Strategies in Managing the Interests of Some Parties in the Effort of Sustainable Protection of Food Crop Land in Bogor Regency.

(1)

DI KABUPATEN BOGOR

Y U D H I R A H M A W A N

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Yudhi Rahmawan NRP H.252100045

____________________________

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait


(3)

YUDHI RAHMAWAN. Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING dan LUKMAN M. BAGA

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan salah satu upaya dalam rangka pengendalian terhadap tingginya laju alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian.Serta terkait pula dengan ketahanan dan kedaulatan pangan.Disamping itu, lahan pertanian memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian.Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pembanguan pertanian sebagai potensi daerah yang bersinergi dengan kewenangan pemerintah pusat.Demikian pula program ketahanan pangan masih menjadi fokus pemerintah daerah selama angka tingkat kecukupan pangan di daerah belum mencapai seratus persen.

Berdasarkan hasil identifikasi kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan menunjukkan kebijakan pada tingkat pusat terdiri atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang didukung dengan empat Peraturan Pemerintah. Pertama, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang didukung secara teknis melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/PERMENTAN/OT.140/2/2012 Tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kedua, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ketiga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Keempat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tersebut, telah disahkan pula Peraturan Daerah di Propinsi Jawa Barat yakni Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 27 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kemudian diikuti Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Kemandirian Pangan Daerah. Dengan menggunakan metode logistik biner, menunjukkan bahwa dari lima aspek pengendalian yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan lahan Pertanian, aspek mekanisme perizinan kepada para pihak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Sedangkan aspek pemberian insentif/disinsentif dan aspek penyuluhan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Berdasarkan output regresi logistik, menunjukkan bahwa ketepatan

pengklasifikasian variabel respon Y (pengelolaan kepentingan para pihak jika lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dengan persyaratan tertentu dari model yang dihasilkan dengan observasi lapangan secara keseluruhan sebesar 78.6 persen. Ketepatan pengklasifikasian variabel respon dengan kategori tidak setuju sebanyak 31 responden dari 56 responden yang menjawab kategori 0 (55.4 persen), sedangkan ketepatan


(4)

responden yang menjawab variabel respon dengan kategori 1 (97.1 persen).

Hasil analisis SWOT menunjukkan beberapa alternatif strategi yakni lima strategi agresif, tujuh strategi stabilitatif/rasional, dua strategi diverifikatif dan dua strategi defensif. Dengan demikian, dalam rangka upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, Kabupaten Bogor lebih banyak bertumpu pada strategi stabilitatif/rasional dan strategi agresif.Salah satu alternatif strateginya yakni perlunya penetapan Perda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai komitmen bersama.

Berdasarkan hasil perancangan pelaksanaan strategi dengan menggunakan road-map strategy, dapat diimplementasikan ke dalam 3 kebijakan prioritas, yaitu : (a) Penetapan mekanisme perizinan, (b) Pemberian insentif-disinsentif, dan (c) Penyuluhan. Dengan mengacu pada Visi dan Misi dari Pemerintah Kabupaten Bogor yang dikelompokkan kedalam prioritas pembangunan sesuai dengan substansi dari rumusan tersebut, antara lain a) meningkatkan kesolehan sosial masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan; b) meningkatkan perekonomian daerah yang berdaya saing dengan titik berat pada revitalisasi pertanian dan pembangunan yang berbasis perdesaan; c) meningkatkan infrastruktur dan aksesibilitas daerah yang berkualitas dan terintegrasi secara berkelanjutan; d) meningkatkan pemerataan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan; e) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan berkualitas; f) meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah; dan g) meningkatkan kerjasama pembangunan daerah. Misi yang telah dirumuskan, dipilih dan ditetapkan menjadi prioritas pembangunan daerah.Dengan mengacu pada strategi dan sasaran bersama dengan tujuan jangka panjang yang hendak dicapai dan fokus kebijakan dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka dapat dirumuskan lebih lanjut program dan kegiatannya.Kebijakan tersebut dilaksanakan melalui 19 program dan 49 kegiatan secara bertahap dalam waktu lima tahun.


(5)

YUDHI RAHMAWAN. Strategies in Managing the Interests of Some Parties in the Effort of Sustainable Protection of Food Crop Land in Bogor Regency. Under the supervision of LALA M. KOLOPAKING and LUKMAN M. BAGA

Sustainable protection of food crop land is an effort in the control of the high rate of agricultural land conversion to non-agricultural land, which is also related to food security and sovereignty. Further, farmland has very strategic roles and functions for the Indonesian people who are agrarian as there are a large number of Indonesian people whose lives depend on agriculture. Along with the implementation of regional autonomy, local governments are given the authority to manage the development of agriculture as their local potential in synergy with the authorities of central government. Food security program is still the focus of local governments as long as the food sufficiency level in the region has not yet reached a hundred percent.

The resulted identification of policies related to sustainable agricultural land protection shows that the policies at the national level refer to Law No. 41/2009 on Sustainable Protection of Food Crop Land, supported by four government regulations. The use of a binary logistic method showed that of the five controlling aspects contained in Law No. 41/2009 on the Protection of Agricultural Land, the mechanism aspect of giving permit to the parties had a significant impact on the policies of sustainable agricultural land protection. However, the aspects of incentives/disincentives and extension did not significantly affect the policies of sustainable agricultural land protection.

The logistic regression output showed that the classification accuracy of the response variable Y (the management of the parties’ interests if sustainable agricultural land is protected with certain requirements of the models obtained from field observations as a whole) was 78.6 percent. Classification accuracy of the response variable in the disapproval category was 31 respondents out of 56 respondents who answered the category 0 (55.4 percent), while the classification accuracy of the response variable in the approval category was 68 respondents out of 70 respondents who answered the response variable with category 1 (97.1 percent).

The resulted SWOT analysis showed a number of alternative strategies: namely five aggressive strategies, seven stabilitative/rational strategies, two diversificative strategies and two defensive strategies. Thus, in order to safeguard a sustainable agricultural land, Bogor regency mostly relies on stabilitative/rational strategy and aggressive strategy. On of its alternative strategies is the need for the establishment of Regional Regulation on Sustainable Agricultural Land Protection as joint commitment.

The resulted planning of implemented strategies using a road -map strategy can be implemented into 3 policy priorities, namely (a) establishment of permit mechanism, (b) provision of incentives - disincentives, and (c) extension. The Vision and Mission of the Government of Bogor Regency are formulated into development priorities in accordance with the substance of the formula: a) improving socially acceptable behaviors in social life, b) enhancing regional economic competitiveness with emphasis on the revitalization of agriculture and rural-based development, c) improving the infrastructure and sustainable high-quality and integrated accessibility of the region, d) improving the equity and quality of education, e) improving the quality of health care, f) enhancing good governance and performance of local government administration, and g) improving regional development cooperation. The missions that have been formulated, selected and


(6)

and common targets in the long-term goals to be achieved and the policies focused on the sustainable agricultural land protection, further programs and activities can be formulated. The policies are implemented through 19 programs and 49 activities in stages of five years.


(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.


(8)

STRATEGI PENGELOLAAN KEPENTINGAN PARA PIHAK

TERHADAP UPAYA KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN

PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN BOGOR

YUDHI RAHMAWAN

Tugas akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

Pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(9)

(10)

Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor

Nama : Yudhi Rahmawan

NRP : H.252100045

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua

Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian:

24 Juli 2013


(11)

Alhamdulillahirabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah “Strategi

Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor”.

Melalui prakata ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS dan Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec, selaku dosen pembimbing serta segenap staf pengajar dan karyawan di Program Studi Manajemen

Pembangunan Daerah (MPD) yang dipimpin oleh Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS.

M.Ec. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan MPD angkatan ke-12 (2010/2011) atas kekompakan dan kebersamaannya selama ini.

Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bupati Bogor Bapak Rachmat Yasin, Kepala Bappeda Kabupaten Bogor M. Zairin, Kepala BKD Kabupaten Bogor Adang Suptandar atas kesempatan yang telah diberikan untuk menempuh studi S2. Hal yang sama juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Ayahanda Diyono dan Ibunda Saminem serta Adik Erna Lutfiati, atas dukungan dan

dorongan moral, semangat dan do’a yang telah diberikan selama ini selama penyelesaian

studi di MPD IPB.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya, Amin Ya Rabbal Alamin.

