Karakteristik Faktor Madu Tubuh Air, Gawir
54 Penjabaran dari setiap faktor fisik lahan dijelaskan dibawah ini.
1. Ketinggian Berdasarkan Gambar 19, ketinggian yang paling sesuai untuk habitat
lebah madu adalah 200-500 m dpl nilai bobot = 0.28, walaupan nilai bobotnya tidak berbeda secara signifikan antara ketinggian 150-200 m dpl
0.26 dan 500-1000 m dpl 0.27. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah dengan ketinggian 150-1000 m dpl merupakan lokasi yang sesuai untuk
habitat lebah. Ketinggian tempat berkorelasi positif dengan suhu. Ketinggian yang terlalu rendah biasanya temperatur tinggi atau sebaliknya, sehingga
menghambat aktivitas lebah. Ketinggian yang dianggap optimal adalah 200-500 m dpl karena suhu pada ketinggian tersebut cukup optimal untuk
aktivitas lebah. Selain itu kualitas madu yang dibudidayakan di dataran rendah lebih baik karena kadar airnya lebih rendah. Peta ketinggian hasil reklasifikasi
sesuai interval yang digunakan dalam analisis AHP disajikan pada Gambar 20.
Sejumlah konstrain yang menjadi faktor kendala untuk faktor ketinggian terdiri atas ketinggian 150 m dpl dan 1400 m dpl. Lokasi dengan
ketinggian 150 m dpl biasanya dekat dengan pantai. Daerah pantai tidak cocok untuk kegiatan budidaya lebah madu karena terlalu kering dan cukup
terik. Lokasi yang baik untuk pemeliharaan lebah madu harus cukup menerima cahaya matahari, namun terhindar dari terik matahari FAO 1990. Lebah
menghendaki tempat yang tidak terlalu lembab dan tidak terlalu kering. Pada Gambar 20 Sebaran kelas ketinggian hasil reklasifikasi
55 lokasi dengan ketinggian 1400 m dpl, lebah tidak dapat berkembang dengan
baik karena suhu yang terlalu rendah dan kelembaban yang tinggi. Dari segi ekonomis sudah tidak menguntungkan karena lebah produktivitasnya rendah.
2. Kemiringan lereng Kelas lereng yang sesuai untuk habitat lebah madu adalah 0-8 . Hal
tersebut berkaitan dengan keadaan angin. Apabila koloni lebah ditempatkan di daerah berbukit atau curam, aktivitasnya dalam mencari sumber pakan akan
terhambat karena adanya angin kencang. Menurut FAO 1990, lahan yang baik untuk pemeliharaan lebah adalah lahan yang terlindung dari angin
kencang, relatif datar dan cukup lapang untuk memudahkan pemeliharaan koloni oleh petani lebah. Selain itu, sumber pakan lebah madu banyak
ditemukan di daerah dataran seperti tanaman pertanian, perkebunan atau tanaman buah-buahan. Hal ini sesuai dengan hasil pembobotan analisis AHP,
yang menunjukkan bahwa kelas lereng 0-8 memiliki bobot yang paling tinggi diantara kelas lereng yang lain yaitu 0.33.
Peta kemiringan lereng yang digunakan untuk analisis ini disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21, dapat diketahui bahwa Kabupaten
Cianjur memiliki kelas lereng yang dominan adalah 8 , kemudian berturut- turut kelas lereng 8-15 , 16-25 , dan sedikit saja yang memiliki kelas lereng
40 . Konstrainnya berupa kemiringan lereng 40 . Kelas lereng tersebut dari segi aksesibilitas dan sumber pakan sudah tidak menunjang untuk
dijadikan sebagai tempat pemeliharaan lebah madu.
Gambar 21 Sebaran kelas lereng
56 3. Suhu
Kelas suhu yang paling optimal untuk habitat lebah madu adalah 25-30
°C, karena merupakan suhu nyaman bagi lebah dan sesuai untuk proses bertelurnya ratu lebah. Suhu terlalu tinggi akan menyebabkan lebah menjadi
agresif. Apabila terjadi sebaliknya lebah madu akan mudah terkena larva busuk. Menurut FAO 1990, suhu memberikan pengaruh terhadap aktivitas terbang
lebah dalam mencari sumber pakan. Berdasarkan nilai bobot untuk kelas suhu 20-25
°C dan 25–30 °C, bobot keduanya tidak berbeda signifikan yaitu 0.28 dan 0.29. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelas suhu yang sesuai untuk
habitat lebah madu adalah 20-30 °C.
