70 Adapun peningkatan persentase siswa yang nilainya mencapai
KKM dapat dilihat dalam bentuk diagram berikut.
Gambar 2. Diagram Peningkatan Persentase Siswa yang Mencapai KKM pada Prasiklus, Siklus I dan Siklus II.
Dari diagram di atas dapat diketahui besarnya peningkatan persentase siswa yang mencapai KKM pada Prasiklus, Siklus I dan
Siklus II. Pada prasiklus siswa yang mencapai KKM sebanyak 2 siswa 16,67 meningkat menjadi 4 siswa 33,33 pada siklus I dan terus
meningkat menjadi 9 siswa 75 pada siklus II. Berdasarkan hasil tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa siklus II, maka dapat disimpulkan
penelitian ini berhasil karena memenuhi kriteria keberhasilan tindakan yang ditentukan yaitu
≥75 siswa mencapai KKM 72.
B. Pembahasan
Penelitian ini menghasilkan dua temuan. Temuan pertama peneliti melakukan penerapan metode sosiodrama pada siklus I. Aksi pada siklus I ini
rupanya dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa meskipun
71 peningkatan tersebut belum signifikan karena belum sesuai dengan kriteria
keberhasilan tindakan. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil tes pada siklus I. Pada siklus I, jumlah siswa yang tuntas belajar adalah 4 siswa
33,33, sedangkan jumlah siswa yang tidak tuntas belajar adalah 8 siswa 66,67.
Penerapan metode sosiodrama pada siklus I dimulai dengan pembagian kelompok yang dilakukan oleh guru. Guru membagi kelompok berdasarkan
letak tempat duduk dengan mengabaikan keragaman kemampuan individu siswa. Hal ini menyebabkan kelompok yang anggotanya terdiri atas siswa
berkemampuan tinggi mendominasi proses pembelajaran. Dan kelompok lain menjadi kurang aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini selaras dengan
pendapat Wina Sanjaya 2013 bahwa kelompok yang dibentuk tanpa memperhatikan kemampuan individu dapat menyebabkan terhambatnya siswa
yang memiliki kemampuan tinggi oleh siswa yang mempunyai kemampuan kurang dan sebaliknya siswa yang berkemampuan kurang akan tergusur oleh
siswa berkemampuan tinggi. Selain itu pengelompokkan yang dilakukan oleh guru, tidak sesuai dengan pendapat Syaiful Bahri Djamarah 2005: 73 yang
mengungkapkan bahwa pola pengelompokkan sebaiknya mempertimbangkan perbedaan individual anak. Pertimbangan itu bisa atas dasar perbedaan
biologis, intelektual, ataupun psikologis. Langkah berikutnya guru memilih kelompok yang akan menjadi
kelompok pemeran drama dengan cara mengundi. Penentuan kelompok dengan cara mengundi tidak sesuai dengan pendapat Syaiful Sagala 2010
72 serta Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain 2006 yang menyatakan bahwa
guru memilih kelompok yang dapat atau bersedia untuk menjadi kelompok pemeran. Guru mengambil inisiatif aksi mengundi karena kelompok yang
ditunjuk oleh guru tidak bersedia menjadi pemeran drama karena siswa belum memiliki rasa percaya diri dan motivasi dalam belajar. Bahkan dengan adanya
kesempatan yang diberikan oleh guru untuk menjadi pemeran drama, tidak ada satu pun kelompok yang termotivasi. Pada langkah-langkah selanjutnya,
siswa masih terlihat belum percaya diri dan kurang termotivasi, baik dalam bermain sosiodrama maupun dalam berdiskusi sehingga pembelajaran kurang