Bogor, Juli 2013


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan ... 4

Manfaat ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Sumberdaya Lahan dan Masalah Konversi Lahan Pertanian ... 5

Persepsi dan Partisipasi ... 6

Konflik dan Kolaborasi ... 8

Penelitian Terdahulu ... 13

Strategi ... 16

SWOT ... 16

3 METODE PENELITIAN ... 18

Kerangka Pemikiran ... 18

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

Jenis dan Sumber Data ... 21

Metode Analisis Data ... 24

Metode Perumusan Strategi ... 25

4 KONDISI UMUM LOKASI ... 28

Kondisi Fisik Wilayah dan Administratif Pemerintahan ... 28

Kondisi Demografi dan Sosial Budaya ... 30

Kondisi Perekonomian ... ` 31

Kondisi Taraf Kesejahteraan Rakyat ... 33

Kondisi Sarana dan Prasarana ... 35

Kecamatan Leuwiliang ... 36

Kecamatan Caringin ... 38

Kecamatan Jonggol ... 40

5 IDENTIFIKASI KEBIJAKAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN ... 42

Identifikasi Kebijakan Berkaitan dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ... 42

Faktor yang Menjadi Pertimbangan dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ... 46

6 PENGELOLAAN KEPENTINGAN PARA PIHAK TERHADAP KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN ... 51

Ketepatan Kategori ... 51

Hasil Uji seluruh Variabel Terhadap Persepsi Stakeholder ... 52


(13)

Identifikasi Aktor Para Pihak ... 54

Identifikasi Peran ... 55

Kepentingan ... 56

Pengaruh ... 57

Sumberdaya yang Dimiliki ... 57

Kedudukan Aktor ... 57

Konflik Kepentingan Antar Aktor ... 58

8 STRATEGI PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN ... 63

Identifikasi Faktor Berdasarkan Analisis SWOT ... 63

Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT ... 69

Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program/Kegiatan ... 73

9 SIMPULAN DAN SARAN ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tipologi Partisipasi ... 7

2 Penelitian Terdahulu ... 13

3 Luas Lahan Baku Sawah di Kabupaten Bogor ... 21

4 Kelompok dan Jenis Responden ... 22

5 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data dan Metode ... 23

6 Matrik SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) ... 26

7 Kondisi Demografi Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011... 31

8 Realisasi Indikator Makro Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 33 9 Realisasi Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 ... 34

10 Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Leuwiliang Tahun 2010 ... 36

11 Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Leuwiliang Tahun 2010 ... 37

12 Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Caringin Tahun 2010 ... 38

13 Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Caringin Tahun 2010 ... 39

14 Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Jonggol Tahun 2011 ... 40

15 Luas Panen, Hasil per-Hektar dan Produksi Padi di Kecamatan Jonggol Tahun 2011 ... 41

16 Classification Table ... 51

17 Variabel-variabel ... 52

18 Manajemen Kolaborasi ... 59

19 Bentuk-bentuk kerjasama kolaborasi ... 62

20 Ringkasan Tahapan Identifikasi SWOT ... 72

21 Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor ... 77


(15)

2 Skema Manajemen Kolaboratif ... 10

3 Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Bogor………. 20

4 Peta Administrasi Kabupaten Bogor... 29

5 Peta Wilayah Pembangunan Kabupaten Bogor ... 30

6 Peta Administrasi Kecamatan Leuwiliang ... 37

7 Peta Administrasi Kecamatan Caringin ... 39

8 Peta Administrasi Kecamatan Jonggol ... 41

9 Hubungan antar Kebijakan Berkaitan dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ... 45

10 Perkembangan Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Bogor ... 46

11 Produksi Padi di Kabupaten Bogor ... 47

12 Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan di Kabupaten Bogor ... 47

13 Luas Lahan Sawah dan Laju Alih Fungsi Sawah di Kabupaten Bogor .. 48

14 Share PDRB Kabupaten Bogor ADHK ... 49

15 Pengembangan jejaring berbasis komunitas ... 54

16 Luas Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2010 ... 63

17 Perkembangan Produksi Padi di Kabupaten Bogor ... 64

18 Luas Sawah, Realisasi Tanam dan Realisasi Panen di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010 ... 64

19 Perkembangan Output Sektor Bangunan di Kabupaten Bogor ... 68

20 Road Map Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor ... 75


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Luas penggunaan lahan sawah 2005-2010 ... 86

2 Perkembangan Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk

di Kabupaten Bogor 2000-2010 ... 87 3 Realisasi tanam (Ha), realisasi panen (Ha), produktivitas (ku/ha),

produksi (ton), jumlah penduduk (jiwa), pemenuhan kebutuhan

pangan pokok (%) ... 88 4 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2010 (Juta Rupiah) ... 89 5 Hasil Analisis Menggunakan SPSS (Logistic Regression) ... 90


(17)

1.1 Latar Belakang

Adanya kesadaran kritis tentang semakin terbatasnya sumberdaya alam yang tersedia dan kebutuhan manusia yang terus meningkat mengharuskan pendekatan pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien. Lebih dari itu, pengorbanan sumberdaya tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif konsep keberimbangan, pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi (inter generational equity). Konsep pendekatan pembangunan yang selanjutnya dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi, 2011).

Konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana dikemukakan oleh Serageldin (1996) dalam Rustiadi et al(2011) sebagai “a triangular framework”, yakni keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi.Sementara Spangenberg (1999) dalam Rustiadi et al (2011) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat keberlanjutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan (prism of sustainability).

Anwar (1991) dalam Priyadi (1996) mengemukakan pembangunan pertanian berkelanjutan dalam konteks regional memerlukan adanya pandangan terhadap perlunya menciptakan sistem pengelolaan secara regionalisasi dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan disertai dengan pengukuhan hak-hak pengelolaan yang dilakukan secara lokal oleh masyarakat setempat. Sistem pengelolaan tersebut diperlukan agar pengelolaan yang berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya dilakukan mampu memberikan multiplier tenaga kerja dan pendapatan kepada wilayah dan lebih menjamin keberlanjutannya.Selaras dengan upaya pengelolaan lingkungan hidup Djojohadikusumo (1994) dalam Priyadi (1996) menyatakan bahwa tanpa adanya pembangunan ekonomi, mustahil dipelihara dan diamankan sumber daya alam dalam perkembangan masa depan sehingga akan terjadi kemerosotan pada kualitas lingkungan hidup. Sebaliknya pembangunan yang tidak memperhatikan pengamanan lingkungan hidup membawa akibat bahwa proses pembangunan cepat atau lambat akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran.

Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari pembangunan sektor pertanian yang dewasa ini proporsinya terus mengalami penurunan. Penurunan tersebut di satu sisi adalah sebagai konsekwensi perkembangan struktur perekominan daerah yang akan cenderung bergeser dengan meningkatnya dominasi sektor-sektor sekunder dan tersier. Namun di sisi lain juga akibat adanya pelambatan pertumbuhan pembangunan pertanian akibat belum optimalnya pengelolaan

pembangunan pertanian itu sendiri.Kurang optimalnya pertumbuhan

pembangunan bidang pertanian berdampak pada penurunan aktivitas pada sektor-sektor lain seperti sektor-sektor industri, perdagangan, dan konstruksi. Dampak tersebut telah menimbulkan dampak ikutan di perkotaan berupa peningkatan pengangguran, serta dampak ikutan lainnya yang juga terjadi di wilayah perdesaan(Bappeda, 2010).


(18)

Sejalan dengan penurunan pembangunan pada sektor pertanian, terkait pula dengan ketahanan dan kedaulatan pangan, alih fungsi lahan pertanian sebagai ancaman yang berimplikasi serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahan pertanian.Kurangnya keseimbangan dalam melakukan upaya-upaya terpadu dalam mengembangkan lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian yang baru dan potensial serta semakin sempitnya luas lahan yang diusahakan dalam usaha pertanian sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan petani, terbatasnya penguasaan/pemilikan lahan. Disisi lain, urbanisasi yang tidak terkendali berdampak pada meluasnya aktivitas-aktivitas perkotaan yang semakin mendesak aktivitas-aktivitas pertanian di kawasan perdesaan yang berbatasan langsung dengan perkotaan.Lahan pertanian memiliki peran dan fungsi strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Oleh karena itu, lahan merupakan sumber daya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat.(Undang-undang, 2009).

Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pembangunan pertanian sebagai potensi daerah yang bersinergi dengan kewenangan pemerintah pusat.Salah satu program pemerintah adalah ketahanan pangan.Disamping pemerintah pusat menyelenggarakan program ketahanan pangan, dengan adanya otonomi daerah, bagi daerah yang memiliki potensi di sektor pertanian, program ketahanan pangan juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Program ketahanan pangan masih menjadi fokus pemerintah daerah selama angka tingkat kecukupan pangan di daerah tersebut belum mencapai seratus persen. Di Kabupaten Bogor, angka tingkat kecukupan pangan pada tahun 2010 mencapai 69.98 persen. Sedangkan angka tingkat kecukupan pangan pada tahun sebelumnya sebesar 69.38 persen.Hal ini banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya laju pertumbuhan penduduk maupun laju konversi lahan pertanian menjadi kegiatan ekonomi non-pertanian.

