Unsur-Unsur Pengajian Kajian Teori tentang Pengajian 1. Pengertian Pengajian

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” b. Mad’u Dalam melaksanakan pengajian selain terdapat dai ada juga yang dinamakan mad’u. Mad’u adalah manusia yang menjadi mitra pengajian atau menjadi sasaran dakwah, baik secara individu, kelompok, baik yang beragama Islam maupun tidak, dengan kata lain manusia secara keseluruhan. 32 c. Materi Pengajian Materi pengajian adalah isi pesan yang disampaikan dai kepada mad’u. pada dasarnya pesan pengajian itu adalah ajaran Islam itu sendiri. Materi yang akan diberikan oleh seorang dai akan memperlihatkan keilmuan yang dimilikinya. Materi yang diberikan juga harus sesuai dengan keadaan mad’u. Hal terpenting dalam pemberian materi atau pesan pengajian adalah tidak boleh menyimpang dari al-Qur’an dan Hadis. Namun, secara umum materi atau pesan pengajian dapat dikelompokkan menjadi: 33 1 Pesan Akidah, adalah bersifat i’tiqad bathiniyah yang mencangkup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman, meliputi Iman kepada Allah SWT. Iman kepada Malaikat-Nya, Iman kepada kitab- kitab-Nya, Iman kepada rasul-rasul-Nya, Iman kepada hari akhir, Iman kepada Qadha-Qadhar. 2 Pesan Syariah, adalah hubungan erat dengan amal lahir dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah guna mengatur hubunagn 32 Ibid, h. 20. 33 Ibid. manusia dengan Tuhannya dan mengatur pergaulan hidup antara sesame manusia, meliputi ibadah thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji serta mu’amalah. - Hukum perdata meliputi: hukum niaga, hukum nikah, dan hukum waris. - Hukum public meliputi: hukum pidana, hukum Negara, hukum perang dan damai. 3 Pesan Akhlak adalah masalah akhlak dalam aktivitas dakwah sebagai materi dakwah merupakan pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman seseorang, meliputi: akhlak terhadap Allah SWT, akhlak terhadap mahkluk yang meliputi; akhlak terhadap manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat lainnya, akhlak terhadap bukan manusia, flora, fauna, dan sebagainya. d. Media Pengajian Istilah media jika dilihat dari asal katanya atau secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu “media”, yang berarti alat perantara. Maksud dari alat perantara adalah adalah alat yang dipakai untuk menyampaikan ajaran Islam. Hamzah Ya’qub membagi media pengajian itu menjadi lima: 34 1 Lisan, ini adalah media pengajian yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara. Media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluh, dan sebaginya. 2 Tulisan, meliputi: buku majalah, surat kabar; korespondensi surat, e-mail, sms, spanduk dan lain-lain. 34 Ibid, h. 21. 3 Lukisan, meliputi: gambar; karikatur dan sebagainya. 4 Audio Visual, yaitu alat dakwah yang dapat merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-keduanya, bisa berbentuk televise, slide, ohp, internet, dan sebagainya. 5 Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam, yang dapat dinikmati dan didengarkan oleh mad’u. e. Efek Pengajian Efek dalam ilmu komunikasi biasa disebut dengan feedback atau umpan balik adalah umpan balik dari reaksi proses pengajian. Dalam bahasa sederhananya adalah reaksi pengajian yang ditimbulkan oleh aksi pengajian. 35 Menurut Jalaluddin Rahmat efek dapat terjadi pada tataran yaitu: 36 1 Efek kognitif, yaitu terjadi jika ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dan dipersepsikan oleh khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan, atau informasi. 2 Efek afektif, yaitu timbul jika ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak, yang meliputi segala yang berkaitan dengan emosi, sikap dan nilai. 3 Efek behavioral, yaitu merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasan tindakan berperilaku. f. Metode Pengajian Metode pengajian adalah cara-cara yang dipergunakan dai untuk menyampaikan pesan pengajian atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan 35 Ibid. 36 Rakhmat, Psikologi Komunikasi, h. 218. pengajian. Sementara itu, dalam komunikasi metode lebih dikenal dengan approach, yaitu cara-cara yang digunakan oleh seorang komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Secara terperinci metode pengajian dalam al- Qur’an terdapat dalam Surah al-Nahl16:125 berikut:                           Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Dari ayat tersebut, terlukiskan bahwa ada tiga metode yang menjadi dasar dakwah yaitu; 1 Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan. Namun, menurut Muhammad Natsir dalam bukunya fiqhud da’wah mengatakan bahwa hikmah adalah kemampuan untuk memilih bentuk yang tepat dan menggunakannya secara tepat. 37 37 Muhammad Natsir, Fiqhu Da’wah Surabaya: Yayasan Kesejahteraan Pemuda Islam Surakarta, 1970, h. 16. 2 Mau’idhatul hasanah, adalah berdakwah dengan memberikan nasihat- nasihat atau menyampaikan ajaran Islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati mereka. 3 Mujadalah, adalah berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan cara sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjelekkan yang menjadi mitra dakwah.

