Keterbatasan Penelitian Gambaran Perencanaan Program MP-ASI Biskuit untuk Baduta Korban

keputusan tentang apa yang akan dikerjakan di masa depan, tetapi juga merupakan petunjuk operasionalisasinya. Sedangkan Kemenkes belum membuat petunjuk teknis pelaksanaan yang lengkap yang memuat ketentuan konsumsi dan teknis pemantauan kepada sasaran. Muninjaya 2004 berpendapat bahwa tanpa ada perencanaan yang tersusun lengkap, maka tidak lengkap pula kejelasan kegiatan yang akan dilaksanakan dan akan berakibat pada pelaksanaan fungsi manajemen lainnya. Tidak adanya ketentuan konsumsi MP-ASI ini membuat para pelaksana program di tingkat bawah berusaha melaksanakannya sebaik mungkin dengan cara mereka sendiri. Ada yang berencana membagikan secara merata, sehingga setiap anak hanya mendapat sedikit MP-ASI, namun ada pula yang berencana membagikan seorang balita untuk konsumsi selama 7 hari. Meskipun program tersebut merupakan program Kemenkes dan belum mendapat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya, sebaiknya Dinas Kesehatan ProvinsiKota lebih aktif dan kritis untuk meminta petunjuk tersebut. Jika memang Kemenkes belum menyusunnya, seyogyanya berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, asas desentralisasi yang sudah diterapkan dapat dijadikan dasar untuk membuat prosedur teknis pemberian MP-ASI sesuai kondisi di wilayah DKI Jakarta, termasuk Jakarta Selatan. Sedangkan perencanaan yang dilakukan dari tingkat Kota hingga Posyandu adalah perencanaan dalam menentukan lokasi rawan bencana banjir yang akan diberikan MP-ASI, jumlah MP-ASI yang akan diberikan dan pendistribusiannya. Perencanaan yang dilakukan oleh Koordinator Gizi Sudinkes Jakarta Selatan ialah perencanaan distribusi yang meliputi pengalokasian tempat dan jumlah MP-ASI yang akan diberikan. Berdasarkan data geografi dalam profil Sudinkes Jakarta Selatan, semua Kecamatan di wilayah Jakarta Selatan memiliki jumlah daerah rawan banjir yang hampir sama. Oleh sebab itu, pembagian MP-ASI tersebut disamakan saja untuk setiap Puskesmas Kecamatan. Perencanaan yang dilakukan tersebut tidak berdasarkan data jumlah balita, sehingga dapat terjadi ketidaksesuaian antara jumlah balita dengan jumlah alokasi MP-ASI yang diberikan. Begitu pula perencanaan yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru. Perencanaan yang dilakukan ialah pengalokasian tempat yang akan diberikan MP-ASI dan jumlah MP-ASI yang akan diberikan. Pengalokasian tempat yang akan mendapat MP-ASI dilakukan dengan pemetaan terhadap daerah rawan banjir terlebih yang diperoleh dari data geografi Kecamatan Kebayoran Baru. Dari 10 Kelurahan yang ada di wilayah Kecamatan Kebayoran Baru, ada 3 kelurahan yang memiliki daerah rawan banjir. Setelah itu dilakukan penentuan jumlah MP-ASI yang akan diberikan berdasarkan banyaknya daerah rawan banjir tersebut. Penentuan jumlah MP-ASI tersebut juga menggunakan asumsi bahwa wilayah rawan banjir yang luas juga memiliki balita yang banyak. Akan tetapi asumsi tersebut tidak berdasarkan data jumlah balita, sehingga bisa terjadi ketidaksesuaian antara MP-ASI yang diberikan dengan jumlah balita yang ada. Menurut Muninjaya 2004, perencanaan kesehatan akan menjadi efektif jika perumusannya dilakukan berdasarkan fakta dan data. Akan tetapi, perencanaan distribusi yang dilakukan di tingkat kota dan kecamatan tersebut hanya melihat dari fakta yang terjadi bahwa daerah yang menjadi daerah rawan banjir memang seringkali dilanda banjir dan data geografi saja, tidak sampai melihat data demografi berupa jumlah balita, status gizi dan data sosial ekonomi. Dengan perencanaan tersebut, dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara jumlah balita dengan jumlah alokasi MP-ASI yang diberikan. Dampak yang dapat terjadi adalah kurangnya makanan di wilayah yang jumlah balitanya melebihi MP-ASI yang diberikan. Menurut UNICEF 1998 dalam Azwar 2004, tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas secara langsung mempengaruhi masalah gizi balita. Sebaliknya, kelebihan bantuan pangan dapat terjadi di wilayah yang jumlah balitanya lebih sedikit dari MP-ASI yang diberikan. Hambatan yang dirasakan oleh