Kabupaten Bogor dengan dengan luas wilayah ±298838.30 Ha yang terdiri dari 40 kecamatan, 411 desa dan 17 kelurahan memiliki jumlah penduduk sebanyak 4 302974 orang pada tahun 2008. Pada tahun 2009, jumlah penduduk sebesar 4 477 296 orang yang berarti telah terjadi kenaikan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.78 %.Sementara pada tahun 2010, jumlah penduduk mengalami kenaikan menjadi 4763209 orang atau meningkat sebanyak 285913 orang.

Dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, pemerintah Kabupaten Bogor sedang mengupayakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai salah satu bentuk perlindungan dan jaminan terhadap ketersediaan lahan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi petani.Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian menyangkut bagaimana strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutandiKabupaten Bogor.


(19)

1.2 Perumusan Permasalahan

Kabupaten Bogor sebagai daerah penyangga Ibu Kota Jakarta memiliki posisi yang strategis.Salah satukelebihannya, berupa indikator pembangunan yang dicerminkan melaluinilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).PDRB berdasarkan harga berlaku yang mencapai Rp 73 800 700 juta pada tahun 2010 dari Rp 66083790 juta pada tahun 2009. Meningkatnya PDRB memberikan peluang dalam peningkatan kesempaten kerja,dimana peningkatan ini mendorong terjadinya pertambahan penduduk yang semakin meningkat setiap tahun.Dimana, peningkatan jumlah penduduk dipengaruhi oleh pertambahan penduduk secara alami maupun adanya migrasi masuk ke Kabupaten Bogor. Implikasi dari semakin besarnya jumlah penduduk tersebut antara lain berupa pemenuhan kebutuhan dasar,baik pangan maupun perumahan yang semakin meningkat.

Pemenuhan kebutuhan pangan beras pada tahun 2010 mencapai 504233 ton (dengan tingkat konsumsi sebesar 105.86 kg/kapita/tahun).Sedang tingkat kecukupan pangan beras sebesar 69.98 persen.Untuk produktivitas padi, baik padi sawah maupun padi gogo di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan.Padi sawah, tahun 2008 memiliki produktivitas 59.07 ton/ha, meningkat sampai dengan 61.90 ton/ha pada tahun 2010.Sementara untuk padi gogo, produktivitatsnya pada tahun 2008 sebesar 28.07 ton/ha menjadi 31.59 ton/ha di 2010.Namun demikian, kontribusi sektor pertanian yang meliputi sub-sektor pertanian/perkebunan, palawija, tanaman keras relatif mengalami penurunan.Hal ini diindikasikan sebagai akibat dari perubahan fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian (Bappeda, 2010).

Adanya indikasi perubahan fungsi lahan yang menyebabkan kontribusi sektor pertanian pada pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Kabupaten Bogor. Hal yang menjadi pertimbangan serta perlu diketahui yakni kebijakan apa yang berkaitan denganperlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor.

Pemenuhan kebutuhan pangan utamanya berasdi Kabupaten Bogor belum mencapai seratus persen.Hal ini diduga akibat terjadi alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian.Salah satu upaya guna pemenuhan tingkat kecukupan pangan tersebut, dilakukan melalui optimalisasi intensifikasi pertanian.Dimana, dengan melakukan optimalisasi intensifikasi pertanian akan meningkatkan produktifitas padi.

Sementara sektor lain yang berkepentingan terhadap penggunaan lahan juga terus mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari indikator makro pembangunan dari sektor tersebut. Proporsi sektor pertanian menurut PDRB pada tahun 2010 sebesar 5.00 persen, sektor industri pengolahan mencapai 61.23 persen dan sektor bangunan sebesar 3.31 persen. Lahan sebagai sumberdaya yang terbatas keberadaannya, dengan potensi dan beragam kepentingan oleh sektor lain, perlu mendapatkan perhatian khusus di Kabupaten Bogor.Mengingat hal tersebut, perlu mengetahui dan menganalisis bagaimana pengelolaan kepentingan para pihakterhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor.

Salah satu upaya dalam memenuhi ketersediaan pangan di Kabupaten Bogor yakni melalui kebijakan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan.Pemerintah Daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab


(20)

untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pemenuhan kebutuhan pangan, meskipun terdapat pihak lain yakni pemerintah pusat dan swasta. Dengan dilaksanakannya kebijakan tersebut, diharapkan lahan pertanian pangan secara status akan lebih jelas dalam peruntukan dan penggunaan. Dengan demikian hal ketiga yang perlu diketahui adalah bagaimana strategi pengelolaan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupten Bogor.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi Pemerintah Kabupaten Bogor melalui pengelolaan kepentingan para pihak dalam upaya melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan guna memenuhi tingkat kecukupan pangan dan melindungi dari laju konversi lahan. Untuk mendukung tujuan utama tersebut, perlu ditetapkan tujuan spesifik, meliputi :

1. Mengidentifikasikebijakan berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisisbagaimana pengelolaan kepentingan para pihak terhadap

perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. 3. Merumuskan strategi perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di

Kabupaten Bogor.

1.4 Manfaat

a. Dari aspek keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai kondisi atau gambaran dari strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.

b. Dari aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam perumusan kebijakan strategis.


(21)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Lahan dan Masalah Konversi Lahan Pertanian

Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976).Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) dalam Nofarianty (2007) mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang. Pemanfaatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta infrastruktur perumahan dan fasilitas publik.Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya. Dalam kaitan ini, respon terhadap lahan dapat berupa (a) Ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan yang bersifat elastis, (b) Intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan perannya oleh teknologi dan (c) Kombinasi kedua hal tersebut. Terhadap keseimbangan antara permintaan dan penawaran lahan, sistem umpan balik penggunaan lahan dapat mengalir dalam dua arah, yaitu menghasilkan perbaikan kesejahteraan atau justru menurunkan produktivitas dan mengganggu keberlanjutan produksi (Nasoetion, 1995).Dalam keadaan demikian lahan adalah aset yang memberikan nilai guna (use value) bagi menusia seperti yang ditampilkan oleh ciri-cirinya.Nilai guna lahan dapat berupa langsung dan tidak langsung.Nilai guna lahan diperlihatkan misalnya sebagai dasar hunian atau pendukung kegiatan-kegiatan ekonomi.Nilai guna tidak langsung dapat diduga dari unsur hara, mikroorganisme, keanekaragaman hayati, nilai-nilai sosial, atau nilai lahan yang dapat diwariskan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Masalah lahan yang saat ini sering dibicarakan adalah alih fungsi lahan terutama lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian.Fenomena alih fungsi lahan adalah bagian dari transformasi struktur ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan membutuhkan ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman. Sebagai akibatnya wilayah pinggir yang sebagian besar adalah lahan pertanian sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian dengan tingkat peralihan yang beragam antar periode dan wilayah.Lahan pertanian yang berpeluang untuk terkonversi lebih besar adalah lahan sawah dibandingkan lahan kering. Sawah secara spasial memiliki alasan yang kuat untuk dikonversi menjadi kegiatan non-pertanian karena : (1) Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian lebih menguntungkan dilahan yang datar dimana sawah pada umumnya ada, (2) Infrastruktur seperti jalan lebih tersedia di daerah persawahan, (3) Daerah persawahan pada umumnya lebih mendekati wilayah konsumen yang relatif padat


(22)

penduduk dibandingkan lahan kering yang sebagian besar terdapat di daerah bergelombang, perbukitan dan pegunungan.

Konversi lahan pertanian menurut Nasoetion dan Winoto (1996) terkait pada beberapa faktor antar lain disebabkan oleh : (1) Nature atau instritic

sumberdaya lahan, sesuai prinsip hukum ekonomi supply-demand yang

mengalami struktur kelangkaan sebagai akibat kuantitas sumberdaya lahan yang tersedia tetap, (2) berkaitan dengan market failure pergeseran struktural dalam perekonomian, dan dinamika pembangunan yang cenderung mendorong petani untuk alih profesi dengan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya, (3) government failure yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi yang lebar kepada sektor industri namun laju investasi di sektor tersebut belum diikuti dengan laju penetapan peraturan dan perundang-undangan yang bisa dipakai sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan. Banyak pendapat yang dikemukakan mengenai faktor determinasi konversi lahan.Menurut Irawan (2005) dalam Nofarianty (2007) konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antar sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.Hal ini disebabkan

karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap

pendapatan.Meningkatnya kelangkaan lahan (akibat pertumbuhan penduduk), yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian (akibat pertumbuhan penduduk) mendorong terjadinya konversi lahan pertanian.

