Karakteristik Perkembangan Moral Siswa Sekolah Dasar

70 a. Refleksi Refleksi dapat dilakukan bersama oleh guru dan siswa di akhir kegiatan pembelajaran, dengan cara merenungkan kembali apa-apa yang telah dipelajari. Hasil refleksi dapat dijadikan sebagai acuan dalam merencanakan dan mengembangkan pembelajaran berikutnya Mulyasa, 2012: 143. Selain itu, dari hasil evaluasi yang telah dilakukan, guru mengetahui kemampuan yang sudah dan yang belum dikuasai siswa. Ada dua kemungkinan kegiatan yang dapat dilakukan guru untuk membantu siswa menguasai kompetensi yang belum dikuasainya Sri Anitah W., 2010: 4.38. Pertama, membahas kembali materi yang belum dikuasai siswa pada saat itu juga, apabila waktunya cukup. Atau, kedua, membahas kembali materi tersebut pada pertemuan berikutnya apabila membutuhkan waktu yang relatif lama.

D. Karakteristik Perkembangan Moral Siswa Sekolah Dasar

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 1 menyatakan Pendidikan Dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar SD dan 71 Madrasah Ibtidaiyah MI atau bentuk lain yang sederajat. Sementara ini di Indonesia, Pendidikan Dasar terdiri atas SDMI ditempuh selama 6 tahun dan SMPMTS ditempuh selama 3 tahun. Pendidikan yang sederajat dengan SDMI program seperti paket B. Masa kanak-kanak akhir sering disebut sebagai masa usia sekolah atau masa sekolah dasar. Masa ini dialami anak pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa pubertas dan masa remaja awal yang berkisar pada usia 11-13 tahun. Pada masa ini anak sudah matang bersekolah dan sudah siap masuk sekolah dasar Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 104. Karakteristik peserta didik dapat dibedakan sesuai dengan jenjang pendidikan. Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Perkembangan moral terlihat dari perilaku moralnya dimasyarakat yang menunjukkan kesesuaian dengan nilai dan norma di masyarakat Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 110. Menurut Piaget dalam IG. A. K. Wardani, dkk. 2009: 4.27 anak usia sekitar 5 tahun mempunyai konsep bahwa benar salah masih dipahami dengan kaku. Anak menganggap berbohong itu adalah perbuatan yang salah dan tidak baik. Pada tahap ini menurut Piaget disebut dengan tahap moralitas heteronomus heteronomous morality. Tetapi pada anak usia sekitar 11 tahun, yang proses berpikirnya sudah mulai berkembang, banyak bergaul dengan teman sebayanya dan adanya pengaruh dari lingkungan, kadang- kadang menganggap bahwa berbohong tidak selalu buruk. Misalnya, bagi 72 anak usia 5 tahun, berbohong adalah hal buruk, tetapi bagi anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong adalah dibenarkan, dan oleh karenanya berbohong tidak terlalu buruk Rita Eka Izzaty, 2008: 110. Kohlberg dalam Rita Eka Izzaty, dkk. 2008: 110 memperluas teori Piaget dan menyebut tingkat kedua dari perkembangan moral masa ini sebagai tingkat moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Kohlberg menamakan moralitas anak baik untuk tingkat pertama perkembangan moral anak-anak IG. A. K. Wardani, dkk., 2009: 4.27. Pada tahap ini anak mengikuti semua peraturan yang telah diberikan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang lain dan berharap dapat diterima dalam kelompok. Sebagai contoh, karena sedang libur sekolah, Sita berumur 5 tahun ikut ibunya ke kantor. Pada waktu sampai di ruangan, ibunya berkata: “Sita..., ini tante Ima, ayo beri salam..., dan juga pada om dan tante yang lain ya...”. Dengan patuh Sita berkeliling menyalami satu persatu teman-teman ibunya. Pada tingkat kedua perkembangan moral anak, Kohlberg menyebutnya dengan moralitas konvensial atau moralitas dari aturan-aturan. Yang dimaksud disini, anak menyesuaikan diri pada peraturan-peraturan yang ada dalam kelompok dan disepakati bersama oleh kelompok tersebut. Sebagai contoh, Ruben sebagai anggota Palang Merah Remaja yang baru bergabung, diwajibkan mencuci piring sebagai masa orientasinya seperti juga anggota kelompok lainnya. Dalam hal ini Ruben mematuhi peraturan tersebut dengan senang hati IG. A. K. Wardani, dkk., 2009: 4.27. 73 Kohlberg dalam Rita Eka Izzaty 2008: 110-111 menyatakan adanya enam tahap perkembangan moral. Keenam tahap tersebut terjadi tingkatan, yakni tingkatan: 1 pra-konvensional; 2 konvensional dan 3 pasca konvensional. Pada tahap pra-konvensional, anak peka terhadap peraturan- peraturan yang berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik buruk, benar-salah tetapi anak mengartikannya dari sudut akibat fisik suatu tindakan. Pada tahap konvensional, terlihat bahwa anak loyal, ingin menjaga, menunjang, dan memberi justifikasi pada ketertiban. Pada tahap pasca- konvensional ditandai dengan adanya usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip tersebut terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak diantaranya adalah IG. A. K. Wardani, dkk., 2009: 4.27-4.29. a. Lingkungan rumah Anak akan melihat dan meniru semua sikap dan perilaku setiap anggota keluarga, sehingga peran orang tua sangat berpengaruh dalam pembentukan tingkah laku anak di rumah. b. Lingkungan sekolah Di sekolah dengan diadakan kegiatan yang mengandung unsur- unsur persaingan yang sehat, seperti olah raga akan melatih anak untuk belajar bagaimana menerima kekalahan, berjiwa sportif, menghormati kemenangan orang lain, menerima kekalahan, dan juga dapat melatih kerja sama. c. Teman sebaya dan aktivitasnya Masing-masing anak akan memiliki pola sikap maupun pola kepribadian. Apabila dalam satu kelompok terdapat perbedaan yang jauh antara pola sikap maupun kepribadiannya dengan lingkungan maka akan muncul konflik. Apabila antara mereka masih 74 mempertahankan sikap dan tidak mau menyesuaikan diri dengan norma lingkungannya, maka akan sulit diterima oleh lingkungannya. d. Intelegensi dan jenis kelamin Anak dengan intelegensi rendah mengalami kesulitan untuk mencerna norma-norma, sehingga anak tersebut akan menarik diri, pemalu, dan ditolak oleh lingkungan atau kelompoknya. Kemungkinan anak akan menjadi agresif karena terjadinya penolakan tersebut.

