Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

3 mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Perkembangan matematika yang begitu pesat juga menuntut generasi muda untuk lebih meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing di masa yang akan datang. Syarat penguasaan matematika jelas tidak bisa dikesampingkan. Kemampuan berpikir secara logis, analitis, sistematis, kreatif dan bekerja sama dalam belajar matematika diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Namun meningkatnya ilmu matematika masih belum dibarengi dengan sumber daya manusia terutama di Indonesia. Karena nyatanya ilmu matematika di Indonesia masih kurang diminati oleh para generasi muda khususnya pelajar sekolah menengah. Padahal matematika merupakan ilmu dasar dari setiap hal yang terjadi di lingkungan kita. Tidak heran jika matematika diajarkan dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Selain itu matematika juga diberi porsi jam pelajaran lebih banyak dibanding mata pelajaran lain. Namun sampai saat ini masih banyak siswa yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit, menakutkan, dan membosankan karena siswa-siswi kesulitan untum memahami konsep dan mengerjakan soal-soal matematika. Kenyataan dewasa ini, matematika belum diterima dengan sukarela atau senang hati oleh siswa menjadi pekerjaan atau tugas khusus bagi guru sebagai pendidik khususnya guru matematika. Hal ini dapat diantisipasi dengan memberikan wawasan dan arahan serta pendekatan yang tepat kepada siswa. Khususnya tentang penggunaan atau aplikasi matematika dalam bidang ilmu lain dalam kehidupan sehari-hari. Secara sengaja atau tidak sengaja maupun langsung atau tidak langsung, masyarakat atau siswa menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Soal-soal matematika yang ditulis dalam beberapa buku paket matematika sekolah tidak hanya berupa angka tapi juga banyak yang berupa soal cerita. Soal-soalnya pun tidak hanya menuntut cara berpikir yang rutin tetapi banyak juga soal-soal cerita yang menuntut cara berpikir yang tidak biasa. Saat ini 4 mulai banyak metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah tidak hanya sekedar ceramah sehingga pengetahuan matematika tidak berpusat pada guru saja tetapi siswa juga dituntut untuk membangun suatu konsep. Soal matematika yang disajikan dalam soal cerita tidak hanya bilangan dan metode pembelajarannya dapat memberikan makna tertentu. Melalui matematika, siswa dapat berlatih menggunakan fikirannya secara logis, sistematis, kritis dan kreatif serta membantu siswa dalam menyelesaikan berbagai masalah yang mungkin dihadapinya di kehidupan sehari- hari. Matematika yang disajikan dalam bentuk masalah akan memberikan motivasi kepada siswa untuk mempelajari matematika lebih dalam. Dengan dihadapkan suatu masalah matematika, siswa akan berusaha menemukan penyelesaiannya melalui berbagai strategi pemecahan masalah matematika. Kepuasan akan tercapai apabila siswa dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Kepuasan intelektual ini merupakan motivasi intrinsik bagi siswa. Masalah adalah sebuah kata yang sering terdengar oleh kita. Namun sesuatu menjadi masalah tergantung bagaimana seseorang mendapatkan masalah tersebut sesuai kemampuannya. Terkadang dalam pendidikan matematika di sekolah ada masalah bagi kelas rendah namun bukan masalah bagi kelas tinggi. Banyak ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon, namun mereka juga menyatakan bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Menurut Cooney dalam Atmini, suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan challenge yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin routine procedure yang sudah diketahui oleh pemecah masalah. 3 Masalah merupakan suatu konflik, hambatan bagi siswa dalam menyelesaikan tugas belajarnya di kelas. Namun masalah harus diselesaikan agar proses berpikir siswa terus berkembang. Semakin banyak siswa dapat menyelesaikan setiap permasalahan matematika, maka siswa akan kaya akan variasi dalam menyelesaikan soal-soal matematika dalam bentuk apapun. 3 Atmini Dhurori dan Markaban, Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah dalam Kajian Aljabar di SMP, Yogyakarta: PPPPTK, 2010, h. 6-7. 5 Masalah yang dihadapi di dunia nyata tidak beraturan, mengambang, kacau, kompleks, dan amat sering tidak memiliki satu solusi yang tepat. Bentuk masalah- masalah seperti ini menuntut paradigma yang berbeda juga di mana para pendidik dan pembelajarnya dihadapkan dengan situasi yang mengambang yang menuntut pemecahan masalah. Karenanya siswa diharapkan dapat memiliki kemampuan dalam memecahkan berbagai masalah, baik yang terjadi di dalam kelas maupun di luar kelas. Kemampuan yang dapat memberikannya pengetahuan yang berguna tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi juga di kehidupan nyata. Menurut NCTM, dalam belajar matematika siswa dituntut untuk memiliki kemampuan: problem solving pemecahan masalah, reasoning and proof pemahaman konsep,connections koneksi matematika, communication komunikasi matematika dan representation representasi matematika. 