2.2 Persepsi dan Partisipasi

Persepsi merupakan suatu pendapat, sikap dan perilaku yang bersifat pribadi dan subjektif, namun mempunyai arti penting dan kedudukan yang kuat dalam diri setiap manusia (Adiputro 1999 dalam Liswanti 2004). Dapat juga diartikan bahwa persepsi adalah suatu proses yang menggunakan akal pikiran kita secara langsung untuk memahami dunia disekitar kita. Definisi lain mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses pencarian informasi untuk dipahami (Sarwono, 2002 dalam Liswanti 2004).

Partisipasi secara sederhana mengandung arti peran serta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut (Sumardjo 2003 dalam Liswanti, 2004).Bass et al dalam Liswanti (2004) merumuskan adanya tujuh tipe partisipasi masyarakat dalam suatu tipologi partisipasi, yaitu : (1) Tipe partisipasi pasif/manipulatif; (2) Tipe partisipasi informatif; (3) Tipe partisipasi konsultatif; (4) Tipe partisipasi insentif; (5) Tipe partisipasi fungsional; (6) Tipe partisipasi interaktif; (7) Tipe partisipasi mandiri. Karakteristik masing-masing tipe partisipasi tersebut secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.


(23)

Tabel 1.Tipologi Partisipasi

Tipologi Karekteristik

Partisipasi Pasif/Manipulatif  Masyarakat diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi  Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tanpa

memperhatikan tanggapan masyarakat

 Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan professional diluar kelompok sasaran

Partisipasi Informatif  Masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti  Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk terlibat dan

mempengaruhi proses penelitian

 Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat

Partisipasi Konsultatif  Masyarakat berpartisipasi dengan cara konsultasi  Orang luar mendengarkan, menganalisa masalah dan

pemecahannya

 Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama  Para professional tidak berkewajiban untuk mengajukan

pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti

Partisipasi Insentif  Masyarakat memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan berupa insentif/upah

 Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan

 Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan

Partisipasi Fungsional  Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyeknya

 Pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan-keputusan utama yang telah disepakati

 Pada tahap awal, masyarakat tergantung pada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya Partisipasi Interaktif  Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan

kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan  Cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang

mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistemik

 Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan Partisipasi Mobilization

(Mandiri)

 Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki

 Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan

 Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan


(24)

2.3 Konflik dan Kolaborasi

Means at al (2002) dalam Aliadi(2011) menyatakan bahwa konflik kadang-kadang memiliki sejarah panjang dalam hal dampaknya di dalam suatu kawasan sebelum aktivitas manajemen kolaboratif dimulai. Hal ini dapat disebabkan oleh hubungan dan persaingan kekuasaan yang berkembang antar atau antar desa atau hubungan buruk yang telah berlangsung lama antar kelompok masyarakat dan agen luar.Kadang-kadang ada warisan hubungan permusuhan, kecurigaan, aliansi dan usaha perdamaian konflik yang gagal.Konflik yang ada mungkin menyangkut masalah persaingan sumberdaya, kelangkaan, pembagian keuntungan hasil hutan yang tidak merata, kurang terlibatnya pengguna kunci dalam pengambilan keputusan, dsb.

Selanjutnya Means etal (2002) dalam Aliadi (2011) menyatakan bahwa memulai manajemen kolaboratif mensyaratkan agar konflik dapat diidentifiksi dan ditanggapi. Pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian masalah dan penyelesaian konflik (Straus 2002 dalam Aliadi 2011).Sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi-pihak.

Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama (Aliadi, 2011).

Ada empat desain kolaborasi yaitu: 1) perencanaan yang apresiatif; 2) strategi secara kolektif; 3) dialog; 4) menegosiasikan penyelesaian (Aliadi, 2011).

Faktor-faktor yang memotivasi

Peningkatan berbagai visi

Hasil yang diharapkan

Pertukaran informasi Kesepakatan bersama Perencanaan yang

apresiasif :

- Search conference - Pengumpulan

informasi bersama komunitas

Strategi kolektif - Kemitraan

swasta-komunitas

- Usaha bersama (Joint venture) - Konsorsium riset

dan pengembangan

Penyelesaian konflik

Dialog

- Dialog kebijakan - Pertemuan publik

Negosiasi penyelesaian

- Negosiasi peraturan - Status kepemilikan

tanah

- Pemilihan cara penyelesaian (peradilan,

musyawarah, jalur politik, kolaborasi) Sumber: Gray(1989) dalam Aliadi (2011)


(25)

Tujuan disain perencanaan yang apresiatif, adalah meningkatkan penyelidikan bersama atas masalah yang terjadi. Dalam perencanaan ini belum dibebani harapan adanya kesepakatan yang secara eksplisit akan dicapai. Kerja utama dalam perencanaan ini adalah melakukan eksplorasi dan analisis bersama secara mendalam atas masalahnya.Perencanaan ini mendorong penyelidikan bersama oleh para pihak yang bersengketa dalam konteks problem dan saling ketergantungan. Dari sini diharapkan akan muncul secara ideal bersama sehingga meningkatkan kesadaran tentang suatu ranah problem dan memperoleh suatu nilai bersama untuk basis perencanaan masa depan. Perencanaan ini dapat juga menjadi perangsang munculnya inisiatif-inisiatif baru untuk dijadikan agenda yang harus dinegosiasikan untuk diselesaikan. Untuk menghasilkan perencanaan yang apresiasif ini dapat menggunakan berbagai cara seperti search conference/future gathering (sejenis lokakarya dengan menyelidiki masa depan yang diinginkan), community gathering (mengumpulkan informasi bersama komunitas).

Strategi kolektif biasanya dimotivasi untuk berbagai visi, dapat merupakan tindak lanjut dari perencanaan apresiatif dengan menciptakan kesepakatan khusus yang ditujukan untuk mengatasi problem atau untuk merealisasikan visi.Strategi kolektif ini dapat dalam bentuk kemitraan atau joint venture.

Dialog antara para pihak yang bersengketa merupakan bentuk pertemuan penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses kolaborasi. Tujuan dialog ini adalah untuk mengeksplorasi perbedaan, memperjelas area ketidaksepakatan dan menyelidiki landasan bersama tanpa dibebani harapan atas kesepakatan yang mengikat. Tujuan dialog yang sebenarnya ini perlu dipahami oleh para pihak yang bersengketa, karena dalam banyak kasus sering mekanisme dialog ini diposisikan sebagai forum untuk membangun kesepakatan yang mengikat. Misalnya dalam pertemuan publik dan dialog kebijakan, dialog ini lebih fokus pada pertukaran

informasi dan kemungkinan menghasilkan usulan kebijakan untuk

dipertimbangkan oleh para pihak legislatif atau lembaga pemerintahan.

Penyelesaian yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang bersengketa ini dimotivasi oleh keinginan menyelesaikan konflik dan harapan membangun kesepakatan bersama. Untuk kasus sengketa pengelolaan sumberdaya alam, isu-isu apa saja yang perlu diselesaikan dan dinegosiasikan, misalnya masalah status kepemilikan atas tanah, berbagai peraturan kebijakan yang perlu dicabut dan direvisi. Pilihan cara-cara penyelesaian sengketa melalui peradilan, musyawarah, jalur politik atau strategi kolaborasi.

Istilah manajemen kolaboratif digunakan oleh Borrini-Fayerabend (1996)dalam Aliadi (2011) untuk menggambarkan suatu situasi dimana keterlibatan beberapa (atau semua) stakeholder dalam kegiatan manajemen melalui cara yang substansial. Lebih spesifik lagi, dalam proses manajemen kolaboratif pengelolaan kawasan yang dilindungi mengembangkan kemitraan (partnership) dengan stakeholder lain yang relevan, terutama masyarakat lokal dan pengguna sumber daya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Dalam proses kerjasama itu dapat terjadi beberapa kemungkinan, seperti terlihat pada Gambar 2.


(26)

Pengawasan penuh oleh pengelola

Kerjasama dalam mengontrol antara pengelola dengan stakeholder

Pengawasan penuh oleh stakeholder Manajemen Kolaboratif pada suatu kawasan konservasi

Proses konsultasi Mencari consensus

Negosiasi (terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan mengembangkan perjanjian yang spesifik)

Berbagai otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal

Pelimpahan otoritas dan tanggung jawan Tidak ada

kontribusi dari stakeholder yang lain

Tidak ada kontribusi dari pengelola Meningkatnya harapan stakeholder

Meningkatnya kontribusi, komitmen dan “akuntabilitas” stakeholder

Sumber : Borrini-Feyerabend(1996) dalam Aliadi (2011)

Gambar 2. Skema Manajemen Kolaboratif

Penjelasan dari ketujuh kemungkinan kolaborasi seperti yang ada pada Gambar 2adalah :

1. Pengelola kawasan yang dilindungi mengabaikan kapasitas stakeholder dan minimal hubungan mereka dengan kawasan, atau

2. Memberi informasi kepada stakeholder tentang isu-isu yang relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau

3. Secara aktif berkonsultasi dengan stakeholder tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau

4. Mencari kesepakatan tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat, atau

5. Membuka peluang negosiasi dengan stakeholder yang terbuka (dan pada gilirannya membuka kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan), atau

6. Berbagai otoritas dan tanggung jawab dengan stakeholder secara formal, misalnya melibatkan mereka dalam Management Board, atau

7. Melimpahkan sebagian atau semua otoritas dan tanggung jawab kepada satu

atau beberapa stakeholder.

2.3.1 Pengendalian Penggunaan Lahan

Pengendalian adalah proses penetapan apa yang telah dicapai yaitu proses evaluasi kinerja, dan jika diperlukan akan dilakukan perbaikan dengan berdasarkan pada rencana yang telah ditetapkan (Siregar dan Samadhi, 1988).Kegiatan ini sangat erat kaitannya dengan kaitan perencanaan sebab pada kegiatan pengendalian inilah dapat dilihat apakah yang direncanakan tersebut dapat tercapai atau tidak.


(27)

Untuk menghindari penggunaan lahan yang tidak beraturan, dibanyak Negara diterapkan pendekatan manajemen penggunaan lahan dimana beberapa diantaranya yang sangat penting adalah (Haim dan Drabkin, 1981 dalam Nurmani, 2007) :

1. Menyusun rencana penggunaan lahan tingkat regional dan nasional yang berjangka panjang, termasuk rencana konservasi (perlindungan) lingkungan hidup. Bentuk rencana tersebut adalah rencana komprehensif dengan tujuan utama untuk mengantisipasi dampak negatif penggunaan lahan pada area pengembangan kota. Jangka waktu rencana adalah sekitar 20 sampai 30 tahun. Implementasi rencana membutuhkan adanya koordinasi diantara berbagai tingkat pemerintahan, baik tingkat nasional, regional maupun lokal.

2. Menyusun rencana-rencana pengaturan kembali (readjustment) pada area-area tertentu. Tujuan pengaturan kembali adalah menyediakan area-area-area-area tertentu yang dibutuhkan Negara, yakni area yang sudah dilengkapi fasilitas umum, seperti jaringan jalan, tempat parkir, air bersih dan lain-lain. Rencana pengaturan kembali atau readjustment ini dapat dilakukan dengan cara pengaplingan tanah dengan mendapatkan kompensasi (ganti rugi) baik berupa uang atau lahan pengganti di area yang sama atau lahan pengganti di lokasi berbeda.

3. Kontrol penggunaan lahan secara khusus pada area yang sudah ditunjuk. Sistem ini dilakukan dengan cara menetapkan area-area tertentu sebagai prioritas, yang disertai dengan aturan-aturan seperti ijin lokasi dan ijin bangunan di atas lahan area tersebut.

4. Menetapkan penggunaan lahan yang sesuai menurut rencana pembangunan.

Sistem ini merupakan pengendalian penggunaan lahan dengan cara penetapan dan dengan sedikit memaksa pembangunan di atas lahan-lahan yang sudah teralokasi. Diatas lahan-lahan kosong tersebut (sudah teralokasi tetapi belum terbangun) dikenai pajak yang tinggi, terutama di daerah perkotaan. Tujuannya adalah agar segera dibangun, sehingga sistem ini disebut juga kontrol atau cara pengendalian yang positif.

5. Aturan-aturan untuk mereka yang memiliki lahan lebih dahulu (pre emption rights). Dimana maksud dari aturan ini adalah kalau si pemilik/penguasa lahan bermaksud akan menjual lahannya, maka sebagai pembeli yang mendapat prioritas adalah Negara, baru kalau Negara atau Pemerintah tidak berminat maka bisa dijual ke pihak swasta atau perorangan. Untuk hal demikian terdapat aturan-aturan perundangannya. Tujuan dari sistem ini adalah membatasi atau mengendalikan harga pasar tanah, tanpa pemerintah harus membeli tanah yang luas terlebih dahulu dalam jangka pendek.

6. Pengambilalihan lahan untuk keperluan pemerintah, secara umum lahan bisa diambil alih oleh pemerintah dengan tujuan untuk kepentingan umum atau demi alasan kesejahteraan masyarakat luas.

Sedangkan untuk di Indonesia, pajak lahan sebagai kebijakan insentif dan disinsentif atau sebagai salah satu instrument pengendalian konversi lahan sudah dilakukan di Kabupaten Badung Provinsi Bali (Pemerintah Kabupaten Badung, 2007 dalam Nurmani, 2007). Pemerintah Kabupaten Badung memberikan pembebasan untuk membayar pajak bagi pemilik lahan yang lahannya diperuntukkan untuk kawasan jalur hijau.Selain itu


(28)

memberikan keringanan pajak dan bantuan modal terhadap semua subak yang ada di Kabupaten Badung.Dengan demikian menjadikan luas alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian semakin kecil prosentasenya.


(29)

2.4 Penelitian Terdahulu Tabel 2.Penelitian Terdahulu

No Sumber Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian

1 Ita Carolina, (2005) Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Di Jabodetabek

Mengetahui pola spasial

dinamika perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek, dari tahun 1992-2001.

Mengetahui faktor-faktor utama penentu dinamika spasial perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek serta besarnya pengaruh dari faktor utama tersebut terhadap peluang perubahan penggunaan lahan

Klasifikasi penggunaan lahan melalui citra landsat multitemporal(1992 & 2001)

Analisis dengan model logistik

Parameter model diduga dengan metode Maximum Likelihood menggunakan softwarestatistic.

1.Umumnya lahan yang paling besar peluangnya untuk berubah menjadi urban adalah lahan yang dahulunya digunakan sebagai pertanian lahan kering.

2 Nofarianty (2007) Analisis Potensi Lahan Sawah Untuk Pencadangan Kawasan Produksi Beras Di Kabupaten Agam – Sumatera Barat

Analisis perumusan indikator kelayakan wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras.

Analisis struktur keterkaitan antar indikator dan indeks komposit kelayakan wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras.

Analisis pengelompokan dan tipologi wilayah berdasarkan hirarki kelayakan wilayah untuk kawasan produksi beras. Analisis dan pemetaan pola

spasial tipologi wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras.

Analisa land rend usaha tani pada

Analisis deskriptif Analisis statistic

multivariate Cluster analysis

1.Lahan potensial sesuai untuk padi dan dapat dijadikan sebagai kawasan produksi beras seluas 29.81 % dari luas areal potensial pengembangan sawah.

2.Untuk menentukan wilayah yang akan dijadikan kawasan produksi beras di Kabupaten Agam menggunakan 20 peubah yang memberikan pengaruh yang nyata (faktor loading> 0.55) dari 30 peubah yang dirumuskan karena 10 peubah yang dibuang tersebut bersifat homogeny di setiap lokasi penelitian 3.Indeks komposit yang terbentuk dalam struktur keterkaitan

antar peubah merupakan peubah yang terkait dengan

sumberdaya lahan, luas penguasaan lahan sumberdaya petani, ketersediaan alat-alat pertanian dan sistem pengairan serta intensitas penyuluhan.

4.Prosentase terhadap total jumlah nagari untuk masing-masing tipologi wilayah berdasarkan kelayakan wilayah untuk pencadangan kawasan produksi beras berturut-turut adalah 6.9 % untuk tipologi layak; 21.9 % tipologi agak layak; 60.3 % tipologi kurang layak; 11.0 % yang tergolong tipologi tidak


(30)

No Sumber Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian masing-masing tipologi wilayah

untuk pencadangan kawasan produksi beras.

layak

5.Land rent untuk tipologi layak sebesar Rp 3 450000/Ha/tahun, tipologi agak layak Rp 2798800/Ha/tahun dan tipologi kurang layak Rp 2243000/Ha/tahun.

