR” juga lebih dekat dengan pengasuhnya “B” dibanding dengan kedua orang tuanya lihat bab 4, h. 107. Berbeda halnya dengan “AD” dan “KK” dimana ia memiliki kelekatan secure dengan ibunya “S”. ketika ibunya bekerja dan merasa rindu ia akan menangis, namun masih bisa mengembangkan hal-hal positif seperti kemandirian selain itu berkomunikasi dengan ibunya melalui telpon ia akan merasa senang lihat bab 4, h. 106 dan 107.

e. Kondisi Spiritual