Koordinator Gizi Sudinkes Jakarta Selatan adalah dalam penentuan lama hari pemberian MP-ASI dan tempat penyimpanan MP-ASI. Hal ini disebabkan belum adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kemenkes terkait hal tersebut tersebut dan terbatasnya jumlah MP-ASI yang diberikan, sehingga bisa terjadi ketidaksesuaian dengan jumlah balita dan lamanya kejadian banjir. Jika banjir yang terjadi melebihi stok MP-ASI yang diberikan dapat mengakibatkan kekurangan pangan dan kelaparan. Sebaliknya, jika lamanya kejadian banjir hanya beberapa hari, sedangkan MP-ASI yang diberikan melebihi lamanya kejadian banjir, maka makanan tersebut akan berlebih dan mubazir. Berdasarkan wawancara dengan para informan, masalah terbatasnya stok tersebut dapat diatasi dengan pengalihan MP-ASI dari lokasi lain yang belum terpakai dan pengadaan makanan tambahan serupa, yaitu biskuit produk lain dengan menggunakan dana swadaya masyarakat. Sedangkan untuk tempat penyimpanan, karena tidak ada dana khusus untuk penyimpanan, maka MP-ASI tersebut tidak disimpan dahulu di gudang khusus yang berada di Jl. Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan tetapi langsung dibawa ke gedung Sudinkes Jakarta Selatan untuk segera didistribusikan ke seluruh Puskesmas kecamatan. Selain itu, juga karena keterbatasan gedung Puskesmas untuk menyimpan barang, dikhawatirkan MP-ASI yang diberikan terlalu banyak sehingga tidak ada tempat yang memadai untuk menyimpannya. Dengan tidak adanya tempat khusus penyimpanan ini, MP-ASI dapat diletakkan di mana saja. Jika tempat tersebut tidak aman, baik dari manusia maupun hewan dapat mengakibatkan rusak dan hilangnya MP-ASI biskuit tersebut. Akan tetapi, berdasarkan wawancara dengan TPG Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru, hal ini dapat diatasi dengan dilakukannya pendistribusian langsung ke Puskesmas kelurahan sehingga MP-ASI tidak menumpuk di Puskesmas kecamatan. Selain itu, perencanaan yang dibuat oleh petugas pelaksana juga belum memperhitungkan risiko. Hal ini terlihat pada hasil penelitian yang menunjukkan belum adanya rencana alternatif jika suatu wilayah yang sudah mendapat alokasi MP-ASI ternyata tidak mengalami banjir tetapi tidak lama lagi akan mengalami kadaluarsa. Sedangkan menurut Siagian 2012, rencana yang baik harus memperhitungkan risiko, sehingga faktor ketidakpastian dalam menghadapi masa depan dapat dikurangi sampai tingkat yang minimal. Berdasarkan wawancara dengan TPG Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru, risiko itu sebenarnya sudah dipikirkan, akan tetapi masih belum ditentukan alternatif untuk mengatasinya sebab belum ada instruksi terkait hal tersebut. Jika penentuan alternatif risiko ini belum direncanakan, maka stok MP-ASI tersebut dapat tidak terpakai dan mubazir. Oleh sebab itu, sebaiknya dilakukan perencanaan yang memperhitungkan risiko mubazirnya MP-ASI ini, seperti pengalihan MP-ASI kepada balita gizi kurang dari keluarga miskin yang membutuhkan bantuan pangan. Hal ini perlu dilakukan sebab bencana merupakan sesuatu yang tidak pasti. Perencanaan yang dilakukan di Puskesmas Kelurahan Petogogan ialah perencanaan distribusi, yaitu pengalokasian tempat dan jumlah MP-ASI yang akan diberikan. Penentuan lokasi yang berhak mendapat MP-ASI dilakukan berdasarkan data demografi Kelurahan Petogogan. Dari 6 RW di kelurahan Petogogan, terdapat 3 RW yang merupakan daerah rawan banjir. Kemudian ketiga RW tersebut mendapat alokasi MP-ASI secara merata. Sedangkan berdasarkan hasil telaah dokumen data geografi dan demografi di daerah tersebut, luasnya daerah rawan banjir dan jumlah balita di ketiga RW tersebut tidaklah sama. RW 01 hanya memiliki 5 RT yang menjadi daerah rawan banjir. Sedangkan RW 02 dan 03 memiliki 15 RT yang menjadi daerah rawan banjir. RW 01 terdapat 28 balita. Sedangkan RW 02 terdapat 217 balita dan RW 03 terdapat 248 balita. