14
3. Manfaat Bercerita Bahasa Jawa
Bachtiar S. Bachri 2005: 11 mengatakan bahwa manfaat bercerita adalah dapat memperluas wawasan dan cara berfikir anak, sebab dalam
bercerita anak mendapat tambahan pengalaman yang bisa jadi merupakan hal baru baginya atau jika seandainya bukan merupakan hal baru tentu akan
mendapatkan kesempatan untuk mengulang kembali ingatan akan hal yang pernah didapat atau dialaminya. Selain itu Musfiroh 2005:95 menjelaskan
ditinjau dari beberapa aspek maka manfaat bercerita adalah sebagai berikut a membantu pembentukan moral dan pribadi anak, b menyalurkan
imajinasi dan fantasi c memacu keterampilan verbal d merangsang minat menulis anak e membuka cakrawala pengetahuan anak.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bercerita Bahasa Jawa bermanfaat bagi siswa untuk memacu keterampilan verbal
dalam menggunakan Bahasa Jawa sehingga dapat memperluas wawasan dan cara berpikir siswa mengenai upacara adat Sekaten, Gugur Gunung dan
Mitoni.
4. Penilaian Keterampilan Bercerita Bahasa Jawa
Penelitian yang akan dilakukan di kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan Kulon Progo adalah penelitian pembelajaran bercerita Bahasa
Jawa dengan standar kompetensi berbicara yaitu mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan secara lisan sesuai dengan unggah-
ungguh Bahasa Jawa, melalui menceritakan kesan, mengajukan dan
15 menjawab pertanyaan dan menceritakan upacara adat dengan kompetensi
dasar menceritakan upacara adat. Penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa disusun dan
dikembangkan berdasarkan pemahaman teori yang disampaikan oleh beberapa ahli. Diantaranya yaitu Brown 2004: 172-173 mengemukakan
bahwa penilaian keterampilan berbicara dibagi menjadi enam kategori, yaitu tata bahasa, kosakata, pemahaman, kelancaran, pengucapan, dan tugas.
Sementara itu Burhan Nurgiyantoro 2012: 143 menjelaskan bahwa penilaian
yang dapat digunakan untuk mengetahui peningkatan
keterampilan bercerita yaitu dengan tes unjuk kerja atau perfomansi secara lisan. Burhan Nurgiyantoro 2001: 289 menjelaskan bahwa bercerita adalah
kegiatan yang bersifat pragmatis. Agar dapat bercerita paling tidak ada dua hal yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu: unsur linguistik bagaimana cara
bercerita, bagaimana memilih bahasa dan unsur yang diceritakan. Selain itu, Supartinah 2013: 310-311 menyederhanakan aspek
penilaian bercerita Bahasa Jawa menjadi empat aspek, yaitu aspek tata bahasa, kosakata, kefasihan dan tingkat tutur. Penyederhanaan ini dilakukan
agar tidak memberikan beban penilaian yang berat bagi peserta didik di sekolah dasar, namun tetap berpedoman pada tujuan pembelajaran Bahasa
Jawa yang mengedepankan pembelajaran bermakna dan kontekstual sesuai fungsi Bahasa Jawa.
Selanjutnya dalam penelitian ini, peneliti lebih merujuk pada teori Supartinah 2013: 310 karena pembelajaran Bahasa Jawa ditingkat dasar
16 lebih mengutamakan Bahasa Jawa yang sederhana, bermakna, dan
menyenangkan sehingga diharapkan peserta didik dapat tertarik, senang dan berminat untuk belajar Bahasa Jawa. Dengan demikian, peneliti menyusun
instrumen penilaian tes unjuk kerja keterampilan bercerita Bahasa Jawa yang terdiri atas enam aspek yakni: 1 isi cerita; 2 tata Bahasa Jawa; 3
kosakata Bahasa Jawa; 4 kelancaran; 5 pengucapan; serta 6 tingkat tutur.
a. Isi Cerita
Isi cerita menurut Titik W.S. dkk. 2003: 56 merupakan sesuatu yang terkandung dalam suatu cerita. Sebuah cerita didalamnya terdapat
nama tokoh, tempat kejadian, dan waktu kejadian. Selain itu juga terdapat peristiwa atau masalah. Masalah ini merupakan dasar atau inti
yang akan mewarnai seluruh cerita dari awal hingga akhir. Inilah yang disebut tema. Aspek isi cerita pada penilaian keterampilan bercerita
Bahasa Jawa adalah kesesuaian nama tokoh, tempat kejadian, waktu kejadian serta peristiwa dalam cerita dengan tema yang telah ditentukan.
