Teori Semiotik Landasan Teori

a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated 1952:181. Sejalan pula dengan pandangan Radcliffe-Brown, artefak budaya puak poi dalam kebudayaan Tionghoa, dapat dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakatnya. Puak poi pada upacara paisin dalam budaya Tionghoa ini adalah salah satu artefak dan sekaligus sebahagian aktivitas yang dapat menyumbang kepada keseluruhan aktivitas masyarakat, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya dalam hal ini masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, misalnya lingkungan yang heterogen secara etnik di Sumatera Utara, penguatan identitas dan kumpulan etnik di dalam masyarakat Tionghoa, masalah perubahan kebudayaan, transmisi nilai-nilai religi baru yang merubah nilai-nilai religi lama, dan masalah-masalah sosial dan kebudayaan lainnya.

2.3.2 Teori Semiotik

Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam tradisi puak poi pada masyarakat Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu Universitas Sumatera Utara objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu popular Endaswara, 2008:64 Menurut Barthes dalam Kusumarini, 2006, “denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.” Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna. Di sisi lain, Barthes kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama dapat saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi makna sebenarnya sesuai kamus dan konotasi makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal. Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier- signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi Universitas Sumatera Utara penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Dalam konteks penelitian ini penulis menggunakan teeori semiotik yang ditawarkan Barthes tersebut. Penulis mengkaji makna-makna pada artefak, yang mencakup: a puak poi itu sendiri, b benda-benda upacara di dalam aktivitas paisin sembahyang seperti: dupa, hio warna, jumlah, asap, c “jawaban” dari hasil lemparan puak poi, d altar, dan lain-lainnya. Selain itu juga, penulis mengkaji makna-makna teks bahasa yang ditanyakan oleh para penanya dalam upacara paisin ini melalui media puak poi. Makna yang dikaji adalah mencakup makna denotatif dan konotatif dengan pendekatan semiotik Barthes. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang