Rataan Jumlah Curah Hujan Bulanan
sedangkan kebun campuran dan perkebunan dominan di sub-DAS Cisadane Tengah.
Persebaran penggunaan lahan dominan tersebut di atas tampak terkait erat dengan kondisi geomorfologi dari setiap sub-DAS; sebagai contoh sub-DAS
Cisadane Hulu mempunyai morfologi pegunungan sehingga dengan morfologi tersebut dan kemampuan lahannya, sub-DAS ini lebih
didominasi oleh hutan; sub- DAS Cisadane Tengah dan sub-DAS Cianten yang mempunyai
morfologi berbukit dan dataran bergelombang lebih didominasi oleh kebun campuran-
perkebunan dan semakbelukar-rumput, sedangkan Sub-DAS Cisadane Hilir yang mempunyai morfologi dataran lebih didominasi oleh persawahan dan lahan
terbangun. Dari angka-angka luasan penggunaan lahan tersebut di atas, yang cukup
menarik untuk dicermati adalah luas penggunaan lahan hutan. Hal ini disebabkan luas tutupan hutan di DAS Cisadane hanya berkisar 17.221 ha atau sekitar 11
dari total luas DAS Cisadane Tabel 19, padahal menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang maupun UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
luasan tutupan hutan tersebut setidaknya mencapai 30 dari total luas DAS. Dengan demikian luas hutan di DAS Cisadane belum memenuhi ketentuan dari
kedua UU tersebut. Kenyataan ini secara teoritis memberikan suatu indikasi bahwa ekologi
DAS Cisadane perlu mendapat perhatian yang lebih baik terutama terkait dengan zona resapan air dan aliran permukaan. Di sisi lain, pertambahan jumlah
penduduk di dalam wilayah DAS diperkirakan juga akan meningkat yang umumnya akan memberikan tekanan terhadap DAS itu sendiri. Tekanan utama
pada dasarnya adalah kebutuhan masyarakat terhadap lahan, sehingga peluang konversi lahan di dalam DAS menjadi cukup besar. Oleh karena itu jika tidak
segera dilakukan upaya antisipasi penanggulangannya, baik secara formal maupun informal, maka ekologi DAS Cisadane diperkirakan akan terus mengalami
degradasi. Dengan gambaran di atas, maka mudah dimengerti bahwa
jika curah hujan jatuh di dalam DAS Cisadane dan tidak dapat diserap secara optimal oleh tanah
ground water maka air hujan yang jatuh tersebut akan lebih banyak
menghasilkan aliran permukaan surface water disebabkan kurangnya tutupan hutan yang dapat menyerap air ke dalam tanah. Dengan demikian kaitan antara
perubahan kondisi DAS di daerah hulu dengan kejadian banjir di daerah hilir tampak sangat erat hubungannya.
Gambar 25 Peta PenutupanPenggunaan Lahan Wilayah DAS Cisadane.
Berdasarkan Peta Tata Guna Hutan dan Kawasan TGHK dari Departemen Kehutanan 1987, Status Kawasan Hutan di dalam DAS Cisadane dibedakan
menjadi 7 tujuh jenis, yaitu areal penggunaan lain, hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango,
Taman Nasional Gunung Halimun, dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk DepHut 1987. Menurut peta tersebut, areal penggunaan lain APL di DAS
Cisadane merupakan kawasan yang paling luas, mencapai 129.337 ha atau sekitar 82,44 dari luas total DAS, sedangkan jenis kawasan hutan yang paling kecil
adalah Taman Wisata Alam Angke Kapuk dengan luas 32 ha atau sekitar 0,02 yang terletak di sub-DAS Cisadane Hilir Tabel 18. Berdasarkan tabel tersebut
terlihat bahwa luas total kawasan hutan hanya mencapai 17,56 dari luas DAS Cisadane, atau kurang dari 30 dari luas DAS, sehingga tidak seperti yang
diharapkan di dalam Undang-undang. Gambar 26 berikut menunjukkan persebaran tipe-tipe status kawasan hutan yang ada di DAS Cisadane.
Tabel 18 Tipe Status Kawasan Hutan di DAS Cisadane
No Tata Guna Hutan dan
Kesepakatan TGHK
Wilayah DAS Luas
Cisadane Hulu
Cianten Cisadane
Hilir Cisadane
Tengah Hektar Persen
1 Areal Penggunaan Lain
38.157 26.657
20.356 44.167
129.337 82,44
2 Hutan Lindung
1.353 125
1.530 -
3.007 1,92
3 Hutan Produksi
2.365 5.005
- 1.706
9.076 5,79
4 Hutan Produksi
Terbatas 548
6.510 -
1.343 8.400
5,35 5
Taman Nasional Gunung Gede-
Pangrango
3.703 -
- -
3.703 2,36
6
Taman Nasional Gunung Halimun
- 3.328
- -
3.328 2,12
7
Taman Wisata Alam Angke Kapuk
- -
32 -
32 0,02
Jumlah 46.126
41.624 21.918
47.216 156.883
100
Sumber: Dephut, 1987 Secara kronologis kebijakan Departemen Kehutanan tidak melanggar UU
No. 41 tahun 1999 maupun menurut UU No. 26 tahun 2007, karena penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK telah ada terlebih dulu sebelum penetapan