Patogenesis HIVAIDS .1 Pengertian HIVAIDS

bersifat menularkan. Transmisi HIV dapat terjadi melalui kontak atau pencampuran dengan cairan tubuh yang mengandung virus, seperti: melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan pengidap HIV, menggunakan jarum suntik atau alat tusuk lain akupuntur, tindik, tato yang telah terkontaminasi virus HIV, kontak kulit atau membran mukosa dengan darah dan produk darah yang telah terkontaminasi HIV, menerima transplantasi organ atau jaringan termasuk tulang atau transfusi darah dari penderita HIV, dan penularan dari ibu hamil pengidap HIV kepada janin saat kehamilan, proses kelahiran, maupun saat menyusui. Merati, 1999

2.4.3 Patogenesis

Menurut The Center of Disease Control CDC, setelah terpapar HIV, penderita tidak secara langsung menimbulkan gejala klinis AIDS. Ada beberapa tahapan infeksi HIV sampai timbulnya manifestasi klinis; yaitu tahap infeksi HIV akut, infeksi HIV asimtomatik masa laten yang tidak menimbulkan gejala, limfadenopati radang kelenjar getah bening yang persisten dan menyeluruh, sampai akhirnya timbul tanda-tanda penyakit yang menakutkan pada pasien, yaitu tahap AIDS. a. Infeksi HIV akut Sekitar dua sampai enam minggu setelah terinfeksi biasanya dua minggu, akan terjadi sindrom retroviral akut. Lebih dari setengah orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer yang bervariasi seperti demam, adenopati, faringitis, kelainan kulit, diare, sakit kepala, mual dan muntah, Universitas Sumatera Utara hepatosplenomegali, penurunan berat badan, gangguan jamur di rongga mulut, dan gejala neurologis nyeri kepala, nyeri belakang kepala, depresi. Gejala ini tidak spesifik pada infeksi HIV saja, tetapi juga akan terjadi pada infeksi retrovirus lain. Setelah dua sampai enam minggu gejala dapat menghilang disertai serokonversi, dengan atau tanpa pengobatan. Setelah terinfeksi HIV, ada saat dimana pemeriksaan serologi antibodi HIV terhadap pasien menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam tubuh hospes. Fase ini disebut periode jendela window period, yaitu penderita sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodinya menunjukkan hasil negatif. Periode ini dapat berlangsung selama tiga sampai dua belas minggu. b. Infeksi HIV asimtomatik masa laten Terdapat jeda waktu yang panjang pada pasien, yang mana pasien tidak mengalami manifestasi fisik dari infeksi, tapi tetap anti-HIV positif. Sebagian besar pengidap HIV berada pada fase laten ini tidak terlihat gejala pada pasien. Penderita terlihat sehat, dapat melakukan aktivitas secara normal, namun sudah dapat menularkan virus kepada orang lain. Jumlah virus di dalam darah dan jaringan limfoid pasien berada dalam batas rendah dan jumlah CD4 limfosit masih berada dalam batas normal. Masa laten klinis ini dapat terjadi selama dua minggu sampai delapan tahun atau lebih. c. Limfadenopati persisten yang menyeluruh Limfadenopati atau pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan dengan adanya nodus limfe yang berdiameter lebih dari satu sentimeter pada dua atau beberapa daerah ekstra inguinal selama lebih dari tiga bulan, tetapi tidak Universitas Sumatera Utara terdapat penyakit atau kondisi lain selain infeksi HIV yang menjelaskan alasan dari keadaan tersebut. d. Infeksi HIV simtomatik AIDS Pada fase ini terjadi perubahan progresif dalam pengaturan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh limfopenia sel-T, dan berkurangnya fungsi T-cell helper ini yang mengakibatkan AIDS berkembang sepenuhnya. Penyakit ini ditandai oleh infeksi-infeksi oportunistik dan kerentanan terhadap bentuk–bentuk kanker tertentu. Jumlah CD4 pasien sudah berada pada taraf kritis, hingga dibawah 200selul darah. Beberapa penyakit yang dapat timbul pada pasien seperti di bawah ini : a Subgrup A : Penyakit Konstitusional : Gejala-gejala seperti demam atau diare yang persisten selama lebih dari satu bulan atau penurunan berat badan yang lebih dari 10 dari berat ideal pasien sebelum sakit, yang tidak terdapat infeksi atau penyakit lain yang dapat menjelaskan alasan keadaan tersebut, selain infeksi HIVAIDS. b Sub grup B : Penyakit Neurologi : Banyak pasien yang mengalami simtom neurologi sebelum mengalami tanda infeksi HIV lainnya. Pada mulanya pasien akan mengalami kehilangan memori, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari pergaulan sosial, dan letargi. Tanda awal tersebut sering dianggap sebagai suatu depresi dan biasanya diabaikan, sampai akhirnya berkembang menjadi gangguan yang lebih dramatis seperti demensia yang hebat dan keterbelakangan psikomotor. Gangguan motoris pada mulanya terlihat dari hilangnya koordinasi, tremor, langkah yang goyah, dan bahkan dapat berkembang menjadi ataksia dan paraplegia yang hebat. c Sub grup C : Penyakit Infeksi Sekunder Infeksi Oportunistik : Organisme yang relatif nonvirulen dalam tubuh Universitas Sumatera Utara dapat mengakibatkan infeksi yang hebat dan mengancam jiwa pada pasien yang sistem imunnya sudah rusak akibat HIV. Infeksi oportunistik yang sering dijumpai antara lain Pneumonia pneumositis cranii, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, tuberkulosis, kandidiasis rongga mulut, dan lain sebagainya. D Sub grup D : Kanker Sekunder : Diagnosis dari satu atau beberapa kanker yang terbukti mempunyai hubungan dengan infeksi HIV merupakan indikator dari hilangnya imunitas sel sebagai mediator. Infeksi kanker sekunder yang sering terjadi adalah Sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin, atau limfoma primer dari otak. E Sub grup E : keadaan lain pada Infeksi HIV : Tanda klinis dari penyakit, yang tidak diklasifikasikan seperti di atas, dapat berperan pada infeksi HIV dan merupakan indikator dari cacat pada imunitas sel sebagai mediator pasien, simtom yang berhubungan dengan infeksi HIV termasuk Pneumositis interstisial limfoid kronis dan simtom-simtomnya, dan penyakit infeksi sekunder dan neoplasma lain yang tidak tercantum di atas. Merati, 1999

2.4.4 Pemeriksaan HIV