Konsep lainnya yang terekspresi dari penggunaan puak poi yang berfungsi memperkuat ajaran-ajaran ketiga sistem religi tari adalah, pentingnya menjaga
keteraturan alam. Manusia hanya salah satu makhluk saja di dunia ini, yang wajib melakukan harmonisasi dengan semua makhluk, baik itu alam sekitar, makhluk
hidup lainnya hewan dan tumbuhan, begitu juga dengan makhluk-makhluk gaib, roh yang bergentayangan, dan lain-lainnya. Ketiga agama ini memang
mengajarkan tentang harmoni terhadap semua yang diciptakan Tuhan, termasuk jangan merusak alam.
Di dalam aktivitas paisin yang menggunakan puak poi ini juga tersirat ajaran reinkarnasi di dalam ajaran agama Buddha. Reinkarnasi adalah kehidupan
kembali kedunia berdasarkan kehidupan masa lalu. Sementara dia menunggu dilahirkan kembali ke dunia, dia berada di Alam Baka. Dalam keadaan yang
sedemikian rupa, para keturunannya di dunia ini seharusnya tetap menjaga hubungan kekerabatannya melalui puak poi dan paisin. Melalui aktivitas dan
artefak ini, maka ajaran-ajaran mengenai reinkarnasi di dalam agama Buddha tersosialisasi dengan sendirinya.
5.1.5 Menguatkan Integrasi Keturunan dan Kekerabatan
Budaya Tionghoa, baik yang berada di pusatnya yaitu daratan China maupun persebarannya di seluruh dunia, mengajarkan tentang pentingnya
menjaga garis keturunan yang diwariskan secara patrilineal. Garis keturunan patrilineal adalah cara menarik garis keturunan yang berasal dari pihak ayah.
Sebaliknya masyarakat atau kelompok etnik yang menarik garis keturunan dari pihak ibu, secara antropologis lazim disebut dengan matrilineal. Kalau menarik
Universitas Sumatera Utara
garis keturunan kedua-duanya, yaitu dari pihak ayah dan ibu sekaligus lazim disebut dengan bilateral atau parental.
Orang-orang Tionghoa umumnya menarik garis keturunan secara patrialineal patriachart. Dalam hal ini mereka memiliki marga klen tertentu
yang di dalamnya menjelaskan tentang asal-usul, tempat wilayah budayanya, dan eksistensinya dalam sejarah peradaban Tiongkok. Orang-orang Tionghoa ini
sangat menghargai diri, keluarga inti, keluarga besar, dan keturunannya. Mereka memiliki marga-marga seperti Lim, Lee, Tung, Tong, Tan, Han, dan lain-lain.
Melalui penggunaan puak poi yang dilakukan melalui aktiivitas paisin ini, penulis melihatnya adalah sebagai fungsi untuk menguatkan integrasi keturunan
dan kekerabatan. Dengan cara bertanya kepada para leluhur yang dipercayai hidup di Alam Baka, maka seseorang yang melakukan paisin melalui artefak puak poi
ini, sadar atau tidak sebenarnya memperkuat integrasi keturunan dan kekerabatannya. Ia menyadari bahwa memiliki nenek moyang yang sedemikian
rupa yang dapat dihubungi melalui puak poi. Selanjutnya setelah menyadari akan garis keturunan ini, maka nilai-nilai internal yang ia serap adalah perlunya
menguatkan persatuan dan kesatuan keturnan dan kekerabatan. Bagaimanapun, keluarga dan kerabat yang besar ini dipercaya akan dapat mengatasi semua
permasalahan hidup, baik di dunia maupun alam baka. Demikian salah satu fungsi puak poi ini.
5.1.6 Menjaga Kontinuitas Kebudayaan dalam Proses Perubahan
Istilah kontinuitas atau lazim juga disebut sebagai kesinambungan adalah penting dalam konteks manusia menjalani sejarah hidupnya. Namun di sisi lain
perubahan juga tidak dapat ditolak, karena perubahan itu memang menjadi sifat
Universitas Sumatera Utara
alam dan telah menjadi ketentuan Tuhan. Jadi biasanya kontinuitas dan perubahan menjadi satu kesatuan di dalam kehidupan manusia.
