PERSOALAN-PERSOALAN POLITIK ISLAM KONTEMPORER
G. PERSOALAN-PERSOALAN POLITIK ISLAM KONTEMPORER
1. Kepemimpinan Wanita
Persoalan kepemimpinan wanita, masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama Islam hingga saat ini. Para ulama terbelah ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) kelompok fundamentalis-leteralis, (2) kelompok tradisional, dan (3) kelompok modernis-kontekstual.
1) Wanita Tidak Memiliki Hak Dalam Kekuasaan Politik
Pandangan ini pada umunya dianut oleh kaum fundamentalis dan literalis. Mereka menggunakan nash-nash baik al-Qur’an maupun as- Sunnah dengan pemahaman yang bersifat literalis, bukan kontekstual, sehinga mereka berkesimpulan kaum wanita tidak memiliki otoritas kepemimpinan. Berikut ini alasan-alasan mereka:
39 Prof. H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah, hlm. 166-168. Lihat juga QS Albaqarah: 143. 40 Prof. H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah, hlm. 168-170. Lihat QS al-hujurat: 9. 41 Prof. H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah, hlm. 160-163.
230 Seri Studi Islam
1) Kepemimpinan wanita akan menimbulkan kerugian. 42
2) Laki-laki sudah ditetapkan sebagai pemimpin wanita. 43
3) Tidak ada Nabi dan Rasul wanita. Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya.
4) Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan pendapat Imam Hanafi, Syafi’I, Hambali dan Ja’fari/ Imammiah).
5) Wanita ketika sholat berjama’ah menduduki shaf paling belakang. 44
6) Wanita kurang akal dan agama. 45
7) Wanita tidak dapat menikahkan dirinya, tetapi harus dengan wali. 46
8) Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui. 47
9) Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan. 48
42 Hal ini di dasarkan pada suatu riwayat yang berasal dari Abu Bakrah: “Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita َ َ ”. ” (HR. Bukhari no. 4425)
» ًة أَرْما ُمُهَرْم أ اْوَّلَو ٌمْوَق َحِلْفُي ْن َل « َلاَق ىَ ْسِك َتْنِب ْمِهْيَلَع اوُكَّلَم ْدَق َسِراَف َلْهَأ َّنَأ – ملسو هيلع للا لص – َِّللا َلوُسَر َغَلَب اَّمَل 43 QS an-Nisa’[4]: 4.
44 Hal ini di dasarkan pada suatu riwayat, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan َ .” (HR. Muslim no. 440) اَهُلَّو أ اَهُّ َشرَو اَهُرِخآ ِءا َسِّنلا ِفوُف ُص ُ ْيَخَو اَهُرِخآ اَهُّ َشرَو اَه ُلَّوَأ ِلاَجِّرلا ِفوُفُص ُ ْيَخ
45 Hal ini didasarkan pada suatu riwayat, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
َّنُكاَدْحِإ ْنِم ِمِزاَْلا ِلُجَّرلا ِّبُلِل َبَهْذ أ ٍنيِدَو ٍل ْقَع ِتا َصِقاَن ْنِم ُتْيَأَر اَم 46 Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101 dan Ibnu Majah no. 1880. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).
ٍّ ِلَوِب َّلاِإ َحاَكِن َلا 47 Allah Ta’ala berfirman:“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(QS. Ath Tholaq : 4)
48 Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Nasehatilah wanita untuk berbuat baik karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk.Bagian yang paling bengkok dari
Seri Studi Islam 231
10) Wanita mudah putus asa dan tidak sabar. Contoh kongkrit menurut pendapat ini, adalah pada saat kematian dan datangnya musibah, para wanita sering melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui batas seperti menampar pipi, memecah barang- barang, dan membanting badan. Padahal seorang pemimpin dituntut memiliki sifat sabar dan tabah.
2) Wanita Memiliki Hak Terbatas dalam Kekuasaan politik
Pandangan ini merupakan pandangan umum ulama islam klasik. Menurut mereka, perempuan bisa menduduki semua jabatan politik, kecuali kepemimpinan agung (imamatul ‘udhma). Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa. 49
a. Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i Mereka berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi
pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas- jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
b. Abu Hanifah Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam
urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan. 50
tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka nasihatilah dia .” (HR. Bukhari no. 5184)
49 Dr. Yusuf Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, alih bahasa Abdus Salam Syakur,Lc., (Solo: Citra Islami press, 1997), hlm.329. 50 Dr. Yusuf Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam .., hlm. 329.
232 Seri Studi Islam 232 Seri Studi Islam
permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan. “Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”. Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, laki-laki atau perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al- imamah al-kubra).
3) Wanita Memilik hak yang sama dengan Kaum laki-laki dalam
masalah kekuasaan politik.