E. Kerangka Pikir

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI NILAI – NILAI DEMOKRASI DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SMP NEGERI 3 GRINGSING BATANG

0 15 153

PENGELOLAAN NILAI NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Pengelolaan Pembelajaran Nilai Nasionalisme dalam Mata Pelajaran Pendidikan Kwarganegaraan di SMK PGRI Sukoharjo Tahun 2012/2013.

0 3 15

PENGELOLAAN NILAI NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Pengelolaan Pembelajaran Nilai Nasionalisme dalam Mata Pelajaran Pendidikan Kwarganegaraan di SMK PGRI Sukoharjo Tahun 2012/2013.

0 1 16

NILAI NASIONALISME DALAM FILM SANG KIAI Nilai Nasionalisme Dalam Film Sang Kiai (Analisis Isi Film sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).

0 3 14

PENANAMAN NILAI-NILAI NASIONALISME MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Melalui Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Studi Kasus di MTs Negeri Surakarta II Tahun 2013).

0 2 23

PENDAHULUAN Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Melalui Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Studi Kasus di MTs Negeri Surakarta II Tahun 2013).

0 2 10

PENANAMAN NILAI-NILAI NASIONALISME MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Melalui Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Studi Kasus di MTs Negeri Surakarta II Tahun 2013).

0 1 12

Pembelajaran Sejarah yang Mengintegrasikan Nilai-Nilai Nasionalisme Kelas XI SMA Negeri 1 Teras Boyolali.

0 0 17

PENDIDIKAN NILAI NASIONALISME DI KELAS V SD NEGERI 1 PANDOWAN GALUR KULON PROGO.

0 0 367

PELAKSANAAN PENANAMAN NILAI NASIONALISME DI SD NEGERI II KLATEN.

1 1 190