temui. Peneliti tidak terlalu banyak melakukan komunikasi dengan “RMR” dikarenakan ia mengalami speak delay atau keterlambatan bicara.
“RMR” saat ini berusia 6 tahun, namun sampai sekarang “RMR” tidak dapat berbicara dengan baik karena mengalami speak delay bahkan untuk
berkomunikasi pun sulit. ”RMR” juga memiliki gangguan kesehatan lain seperti paru-paru basah dan asma yang ternyata juga dimiliki oleh ibu “IM”.
Cara berbicara “RMR” pun kurang jelas, ketika ditanya ia akan mengikuti atau mengulang pertanyaan tersebut. “RMR” ketika pertama kali bertemu dengan
orang baru responnya sedikit pemalu, namun lama-kelamaan ia tidak malu lagi. “RMR” pernah menunjukkan ketakutannya ketika bertemu dengan 2 orang teman
sekolahnya dan itu terjadi hanya kepada mereka berdua saja. Kedua orang temannya itu merupakan anak kembar berjenis kelamin laki-laki yang sering
menjaili dan suka berbuat nakal kepadanya. “RMR” ketika bertemu dengan teman yang lain “RMR” ikut berbaur dan bermain bersama. Bisa dilihat “RMR” dalam
melakukan komunikasi,
lebih banyak
menunjukkan emosinya
untuk mengekspresikan perasaannya karena ia mengalami speak delay.
Ketika ditinggal ibunya bekerja usia “RMR” masih 10 bulan dan dirawat oleh pengasuh yang merupakan sepupu dari ibu “IM”. Selain karena diasuh oleh
pengasuh yang pendiam, ibu “IM” juga jarang melakukan komunikasi dengan “RMR” sehingga kosa kata yang dimiliki oleh “RMR” sangat sedikit.
Peneliti menggali informasi dari “RMR” dengan cara menonton video anak-anak, bermain game, dan menggambar. Namun hanya sedikit informasi yang
didapatkan karena “RMR” yang takut terhadap orang baru dan speak delay. “RMR” tinggal di salah satu apartemen yang berada di kawasan Cilandak, dan
jarang melakukan interaksi dengan teman sebaya di lingkungan tempat tinggalnya karena masyarakat di apartemen lebih kepada budaya individualis. “RMR”
berinteraksi dengan teman sebaya hanya pada sore hari di taman, selain itu faktor keterlambatan bicara juga membuatnya sulit untuk berkomunikasi dalam
membangun relasi dengan teman sebaya. “RMR” sekarang sudah lulus TK, perkembangan “RMR” pun terbilang
lambat. Ketika usianya 3-5 tahun “RMR” pernah dibawa untuk terapi bicara dan terapi motorik di bawah pengawasan Psikolog dan Psikiater. Tahun pertama di
taman kanak-kanak ia masih terus didampingi oleh pengasuhnya termasuk dalam mewarnai, di tahun ke 2 “RMR” sudah bisa menulis dan mewarnai, sudah bisa
menghitung, dan mengetahui warna. Hanya saja ketika akan menanyakan warna, kita harus mengeja awalan hurufnya terlebih dahulu. Ketika ingin mengajak
“RMR” untuk berkomunikasi juga kita harus mengulang-ulang nya sampai ia paham.
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
Berdasarkan data penelitian, bab ini akan menjelaskan tentang dampak Biopsikososial spiritual pada anak dengan ibu yang bekerja dikaji dalam
perspektif bio, psiko, sosial, dan spiritual. Adapun sub bab yang akan dibahas diantaranya ialah dampak ibu bekerja terhadap aspek biologis atau kesehatan
anak, dampak ibu bekerja terhadap aspek psikologis anak, dampak ibu bekerja terhadap aspek sosial anak, dampak ibu yang bekerja terhadap spiritual anak juga
bagaimana kelekatan yang terjalin antara anak dengan ibu yang bekerja serta diskusi mengenai gender dan perempuan bekerja.