Pandangan ini banyak dikemukakan oleh para ahli kontemporer, dan sekaligus membantah pandangan kaum fundamentalis yang menolak sama sekali kepemimpinan wanita, dan pandangan kaum tradisionalis yang melihat perempuan memiliki hak terbatas dalam masalah politik. Menurut mereka pembacaan yang bersifat literalis- tektual terhadap nash baik al-qur’an dan as-sunnah, sudah tidak sejalan dengan semangat wahyu dan realitas kontemporer. Yang perlu dikembangkan adalah pembacaan kontekstual, sehingga penafsiran misogenis terhadap perempuan ditinggalkan. Pandangan tersebut banyak didukung oleh para ulama-ulama Muslim dan aktivis feminis Muslim yang sangat peka terhadap isu gender dan persamaan hak antara wanita dan pria. Mereka ini misalnya Fatima Mernisi dari Maroco, Qosim Amin dari Mesir, Amina Wadud, KH. Husein Muhammad, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Dr. Ruhaini Dzuhayatin, Budhy Munawar Rahman,dan lain-lain.
Menurut paradigma ini, bahwa kepatuhan kepada Allah Swt, antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Secara substantif, Allah memberi beban yang sama antara kaum lelaki dan perempuan. Dengan kata lain, setiap lelaki dan perempuan sama- sama memiliki kewajiban patuh kepada Allah. Konsekuensi dari sistem ilahi ini adalah bahwa masing-masing lelaki dan perempuan
Seri Studi Islam 233 Seri Studi Islam 233
ekonomi, (5) Hak berpolitik, dan (6) Hak-hak sosial. 51 Islam meletakan kemuliaan laki-laki dan perempuan atas dasar realitas kemanusiaan, yaitu bahwa kaum lelaki dan perempuan setara. Kesetaran kemuliaan ini terjadi manakala dibingkai oleh ketakwaan dan amal saleh. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan saling berbagi tugas dan pekerjaan yang seimbang dalam hal resiko dan kepentingannya, dalam rangka menegakkan kehidupan dan
memeliharanya. 52
2. Oposisi Dalam Islam
1) Pengertian dan Fungsi Oposisi
Oposisi berasal dari bahasa Inggris opposition dan bahasa Latin, oppositus, opponere, yang bermakna memperhadapkan, membantah,
menyanggah, dan menentang. Di dalam Islam, istilah oposisi dikenal dengan istilah “mu’aradhoh” yang berarti berhadap-hadapan, mencegah, berbeda, menjauhi, membatalkan dengan perkataan, dan persaingan. Sementara itu, dalam kehidupan politik, bila ada dua pihak yang berlawanan, maka biasanya terjadi antara pihak yang berkuasa dan pihak yang tidak berkuasa. Pihak yang kedua inilah, yang tidak memegang kekuasan, disebut dengan kelompok oposisi. Dalam bahasa politik definisi oposisi adalah partai yang memiliki kebijakan atau pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakan
kelompok yang menjalankan pemerintahan. 53
Dalam wacana politik Islam, oposisi (mu’aradhah) di tinjau dari dua aspek yaitu doktrin kultural dan institusi struktural. Pada doktrin
51 Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) 52 Surwandono, Pemikiran Politik Islam, Yogyakarta: LPPI, 2001) hlm. 27. 53 Dalam demokrasi, oposisi dianggap sesuatu yang sangat diperlukan, sehingga oposisi dalam parlemen melembaga secara resmi. Sebab oposisi menjalankan suatu fungsi yang sangat vital dan penting yaitu check and balances, mengontrol pemerintah yang didukung mayoritas, menguji kebijakan pemerintah dengan menunjukkan titik-titik kelemahannya, mengajukan alternatif. Pengalaman historis menurut sejarawan Inggris, Lord Action membuktikan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan bersikap otoriter dan menyalahgunakannya. Oleh karenanya perlu dibatasi dengan hokum, pembatasan kekuasaan, dan kontrol oleh oposisi.
234 Seri Studi Islam 234 Seri Studi Islam
(nasihat menasihati dan mencegah kemunkaran). 54 Adapun dasar- dasar semangat itu dapat dikutip melaui Al-Qur’an dan Al-Hadist. Allah SWT Berfirman:”Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. (QS.Al-Maidah: 79).
