Teori Fungsionalisme Landasan Teori

dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari China menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti- dinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari China ke Nusantara dan sebaliknya. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganega- raan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia. Hal ini sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan Koentjaraningrat, 1973:10. Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang akan diuraikan sebagai berikut.

2.3.1 Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi dan makna dari tradisi puak poi, peneliti menggunakan teori fungsionalisme yang ditawarkan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang Universitas Sumatera Utara menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi pranata-pranata dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud. Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski 1884-1942. Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 Malinowski lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya Malinowski gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga Malinowski menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Malinowski kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman Koentjaraningrat, 1987:160. Malinowski kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Malinowski kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika Malinowski menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayangnya tahun itu Malinowski juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu Malinowski, 1944. Selanjutnya Malinowski T.O. Ihromi 2006, mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa Universitas Sumatera Utara semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang telah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi melahirkan keturunan, merasa enak badan bodily comfort, keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua derived needs, kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan. Ahli teori fungsionalisme dalam disiplin antropologi lainnya, Radcliffe- Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakatnya. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu- individu dapat berganti setiap waktu. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikan Radcliffe-Brown berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such Universitas Sumatera Utara a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated 1952:181. Sejalan pula dengan pandangan Radcliffe-Brown, artefak budaya puak poi dalam kebudayaan Tionghoa, dapat dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakatnya. Puak poi pada upacara paisin dalam budaya Tionghoa ini adalah salah satu artefak dan sekaligus sebahagian aktivitas yang dapat menyumbang kepada keseluruhan aktivitas masyarakat, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya dalam hal ini masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, misalnya lingkungan yang heterogen secara etnik di Sumatera Utara, penguatan identitas dan kumpulan etnik di dalam masyarakat Tionghoa, masalah perubahan kebudayaan, transmisi nilai-nilai religi baru yang merubah nilai-nilai religi lama, dan masalah-masalah sosial dan kebudayaan lainnya.

2.3.2 Teori Semiotik