3 Ni Made Esti Nurmani (2007 Keterkaitan Pajak Lahan Dengan Penggunaan Lahan Studi Kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor

Mengetahui konsistensi RDTRK/RUTRK

Mengetahui perbedaan nilai jual objek pajak (NJOP) antara lahan yang dimanfaatkan konsistensi dan tidak konsistensi dengan RDTRK/RUTRK

Mengetahui pengaruh

penggunaan lahan terhadap pajak lahan

Mengetahui rasio NJOP terhadap land rent

Analisis spasial, matrik logika

Analisis spasial, uji mann-whitney

Analisis spasial, regresi berganda

Analisis spasial, finansial dan korelasi spearman

1.Inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RDTRK di Kecamatan Cibinong sebagian besar terjadi pada kawasan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan terbangun sebesar 303.4 Ha dan kawasan lindung berubah manjadi kawasan terbangun sebesar 246.6 Ha. Sedangkan di Kecamatan Cileungsi inkonsistensi pemanfaatan ruang sebagian besar terjadi kawasan permukiman yang berubah menjadi industri sebesar 191.9 Ha dan kawasan lindung menjadi kawasan terbangun sebesar 109.8 Ha.

2.Tidak ada perbedaan NJOP antara lahan yang dimanfaatkan konsisten dan tidak konsisten sesuai arahan RDTRK/RUTRK. 3.Penggunaan lahan berupa industri dan perdagangan dan jasa

memberikan pengaruh terhadap pajak lahan, sedangkan intensitas bangunan berupa ketinggian bangunan 4-24 m dan KDB 50-75 % juga ada pengaruhnya terhadap pajak lahan. 4.Land rent tertinggi di kedua kecamatan adalah industri yaitu

sebesar Rp 414 246/m2/tahun di Kecamatan Cibinong dan Rp 363 185/m2/tahun di Kecamatan Cileungsi, sedangkan land rent terendah untuk kebun campuran di Kecamatan Cibinong sebesar Rp 1477/m2/tahun dan lahan kosong di Kecamatan Cileungsi Rp 2248/m2/tahun.

4 Erni Purbiyanti (2013) Dampak Konversi Lahan Sawah Di Jawa Dan

Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa. Menganalisis dampak konversi

lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional.

Menganalisis dampak kebijakan

Metode 2-SLS (Two Stage Least Squares).

Metode 3-SLS (Three Stage Least Squares). LIML (Limited

Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information

1.Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi secara signifikan oleh peubah perubahan kontribusi sektor bangunan dan rasio pendapatan regional riil dimana pertumbuhan ekonomi yang disertai peningkatan pendapatan regional riil memberi konsekwensi terhadap peningkatan persaingan lahan dari penggunaan pertanian pangan ke penggunaan non-pertanian pangan yang memberi nilai rente lahan yang lebih tinggi. Faktor-faktor yang


(31)

No Sumber Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian Luar Jawa

Terhadap Ketersediaan Dan Akses Pangan Nasional

ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional.

Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen dan penerimaan pemerintah sebagai indikator tingkat kesejahteraana

Maximum Likelihood) mempengaruhi konversi lahan sawah di luar Jawa secara signifikan oleh peubah rasio pendapatan regional riil dan konversi lahan sawah di luar jawa tahun sebelumnya. 2.Analisa dampak konversi lahan sawah terhadap ketersediaan

dan akses pangan per kapita menunjukkan bahwa ketersediaan beras dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan harga riil gabah tingkat petani di Indonesia, rasio luas areal panen padi dengan jumlah penduduk total di Indonesia, konversi lahan sawah di Indonesia, jumlah beras impor Indonesia, tren waktu, dan ketersediaan beras per kapita tahun sebelumnya.

3.Hasil simulasi beberapa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa disagregasi berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa yang disertai kebijakan tanpa impor, Jawa memiliki

kemampuan yang lebih tinggi dalam hal kemandirian pangan daripada luar Jawa. Namun demikian, konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap akses pangan per kapita dibandingkan dengan di luar Jawa. Kehilangan produksi akibat konversi lahan sawah yang berlangsung saat ini dapat dikompensasi oleh impor, sehingga seolah-olah ketersediaan dan akses pangan perkapita masih mengalami peningkatan sampai pada tingkat konversi lahan tertentu.

4.Dampak alternatif kabijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan riil (gabah) pembelian pemerintah dinilai mubazir dan tidak efektif jika diterapkan bersamaan dengan harga riil gabah di tingkat petani, karena perubahan harga riil gabah di tingkat petani lebih dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang ada.


(32)

2.5 Strategi

Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan dalam

perkembangannya konsep mengenai strategi terus berkembang.Hal ini dapat ditujukan oleh adanya perbedaan konsep mengenai strategi selama 30 tahun terakhir.Dalam Rangkuti (2007) strategi didefinisikan sebagai suatu alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing.Definisi lain strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, dilakukan di masa depan.

Perencanaan strategis hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi, bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola konsumen memerlukan inti (core competencies).Perusahaan perlu mencari kompetisi inti dalam bisnis yang dilakukan.

Pemahaman yang baik mengenai konsep strategis dan konsep-konsep lain yang berkaitan, sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun. Konsep-konsep tersebut yaitu:

a. Distinctive Competence: tindakan yang dilakukan oleh perusahaan agar dapat melakukan kegiatan lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. b. Competitive Advantage: kegiatan spesifik yang dikembangkan oleh

perusahaan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya.

Menurut Rangkuti (2007), strategi dapat dikelompokkan berdasarkan 3 (tiga) tipe strategi, yaitu:

1. Strategi manajemen.

Strategi manajemen meliputi strategi yang dapat dilakukan oleh manajemen dengan orientasi pengembangan strategi secara makro misalnya, strategi pengembangan produk, strategi penerapan harga, strategi pengembangan produk, strategi akuisi, strategi pengembangan pasar, strategi mengenai keuangan dan sebagainya.

2. Strategi investasi

Strategi investasi merupakan kegiatan yang berorientasi pada investasi, misalnya, apakah perusahaan ini melakukan strategi pertumbuhan yang agresif atau berusaha mengadakan penetrasi pasar, strategi bertahan, strategi pembangunan kembali suatu divisi baru atau strategi diiventasi, dan sebagainya.

3. Strategi bisnis.

Strategi bisnis ini juga disebut strategi bisnis secara fungsional karena bisnis ini berorientasi kepada fungsi-fungsi kegiatan manajemen, misalnya strategi pemasaran, strategi produksi atau operasional, strategi distribusi, strategi organisasi, dan startegi-strategi yang berhubungan dengan keuangan.

2.6 SWOT

Menurut David (2009), analisa SWOT1) adalah metode perencanaan strategis yang berfungsi untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman suatu perusahaan. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.


(33)

Para analisis SWOT memberikan informasi untuk membantu dalam hal mencocokkan perusahaan sumberdaya dan kemampuan untuk menganalisis kompetitif lingkungan dimana bidang perusahaan itu bergerak.Informasi tersebut dibuat berdasarkan perumusan strategi dan seleksi.

1) Menurut Wikipedia, analisis SWOT (singkatan bahasa Inggris dari kekuatan/strengths, kelemahan/weaknesses,

kesempatan/opportunities, dan ancaman/threats), adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk


(34)

3

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Salah satu bentuk tujuan bernegara adalah melakukan perlindungan segenap bangsa dan peningkatan kesejahteraan umum.Wujud perlindungan tersebut berupa terjaminnya hak atas pangan bagi segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat fundamental sehingga menjadi tanggung jawab Negara untuk memenuhinya. Upaya pemenuhan tersebut antara lain berupa membangun ketahanan dan kedaulatan pangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan pertanian pangan berkelanjutan.

Dalam rangka memenuhi hak atas pangan tersebut, Pemerintah Kabupaten Bogor berupaya mewujudkannya melalui rencana kebijakan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.Kebijakan ini ditempuh karena berbagai tantangan kedepan yang semakin besar, diantaranya terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian, jumlah penduduk yang semakin meningkat yang disebabkan oleh pertumbuhan alami dan migrasi masuk serta pemenuhan tingkat kecukupan pangan yang belum mencapai 100 persen.

Dampak yang diakibatkan dari tingginya laju pertumbuhan penduduk antara lain tingginya alih fungsi lahan dari aktivitas-aktivitas sektor pertanian ke aktivitas-aktivitas sektor non-pertanian. Berdasarkan data citra satelit Kementrian Pertanian tahun 2010 lahan sawah di Kabupaten Bogor seluas 39 299.68 Ha (13.15 %), sedangkan berdasarkan citra satelit tahun 2008 yang dimuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor luas lahan sawah adalah 39 782 Ha. Pengurangan lahan sawah harus dicegah oleh Pemerintah Kabupaten Bogor guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk secara optimal.