Demikian pula yang terjadi di dalam pelaksanaan paisin yang menggunakan puak poi ini, salah satu fungsinya adalah menjaga kontinuitas kebudayaan dalam
proses perubahan. Dengan menggunakan puak poi sebagai sarana komunikasi kepada Alam Langit dan Alam Baka dengan Alam Dunia, maka secara alamiah
sebenarnya menjaga kontinuitas kebudayaan dalam proses perubahan. Puak poi yang dilakukan nenek moyang orang-orang Tionghoa memiliki nilai-nilai religi
dan tradisi dengan kearifannya yang terus-menerus dijaga sampai kapanpun, karena artefak dan kegiatan ini adalah sebagai penciri utama identitas orang-orang
Tionghoa. Di sisi lain perubahan-perubahan yang terjadi juga tidak dilawan atau
ditentang, tetapi adalah bagaimana secara arif dan bijaksana mengelola perubahan tersebut dalam kehidupan religinya. Kebijakan dalam menghadapi yang paling
jelas adalah puak poi itu sendiri pun matrialnya berubah, dari bambu menjadi berkembang dapat juga menggunakan kayu. Dari bambu dengan warna alamiah
dengn kayu yang seluruh permukaannya dicat merah juga adalah menandakan perubahan.
Selain itu, masyarakat Tionghoa juga menyebar ke seluruh penjuru dunia, yang tentu saja mengalami adaptasi-adapatasi kebudayaan dengan kawasan
setempat. Dalam hal paisin ini, di Pematangsiantar orang-orang Tionghoa selain memakai bahasa Hokkian juga menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan
lokusnya di Pematangsiantar Indonesia. Demikian pula keturunan orang-orang Tionghoa ini ada pula yang
menikah dengan bukan orang Tionghoa, dapat saja orang Batak Toba,
Universitas Sumatera Utara
Simalungun, Jawa, mandailing, Karo, dan lainnya. Semua ini adalah kebijaksanaan dan strategi orang Tionghoa di Pematangsiantar dalam menghadpi
perubahan-perubahan budaya dan sosial. Dalam konteks tersebut, ada pula kemudian di antara orang-orang Tionghoa yang awalnya menganut sistem religi
Konghucu, Tao, dan Buddha kemudian menganut agama-agama samawi, yaitu: Protestan, Katolik, atau Islam, namun terus mengekalkan berbagai ide, aktivitas,
maupun artefak berciri Tionghoa. Misalnya dalam perayaan Imlek, semua warga Tionghoa dari sistem religi atau agama apa saja pastilah terlibat. Demikian
pandangan penulis dalam mengkaji salah satu fungsi puak poi sebagai menjaga kontinuitas kebudayaan dalam proses perubahan. Fungsi-fungsi puak poi dalam
masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar itu dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 5.3: Fungsi-fungsi Puak Poi
FUNGSI-FUNGSI 1. Sebagai Sarana Komunikasi dengan Alam Langit dan Alam Baka
2.Fungsi Menyelesaikan Berbagai Permasalahan Sosial 3. Fungsi Menjaga Keseimbangan Kosmos
4. Memperkuat Ajaran-ajaran Sistem Religi Orang Tionghoa 5. Menguatkan Integrasi Keturunan dan Kekerabatan
6. Menjaga Kontinuitas Kebudayaan dalam Proses Perubahan
Puak Poi
Aktivitas Paisin
Sistem religi: Tao, Konfusius, Buddha
Pematangsiantar Indonesia
Hua Ren KEBUDAYAAN TIONGHOA
Tingkok Cina
Universitas Sumatera Utara
5.2 Makna
Setelah menganalisis fungsi puak poi, maka berikut kita akan membahas tentang makna puak poi secara semiotik, di dalam konteks upacara paisin pada
masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Makna ini tercakup di dalam wujud ideasional gagasan orang-orang Tionghoa, yang sifatnya adalah abstrak, namun
menjadi nyata setelah dipraktikkan di dalam aktivitas paisin, dan dapat dikaji melalui artefak yang digunakan yaitu puak poi. Jadi ada hubungan yang
berkesinambungan antara gagasan budaya yang berkaitan dengan puak poi ini, dengan aktivitas paisin, dan artefak puak poi itu sendiri. Untuk itu perlu dikaji
makna puak poi. Dalam kebudayaan Tionghoa tidak sedikit benda-benda di dalam upacara
paisin dijadikan sebagai simbol dari kebudayaan mereka. Bagi etnik Tionghoa pada masa itu benda-benda yang dijadikan sebagai simbol tersebut memiliki
makna tersendiri dalam menjalankan ritual paisin. Puak poi dijadikan sebagai salah satu benda yang dijadikan sebagai simbol penanda dalam ritual paisin.
5.2.1 Makna Puak Poi Dikaji dari Aspek Etimologi
Secara etimologis atau harfiah, puak poi juga memiliki arti sebagai berikut. Istilah ini didukung oleh dua kata yaitu:
i puak yang maknanya adalah meminta petunjuk dengan melemparkan;.
ii poi memiliki makna jadi atau terjadilah.
Jadi secara etimologis puak poi bermakna meminta petunjuk dengan cara melemparkan benda yang disebut puak poi dan kemudian petunjuk tersebut
terjawab terjadilah melalui posisi puak poi setelah dilemparkan.
Universitas Sumatera Utara