pengelolaan lingkungan hidup Pasal 8 ayat 2 butir a, b, c dan d. Pemerintah mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup,
mengendalikan kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak sosial, di samping mengembangkan pendanaan bagi upaya pembinaan fungsi lingkungan hidup sesuai
peraturan perundang-undangan. Prinsip-prinsip di atas, selain menjadi dasar hak dan kewajiban masyarakat, setidaknya juga menyiratkan bahwa negara memiliki
tanggung jawab pengelolaan Iingkungan hidup, termasuk segala aspek yang berkenaan dengan tindakan preventif dan represif atas pencemaran serta kerusakan
Iingkungan. Apabila masalah pertanggungjawaban dilihat dan visi pengaturan UUPLH
1997, maka didapat beberapa perbedaan. Sebagaimana telah disebut sebelumnya bahwa prinsip pengelolaan Iingkungan hidup yang dianut oleh UUPLH 1997 antara
lain secara eksplisit menunjuk kepada prinsip tanggung jawab negara state
responsibility; prinsip pembangunan berkelanjutan principle of sustainability; prinsip manfaat dengan tujuan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan menuju pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya
environmentally sustainable development principle.
Ketiga prinsip ini dapat dilihat pada Pasal 3 UUPLH 1997, di mana ketiganya saling berkaitan erat sehingga Iebih mencerminkan kepentingan-kepentingan yang
Iebih padu holistic dalam berbagai dimensi. Keterpaduan holistik dan menyeluruh
dilakukan antara negara dengan rakyatnya, antara masagenerasi kini dengan masagenerasi yang akan datang, individual manusia Indonesia pribadi yang
seutuhnya dengan masyarakat seluruh manusia Indonesia, serta kehidupan dalam perspektif fisikjasmani dengan kehidupan dalam perspektif rohaniah yang religius.
Selanjutnya Soemarwoto 2004 mengemukakan bahwa pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk kita, generasi
yang sekarang, melainkan juga untuk anak cucu kita, generasi yang akan datang.
2.5. Aspek Kegagalan Kebijakan Policy Failure
Aspek kegagalan dalam merumuskan kebijakan failure dapat diindikasikan
dengan masih banyaknya kebijakan pembangunan yang tidak holistik. termasuk UUD 1945 yang tidak menyentuh aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan
fungsi lingkungan hidup; kebijakan tentang tenurial dan property rights yang tidak
memberikan jaminan hak pada masyarakat adat; kebijakan yang sentralistik dan seragam; dan kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung “pemerintah yang terbuka”
atau open government. Indonesian Center for Environmental Law ICEL dalam
kajian kebijakan yang terbatas kebijakan yang dihasilkan pemerintahan transisi di tahun 1998-1999 pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan 8
delapan tolok ukur yaitu delapan elemen yang harus terintegrasi dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk
pemanfaatan sumberdaya alam. Menemukan fakta bahwa peraturan perundang- undangan yang dihasilkan pemerintahan transisi belum mendukung
, good environmental governance. Kedelapan elemen tersebut adalah: 1 pemberdayaan,
pelibatan masyarakat dan akses publik terhadap informasi; 2 Transparansi; 3 Desentralisasi yang demokratis; 4 Pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung
ekosistem dan keberlanjutan; 5 Pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal; 6 konsistensi dan harmonisasi; 7 Kejelasan
clarity; 8 Daya penerapan dan penegakan
implementability and enforceability Santoso, 2001.
2.6. Kebijakan
Kebijakan policy adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu,
yang dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan merupakan
keputusan tetap yang dicirikan konsistensi dan pengulangan repetitiveness
perilaku untuk memecahkan persoalan dan mematuhi keputusan yang ditetpakan tersebut Jones 1996. Oleh karena itu, kebijakan adalah bersifat dinamis
dikarenakan konsistensi dan pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum.
Selanjutnya Davis et al. 1993 menyebutkan bahwa kebijakan bukanlah
berdiri sendiri single decision dalam proses kebijakan dalam sistem politik, tetapi
bagian dari proses antar hubungan. Oleh karena itu kebijakan dapat dikatakan sebagai satu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Kebijakan tidak
boleh sekedar dibuat atau karena ada kesempatan menyusun kebijakan. Pembuatan kebijakan sekedarnya dapat menimbulkan kebijakan yang tidak tepat.
Caiden 1971 mengemukakan bahwa sulitnya melakukan ketepatan disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi yang cukup, baik yang sulit
disimpulkan, adanya pelbagai macam kepentingan yang berbeda-beda antar sektor dan instansi, umpan balik keputusan bersifat sporadis, dan proses perumusan
kebijakan tidak dimengerti dengan benar. Oleh karena itu untuk terciptanya kebijakan secara tepat a
propriateness, pemerintah harus bekerja melalui proses kebijakan seperti rancangan atau rencana kebijakan, formulasi rencana kebijakan,
pelaksanaan di lapangan, dan proses evaluasi sebagai umpan balik terhadap proses rancangan kebijakan.
Selanjutnya, dalam proses kebijakan itu sendiri diberikan seperangkat metode, strategi dan teknik dalam penyusunan kebijakan dengan melibatkan semua
pihak terkait. Agar tercapai keinginan tujuan dan sasaran maka kebijakan harus dirancang sebaik mungkin yang pada akhirnya dapat berbentuk negatif seperti
larangan atau berbentuk positif seperti pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.
Demikian pula yang disampaikan Rees 1990, bahwa pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan,
diimplementasikan dan diberlakukannya keputusan tersebut kepada masyarakat. Dengan demikian dalam implementasinya penyusunan kebijakan sangat dipengaruhi
oleh: 1 seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, 2 karakteristik dan badan eksekutif, 3 metode yang digunakan untuk menggunakan
sumberdaya alam dan peraturan yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Faktor-faktor inilah yang membuat kebijakan tampak sangat dinamis.
Prinsip-prinsip pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan seperti Gambar 2 Rees, 1990. Disebutkan bahwa kebijakan itu tampaknya
irasional, karena kebijakan yang diterima suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Untuk itu kebijakan perlu diformulasikan
sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyelia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku
kebijakan. Untuk lebih jelas prinsip-prinsip pembuatan kebijakan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi Rees, 1990 Abidin 2002 menyebutkan bahwa pemilihan pengambilan kebijakan yang
baik dan tepat dapat dipenuhi kriteria kebijakan yang biasa digunakan sebagai berikut:
1. Efektifitas efectiveness, mengukur apakah sesuatu pemilihan sasaran yang
dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi suatu strategi kebijakan dipilih dilihat dari kapasitasnya untuk
memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat. 2. Efisiensi
economic rationality, mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu;
3. Cukup adequacy, mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan
sumberdaya yang ada.;
Formulasi Kebijakan Perundang-undangan dan Peraturan
Membentuk OrganiosasiInstitusi yang tepat Menetapkan Metode yang tepat
Sistem Informasi Penetapan tujuan-tujuan secara detail
Analisis hasil Uji berdasarkan sasaran yang dicapai
Pelaksanaan rencana
Operasional rutin
1
Analisis Determinasi
Kebijakan Monitoring dan
Evaluasi Kebijakan
Informasi untuk Kebijakan
Analisis Isi Kebijakan
Advokasi Kebijakan
Analisis Kebijakan
Analisis untuk Kebijakan
2 3
4 5
4. Adil equity, mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan
ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat; 5. Terjawab
responsiveness, dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat;
6. Tepat apropriateness, merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan
sebelumnya.
2.7. Analisis dan Proses Kebijakan