efektif. Hal demikian terjadi karena guru kurang dalam memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa. Hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan
oleh Wina Sanjaya 2013 bahwa dalam pembelajaran sering terjadi siswa yang tidak berhasil dalam pembelajaran bukan disebabkan karena
kemampuannya yang kurang, tetapi dikarenakan kurangnya motivasi untuk belajar sehingga siswa tidak berusaha untuk mengerahkan segala
kemampuannya. Langkah selanjutnya yaitu guru membimbing kelompok pengamat untuk
mempersiapkan tata panggung bersamaan dengan kelompok pemeran yang sedang melakukan latihan. Aktivitas mempersiapkan tata panggung yang
dilakukan oleh kelompok pengamat dengan mengubah letak tempat duduk menyerupai huruf U, ternyata menimbulkan gangguan bagi kelompok
pemeran drama dalam mempelajari dan menghafal naskah sosiodrama. Hal ini juga disebutkan oleh Syaiful Sagala 2010 sebagai salah satu kekurangan
73 metode pembelajaran sosiodrama yaitu sering kali siswa maupun kelas lain
terganggu oleh suara pemeran dan kelompok pengamat yang kadang-kadang bertepuk tangan, termasuk suara yang ditimbulkan ketika mempersiapkan tata
panggung. Langkah berikutnya, pada akhir pembelajaran guru melakukan evaluasi
dengan melaksanakan tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa. Namun, pada langkah ini guru tidak menginformasikan secara rinci tentang bentuk dan
teknik tes yang akan dilakukan. Hal ini menyebabkan ketidaktahuan siswa akan hal-hal yang menjadi dasar penilaian sehingga hasil tes keterampilan
bercerita Bahasa Jawa yang diperoleh oleh siswa pun belum sesuai dengan kriteria keberhasilan tindakan. Langkah ini tidak sesuai dengan pendapat yang
diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro 2001 bahwa guru harus menginformasikan kepada siswa tentang bentuk dan teknik tes yang dilakukan
sehingga siswa dapat melakukan persiapan dengan sebaik mungkin. Melalui penerapan metode sosiodrama pada siklus I dengan membagi
kelompok berdasarkan letak tempat duduk, menentukan kelompok pemeran dengan cara mengundi dan mempersiapkan tata panggung yang dilakukan
oleh kelompok pengamat bersamaan dengan latihan yang dilakukan oleh kelompok pemeran dan melakukan penilaian tanpa menginformasikan secara
rinci tentang bentuk dan teknik tes yang akan dilakukan, meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa sekalipun peningkatan tersebut belum
signifikan. Temuan ini sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Hesti Ratna Sari 2013 yang menyatakan bahwa pembagian kelompok
74 berdasarkan letak tempat duduk, kurangnya pemberian motivasi, aktivitas
latihan kelompok pemeran yang tidak maksimal, dan tidak adanya penjelasan terhadap bobot nilai dan aspek dalam penilaian, meningkatkan keterampilan
bercerita pada siklus I meskipun peningkatan tersebut belum signifikan. Temuan kedua peneliti melakukan penerapan metode sosiodrama pada
siklus II. Aksi yang dilakukan pada siklus II ternyata dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa secara signifikan karena sudah sesuai
dengan kriteria keberhasilan tindakan. Peningkatan terjadi pada jumlah siswa yang mencapai KKM. Jumlah siswa yang mencapai KKM mengalami
peningkatan dari 4 siswa 33,33 pada siklus I menjadi 9 siswa 75 pada siklus II atau meningkat sebesar 41,67.
