KARAKTERISTIK ZAKAT

H. KARAKTERISTIK ZAKAT

Di tengah problematika kemiskinan umat dan ekonomi bangsa sekarang ini, seharusnya zakat bisa dijadikan instrumen yang bisa menjadi solusi dan sustainable. Zakat sebagai instrumen pembangunan perekonomian dan pengentasan kemiskinan umat, memiliki banyak keunggulan dibandingkan instrumen fiskal konvensional yang kini

62 Seri Studi Islam 62 Seri Studi Islam

Kedua, ia – dalam pandangan Islam – merupakan sebuah hak tetap bagi kaum fakir miskin (dan para mustahiq yang lain) pada harta kaum muslimin yang kaya. Suatu hak yang ditetapkan oleh Pemilik Asli harta siapapun, yakni Allah SWT. Allah-lah pemilik asli setiap harta dan Dia memiliki kebebasan mutlak untuk membagi-bagi harta milik-Nya sesuai kehendak dan ketentuan-Nya. Dan orang-orang kaya yang mendapatkan titipan harta tersebut tentu harus melaksanakan kehendak dan ketentuan tersebut.

Ketiga, syariat Islam yang mewajibkan zakat juga telah menetapkan syarat-syarat, batasan, nishab dan kadar-kadarnya secara jelas dan rinci. Keempat, penunaian kewajiban zakat – dalam konsep Islam - tidak diserahkan kepada kerelaan dan kehendak hati masing- masing individu diantara kaum muslimin yang telah wajib berzakat. Namun sistem pengelolaan – penarikan dan distribusinya – menjadi tugas dan kewenangan pemerintah dan Negara Islam. Oleh karena itu Allah berfirman tentang zakat, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka …” (QS At-Taubah : 103). Jadi zakat itu harus diambil, dan tidak ditunggu saja sampai masing-masing orang menyerahkannya sekehendak dan serela hatinya. Dan sebagian tugas dan kewenangan inilah yang saat ini diemban oleh lembaga-lembaga amil zakat yang ada.

Kelima, diantara kewenangan pemerintah dalam Negara Islam adalah bahwa ia berhak – bahkan mungkin wajib – menjatuhkan sanksi yang sesuai atas orang-orang kaya yang enggan membayar zakat.

53 lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah

Seri Studi Islam 63

Termasuk berhak memerangi kelompok yang memiliki kekuatan yang menolak untuk membayar zakat, sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ra.

Keenam, pada saat pemerintah Islam tidak ada, kewajiban berzakat ini tetap berlaku dan tidak gugur. Sehingga, setiap muslim yang mampu wajib tetap membayar zakat baik secara pribadi maupun secara kolektif – dan ini lebih baik – melalui pengelolaan lembaga- lembaga amil zakat yang amanah dan professional.

Ketujuh, sistem dan sasaran distribusi zakat juga telah ditetapkan langsung oleh Allah. 54 Jadi, para pengelola zakat, termasuk para penguasa dalam pemerintahan Islam sekalipun, tidak boleh mendistribusikannya sesuai kehendak mereka saja.

Kedelapan, zakat yang diserahkan kepada para mustahiq, fakir miskin misalnya, tidaklah sekedar untuk menutup kebutuhan mereka sementara waktu saja. Namun mereka itu berhak diberi harta zakat, sampai mereka benar-benar berkecukupan, sehingga dengan begitu kemiskinan bisa terhapuskan.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Hafiduddin (2009) menjelaskan mengenai karakteristik zakat. Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat. 55 Zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan (ashnaf), yaitu: orang-orang fakir, miskin, amil, mualaf, budak, orang-orang yang berutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepakat bahwa selain 8 golongan yang telah disebutkan tadi tidak halal menerima zakat. Dan, tidak ada satu pihak pun yang berhak mengganti atau mengubah ketentuan ini.

Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro- poor. Tak ada satu pun instrumen fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik seperti ini. Karena itu, zakat akan lebih efektif dalam mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran. Dan, instrumen yang langsung berkaitan dengan kebutuhan bagi fakir miskin hanyalah zakat.

Kedua, ashnaf delapan mustahik zakat tersebut di atas selalu dalam bentuk jama’ (plural). Ini mengisyaratkan bahwa zakat itu harus dirasakan manfaatnya oleh sebanyak-banyak mustahik yang ada, misalnya sebanyak-banyak fakir miskin yang ada di suatu daerah.

54 (lihat QS A-Taubah : 60). 55 (QS Attaubah [9]: 60).

64 Seri Studi Islam

Ketiga, zakat memiliki persentase yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam syari’at. Sebagai contoh, zakat yang diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarifnya hanya 2,5 persen. Ketentuan tarif zakat ini tidak boleh diganti atau diubah oleh siapa pun. Karena itu, penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif investasi, tetapi akan menciptakan transparansi kebijakan publik serta memberikan kepastian usaha.

Keempat, zakat memiliki persentase berbeda dan mengizinkan keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi lebih tinggi. Sebagai contoh, zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan irigasi tarifnya adalah 5 persen, sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tarifnya 10 persen. Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly, sehingga tidak akan mengganggu iklim usaha.

Kelima, zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang diambil dari perut bumi. Fikih kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari aset atau keahlian pekerja. Dengan demikian, potensi zakat sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-

program pengentasan kemiskinan. 56

Sayyid Quthub (w 1965 M) dalam tafsirnya, Fi Dzilali al-Qur’an, ketika menafsirkan firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 267 menyatakan bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas bumi, antara lain hasil-hasil pertanian maupun hasil pertambangan, seperti minyak. Karena itu, nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat pada zaman Rasulullah SAW maupun zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunnah Rasulullah SAW, baik yang sudah diketahui secara langsung maupun yang di- qiyas -kan kepadanya. Al-Qurthubi (w 671 H) dalam Tafsir al-Jaami’ li Ahkam al-Qur’an menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata hak yang pasti pada Alquran surat

56 lihat QS Albaqarah [2]: 267 dan QS Adz-dzariyat [51]: 19

Seri Studi Islam 65

Adz-Dzariyat ayat 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, harus dikeluarkan zakatnya.

Sementara itu, para peserta Muktamar Internasional pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H/bertepatan dengan tanggal

30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nisab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Dalam Pasal 11 ayat (2) Bab IV Undang-Undang No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: a) emas, perak, dan uang; b) perdagangan dan perusahaan; c) hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;

d) hasil pertambangan; e) hasil peternakan; f) hasil pendapatan dan jasa; dan g) rikaz. Komisi Fatwa MUI dalam sidangnya di Padang Panjang (27-29 Muharram 1430 H/24-26 Januari 2009 yang lalu), telah menetapkan fatwa bahwa perusahaan adalah termasuk salah satu objek zakat. Keenam, zakat di samping berkaitan dengan harta, juga berkaitan dengan rohani dan spiritual. Muzaki yang sudah berzakat biasanya akan terus berzakat karena kenikmatan rohani yang dirasakannya. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Melihat karakteristik zakat yang begitu brilian, sesungguhnya modalitas umat Islam untuk mengentaskan kemiskinan cukup memadai. Tinggal bagaimana upaya managemen yang dilakukan untuk mengelola potensi tersebut secara profesional dan fungsional.