Ciri Sosial soziale Merkmale

187 »Sie wissen, Innstetten, Sie haben über mich zu verfügen. Aber eh ich die Sache kenne, verzeihen Sie mir die naive Vorfrage: Muß es sein? Wir sind doch über die Jahre weg, Sie, um die Pistole in die Hand zu nehmen, und ich, um dabei mitzumachen. Indessen mißverstehen Sie mich nicht, alles dies soll kein Nein sein. Wie könnte ich Ihnen etwas abschlagen. Aber nun sagen Sie, was ist es?« »Es handelt sich um einen Galan meiner Frau, der zugleich mein Freund war oder doch beinah.« ......Demikian ia mengambil rokok di sebelahnya, Wüllersdorf duduk berhadapan dan mencoba untuk tenang. »itu«, ia memulai, »untuk dua keinginan, bahwa aku meminta tolong kepada Anda: yang pertama menyampaikan tuntutan dan yang kedua sesudahnya, dalam perkara itu sendiri, menjadi saksi dalam duel; yang satu tidak menyenangkan dan yang lainnya lebih sedikit. Dan sekarang jawaban Anda. « »Anda mengetahui, Innstetten, Anda memiliki saya. Tapi sebelum saya mengetahui perkara itu, maafkanlah pertanyaan naiv saya: Haruskah itu? Kita sudah lebih dari umur, Anda tahu, untuk mengambil Pistol di tangan, dan saya untuk ikut serta. Namun Anda jangan salah paham terhadap saya, semua ini bukanlah penolakan. Bagaimana bisa saya menolak Anda. Tapi sekarang katakanlah, apakah itu? « »Mengenai pacar istriku, yang sekaligus temanku atau hampir menjadi temanku. « Fontane, Effi Briest, 2008: 288 2 Penyayang Innstetten, wie versprochen, schrieb wirklich jeden Tag; was aber den Empfang seiner Briefe ganz besonders angenehm machte, war der Umstand, daß er allwöchentlich nur einmal einen ganz kleinen Antwortbrief erwartete. Den erhielt er dann auch, voll reizend nichtigen und ihn jedesmal entzückenden Inhalts. Innstetten, seperti yang dijanjikan, benar-benar menulis setiap hari; tapi apa yang membuat penerima suratnya terlebih-lebih menyenangkan, faktornya, bahwa ia setiap minggu hanya satu kali menunggu balasan surat kecil. Kemudian ia juga menerima, penuh pesona tidak berarti dan isinya setiap kali memukau. Fontane, Effi Briest, 2008: 27 »Ach, Geert, ich ängstige mich wirklich.« Und sie richtete sich im Bett in die Höh und sah ihn starr an. »Soll ich noch nach Johanna klingeln, daß sie uns Tee bringt? Du hast es so gern vor dem Schlafengehen.« Er küßte ihr die Hand. »Nein, Effi. Nach Mitternacht kann auch der Kaiser keine Tasse Tee mehr verlangen, und du weißt, ich mag die Leute nicht mehr in Anspruch nehmen als nötig. Nein, ich will nichts, als dich ansehen und mich freuen, daß ich dich habe. ... »Ah, Geert, aku benar-benar takut.« Dan ia menempatkan diri di tempat tidur meninggi dan memandangnya kaku. »Haruskah aku mengebel Johanna lagi, bahwa ia membawakan kita teh? Kamu sangat menyukainya sebelum pergi tidur. « 188

3. Crampas

KARAKTERISASI TOKOH KUTIPAN

a. Ciri Luar Äuβere Merkmale

Beinah im Gegenteil, jedenfalls hat er gute Seiten. Aber er ist so’n halber Pole, kein rechter Verlaß, eigentlich in nichts, am wenigsten mit Frauen. Nyaris di lawannya, pokoknya ia punya sisi yang baik. Tapi ia adalah separuh laki-laki Polandia, tak bisa di Ia Baron mencium tangan Effi. »Tidak, Effi. Setelah tengah malam Kaisar bisa juga meminta dengan sangat bukan secangkir teh lagi, dan kamu tau, aku suka orang-orang tidak lagi mengambil tuntutan sebagai hal yang penting. Tidak, aku tidak ingin, saat memandangmu dan aku bahagia, bahwa aku memilikimu. .... Fontane, Effi Briest, 2008: 180 »Es steht so, daß ich unendlich unglücklich bin; ich bin gekränkt, schändlich hintergangen, aber trotzdem, ich bin ohne jedes Gefühl von Haß oder gar von Durst nach Rache. Und wenn ich mich frage, warum nicht, so kann ich zunächst nichts anderes finden als die Jahre. Man spricht immer von unsühnbarer Schuld; vor Gott ist es gewiß falsch, aber vor den Menschen auch. Ich hätte nie geglaubt, daß die Zeit, rein als Zeit, so wirken könne. Und dann als zweites: Ich liebe meine Frau, ja, seltsam zu sagen, ich liebe sie noch, und so furchtbar ich alles finde, was geschehen, ich bin so sehr im Bann ihrer Liebenswürdigkeit, eines ihr eigenen heiteren Scharmes, daß ich mich, mir selbst zum Trotz, in meinem letzten Herzenswinkel zum Verzeihen geneigt fühle.« »Keadaannya begini, bahwa aku pada akhirnya tidak akan pernah bahagia; aku tersakiti, tertipu secara memalukan dan akan tetap melakukannya walaupun tanpa rasa benci atau bahkan haus akan dendam. Dan ketika aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa tidak, pertama-tama aku tidak bisa menemukan hal lain kecuali masalah tahun. Orang selalu berkata tentang dosa yang tak termaafkan; di hadapan Tuhan jelas ini salah, tapi di hadapan manusia juga. Aku tidak percaya waktu, dapat begitu mempengaruhi. Dan kemudian yang kedua: aku mencintai istriku, ya, aneh untuk dikatakan, aku masih mencintainya, dan semua yang terjadi menurutku begitu mengerikan, aku begitu terpikat oleh keramah-tamahannya, salah satu dari pesona hangatnya, sehingga aku sendiri bersikeras dari sudut hati terdalam untuk cenderung memaafkannya. « Fontane, Effi Briest, 2008: 289-290