Guna mencegah tingginya alih fungsi lahan tersebut, dikaji strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan di Kabupaten Bogor:

(a). Mengidentifikasi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Kebijakan yang diidentifikasi berupa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, baik pada pemerintah tingkat pusat maupun pada pemerintahan daerah.

(b). Intervensi Pemerintah Daerah pada upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pemerintah Daerah dapat melakukan pengendalian pada lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pengendalian dimaksud berupa pemberian melalui: 1) Insentif; 2) Disinsentif; 3) Mekanisme perizinan; 4) Proteksi; dan 5) Penyuluhan.

Strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilihat melalui faktor pemberian insentif dan disinsentif; mekanisme perizinan dan penyuluhan.


(35)

Identifikasi dan analisis dengan metode yang tepat, diharapkan akan muncul alternatif dan prioritas strategi yang tepat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan diatas. Hasil perumusan strategi diharapkan dapat dijadikan bahan kebijakan bagi daerah untuk mewujudkan pelaksanaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Pada Gambar 3 dapat dilihat kerangka alur pikir penelitian yang meliputi identifikasi kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor melalui intervensi yang dapat dilakukan, pengelolaan kepentingan para pihak terhadap kebijakan serta perumusan strategi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitiandilakukan di Kabupaten Bogor dengan pertimbangan : a. Kabupaten Bogor sebagai daerah yang strategis yakni menjadi hinterland atau

penyangga dari Ibu Kota Negara Indonesia maupun terhadap Kota Bogor.

b. Luas Kabupaten Bogor yang terbagi dalam 40 Kecamatan dan 430

desa/kelurahan dengan dominasi mata pencaharian pada sektor pertanian yang dicirikan dengan banyaknya rumah tangga pertanian atau jumlah penduduk petani yang bekerja pada sektor pertanian.

c. Tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan permintaan pemenuhan

kebutuhan dasar masyarakat dalam hal kebutuhan pangan dan

perumahan/pemukiman semakin meningkat.

d. Terjadinya alih fungsi lahan atau konversi lahan dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian.

Penentuan lokasi kecamatan dilakukan secara purposive yakni satu kecamatan mewakili dari satu wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor. Wilayah pembangunan Bogor Barat dengan strategi percepatan diwakili pada Kecamatan Leuwiliang, wilayah pembangunan Bogor Tengah dengan strategi pengendalian diwakili pada Kecamatan Caringin dan wilayah pembangunan Bogor Timur dengan strategi pemantapan diwakili pada Kecamatan Jonggoldengan pertimbangan :

1. Potensi luas lahan sawah di tiga kecamatan tersebut menurut strategi pengembangan wilayah Kabupaten Bogor

2. Tingginya jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani.

3. Luasan lahan baku sawah di Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Caringin dan

Kecamatan Jonggol menurut data luasan lahan baku sawah dari penghitungan pencitraan satelit yang telah dilaksanakan oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia sebagaimana pada Tabel 3.

Penentuan lokasi desa dilakukan secara purposive yakni untuk Kecamatan Leuwiliang Desa Karehkel, Kecamatan Caringin Desa Pancawati dan Kecamatan Jonggol Desa Singasari, didasarkan pada luasnya lahan sawah diantara desa-desa dalam satu kecamatan.


(36)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Pengelolaan Kepentingan Para Pihak Terhadap Upaya Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Bogor

Perumusan Strategi

Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan

di Kabupaten Bogor

Strategi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(Manajaemen Kolaborasi, SWOT dan Road Map Strategy)

Pengelolaan kepentingan para pihak terhadap

kebijakan PLP2B

Penelitian

Intervensi Pemerintah Daerah terhadap PLP2B dengan pengendalian melalui :

 Insentif

 Disinsentif

 Mekanisme Perizinan

 Proteksi

 penyuluhan

a.Lahan pertanian

pangan

b.Petani

(Analisis Deskriptif)

a.Kebijakan

pemerintah/pemerintah daerah

b.Perkembangan sektor

bangunan

c.Harga komoditas

pertanian

(Analisis Deskriptif) Faktor Eksternal

Faktor Internal

Alih fungsi lahan

Pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk

Pertumbuhan produktivitas

Kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan

Identifikasi Kebijakan berkaitan dengan PLP2B

Identifikasi pengelolaankepentingan para pihak melalui pemberian :

Insentif & disinsentif

Penyuluhan

Mekanisme perizinan

(Analisis Regresi Logistik Biner)

Kebijakan Daerah

Ket : langsung


(37)

Tabel 3.Luas Lahan Baku Sawah di Kabupaten Bogor

KABUPATEN/KOTA KECAMATAN LUAS

(HA) KECAMATAN

LUAS (HA)

BOGOR Babakan madang 444.66 Jonggol 4 320.75

Bojong gede 19.78 Kelapa nunggal 1 548.91

Caringin 1 022.39 Kemang 54.37

Cariu 3531.10 Leuwiliang 1 229.89

Ciampea 620.40 Leuwisadeng 710.17

Ciawi 430.29 Mega mendung 540.00

Cibinong 90.28 Nanggung 1 599.27

Cibungbulang 675.51 Pamijahan 1 234.50

Cigombong 632.93 Parung 65.82

Cigudeg 1 492.32 Parungpanjang 1 610.57

Cijeruk 543.54 Ranca bungur 181.99

Cileungsi 891.31 Rumpin 1 379.47

Ciomas 178.05 Sukajaya 2 024.18

Cisarua 350.71 Sukamakmur 3 219.12

Ciseeng 447.88 Sukaraja 541.66

Citeureup 366.84 Tajur halang 105.18

Dramaga 168.04 Tamansari 216.84

Gunung putri 157.85 Tanjungsari 2 953.36

Gunungsindur 204.86 Tenjo 1 499.19

Jasinga 1 795.85 Tenjolaya 718.12

Jumlah 14 064.56 25 753.35

Total Luas Lahan 39 817.91

Sumber : Kementerian Pertanian RI, 2012

Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2012 hingga Maret 2013.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :

a. Data Primer

Data primer dibutuhkan guna menjawab pertanyaan kedua dari penelitian ini, yakni menganalisis bagaimana pengelolaan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor. Data primer berupa data kualitatif, yang diperoleh dengan cara wawancara terstruktur yakni pengumpulan informasi melalui tanya jawab sesuai dengan panduan pertanyaan serta penyebaran kuesioner kepada responden yang dianggap mampu menjawab pertanyaan secara mandiri.

Identifikasi sasaran dan target para pihak dilakukan dengan carapurpusif dimana kelompok parapihak terdiri dari petani; swasta; legislatif serta aparatur pemerintahan. Target responden dengan langkah-langkah sebagai berikut :

(1). Jenis responden petani dari penelitian ini adalah petani yang berada di desa pada Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Caringin dan Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor yaitu Desa Karehkel, Desa Pancawati dan Desa Singasari.


(38)

(2) Target jenis responden adalah petani dan atau petani penggarap.

(3) Adapun pemilihan responden petani dilakukan berdasarkan informasi dari UPT Dinas Pertanian dan Kehutanan dan BP3K Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Caringin dan Kecamatan Jonggol yakni petani yang telah mengikuti adanya sosialisasi tentang pendataan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bogor, maupun pihak desa.

(4) Jenis responden swasta (sektor bangunan/perumahan). (5) Jenis responden aparatur dan pihak lainnya.(Tabel 4).

Tabel 4.Kelompok dan Jenis Responden

No Kelompok

Parapihak

Jenis Responden Jumlah

1 Petani Petani 108 orang

2 Swasta Pengembang perumahan 2orang

3 Aparatur Pemerintahan

Bappeda 1 orang

Badan Perizinan Terpadu 1 orang Dinas Pertanian dan Kehutanan 1 orang Dinas Tata Ruang dan Pertanahan 1 orang Dinas Bina Marga dan Pengairan 1 orang

BP4K 1 orang

Badan Pertanahan Nasional 1 orang

Legislatif 1 orang

Kecamatan 3 orang

BP3K 3 orang

UPT Pertanian dan Kehutanan 3 orang

Kepala Desa 3 orang

b. Data Sekunder

Data sekunder dibutuhkan untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini, yaitu mengidentifikasi kebijakan yang berkaitan dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor.

Data sekunder diperoleh dari informasi dokumentasi dalam bentuk studi kepustakaan yang dikeluarkan oleh instansi terkait.Data yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama dan spesifik penelitian pada tabel 5.