b. Tata Bahasa Jawa
Wedhawati dkk. 2006: 29-30 memaparkan jika dipahami dari segi maknanya, kata “tata” di dalam “tata bahasa” berarti aturan, kaidah, atau
susunan. Ketiga makna kata itu mengimplikasikan makna sistem dan sistem mengimplikasi makna struktur. Dengan demikian, tata bahasa
berarti aturan atau kaidah yang menata perilaku bahasa di dalam pemakaian. Di dalam Bahasa Jawa konsep tata bahasa berpadanan
17 dengan konsep paramasastra. Kata paramasatra berarti ketentuan dasar
penataan kata atau kalimat. Jadi aspek tata Bahasa Jawa dalam penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa adalah ketepatan struktur penataan
kata atau kalimat Bahasa Jawa yang digunakan ketika siswa bercerita sesuai kaidah penggunaan Bahasa Jawa.
c. Kosakata Bahasa Jawa
Burhan Nurgiyantoro 2012: 338 menjelaskan bahwa kosakata, perbendaharaan kata atau kata adalah kekayaan kata yang dimiliki oleh
terdapat dalam suatu bahasa. Tes kosakata adalah tes yang dimaksudkan mengukur keterampilan siswa terhadap kosakata dalam
bahasa tertentu baik yang bersifat reseptif maupun produktif. Keterampilan reseptif adalah keterampilan memahami kosakata yang
terlihat dalam kegiatan membaca dan menyimak, sedangkan
keterampilan produktif adalah keterampilan mempergunakan kosakata yang tampak dalam kegiatan menulis dan berbicara.
Untuk dapat melakukan kegiatan berkomunikasi dengan bahasa, diperlukan penguasaan kosakata dalam jumlah yang memadai.
Penguasaan kosakata yang lebih banyak memungkinkan untuk menerima dan menyampaikan informasi yang lebih luas dan kompleks Burhan
Nurgiyantoro, 2012:282. Aspek kosakata dalam penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa adalah keluasan kosakata Bahasa Jawa yang
digunakan oleh siswa ketika bercerita. Penguasaan kosakata Bahasa Jawa yang memadai memungkinkan siswa dapat bercerita dengan baik.
18 d.
Kelancaran Kelancaran menurut Arsjad dan Mukti dalam Nurbiana, 2008: 36
adalah penggunaan kalimat lisan yang tidak terlalu cepat dalam pengucapan, tidak terputus-putus, dan jarak antar kata tetap atau ajeg.
Kelancaran juga didukung oleh kemampuan olah vokal pembicara yang tepat tanpa ada sisipan bunyi e, anu, em, dan sebagainya. Sebaliknya
pembicara yang terlalu cepat juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan. Jadi, ada 3 hal yang menjadi pokok
kelancaran yaitu: 1 penggunaan kalimat yang ajeg; 2 tidak terlalu cepat; 3 serta ketepatan olah vokal.
e. Pengucapan
Arsjad dan Mukti dalam Nurbiana, 2008 menguraikan bahwa seorang pembicara harus mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat.
Menurut Wedhawati dkk. 2006: 55, bunyi bahasa secara umum dibedakan atas vokal, konsonan, dan semivokal. Vokal dalam Bahasa
Jawa berjumlah enam buah, yaitu: i, e, ǝ, a, u, o. Kemudian konsonan
Bahasa Jawa berjumlah 23 buah, yaitu: p, b, m, f, w, t, d, n, l, r, ṭ, ḍ, s, z,
c, j, ñ, y, k, g, η, h, Ɂ. Selanjutnya bunyi semivokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi karena pengartikulasiannya
belum menghasilkan konsonan murni, bunyi itu disebut semikonsonan atau semivokal. Namun, istilah semikonsonan jarang digunakan.
Berdasarkan kajian di atas, aspek pengucapan dalam Bahasa Jawa adalah
19 ketepatan pengucapan bunyi vokal, bunyi konsonan, serta bunyi
semivokal. f.