2) Prinsip-prinsip Oposisi dalam Islam
Oposisi merupakan kewajiban moral bagi setiap orang yang beriman. Tawashou bilhaqqi tawashou bisshobri, saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran adalah sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan iman dan amal sholeh (QS. Al-Asr [103]:
3), serta semangat amar ma’ruf nahi mungkar. 55 Rasulullah SAW bersabda: “Kalian benar-benar serius melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah benar-benar akan kuasakan orang-orang jahat atas kalian, lalu orang-orang terbaik kalian berdo’a (istighotsah) dan tidak akan dikabulkan.” (HR.Tirmidzi, Tabrani, Bazzar)
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang menghadapi penguasa lalim dengan memerintahkan kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, lalu penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim)
“Menyatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim merupakan jihad yang paling utama.” (HR. Ibnu Majah). Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf dan nahi mungkar, di samping etika perbedaan mendapat (adabul Ikhtilaf). Karena, tujuan oposisi adalah meluruskan, memberikan hasil positif, dan memperbaiki bukan
54 Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi, Dan Masyarakat Madani, (Bandung: Mizan, 1999). 55 Oposisi menurut Islam berorientasi kepada kepentingan umat, mengutamakan penumpasan
kemungkaran dan mendidik umat untuk berterus terang, jujur, dan berprinsip. Kaedah fiqhiah mengatakan, Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, menolak kerusakan lebih diutamakan ketimbang keinginan mendapatkan kemaslahatan. Karena kerusakan itu jelas dampaknya, sedangkan kemaslahatan baru dalam bentuk cita-cita. Dalam implemnetasinya, para sahabat bersama Rasulullah Saw dan generasi salaf sangat komit dengan doktrin oposisi yang dijiwai semangat amar ma’ruf nahi munkar ini, dan hal itu bukan menjadi hal yang tabu serta asing bagi budaya sosial politik mereka.
Seri Studi Islam 235 Seri Studi Islam 235
1. Ikhlas karena Allah serta demi kemaslahatan umat dan bangsa bukan karena nafsu.
2. Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai maupun golongan.
3. Berprasangka baik dan positif thinking terhadap orang lain.
4. Tidak menyakiti dan mencela.
5. Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi logis.
6. Dialog dengan cara sebaik-baiknya. 56
7. Bersikap adil dalam menilai dan bersikap.
8. Memperhatikan skala prioritas (strata bobot penting masalah) masalah dan memakai fiqh muwazanah (Pertimbangan masak sisi maslahat dan madharat).
9. Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan.
10. Arif, dewasa dan bijaksana serta mampu mengontrol emosi (QS. An-Nahl:125)
Bahwa dengan kehadiran oposisi masalah accountability (pertanggungjawaban) akan lebih diperhatikan pemerintah. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijaksanaan diambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, dan dengan cara bagaimana kebijaksanaan itu akan diterapkan.
3. Demokrasi Dalam Islam
Demokrasi, secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos bermakna rakyat, sementara kratos berarti
pemerintahan. Sehingga demokrasi sering dimaknai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berangkat dari paradigma tersebut, kemudian demokrasi menjadi wacana umum yang diperdebatkan di dunia Islam. Pro dan kontra tak terhindarkan, bahkan hingga saat ini masih ada yang mempersoalkan demokrasi walaupun secara praktis conditio sine quo non, konsep tersebut sudah
banyak diadopsi oleh masyarakat muslim. 57
56 Dr. Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim: Memahami Perbedaan yang dibolehkan dan Perpecahan yang dilarang, Alih bahasa Aunur Rafiq S.T, Lc. (Jakarta: Robbani Press, 2007), hlm. 211-286.
57 John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim: Problem Dan
236 Seri Studi Islam
1) Penentang Demokrasi Barat
a) Al-Maududi Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
b) Mohammad Iqbal Menurutnya, demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Karenanya, Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan Lalu, beliau menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
1. Tauhid sebagai landasan asasi.
2. Kepatuhan pada hukum.
3. Toleransi sesama warga.
4. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
5. Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
c) Muhammad Imarah Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan merupakan wewenang Allah. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Allah befirman “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (Al-A’râf: 54).
2) Pendukung Demokrasi
1) Yusuf al-Qardhawi Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal
Prospek, alih bahasa Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999). Lihat juga, John L. Esposito, Islam dan Politik, alih bahasa HM Joesoef Sou’yb, (Jakarta: Bulan Bintang,1990).
Seri Studi Islam 237 Seri Studi Islam 237
a. Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
b. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tirani juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
c. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
d. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
e. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 58
2) Salim Ali al-Bahnasawi Menurutnya, sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
a. Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
b. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugasnya
c. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
d. Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yangbermoral yang duduk di parlemen.
Inilah ketentuan dalam Islam mengenai demokrasi persepektif
58 Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: bantahan Tuntas terhadap Sekularisme dan Liberalisme, alih bahasa Khairul Amru harahap, (Jakarta: pustaka al-Kaustsar,
2008), hlm 186-194.
238 Seri Studi Islam 238 Seri Studi Islam
Seri Studi Islam 239
240 Seri Studi Islam