Penerapan metode sosiodrama pada siklus II dimulai dengan pembagian kelompok yang dilakukan oleh guru. Dalam pembagian kelompok, guru
membagi siswa secara heterogen berdasarkan prestasi belajar siswa yang dilihat dari hasil tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa pada siklus I. Hal ini
bertujuan agar siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi tidak mendominasi proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar 2008 bahwa dalam pembagian kelompok, siswa yang mempunyai kemampuan rendah harus disatukan
dengan siswa yang memiliki kemampuan tinggi. Langkah ini juga disebutkan sebagai cara untuk membangkitkan motivasi belajar siswa. Serupa dengan
pendapat di atas, Robert E. Slavin 2009 juga mengungkapkan bahwa pembagian kelompok secara heterogen selain dimaksudkan untuk memahami
75 konsep yang sulit tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, kerja sama serta keikutsertaan siswa dalam proses pembelajaran. Langkah selanjutnya guru menetapkan kelompok pemeran berdasarkan
inisiatif siswa untuk menjadi kelompok pemeran. Hal ini selaras dengan pendapat Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain 2006 yang menyatakan
bahwa guru memilih kelompok pemeran yang dapat atau bersedia untuk menjadi kelompok pemeran. Pada siklus II siswa menjadi lebih percaya diri
untuk menjadi kelompok pemeran, mengungkapkan pendapat ketika berdiskusi serta menentukan masalah yang akan didramakan. Hal ini terjadi
karena guru lebih banyak memberikan penguatan verbal berupa kata-kata pujian, sehingga mendorong siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Hal ini
sesuai dengan pendapat Wina Sanjaya 2009 bahwa penguatan diberikan sebagai bentuk ganjaran kepada siswa sehingga siswa akan berbesar hati dan
meningkatkan partisipasinya dalam proses pembelajaran. Hal senada juga diungkapkan oleh Iskandarwassid dan Dadang Sunendar 2008 bahwa pujian
secara lisan yang diberikan guru dapat memotivasi siswa dalam belajar. Pujian secara wajar dapat diberikan kepada siswa ketika menjawab sesuatu dengan
benar, mengajukan pertanyaan atau mencapai prestasi yang baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya penguatan yang diberikan oleh guru
menjadikan siswa lebih termovitasi dalam belajar. Langkah berikutnya guru berusaha untuk menciptakan dan memelihara
kondisi kelas yang optimal untuk mengatasi kegaduhan yang timbul saat siswa mempersiapkan tata panggung sehingga guru mengambil inisatif untuk
76 mempersiapkan tata panggung sebelum proses pembelajaran. Langkah yang
dilakukan oleh guru dengan mempersiapkan tata panggung sebelum proses pembelajaran selaras dengan pendapat Syaiful Sagala 2010 bahwa guru
harus berusaha untuk mengatasi kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaan metode sosiodrama agar pelaksanaan metode sosiodrama dapat berjalan
dengan baik. Langkah selanjutnya guru menjelaskan tentang enam aspek yang
menjadi dasar penilaian keterampilan bercerita Bahasa Jawa, skor setiap aspek, serta KKM yang harus dicapai siswa, sehingga siswa dapat menentukan
hal-hal apa saja yang perlu ditonjolkan dalam bercerita. Selain itu siswa juga lebih termotivasi untuk mendapatkan nilai sesuai KKM yang ditentukan. Aksi
ini sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro 2001 bahwa guru harus menginformasikan kepada siswa tentang bentuk dan
teknik tes yang dilakukan sehingga siswa dapat melakukan persiapan dengan sebaik mungkin.
Penerapan metode sosiodrama dalam pembelajaran Bahasa Jawa pada siklus II meningkatan keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa kelas IV SD
Muhammadiyah secara signifikan. Peningkatan yang terjadi pada siklus II disebabkan oleh penerapan metode sosiodrama yang lebih efektif. Keefektifan
terjadi sebab guru membentuk kelompok sosiodrama berdasarkan prestasi belajar siswa yang dilihat dari hasil tes keterampilan bercerita Bahasa Jawa
pada siklus I. Selain itu penguatan yang diberikan oleh guru berupa kata-kata pujian membuat siswa lebih berani dan percaya diri baik dalam bertanya,
77 mengungkapkan pendapat, bermain drama serta dalam bercerita. Kegiatan
pembelajaran juga dapat berjalan efektif karena guru mengarahkan siswa secara bersama-sama untuk mempersiapkan tata panggung sebelum jam
pelajaran dimulai. Guru juga menjelaskan enam aspek dalam penilaian keterampilan bercerita, serta bobot dari setiap aspek sehingga siswa dapat
mengetahui hal apa saja yang harus siswa tonjolkan saat bercerita. Peningkatan yang terjadi pada siklus II ini menunjukkan bahwa metode
sosiodrama dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa siswa kelas IV SD Muhammadiyah Nglatihan.
C. Keterbatasan Penelitian