3.3.1 Pengertian

Beberapa definisi (Distanhut; 2011) yang berkaitan dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan:

- Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.

- Lahan Pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian.

- Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

- Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan,


(39)

memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.

- Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

- Irigasi adalah usaha penyediaan, pemberian, penggunaan dan pembuangan air untuk menunjang pertanian, yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak.

- Lahan beririgasi adalah lahan yang mendapatkan air dari jaringan irigasi teknis, semi teknis, dan irigasi perdesaan.

- Alih Fungsi Lahan Beririgasi adalah proses yang disengaja oleh manusia untuk mengubah fungsi lahan di sekitar daerah irigasi yang akibatnya dapat mempengaruhi keberlanjutan dan kelestarian fungsi lahan.

- Pengendalian Alih Fungsi Lahan Beririgasi adalah kegiatan untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan beririgasi yang dapat mempengaruhi kelestarian fungsi lahan.

- Pemberdayaan adalah segala usaha dan kegiatan yang dilakukan untuk menjamin keamanan, ketertiban, ketaatan, pemeliharaan, kesinambungan dan keberuntungan.

Tabel 5. Tujuan, Jenis Data, Sumber Data dan Metode

Tujuan Jenis Data Sumber Data Metode

Mengidentifikasi kebijakan berkaitan dengan

perlindungan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bogor.

Data sekunder

1. UU, PP, PerMenTan 2. Perda Jabar tentang

perlindungan lahan pertanian

3. RPJMD Kabupaten Bogor

4. RTRW Kabupaten Bogor

5. Kebijakan sektor pertanian di Kabupaten Bogor

6. Data hasil pendataan dan pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan beserta cadangannya a. Setda Propinsi Jawa Barat b. Bappeda Kabupaten Bogor c. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Analisis deskriptif Menganalisis bagaimana pengelolaankepentingan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan

Data primer Responden Analisis

deskriptif Analisis logistik biner

Merumuskan strategi pengelolaan kepentingan para pihak terhadap upaya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bogor

Hasil olahan dari data sekunder dan data primer

Manajemen Kolaborasi Analisis SWOT Road-map strategy


(40)

3.4 Metode Analisis Data

Untuk mendapatkan hasil dan kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan berdasarkan data yang dikumpulkan, digunakan metode analisis sebagai berikut :

3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif

Pada penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk menjabarkan sekaligus untuk membantu dalam pengidentifikasian unsur faktor internal dan eksternal dalam analisis selanjutnya.

3.4.2 Analisis Regresi Logistik Biner

Analisis regresi logistik biner adalah analisis yang mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas (X) terhadap peubah respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu, dimana peubah respon dalam analisis regresi berubah peubah katagorik (Firdaus, 2011).

Pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi dari regresi linier ke dalam bentuk logit. Adapun formula transformasi logit tersebut adalah:

Logit (pi) = log e[1−���� ] Dimana :

pi = peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon (Y) untuk orang ke-i, dengan nilai p berada antara 0 – 1

Log e = logaritma dengan basis bilangan e

Adapun model yang digunakan dalam analisis regresi logistik adalah : logit (pi) = loge[1−���� ] = α0+ α1X1+ α2X2+ … + αnXn

Dimana : logit (pi) = peluang kejadian sukses peubah respon (Y)

α0 = intersep model garis regresi

α1-n = slope model garis regresi X1 =variabel penjelas

Hipotesa yang dibangun dari persamaan regresi logistik biner adalah : Ho = persamaan regresi bernilai 0, yakni (logit (pi)) = 0

H1 = persamaan regresi tidak bernilai 0, yakni (logit (pi)) ≠ 0

Untuk menguji kelayakan model regresi logistik biner, digunakan metode maximum likelihood.Model dinyatakan layak digunakan apabila nilai – 2 Log likelihood< nilai chi square tabel.Adapun berdasarkan uji hosmer and lemeshow, jika nilai signifikansi > 0.05, maka terima H0.Hal ini berarti model dinyatakan layak dan bisa diinterpretasikan.Sebaliknya jika nilai signifikansi < 0.05 maka tolak H0, dimana nilai 0.05 merupakan tingkat kepercayaan 95 persen.

Analisis regresi logistik biner ini digunakan untuk faktor yang diduga mempengaruhi dalam pengelolaan para pihak. Adapun variabel pengelolaan para pihak (Y) dan variabel penjelas (X) yang digunakan adalah :

Y = Variabel pengelolaan kepentingan para pihak, jika lahan pertanian berkelanjutan dilindungi dengan persyaratan tertentu (penggantian lahan) yang dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu tidak menerima kebijakan, dan


(1)

Lampiran 4.Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2010 (Juta Rupiah)

LAPANGAN USAHA 2006 2007 2008 2009 2010

1. Pertanian 1.366.323,55 1.429.544,34 1.485.680,00 1.546.930,00 1.627.550,00

2. Pertambangan & Penggalian 307.414,98 322.126,54 330.380,00 340.610,00 360.060,00

3. Industri Pengolahan 16.790.944,62 17.687.418,97 18.589.890,00 19.108.340,00 19.917.350,00

4. Listrik, Gas & Air Bersih 968.659,50 1.046.346,68 1.103.400,00 1.122.270,00 1.185.800,00

5. Bangunan 802.808,83 855.403,53 908.270,00 989.630,00 1.075.480,00

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 4.063.192,67 4.403.782,79 4.756.640,00 5.138.390,00 5.463.530,00

7. Pengangkutan & Komunikasi 715.462,14 782.112,69 830.010,00 902.140,00 985.220,00

8. Keuangan, Persewaan, & Js. Prsh. 446.627,18 480.698,34 514.700,00 546.700,00 582.380,00

9. Jasa-Jasa 1.084.753,16 1.143.884,97 1.202.730,00 1.257.120,00 1.329.060,00

PDRB TANPA MIGAS 26.546.186,63 28.151.318,85 29.721.700,00 30.952.130,00 32.526.430,00


(2)

(3)

90

Lampiran 5.Hasil Analisis menggunakan SPSS (Logistic Regression)

Case Processing Summary

Unweighted Cases(a) N Percent Selected Cases Included in

Analysis 126 99.2

Missing Cases 1 .8

Total 127 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 127 100.0

a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value

Internal Value tidak setuju 0

setuju 1

Categorical Variables Codings

Frequency

Parameter coding

(1) (1)

X3 tidak setuju 33 1.000

setuju 93 .000

X2 kelembagaan tani 75 1.000 non-kelembagaan

tani 51 .000

X1 non-fisik 74 1.000

fisik 52 .000

Block 0: Beginning Block

Classification Table(a,b)

Observed Predicted

Y

Percentag e Correct tidak

setuju setuju

tidak setuju Step

0

Y tidak setuju

0 56 .0

setuju 0 70 100.0

Overall Percentage 55.6

a Constant is included in the model. b The cut value is .500


(4)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0

Constan

t .223 .179 1.549 1 .213 1.250

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0

Variables Insentif(1) 4.599 1 .032 Penyuluhan(1) 2.905 1 .088 Perizinan(1) 44.359 1 .000 Overall Statistics 45.528 3 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1

Step 51.739 3 .000

Block 51.739 3 .000

Mode

l 51.739 3 .000

Model Summary Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square 1 121.375(a) .337 .451

a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Table(a)

Observed Predicted

Y

Percentag e Correct tidak

setuju setuju

tidak setuju Step

1

Y tidak setuju

31 25 55.4

setuju 2 68 97.1

Overall Percentage 78.6


(5)

92

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1(a)

Insentif(1) .541 .463 1.364 1 .243 1.718 Penyuluhan(1) -.430 .461 .870 1 .351 .650

Perizinan(1) 3.636 .770 22.276 1 .000 .026 Constant .909 .428 4.498 1 .034 2.481


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi (Jawa Timur) pada tanggal 21 April 1981 dari ayah Diyono dan Ibu Saminem.Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara.Penulis menempuh pendidikan SD hingga SMP di Pesanggaran dan menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Genteng-Banyuwangi pada tahun 2000. Pada tahun ajaran 2000, penulis diterima di Universitas Brawijaya (UB) melalui jalur UMPTN dan lulus sebagai Sarjana Teknologi Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian UB, dengan bidang keahlian teknik proses hasil pertanian pada tahun 2005.

Pada tahun 2006, penulis kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor, tepatnya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor. Pada tahun 2009 penulis menjadi salah satu penerima penghargaan sebagai pegawai teladan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor hingga penulis diberi kesempatan oleh Bupati Bogor untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 pada tahun 2010 dengan mengambil Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah (MPD) di Institut Pertanian Bogor (IPB).