Peta suhu Gambar 22 yang digunakan dalam analisis memberikan informasi bahwa suhu rata-rata tahunan Kabupaten Cianjur berkisar 8–27
°C. Sebagian besar wilayah Cianjur memiliki suhu 20-25
°C. Kelas suhu yang menjadi konstrain adalah kelas suhu 15
°C. Kelas suhu tersebut dijadikan konstrain karena tidak sesuai untuk kehidupan lebah. Lebah madu merupakan
golongan serangga berdarah dingin, sehingga sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu udara disekitarnya. Pada suhu yang sangat rendah, lebah harus
menggerakan toraknya untuk memanaskan tubuhnya. Hal ini tentu saja menghambat produktivitas lebah dalam menghasilkan madu.
Gambar 22 Sebaran kelas ketinggian hasil reklasifikasi
57 4. Jarak dari Sungai
Air diperlukan lebah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk membasahi pollen agar mudah dimakan oleh lebah. Jarak yang terlalu dekat
dengan sungai akan membuat madu menyerap uap air dari sungai sehingga madu mengencer kadar air tinggi. FAO 1990 menyatakan bahwa lokasi
yang baik untuk pemeliharaan lebah madu adalah lokasi yang memiliki drainase yang baik, aman dari banjir dan dekat sumber air. Jarak 200-400 m
merupakan jarak optimal untuk habitat lebah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai bobot pada kelas jarak tersebut buffer yang lebih tinggi dibandingkan dengan
dengan nilai bobot pada kelas jarak yang lain.
Sungai yang diberi buffer merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun. Kelas buffer dibuat berdasarkan penelitian Latifah 2011 yaitu 0-200 m,
200-400 m, 400-600 m dan 600 m. Hasil buffer tersebut dapat dilihat pada Gambar 23.
5. Curah Hujan Kelas curah hujan 2000-2500 mmtahun merupakan curah hujan yang
sesuai untuk habitat lebah madu. Curah hujan yang terlalu rendah tidak baik untuk lebah madu, karena hujan masih dibutuhkan untuk menyuburkan
tanaman sumber pakan serta melembabkan nektar dan pollen. Curah hujan yang terlalu tinggi menyebabkan lebah malas keluar stup untuk mencari pakan.
Hal ini menyebabkan produksi madu menurun. Cuaca memiliki efek langsung pada produktivitas koloni lebah Harrison dan Fewell 2002, periode hujan
yang lama dan cuaca dingin memiliki efek yang merugikan pada produktivitas karena lebah tetap di dalam sarang vanEngelsdorp dan Meixner 2009. Hasil
pembobotan menunjukkan bahwa kelas curah hujan 2000-2500 memiliki bobot yang lebih tinggi 0.36 dibandingkan dengan kelas curah hujan yang lain.
Gambar 23 Buffer sungai
58 Curah hujan di Kabupaten Cianjur berkisar 2000-4500 mmtahun.
Sebagian besar berada pada kelas curah hujan 2500–3000 mmthn yang berada di wilayah Cianjur bagian utara dan selatan. Curah hujan terendah
2000-2500 mmtahun
berada di
Kecamatan Mande,
Cikalongkulon, Bojongpicung, Sukaluyu dan Haurwangi. Curah hujan tertinggi berada di
Kecamatan Sukanagara dan Pagelaran yaitu 4000-4500 mmthn Gambar 24. Faktor kendalakonstrain pada curah hujan berupa kelas curah hujan
3500–4500 mmthn, karena curah hujan yang terlalu tinggi akan menghambat aktivitas lebah dalam mencari pakan.
Layer peta-peta yang termasuk kedalam kriteria fisik lahan tanpa konstrain diproses dengan software analisis spasial melaui operasi overlay dan field
calculator, sesuai dengan bobot yang diperoleh dari hasil AHP. Proses tersebut
menghasilkan output berupa peta kesesuaian atas dasar aspek fisik lahan Gambar 25. Nilai terendah hasil perhitungan tersebut adalah 0.03 warna merah dan
tertinggi 0.31 warna hijau. Semakin tinggi nilainya maka semakin sesuai untuk habitat lebah madu ditinjau dari aspek fisik lahan.
Gambar 24 Sebaran kelas curah hujan rata-rata tahunan
59