4 Sejalan dengan NCTM, Sumarmo mengatakan bahwa pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan pada pengembangan daya matematik siswa yang meliputi: kemampuan untuk mengeksplorasi, menyusun konjektur dan memberikan alasan secara logis, kemampuan untuk menyelesaikan masalah non rutin, mengomunikasikan ide mengenai matematika dan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi, menghubungkan ide-ide dalam matematika antar matematika dan kegiatan intelektual lainnya. 5 Sejalan dengan hal tersebut, kemampuan pemecahan masalah sangatlah penting dan harus segera dimiliki oleh siswa yang mempelajari matematika. Menurut Permendiknas No 22 Tahun 2006, mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memilikikemampuan sebagai berikut: 6 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep danmengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dantepat dalam pemecahan masalah. 4 The National Council of Teachers of Mathematics, Principles and Standards for School Mathematics, USA: NCTM, 2000, p. 7 5 Utari Sumarmo, Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik, Bandung: FMIPA-UPI, 2010, h. 3 6 Sri Wardhani, Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMPMTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika, Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2008, h. 2 6 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, ataumenjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkansolusi yang diperoleh. 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau medialain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitumemiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajarimatematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Salah satu implementasi dari Permendiknas no 22 Tahun 2006 adalah penekanan soal pemecahan masalah pada soal olimpiade. Fajar menyatakan bahwa hal ini dapat dilihat dengan sebagian besar soal olimpiade matematika nasional yang berorientasi pada pemecahan masalah. Sejalan dengan sola olimpiade matematika nasional, dalam olimpiade matematika internasional juga terdapat soal penyelesaian masalah. Salah satu olimpiade matematika internasional adalah TIMSS Trend in International Mathematics and Science Study dan fakta penting pada penyelenggaraan TIMSS adalah Negara Latvia memperoleh perubahan nilai yang signifikan pada penyelenggaraan TIMSS 1995 dan TIMSS 2003. Hal ini karena Latvia merombak seluruh kurikulum, tujuan pendidikan serta buku pelajaran sesuai dengan refleksi dari tes internasional. Hal di atas menunjukkan bahwa arah atau orientasi pembelajaran matematika adalah kemampuan pemecahan masalah matematika. Kemampuan ini sangat berguna bagi siswa pada saat mendalami matematika maupun kehidupan sehari-hari, bukan saja mereka yang mendalami matematika, tetapi juga yang akan menerapkannya dalam bidang lain. Karena dalam kehidupan nyata, sebagian besar pekerjaan sehari-hari membutuhkan suatu pemecahan masalah, baik sebagai seorang manajer, mekanik mobil, dokter, guru, konselor, atau pekerjaan lain. 7 Pemecahan masalah problem solving merupakan kompetensi atau kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa setelah mempelajari matematika. Kemampuan tersebut tidak hanya diperlukan siswa saat mempelajari matematika atau pelajaran lain, namun sangat dibutuhkan setiap manusia pada umumnya pada saat memecahkan suatu masalah atau membuat keputusan. Kemampuan yang demikian memerlukan pola pikir yang memadai. Pola pikir yang memadai dalam memecahkan masalah adalah pola pikir yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis dan kreatif. Pola pikir seperti itu dibina dan dikembangkan dalam belajar matematika. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa masih rendah, hal ini dapat dilihat dari hasil belajar matematika siswa kelas VIII SMP Bhinneka Tunggal Ika tahun ajaran 20122013. Rendahnya hasil belajar matematika siswa ada kaitannya dengan pendekatan pembelajaran yang dilakukan guru. Proses pembelajaran matematika pada umumnya dilakukan secara konvensional, drill, bahkan ceramah. Proses pembelajaran seperti ini hanya menekankan pada tuntutan pencapaian kurikulum daripada mengembangkan kemampuan belajar siswa. Dari hasil wawancara dengan guru bidang studi Matematika di SMP Bhinneka Tunggal Ika mengenai kondisi siswa dalam berlangsungnya kegiatan belajar mengajar matematika. 