Pengawasan penuh oleh
pengelola Kerjasama dalam mengontrol antara pengelola dengan
stakeholder Pengawasan
penuh oleh stakeholder
Manajemen Kolaboratif pada suatu kawasan konservasi Proses konsultasi
Mencari consensus
Negosiasi terlibat dalam proses pembuatan
keputusan dan mengembangkan
perjanjian yang spesifik Berbagai
otoritas dan tanggung jawab
dalam bentuk formal
Pelimpahan otoritas dan
tanggung jawan Tidak ada
kontribusi dari stakeholder yang
lain Tidak ada
kontribusi dari pengelola
Meningkatnya harapan stakeholder Meningkatnya kontribusi, komitmen dan “akuntabilitas” stakeholder
Sumber : Borrini-Feyerabend1996 dalam Aliadi 2011
Gambar 2. Skema Manajemen Kolaboratif
Penjelasan dari ketujuh kemungkinan kolaborasi seperti yang ada pada Gambar 2adalah :
1. Pengelola kawasan yang dilindungi mengabaikan kapasitas stakeholder dan
minimal hubungan mereka dengan kawasan, atau 2.
Memberi informasi kepada stakeholder tentang isu-isu yang relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau
3. Secara aktif berkonsultasi dengan stakeholder tentang isu-isu relevan dan
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau 4.
Mencari kesepakatan tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat, atau
5. Membuka peluang negosiasi dengan stakeholder yang terbuka dan pada
gilirannya membuka kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, atau
6. Berbagai otoritas dan tanggung jawab dengan stakeholder secara formal,
misalnya melibatkan mereka dalam Management Board, atau 7.
Melimpahkan sebagian atau semua otoritas dan tanggung jawab kepada satu atau beberapa stakeholder.
2.3.1 Pengendalian Penggunaan Lahan
Pengendalian adalah proses penetapan apa yang telah dicapai yaitu proses evaluasi kinerja, dan jika diperlukan akan dilakukan perbaikan dengan
berdasarkan pada rencana yang telah ditetapkan Siregar dan Samadhi, 1988.Kegiatan ini sangat erat kaitannya dengan kaitan perencanaan sebab pada
kegiatan pengendalian inilah dapat dilihat apakah yang direncanakan tersebut dapat tercapai atau tidak.
Untuk menghindari penggunaan lahan yang tidak beraturan, dibanyak Negara diterapkan pendekatan manajemen penggunaan lahan dimana beberapa
diantaranya yang sangat penting adalah Haim dan Drabkin, 1981 dalam Nurmani, 2007 :
1.
Menyusun rencana penggunaan lahan tingkat regional dan nasional yang berjangka panjang, termasuk rencana konservasi perlindungan lingkungan
hidup. Bentuk rencana tersebut adalah rencana komprehensif dengan tujuan utama untuk mengantisipasi dampak negatif penggunaan lahan pada area
pengembangan kota. Jangka waktu rencana adalah sekitar 20 sampai 30 tahun. Implementasi rencana membutuhkan adanya koordinasi diantara
berbagai tingkat pemerintahan, baik tingkat nasional, regional maupun lokal.
2. Menyusun rencana-rencana pengaturan kembali readjustment pada area-
area tertentu. Tujuan pengaturan kembali adalah menyediakan area-area tertentu yang dibutuhkan Negara, yakni area yang sudah dilengkapi fasilitas
umum, seperti jaringan jalan, tempat parkir, air bersih dan lain-lain. Rencana pengaturan kembali atau readjustment ini dapat dilakukan dengan
cara pengaplingan tanah dengan mendapatkan kompensasi ganti rugi baik berupa uang atau lahan pengganti di area yang sama atau lahan pengganti di
lokasi berbeda.
3. Kontrol penggunaan lahan secara khusus pada area yang sudah ditunjuk.
Sistem ini dilakukan dengan cara menetapkan area-area tertentu sebagai prioritas, yang disertai dengan aturan-aturan seperti ijin lokasi dan ijin
bangunan di atas lahan area tersebut.
4. Menetapkan penggunaan lahan yang sesuai menurut rencana pembangunan.
Sistem ini merupakan pengendalian penggunaan lahan dengan cara penetapan dan dengan sedikit memaksa pembangunan di atas lahan-lahan
yang sudah teralokasi. Diatas lahan-lahan kosong tersebut sudah teralokasi tetapi belum terbangun dikenai pajak yang tinggi, terutama di daerah
perkotaan. Tujuannya adalah agar segera dibangun, sehingga sistem ini disebut juga kontrol atau cara pengendalian yang positif.
5. Aturan-aturan untuk mereka yang memiliki lahan lebih dahulu pre emption
rights. Dimana maksud dari aturan ini adalah kalau si pemilikpenguasa lahan bermaksud akan menjual lahannya, maka sebagai pembeli yang
mendapat prioritas adalah Negara, baru kalau Negara atau Pemerintah tidak berminat maka bisa dijual ke pihak swasta atau perorangan. Untuk hal
demikian terdapat aturan-aturan perundangannya. Tujuan dari sistem ini adalah membatasi atau mengendalikan harga pasar tanah, tanpa pemerintah
harus membeli tanah yang luas terlebih dahulu dalam jangka pendek.
6. Pengambilalihan lahan untuk keperluan pemerintah, secara umum lahan bisa
diambil alih oleh pemerintah dengan tujuan untuk kepentingan umum atau demi alasan kesejahteraan masyarakat luas.
Sedangkan untuk di Indonesia, pajak lahan sebagai kebijakan insentif dan disinsentif atau sebagai salah satu instrument pengendalian konversi lahan
sudah dilakukan di Kabupaten Badung Provinsi Bali Pemerintah Kabupaten Badung, 2007 dalam Nurmani, 2007. Pemerintah Kabupaten
Badung memberikan pembebasan untuk membayar pajak bagi pemilik lahan yang lahannya diperuntukkan untuk kawasan jalur hijau.Selain itu
memberikan keringanan pajak dan bantuan modal terhadap semua subak yang ada di Kabupaten Badung.Dengan demikian menjadikan luas alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian semakin kecil prosentasenya.
2.4 Penelitian Terdahulu Tabel 2.