Tingkat Tutur Tingkat tutur menurut Wedhawati 2006: 10 adalah variasi bahasa
yang perbedaannya ditentukan oleh sikap pembicara kepada mitra bicara atau orang ketiga yang dibicarakan. Perbedaan umur, derajat tingkat
sosial, dan jarak keakraban antara pembicara dan mitra bicara akan menentukan variasi bahasa yang dipilih. Tingkat tutur diterapkan sesuai
dengan unggah-ungguh Bahasa Jawa. Sry
Satriya Tjatur
Wisnu Sasangka
2009: 95-119
mengungkapkan bahwa unggah-ungguh Bahasa Jawa secara etik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu ngoko ragam ngoko dan krama
ragam krama. Kedua bentuk tersebut diuraikan sebagai berikut. 1
Ragam Ngoko Ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh Bahasa Jawa yang
berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon ngoko. Afiks yang muncul dalam ragam
ini semuanya berbentuk ngoko misalnya, afiks di-, -e, dan -ake. Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan
oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara mitra bicara. Ragam ngoko mempunyai dua bentuk
varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus.
20 a
Ngoko Lugu Ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh Bahasa Jawa yang
semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral leksikon ngoko dan netral baik untuk persona pertama, persona kedua, maupun
persona ketiga. Afiks yang digunakan dalam ragam ini adalah afiks di-, -e, -ake.
Contoh: 1
Akeh wit kang ditegor saperlu dijupuk pathine.
Banyak pohon enau yang ditebang untuk diambil sarinya. 2
Jenenge kondhang saindenging donya.
Namanya terkenal di seluruh dunia. b
Ngoko Alus Ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya
terdiri atas leksikon ngoko, netral, leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama. Leksikon krama hanya digunakan untuk
menghormati mitra wicara O2 dan O3. Afiks yang digunakan dalam ngoko alus-- meskipun melekat pada leksikon krama inggil,
krama andhap, dan krama-- tetap menggunakan afiks penanda leksikon ngoko di-, -e, -ake.
Contoh: 1
Coba ta dipenggalih dhisik aja grusa-grusu.
Cobalah dipikir dahulu jangan tergesa-gesa.
21 2
Budhe Wagimin yen dicaosi iki kersa opo ora yo?
Bude Wagimin jika diberi ini mau atau tidak ya? 2
Ragam Krama Ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh Bahasa Jawa yang
berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama. Afiks yang muncul di dalam
ragam ini pun semuanya berbentuk krama misalnya, afiks dipun-, - ipun, -aken. Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab
dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam ini mempunyai dua bentuk, yaitu
krama lugu dan krama alus. a
Krama Lugu Leksikon inti dalam ragam krama lugu adalah leksikon
krama, madya, dan netral. Dalam ragam ini leksikon krama inggil dan krama andhap hanya digunakan untuk menghormati lawan
bicara. Afiks ngoko di-, -e, -ake cenderung lebih sering muncul daripada afiks krama dipun-, -ipun, -aken, klitik madya mang-
juga sering muncul dalam ragam ini. Contoh:
1
Pesenan kula dadose njing napa, Yu?
Pesanan saya kapan jadinya, Kak? 2
Mas, tulung gawan kula niki mangandhapke riyin.
Kak, tolong barang bawaan saya ini Anda turunkan dahulu.
22 b
Krama Alus Krama alus adalah bentuk unggah-ungguh basa Jawa yang
semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Leksikon krama
inggil dan krama andhap digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Afiks dipun-, -ipun, -aken lebih sering muncul
daripada afiks di-, -e, -ake. Contoh:
1 Ing wekdal semanten kathah tiyang sami risak watak lan budi
pakartinipun.
Saat ini banyak orang yang rusak perangai dan budi pekertinya.
2
Kula rencangipun Mbak Wida. Menawi saged, kula badhe
pinaggih. Saya teman Mbak Wida. Jika bisa, saya ingin bertemu.
Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk unggah- ungguh basa Jawa terdiri atas dua bentuk yaitu ngoko ragam ngoko dan
krama ragam krama. Masing-masing dari keduanya masih dibedakan lagi menjadi dua. Ragam ngoko terbagi menjadi ngoko lugu dan ngoko
alus, sedangkan ragam krama juga terdiri atas krama lugu dan krama alus. Dalam penelitian ini penerapan tingkat tutur harus tepat sesuai
unggah-ungguh di atas.
23
B. Metode Sosiodrama