7 Beliau mengatakan bahwa hasil belajar matematika siswa kelas VIII masih kurang. Hal ini terlihat saat siswa diberi suatu permasalahan masih belum dapat menyelesaikan dengan langkah yang benar. Dan terkadang kecepatan mengerjakan soalpun sangat lambat. Seringkali satu pertemuan hanya mampu mengerjakan dua hingga tiga soal pemecahan masalah. Sehingga membuat materi lain menjadi terlambat untuk dipelajari. Disamping itu, masalah lain yang muncul di sekolah tersebut diantaranya siswa masih terlalu bergantung pada guru. Siswa hanya dapat mengerjakan soal latihan yang sama persis dengan yang dicontohkan guru, namun setelah diberikan soal lain yang sedikit diubah bentuknya maka siswa cenderung 7 Wawancara dengan Bapak Budi S.Pd. selaku guru bidang studi Matematika di SMP Bhinneka Tunggal Ika, Jakarta Pusat, pada tanggal 10 Agustus 2012 8 bingung dan tidak mampu menyelesaikannya. Hal tersebut terjadi karena guru di sekolah masih cenderung menggunakan cara-cara tradisional seperti ceramah, tanya jawab dan drill. Matematika merupakan ilmu yang kaya, menarik, banyak terkait dengan kehidupan, memungkinkan banyak eksplorasi dan interaksi yang dapat dilakukan siswa. Namun, dalam pembelajaran matematika interaksi yang sering terjadi adalah pemberitahuan definisi dan aturan oleh guru kemudian dilanjutkan dengan demonstrasi pemakaian definisi dan aturan tersebut dalam contoh dan latihan soal. Menurut Ruseffendi, proses pembelajaran matematika di sekolah, pada umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya bukan melalui kegiatan eksplorasi. Sehingga pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal. 8 Pembelajaran yang demikian membuat siswa kurang aktif karena kurang memberi peluang kepada siswa untuk lebih banyak berinteraksi dengan sesama dan dapat membuat siswa memandang matematika sebagai suatu kumpulan aturan dan latihan yang dapat berujung pada rasa bosan dan bingung saat diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan. Selain cara mengajar guru, rendahnya hasil belajar siswa juga disebabkan lemahnya siswa dalam kemampuan dasar bermatematika lainnya. Jenning dan Dunne mengatakan bahwa pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari, indikasinya adalah pada pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika dirasakan kurang bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan pengetahuan sebelumnya prior-knowledge yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan 8 Ruseffendi, Pengantar Kepada Mengembangkan Kompetensi Guru Matematika untuk Meningkatkan CBSA Pengajaran Matematika Modern, Bandung: Tarsito, 2006 9 kesempatan untuk menemukan kembali reinvention dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Pendidikan matematika di Indonesia pada umumnya masih berada pada pendidikan matematika konvensional yang banyak ditandai oleh strukturalistik dan mekanistik. Kebanyakan guru matematika mengontrol secara penuh materi serta metode penyampaiannya. Dengan cara seperti ini, penekanan hanya pada kemampuan mengingat memorizing atau menghafal rote learning dan sangat kurang penekanan pada pemahaman understanding. Karena itu perlunya pendekatan yang tidak hanya berpusat pada guru melainkan pada siswa. Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya berpusat pada guru teacher centered menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa learner centered diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Menurut Gregoria, pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah pembelajaran dengan menggunakan sepasang perspektif, yaitu fokus pada individu pembelajar keturunan, pengalaman, perspektif, latar belakang, bakat, minat, kapasitas, dan kebutuhan dengan fokus pada pembelajaran pengetahuan yang paling baik tentang pembelajaran dan bagaimana hal itu timbul serta tentang praktek pengajaran yang paling efektif dalam meningkatkan motivasi, pembelajaran, dan prestasi bagi semua pembelajar. Fokus ganda ini selanjutnya memberikan informasi dan dorongan pengambilan keputusan pendidikan. Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan aktif siswa ini berarti guru tidak mengambil hak anak untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya. Pada proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, maka siswa memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam deep learning, dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas siswa. Salah satu proses pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah dengan menggunakan pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs. Selain itu, karena adanya kekurangan pada pendekatan yang dilakukan guru dalam meningkatkan kemampuan pemecahan 10 masalah matematika siswa, maka muncullah pendekatan MEAs yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Menurut Chamberlin, pembelajaran matematika dengan pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs merupakan suatu alternatif pendekatan yang berupaya membuat siswa dapat secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Dalam pendekatan MEAs memunculkan masalah yang nyata adalah salah satu karakteristiknya. Dengan memunculkan masalah yang nyata maka secara lebih mudah dapat mengaitkan konsep matematika yang abstrak oleh siswa. Sehingga dapat memunculkan ketertarikan siswa terhadap masalah tersebut dan membuatnya aktif untuk mencari penyelesaiannya. 