A. Temuan Lapangan 1. Kondisi Biopsikososial Anak dengan Ibu Bekerja
a. Dampak Ibu Bekerja Terhadap Aspek Kesehatan Anak
Seperti yang diketahui dari media cetak ataupun elektronik yakni majalah, koran, buku, maupun artikel-artikel di internet, banyak
ditemukan dampak ibu bekerja terhadap perkembangan anak. Apalagi jika usia anak saat ditinggal ibu bekerja masih sangat kecil yang
merupakan masa golden age. Dampak yang ditimbulkan salah satunya terhadap aspek kesehatan anak, meskipun tidak semua anak mengalami
masalah kesehatan ketika ditinggal ibunya bekerja.
1 Kondisi kesehatan “BP”
“BP” merupakan anak bungsu dari lima bersaudara, berusia 7 tahun. Berat badan “BP” yaitu ± 17 kg dengan tinggi badan ± 95cm
dan kulitnya berwarna coklat. Memiliki bola mata berwarna hitam, bentuk wajah bulat dengan rambut pendek hitam.
“BP” ketika ditinggal ibunya bekerja berusia 5 tahun. Saat masih balita sebelum ibu “SP” bekerja “BP” sudah mengalami
gangguan kesehatan pada dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh ibu “SP” berikut ini:
“Setiap bulan sih ada posyandu disini, pokoknya yang tahu tentang pertumbuhannya si “L”. Dulu waktu masih kecil
dia emang pernah masuk gizi kurang, setiap bulan dapet susu dari kelurahan.”
82
Hal senada juga disampaikan oleh “L” yakni sebagai kakak sekaligus pengasuhnya :
“Ya gimana yak, anaknya tumbuhnya termasuk lambat, timbangannya gak naek-naek, badannya kecil. Dulu juga
sering dibawa ke posyandu. Tapi dia makan apa aja mau, dulu pernah nimbang cuma sembilan kilo kurang gizi. Suka
dikasih susu dari posyandu biar berat badannya naik.”
83
Dari pernyataan ibu “SP” dan “L” di atas memang terlihat bahwa “BP” dari sebelum ditinggal ibunya bekerja, memang sudah
menderita kekurangan gizi dan perkembangannya lambat. Ketika kekurangan gizi “BP” selalu mendapatkan bantuan susu dari
kelurahan Cilandak Barat untuk menaikkan berat badannya
82
Wawancara dengan pengasuh “bule” dari informan “AD”, Cilandak, 1 Juni 2016.
83
Wawancara dengan pengasuh “L” dari informan “BP”, Cilandak, 8 Juni 2016.
Dari hasil temuan analisa di lapangan dengan ibu “SP”, “L” sebagai pengasuh nya serta hasil observasi di lapangan, dapat
diketahui bahwa sebelum ibu “SP” bekerja “BP” termasuk anak yang kekurangan gizi ini terlihat ketika “BP” mengikuti kegiatan Posyandu
di lingkungannya. Ketika ibu “SP” bekerja pun perkembangan “BP” terbilang lambat seperti belum bisa membaca dan menulis diusianya
yang sudah menginjak 7 tahun.
2 Kondisi kesehatan “AD”
“AD” merupakan anak pertama dari dua bersaudara, berusia 11 tahun dengan postur badan tinggi. Berat badan “AD” yaitu ± 25kg
dengan tinggi badan ± 143cm dan kulitnya berwarna kuning langsat. Memiliki bola mata berwarna coklat, bentuk wajah oval dengan
rambut pendek bergelombang. Sewaktu ibunya belum bekerja dan setelah bekerja “AD” tidak
memiliki riwayat penyakit serius. Ketika peneliti menanyakan kesehatannya semenjak ditinggalkan ibunya bekerja,
berikut penuturan “AD” berikut ini:
“Selama mamah kerja di sana, kalo ada masalah engga pernah cerita paling kalo mamah engga sibuk ceritanya
lewat telpon. Kadang kepikiran terus pusing, kalo lagi pusing jarang bilang, diem aja biar engga ngerepotin.
Jarang minum obat warung paling cuma minum aja, kata bule jangan sembarang minum obat enggak boleh.”
84
“AD” hanya menceritakan permasalahannya kepada ibu “S” sehingga ketika ibu sibuk bekerja ia tidak menceritakan
84
Wawancara dengan informan “AD”, Cilandak, 1 Juni 2016.