PARADIGMA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

C. PARADIGMA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

Secara sederhana, paradigma dimaknai sebagai cara pandang. Sehingga paradigma mirip jenis kaca mata yang digunakan manusia, hanya saja paradigma bukan kaca mata fisik, tetapi kaca mata batin, persepsi, dan akal. Paradigma sangat menentukan apa yang menjadi keyakinan manusia yang pada akhirnya menentukan prilaku mereka. Sementara secara istilah, paradigma diartikan sebagai asumsi-asumsi dasar (basic asumption) yang dimiliki oleh seorang intelectual sebagai

dasar pemahaman terhadap realitas. 15 Sedangkan Jalaluddin Rahmat, mengartikan paradigma sebagai “a constellation of beliefs, values, and technicques shared by the members of a given scientific community” (kumpulan keyakinan, nilai, dan aturan perilaku yang dianut oleh

kelompok tertentu). 16 Dan menurut Thomas Kuhn, paradigma tidak saja bersifat kognitif, tetapi juga normative. Artinya paradigma tidak hanya sekedar persepsi batin, pemikiran, dan cara pandang manusia,

15 Masyhuri Imron, “Paradigma sosial dalam Persepsi Durkheim dan Max Weber,” Journal Ilmu dan Budaya, No. 2, th. X, November 1987, hlm. 85. 16 Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlaq di atas Fiqih, Bandung: Penerbit Mizan & Muthahhari Press, 2007: 36-38.

212 Seri Studi Islam 212 Seri Studi Islam

Dalam pemikiran politik Islam, menurut kajian Prof. Din Syamsuddin, paling tidak terdapat tiga paradigma tentang hubungan Islam dan negara yang berkembang di kalangan kaum intelektual Muslim atau ulama. Ketiga paradigma tersebut antara lain, yaitu

integralistik, simbiotik, dan sekularistik. 17

1. Paradigma integralisrik

Paradigma ini berpandangan tentang kebersatuan antara Islam dan Negara (integral). Dengan kata lain, Agama dan Negara, dalam pandangan ini tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga meliputi politik atau Negara. Untuk itu, pemerintahan negara harus diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (divine soveragnity),

karena hal ini merupakan amanah agama. 18 Islam tanpa Negara tidak akan tegak, dan hokum-hukumnya tidak akan dapat direalisasikan, karena Negara merupakan instrument penting untuk tegaknya tatanan Islam. Demikian juga, suatu negara dimana masyarakat Muslim bernaung dibawahnya, kalau Negara tidak menggunakan hokum agama (Islam) sebagai rujukan di dalam menata dan mengurus kaum muslimin, maka negara akan rusak dan salah arah dalam mengurus kaum muslimin. Untuk itulah, paradigma ini memandang bahwa pendirian Negara merupakan kewajiban syar’i yang harus dilaksanakan, karena sebagai intrumen tegaknya agama. Negara semacam ini menurut al-Maududi disebut sebagai teo-demokrasi, karena konstitusi negara harus berdasarkan syariah, dan adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara. 19

Dalam konteks modern, paradigma integralistik dianut oleh beberapa negara Islam modern. Negara tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa konstitusi negara tersebut adalah Islam, atau berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Contoh nyata aplikasi

17 M. Din Syamsuddin, “usaha Pencarian Konsep negara dalam Sejarah politik Islam”, Ulumul Qur’an, No.2, Vol.IV, Th, 1993, hlm. 5 18 M. Din Syamsuddin, “usaha Pencarian Konsep negara dalam Sejarah politik Islam”, Ulumul Qur’an, No.2, Vol.IV, Th, 1993, hlm. 5. Lihat juga Agus Miswanto, Negara Dalam Islam: Studi Pemikiran Kenegaraan Syaikh Mahmud Syaltut , Yogyakarta: Faklutas Syariah IAIN sunan Kalijaga, 1999), hlm. 18.

19 Abul A’la al-maududi, “political Theory of Islam”, dalam Khursid Ahmed (ed.), Islamic Law and Constitution, (lahore: Islamic Publication Ltd, 1975) hlm. 243.