9 Keaktifan siswa itu terwujud dalam salah satu karakteristik pendekatan MEAs yaitu memberikan siswa peluang untuk mengambil kendali atas pembelajaran mereka sendiri dengan memunculkan masalah yang berhubungan dengan siswa. Chamberlin menambahkan pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs didasarkan pada situasi kehidupan nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model matematis untuk membantu siswa membangun pemecahan masalah. Selain itu MEAs juga disusun untuk membantu siswa membangun pemecahan masalah dunia nyata mereka ke arah peningkatan konstruksi matematika dan terbentuk karena adanya kebutuhan untuk membuat siswa menerapkan prosedur matematis yang telah dipelajari. Model-Eliciting Activities MEAs sendiri merupakan pendekatan yang didasarkan pada masalah realistic yang sesuai dengan himbauan Kurikulum 2004 dan Badan Standar Nasional Pendidikan tahun 2006 yang mengemukakan bahwa dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika diharapkan dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi kontekstual. Menurut Geetanjali dalam Lesh, Model-Eliciting Activities MEAs didesain untuk mendorong siswa membangun model matematika untuk memecahkan masalah yang kompleks dan sebagai alat bagi para pendidik untuk 9 Chamberlin dan Moon, How Does the Problem Based Learning Approach Compare to the Model-Eliciting Activities Approach in Mathematics?, 2012, p. 7, www.cimt.plymouth.ac.ukjournalchamberlin.pdf. 11 lebih memahami pemikiran siswa. Beberapa peneliti pendidikan telah mengembangkan serangkaian alat refleksi memikirkan dan merekam strategi khusus saat pemecahan masalah. Dalam Model-Eliciting Activities MEAs, kegiatan pembelajaran diawali dengan penyajian situasi masalah yang memunculkan aktivitas untuk menghasilkan model matematis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Dalam MEAs, siswa menghasilkan alat konseptual yang mengandung sistem deskriptif yang tegas atau sistem yang menjelaskan fungsi sebagai model yang menyatakan aspek penting mengenai bagaimana para siswa menginterpretasikan situasi pemecahan masalah. Menurut Chamberlin dan Moon, dalam kegiatan Model-Eliciting Activities MEAs terdiri atas empat bagian. Bagian pertama adalah mempersiapkan konteks permasalahan, menyajikan masalah, dan membacakan teks. Bagian kedua adalah bagian pertanyaan “siap-siaga”. Bagian ketiga adalah bagian data. Bagian keempat adalah tugas pemecahan masalah. Melalui rangkaian kegiatan MEAs tersebut, diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Menurut Lesh, dalam tahapan Model-Eliciting Activities MEAs selain memetakan suatu model matematis dari situasi kehidupan nyata, terdapat juga langkah memanipulasi model matematis untuk menghasilkan prediksi dan memcari pemecahan masalahnya. Selanjutnya menerjemahkan model matematis tersebut kembali ke kehidupan nyata dan membuktikan kegunaannya. Tahapan tersebut diharapkan dapat membuat siswa aktif dalam kelompok. Pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs merupakan jembatan antara model dan interpretasi, memberi peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya dalam belajar matematika. Dengan menggunakan MEAs, belajar siswa menjadi lebih bermakna karena ia dapat mempelajari situasi kehidupan nyata dan menyelesaikan masalah yang terdapat di dalamnya. Sehingga pelajaran di kelas pun menjadi terasa nyata karena masalah yang dipelajari berasal dari dunia nyata yang sering mereka hadapi sehari-hari. Hal ini diharapkan membuat siswa mengubah pandangannya bahwa matematika 12 sebagai pelajaran yang sulit dan siswa sebenarnya mampu mempelajari matematika. Berdasarkan uraian di atas, maka keperluan untuk melakukan studi yang berfokus pada pengembangan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, yakni pembelajaran matematika dengan pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs dipandang penulis sangat penting. Dalam kaitan ini maka penulis mencoba melakukan penelitian yang berhubungan dengan pembelajaran matematika dengan pendekatan MEAs dengan kemampuan pemecahan masalah yang dilaksanakan di SMP, dan mengungkapkan apakah pembelajaran Model-Eliciting Activities MEAs memberikan kontribusi terhadapa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Penelitian ini dirancang untuk melihat Pengaruh Pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs Terhadap Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP . B. Identifikasi Masalah Penelitian ini melibatkan siswa kelas VIII SMP Bhinneka Tunggal Ika Jakarta Pusat. Dipilih kelas VIII dikarenakan peneliti akan mengambil materi tentangsistem persamaan linear dua variabel. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka permasalahan dapat dididentifikasi sebagai berikut: 1. Rendahnya hasil belajar matematika siswa. 2. Rendahnya kemampuan memecahkan permasalahan matematika. 3. Pendekatan belajar yang kurang menarik dan membosankan bagi siswa dan kurang mengaitkan dengan pengetahuan awal siswa serta terlalu berpusat pada guru dan kurang mengembangkan ide dan kreativitas siswa.

C. Pembatasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan masalah, penelitian ini dibatasi pada penggunaan pendekatanModel-Eliciting Activities MEAs terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa dalam belajar matematika. Beberapa istilah terkait dengan masalah tersebut diberi batasan sebagai berikut: 1. Bidang yang diteliti hanya mencakup pembelajaran sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan pendekatan Model-Eliciting Activites MEAs di SMP Bhinneka Tunggal Ika Jakarta Pusat. Dan siswa yang 13 dimaksud dalam penelitian adalah siswa SMP Bhinneka Tunggal Ika kelas VIII semester ganjil tahun ajaran 20122013. 2. Pendekatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendekatan Model- Eliciting Activities yaitu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan penyajian situasi maslah dunia nyata yang memunculkan aktivitas untuk menghasilkan model matematis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika melalui tahapan proses pemodelan matematika. 3. Kemampuan yang ingin diteliti adalah kemampuan pemecahan masalah matematika yaitu satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai tanpa menggunakan prosedur yang rutin.Indikator pemecahan masalah matematika yang diambil pada aspek kognitif dan pada tingkatan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi penerapan.

D. Rumusan Masalah

Setelah mengetahui latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs? 2. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional? 3. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs lebih tinggi dari siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs. 2. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional. 3. Perbandingan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Model-Eliciting Activities MEAs dengan 14 kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi: 1. Penulis, dapat memperoleh pengalaman langsung dalam menerapkan pendekatan pembelajaran Model-Eliciting Activities MEAs dalam proses pembelajaran. 2. Guru, sebagai masukan atau informasi untuk memperoleh gambaran mengenai pendekatan pembelajaran Model-Eliciting Activities MEAs dalam kegiatan belajar mengajar matematika, sehingga dapat dijadikan alternatif dalam pembelajaran matematika dikelas. 3. Peneliti selanjutnya, sebagai salah satu sumber informasi dan bahan rujukan untuk mengadakan penelitian yang lebih lanjut yang dapat mengembangkan pendekatan pembelajaran di kelas. 4. Sekolah, dapat meningkatkan kualitas sekolah melalui peningkatan hasil belajar siswa dan dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran matematika di sekolah. 5. Siswa, dapat memberikan pengalaman baru dalam proses belajar mengajar matematika. 6. Perkembangan ilmu pengetahuan  Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendekatan, model, dan strategi pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa.  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam pembelajaran matematika.

Dokumen yang terkait

Pendekatan Pembelajaran Model Eliciting Activities (Meas) Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa (Studi Eksperimen Di Smp Negeri 178 Jakarta)

2 25 225

Pengaruh Pendekatan Model Eliciting Activities (MEA;) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa

10 55 273

PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ELICITING ACTIVITIES (MEAS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN ABSTRAKSI MATEMATIS SISWA SMP.

3 12 15

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES (MEAs) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA: Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa SMP Negeri 9 Cimahi Kelas VII.

0 1 49

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ELICITING ACTIVITIES (MEAS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP : Suatu Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VII SMP Negeri 26 Bandung.

0 2 39

PENERAPAN PENDEKATAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES (MEAs) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP.

1 1 50

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ELICITING ACTIVITIES (MEAS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP : Suatu Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VII SMP Negeri 26 Bandung.

1 3 44

PENERAPAN PENDEKATAN MODEL ELICITING ACTIVITIES (MEAs) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP.

3 9 38

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES (MEAs) : Penelitian terhadap siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Pamarican Ciamis.

1 3 57

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Melalui Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs)

0 1 9