D. Kajian Teori tentang Hadis 1. Pengertian Hadis

Kata hadis Arab: hadits secara etimologis berarti “komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian actual.” Penggunaanya dalam bentuk kata sifat atau ajektiva, mengandung arti al-jadid, yaitu: yang baru, lawan dari al-qodim, yang lama. Dengan demikian, pemakaian kata hadis di sini seolah-olah dimaksudkan untuk membedakannya dengan al-Qur’an yang bersifat qodim. 38 Hadis secara terminologis, menurut Ibnu Hajar, berarti: 39 “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.” Definisi di atas masih umum, karena belum dijelaskan batasan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW tersebut. Definisi yang lebih terperinci adalah: 40 38 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001, h. 31. 39 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 36. 40 Mudasir, Ilmu Hadis Bandung: Pustaka Setia, 2005, h. 14. “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat.” Adapun Imam Taqiyyudin ibnu Taimiyyah mengemukakan definisi hadis sebagai berikut: 41 “Seluruh yang diriwayatkan dari Rasul SAW sesudah kenabian beliau, yang terdiri atas perkataan, perbuatan dan ikrar beliau.”

2. Kedudukan Hadis

Kedudukan hadis dari segi statusnya sebagai hukum dan sumber hukum ajaran Islam, menurut jumhur Ulama, adalah menepati posisi kedua setelah al- Qur’an. Berikut akan diuraikan argumen yang dikemukakan para Ulama tentang posisi hadis terhadap al-Qur’an yaitu; pertama, al-Qur’an dengan sifatnya yang qath’i al-wurud keberadaannya yang pasti dan diyakini, baik secara ayat per ayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi daripada Hadis yang statusnya secara hadis per hadis, kecuali yang berstatus Mutawatir, adalah bersifat dzoni al-wurud. Kedua, Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar terhadap al-Qur’an. Ini berarti bahwa yang dijelaskan, yakni al-Qur’an, kedudukannya adalah lebih tinggi daripada penjelasan, yakni Hadis. Ketiga, Sikap para Sahabat yang merujuk kepada al-Qur’an terlebih dahulu apabila mereka bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah, dan jika di dalam al-Qur’an tidak ditemui penjelasannya, barulah mereka merujuk kepada Al- Sunnah yang mereka ketahui, atau menanyakan hadis kepada Sahabat yang lain. 41 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 37. Keempat, Hadis Mu’adz secara tegas menyatakan bahwa kedudukan hadis Nabi SAW berada pada peringkat kedua setelah al-Qur’an. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi nilai hadis, karena keduanya, al-Qur’an dan Hadis, pada hakikatnya sama-sama berasal dari wahyu Allah SWT. 42

3. Fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an

Hadis mempunyai fungsi utama untuk sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an. hal ini dijelaskan di dalam al-Qur’an Surah an-Nahl16: 44 berikut:  :  ;   =       ?    =  A    ;  B   C       D   =  E  F   “Keterangan-keterangan mukjizat dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” Secara garis besar, fungsi hadis terhadap al-Qur’an dapat dibagi tiga, yaitu; Pertama, Sebagai bayan taqrir, yaitu menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hadis datang dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan kandungan ayat al-Qur’an, bahkan persis sama, baik dari segi keumumannya maupun perinciannya. Kedua, sebagai bayan tafsir, yaitu menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dating secara mujmal, ‘am dan muthlaq. 43 Ketiga, sebagai bayan tasyri’, yaitu menjelaskan tentang ketetapan suatu hukum yang tidak ditetapkan dalam al- Qur’an. Keempat, sebagai bayan taqyid, yaitu memberikan batasan atau taqyid terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat muthlaq. 44 42 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 63– 64. 43 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 70–71. 44 Teungku Muhammad Habsy ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, h. 133.