HUKUM HIBAH

C. HUKUM HIBAH

1. Pengertian Hibah

Secara etimologis, kata hibah merupakan bentuk mashdar dari kata wahaba yang berarti pemberian. Dalam Fiqh as-Sunnah, Sayyid Sabiq 74 menjelaskan bahwa kata hibah berasal dari hubbub ar-rih yang berarti berlalunya angin. Selanjutnya, Sabiq mengatakan bahwa hibah merupakan pemberian secara sukarela dan memberikan kelebihan

72 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:422. 73 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:423. 74 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:388.

96 Seri Studi Islam 96 Seri Studi Islam

Akad hibah berbeda dengan akan peminjaman (I’arah), sebab dalam akad peminjaman seseorang diperbolehkan untuk memanfaatkan harta orang lain tetapi tidak memilikinya. Hibah juga berbeda dengan wasiat, sebab dalam wasiat pemindahan hak dilakukan setelah meninggal dunia. Hibah berbeda dengan akad jual beli (aqd al-bai), sebab dalam akad jual beli pemindahan hak dilakukan dengan adanya ganti atau imbalan.

Pengertian hibah secara lebih luas dapat meliputi al-ibra’, sedekah, dan hadiah. Al-Ibra’ (pembebasan) adalah membebaskan hutang dari orang yang memiliki kewajiban menunaikannya. Membebaskan hutang (al-ibra) mengandung arti memberikan atau menghibahkan jumlah hutangnya kepada orang yang berhutang.

Dalam sedekah juga terdapat makna hibah sebab sedekah berarti memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tanpa ada imbalan. Namun dalam sedekah, terdapat unsur niat yang hanya dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah. Sedangkan dalam hadiah, pemindahan hak milik dilakukan karena ada sesuatu sebagai ganti yang dilakukan oleh orang yang menerimanya. 76

2. Dalil Disyariatkannya Hibah

Hibah disyariatkan untuk meningkatkan rasa kasih sayang dan saling pengertian antar sesama manusia. Karena hibah mengandung arti yang berdekatan dengan hadiah, maka dalil-dalil yang menjelaskan tentang hadiah dapat digunakan sebagai dalil disyariatkannya hibah. Alasannya, jika hadiah yang merupakan pemberian karena ada sesuatu dari orang yang diberi saja disyariatkan, maka pemberian yang tidak ada imbalan apapun lebih berhak mendapatkan legalitas. Di dalam hadis Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya akan saling

75 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:388. 76 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:388.

Seri Studi Islam 97 Seri Studi Islam 97

seseorang dan mendoakan agar orang tersebut mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah. Disebutkan dalam hadis Ahmad, bahwa Nabi SAW bersabda,

“Barang siapa diberi kebaikan oleh saudaranya, dengan tanpa berharap atau meminta, hendaklah ia menerimanya, dan jangan menolaknya. Sebab hal itu merupakan rizki yang Allah berikan kepadanya”.

Nabi SAW senantiasa mendorong kepada orang yang diberi hadiah agar menerimanya, meskipun yang diberikan itu tidak memiliki nilai yang besar. Sabiq 78 menjelaskan bahwa para ulama membenci perbuatan menolak hadiah selama tidak ada alasan yang dibolehkan secara syari. Sabiq lebih lanjut menyatakan bahwa Nabi SAW pernah menerima hadiah dari orang-orang kafir, seperti Raja Kisra (Persia) dan Kaisar Romawi.. Sebaliknya, Nabi SAW juga pernah memberikan hadiah dan hibah kepada orang-orang non muslim.

3. Rukun Hibah

Dalam mazhab Hanafi, rukun hibah adalah keluarnya ijab dari pemberi hadiah. Mereka beralasan bahwa Nabi SAW dan para sahabat pernah memberi dan diberi dengan tanpa ada syarat apapun, termasuk ungkapan qabul (penerimaan) dari orang yang diberi hadiah. 79

Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun hadiah ada empat, yaitu:

a. Wahib (pemberi hadiah)

b. Mauhub lahu (penerima hadiah)

c. Mauhub (barang yang dihadiahkan)

d. Shighat (ijab dan qabul).

77 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:389. 78 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:389. 79 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:390.

98 Seri Studi Islam

4. Syarat-syarat Hibah

a. Syarat-syarat yang Berlaku pada Shighat (Ijab dan Qabul)

Dalam shighat hibah, tidak dibenarkan apabila digantungkan kepada sesuatu yang belum nyata terjadi

b. Syarat-syarat bagi Wahib (Orang yang Memberi Hibah)

1) Barang yang dihibahkan adalah milik wahib sehingga tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.

2) Wahib bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan

3) Wahib merupakan orang yang sudah baligh dan berakal.

4) Wahib tidak dipaksa untuk memberikan hibah.

c. Syarat-syarat Mauhub Lahu (Penerima Hibah) Sayyid Sabiq 80 menjelaskan bahwa penerima hibah disyaratkan

harus benar-benar ada pada saat terjadinya akad hibah. Jika penerima hibah tidak ada pada saat akad ataupun ada tapi tidak secara hakiki, seperti janin yang masih dalam kandungan, maka hibah tidak sah. Apabila penerima hibah memang ada, maka tidak disyaratkan apakah dia masih anak-anak, atau dalam keadaan tidak normal akalnya, atau sebab-sebab lainnya, hibah tetap sah, hanya saja penerimaan hibah dilakukan oleh orang yang menjadi walinya.

d. Syarat-syarat Benda yang Dihibahkan

Sayyid Sabiq 81 menjelaskan syarat-syarat barang yang dihibahkan sebagai berikut:

1) Benda tersebut disyaratkan harus benar-benar ada

2) Benda tersebut merupakan benda yang mempunyai nilai.

3) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya dan dapat berpindah tangan.

4) Benda yang dihibahkan dapat dipisahkan dan tidak terikat secara permanen dengan harta wahib, seperti menhibahkan bangunan tapi tidak tanahnya. Karena yang demikian itu, tidak dapat diserahterimakan.

80 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:390) 81 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 3:391)

Seri Studi Islam 99

100 Seri Studi Islam