24
6 Menggunjing dan mengumpat ghibah.
7 Dengki hasad.
8 Berbuat kerusakan.
9 Berlebih-lebihan al-israf.
10 Berbuat zalim al-zulm.
11 Berbuat dosa besar al-fawahisy.
77
Beni Ahmad berpendapat bahwa indikator akhlak yang terpuji baik dan tercela buruk dapat dipandang melalui beberapa sudut
yakni dalam sudut pandang agama, filsafat, ilmu, dan budaya. Dalam sudut pandang agama, indikator utama dari perbuatan baik yaitu:
a Perbuatan yang sesuai dengan nash al-Qur’an dan Hadist nabi
b Perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhirat
c Perbuatan yang meningkatkan martabat kehidupan manusia di
mata Allah dan sesama manusia d
Perbuatan yang menjadi bagian dari tujuan syariat Islam
78
Sedangkan indikator perbuatan yang buruknya adalah: a
Perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu setan b
Perbuatan yang dimotivasi oleh ajaran thoghut c
Perbuatan yang membahayakan kehidupan dunia dan merugikan kehidupan akhirat
d Perbuatan yang menyimpang dari tujuan syari’at Islam
e perbuatan yang menimbulkan permusuhan
f Perbuatan yang menimbulkan bencana
g Perbuatan yang membudayakan keserakhan dan nafsu setan
h Perbuatan yang melahirkan konflik, peperangan dan dendam
yang tidak berkesudahan.
79
Selain itu, menurut pandangan filsafat melahirkan berbagai aliran dalam filsafat etika. Seperti contoh Socrates yang mengatakan bahwa
77
Ibid., h. 16-21
78
Saebani, Beni Ahmad, dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 206
79
Ibid.
25
benar dan baik adalah nilai objektif yang harus dijunjung tinggi semua orang. Aristoteles melahirkan ajran akhlak filosofinya seperti ajaran
yang memberikan hikmah tentang adanya kekuasaan yang Mahamutlak. Dan masih banyak lagi aliran-aliran filsafat etika ini speerti
Neoplatonisme, Augustinus an lain sebagianya.
80
Selanjutnya Beni Ahmad menjelaskan bahwa dalam perspektif ilmu, akhlak yang benar adalah yang didasarkan pada rasio dan
pengalaman. Dalam perspektif ini melahirkan dua aliran yakni aliran rasionalisme dan empirisme. Sedangkan dalam perspektif budaya,
bahwa akhlak baik dan buruk sifatnya sangat relatif karena sistem normatif yang dijadikan standar baik dan buruh adalah tradisi yang
telah terlembagakan.
81
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, memang sangat beragam akhlak manusia baik dalam sisi terpuji maupun tercela. Secara garis
besar, yang dinamakan akhlak terpuji adalah tindak laku yang baik dan menguntungkan baik bagi Allah swt., orang lain ataupun dirinya
sendiri. Sedangkan akhlak tercela adalah yang berlaku sebaliknya.
f. Kriteria Seseorang Berakhlak
Dikatakan oleh Quraish Shihab, bahwa “kecenderungan manusia
kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan
–jika terjadi– terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap
konsep-konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam bahasa Al-
Qur’an”.
82
Menurut Shihab, “Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang
diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian
80
Ibid., h. 212-216
81
Ibid., h. 216-224
82
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003, cet. XIV, h. 255
26
pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk
”.
83
Al- Qur’an
suci surat Thaha: 8 menegaskan:
“....Dialah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna nama-nama
yang baik ”. QS. Thaha: 8.
84
Menurut Imam Al-Ghazali yang dikutip oleh M. Jamil, bahwa Al- Ghazali mengemukakan sebuah istilah yang disebut sebagai
ra’sul akhlaq yakni induk dari akhlak. Hal ini dicapai ketika manusia terus
menerus melakukan akhlak yang baik. Induk akhlak ini ada empat sikap yaitu:
1 Bijaksana al-hikmah
2 Menjaga kesucian diri al-„iffah
3 Berani al-syaja’ah
4 Adil al-„adl
85
Menurut Hamka, “seseorang yang berakhlak mulia berarti dia
memahami perananannya sebagai makhluk ciptaan Sang Khaliq yang harus selalu memberikan pencerahan, kebaikan dan kedamaian kepada
sesama makhluq ”.
86
Namun menurut Mustofa, bahwa “mempersoalkan baik dan buruk
pada perbuatan manusia maka ukuran dan karakternya selalu dinamis, sulit dipecahkan. Namun demikian karakter baik dan buruk perbuatan
manusia dap at diukur menurut fitrah manusia.”
87
Beni Ahmad Saebani berpendapat, bahwa akhlak umat Islam akan selalu berada dalam kesadarannya yang maksimal jika ia
merenungi perintah Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang wajibnya menuntut ilmu, sehingga menjadi sangat logis ketika
83
Ibid., h. 259
84
Departemen Agama RI, Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Semarang: PT. Karya
Toha Putra, tt, h. 249
85
M. Jamil, Akhlak Tasawuf, Ciputat: Referensi, 2013, h. 21-22
86
Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2012, cet. 3, h. 204
87
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, cet V, h. 61
27
Rasulullah saw. menarik ketetapan wajibnya perbuatan manusia apabila manusia dalam keadaan tidak sadar atau akalnya belum
dewasa.
88
Hal tersebut bermakna bahwa manusia khususnya umat Islam yang berakhlak adalah yang menjalankan perintah Allah swt. dan
menjauhi larangan-Nya. Salah satunya adalah dengan menuntut ilmu, karena ilmu adalah gerbang menuju pengetahuan luas.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria seseorang yang berakhlak adalah seseorang yang berperilaku sesuai
ajaran Allah swt dan syari’at-Nya. meskipun secara mendasar kecenderungan sifat manusia adalah kepada kebaikan, namun tidak
banyak pula manusia yang menjerumuskan dirinya sendiri kepada keburukan. Seseorang yang berakhlak adalah yang berlaku bijaksana
dalam menentukan langkah bagi keinginan hati, menjaga kesucian diri dari hal-hal yang hina dan buruk, berani mengambil keputusan dan
mengambil langkah pada jalan kebenaran, serta berlaku adil pada semua urusan kehidupannya yakni yang mampu menempatkan segala
hal sesuai pada tempat dan ukurannya.
g. Metode Pembinaan Akhlak
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Sebagaimana dikatakan Imam Ghazali dalam Abuddin, bahwa
perhatian Islam dalam pembinaan akhlak ini dapat dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan
darpada pembinaan fisik, karena jiwa yang baik inilah akan lahir peerbuatan-perbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya, akan
mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan batin.
89
88
Saebani, Beni Ahmad, dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 230
89
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013, cet. 12, h. 136