Seri Studi Islam 213 Seri Studi Islam 213

2. Paradigma simbiotik

Paradigma ini memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik saling memerlukan. Walaupun paradigma ini memandang bahwa negara adalah bukan agama dan agama bukan negara, tetapi paradigma ini berpandangan bahwa untuk bisa tegaknya negara yang baik diperlukan prinsip-prinsip moral yang baik, dimana prinsip-prinsip tersebut hanya ada dalam ajaran agama. Pengelola negara untuk dapat mengelola negara dengan baik sangat bergantung dengan moralitas yang menjadi pijakan dan keyakinan mereka. Untuk itulah agama memainkan peran penting bagi terciptanya tatanan negara yang baik, walaupun agama (Islam) tersebut tidak menjadi rujukan dan tidak dilembagakan secara resmi bagi konstitusi negara.

Gagasan simbiosa agama dan negara ini dapat ditemukan dalam beberapa karya pemikir islam klasik. Al-Mawardi dan al-Ghzali merupakan dua tokoh terkenal dengan gagasan simbiosa tersebut. Dalam karyanya, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur

dunia. 20 Sementara itu, al-ghazali, dalam karyanya Ihya’ ‘Ulum ad-Din, menjelaskan bahwa hubungan agama dan negara merupakan saudara kembar, artinya sangat dekat dan saling bergantung. Agama adalah dasar sementara sulthan (kekuasaan politik) adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan suatu dasar tanpa penjaga

akan hilang. 21 Implementasi paradigma simbiotik ini, dapat dilihat dari beberapa negara Muslim yang tidak mendasarkan secara resmi konstitusinya pada (agama) Islam atau Al-Qur’an dan Sunnah. Contoh kongkrit negara-negara Muslim yang menerapkan paradigma simbiotik ini adalah negara Indonesia, Malaysia, dan Mesir. Negara-negara tersebut

20 Abu al-hasan al-mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, (bairut: dar-alfikr,tt), hlm.5. 21 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, (Bairut: dar al-Fikr, 1995), I: 31.

214 Seri Studi Islam 214 Seri Studi Islam

3. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Negara berdiri harus terlepas dari pengaruh agama sama sekali, demikian juga sebaliknya agama juga harus terlepas dengan negara sama sekali. Agama dalam paradigma ini hanya sebatas urusan individual bukan menjadi urusan publik (negara), Islam tidak menyinggung tentang pendirian suatu Negara, baik itu dalam al-Qur’an maupun hadits. Islam lebih banyak menyinggung tentang persoalan moral yang bersifat umum. Untuk itulah, posisi Islam dan Negara sangat jelas, yaitu bahwa Islam diturunkan oleh Allah dalam rangka untuk memperbaiki moralitas masyarakat manusia yang

bersifat umum apakah mereka itu memiliki Negara ataukah tidak. 22 Paradigma sekularistik ini diintrodusir oleh para pemikir Islam pada awal abad ke-20, yang mendapatkan pengaruh dari pemikiran politik Barat modern. Para pemikir ini diantaranya adalah Ali

Abdurraziq, 23 Thaha Husain, Kemal Attaturk, dan Ziya Gokalb. Pemikiran mereka ini menjadi kontroversial di dunia Islam, tidak sedikit yang mengecam mereka, dan sebaliknya banyak pula yang menyanjung pemikiran mereka. Dan pilar-pilar pemikiran mereka banyak menjadi landasan bagi berdirinya negara Muslim modern saat ini. Contoh kongkrit dari impelentasi paradigma sekularistik ini adalah Negara Turki modern. Dan keberhasilan Turki dalam melakukan pemisahan antara agama dan negara, memperkokoh keyakinan sebagian intelektual muslim terhadap paradigma tersebut. Ahmed Abdullah An-na’im dalam bukunya Islam dan negara sekular merepresentasikan salah seorang contoh yang sangat yakin dengan paradigma sekularisme bagi masyarakat muslim.

22 Abdullah Ahmed An-Naim, Islam Dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Bandung: MIZAN, 2007. 23 Ali Abd Ar-Raziq menolak keras pendapat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mendirikan negara Islam di Madinah. Menurutnya, nabi Muhammad adalah semata-mata utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik. Lihat Ali Abd ar-raziq, Al-islam wa Ushul al-hukm, (Bairut: TP, 1966), hlm. 42.

Seri Studi Islam 215