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah balita yang berada di wilayah RW 02 dan 03 lebih banyak dari RW 01. Pemerataan distribusi jumlah MP-ASI tersebut tidaklah sesuai dengan data yang ada di lapangan. Akibatnya, balita di RW 02 dan 03 berpeluang mendapat MP-ASI yang lebih sedikit. Sedangkan jika melihat data jumlah baduta, di RW 02 terdapat 4 orang baduta, di RW 02 terdapat 44 orang baduta dan di RW 03 terdapat 44 orang baduta. Dengan menggunakan data jumlah baduta tersebut, sebaiknya dapat dilakukan pembagian MP-ASI sesuai dengan jumlah baduta yang ada dengan perhitungan 120 grharianak Depkes dan kesos RI, t.t. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dari sejumlah MP-ASI yang diterima setiap anak berhak mendapat berapa banyak MP-ASI. Sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kekurangan ataupun kelebihan MP-ASI. Atau jika terbentur dengan ketersediaan MP-ASI, maka dapat diprioritaskan mana yang sebaiknya diberikan MP-ASI, yaitu baduta BGM dan 2T. Sebab pemberian MP-ASI dapat diprioritaskan untuk kasus gizi kurang di masyarakat Kemenkes, 2011. Selain itu, dua hal lagi yang menjadi kelemahan dalam perencanaan baik di tingkat kota maupun kelurahan adalah tidak adanya perencanaan pengawasan serta penilaian termasuk pelaporan hasil kegiatan pemberian MP-ASI. Dengan tidak adanya perencanaan pengawasan kegiatan pemberian MP-ASI maka petugas tidak akan melakukan pengawasan jalannya program ini. Seperti apa yang dikatakan Koontz dan Donnell bahwa tanpa perencanaan, pengawasan tidak akan mungkin terlaksana karena tidak ada pedoman untuk mengawasi Siagian, 2012. Tidak adanya pengawasan akan mengakibatkan tidak diketahuinya penyimpangan dan kesenjangan dalam pelaksanaan program. Sehingga tidak dapat diketahui apakah program tersebut sudah berjalan dengan baik atau belum. Hal ini seperti teori Muninjaya 2004, yaitu fungsi pengawasan sangat erat kaitannya dengan fungsi perencanaan. Sebab dengan adanya pengawasan, maka kesenjangan dan penyimpangan dari suatu program dapat dideteksi, yang kemudian harus dikendalikan atau dikurangi. Hal ini bertujuan agar penggunaan sumber daya dapat lebih diefisienkan dan tugas-tugas staf untuk mencapai tujuan program dapat lebih diefektifkan. Sedangkan untuk pelaporan hasil kegiatan pemberian MP-ASI, mereka menunggu adanya instruksi untuk melapor terlebih dahulu. Jika tidak ada permintaan untuk melaporkan hasil kegiatan pemberian MP-ASI ini, maka pelaporan tidak dilakukan. Dengan perencanaan yang seperti ini, maka pelaporan belum tentu dilakukan, sebab tidak jelas unsur perencanaannya, seperti data apa saja yang dilaporkan dan setiap kapan harus melaporkannya. Hal ini juga berdampak pada tidak jelasnya hasil program dan berakibat pada tidak adanya masukan dan perbaikan untuk pelaksanaan program di waktu mendatang. Perencanaan yang telah dilakukan oleh para pelaksana program tersebut pada dasarnya telah sesuai dengan pedoman yang dibuat Kemenkes mengenai pengelolaan MP-ASI buffer stock, yaitu Dinkes Kota, lintas program dan sektor, serta stakeholder menyusun rencana distribusi Rensi sampai ke sasaran Kemenkes, 2011. Meskipun masih terdapat kekurangan, perencanaan tersebut telah memenuhi beberapa ciri rencana yang baik menurut Siagian 2012, antara lain mempermudah tercapainya tujuan, keterkaitan rencana dengan pelaksanaan, kesederhanaan, dan fleksibilitas. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan yang melakukan perencanaan, secara garis besar perencanaan yang dilakukan telah memenuhi ciri-ciri tersebut, antara lain: a. mempermudah tercapainya tujuan Tujuan dari program MP-ASI bencana ini adalah mengantisipasi kejadian luar biasa yang berdampak pada status gizi dan kesehatan masyarakat dalam mencegah terjadinya gizi kurang dan gizi buruk pada balita Kemenkes, 2012b. Rencana yang disusun para petugas untuk mendistribusikan MP-ASI sesegera mungkin setelah menerimanya telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan tersebut. Selain itu, juga sesuai dengan prinsip dan tujuan penanggulangan bencana, yaitu cepat. Selain itu, perencanaan untuk diberikan kepada semua balita dan metode distribusi yang melibatkan kader sebagai pelaksana kegiatan pemberian MP-ASI tersebut sesuai dengan prinsip dan tujuan penanggulangan bencana, yaitu pemberdayaan, nondiskriminatif, membangun partisipasi dan kemitraan publik, mendorong semangat gotong royong dan kedermawanan. b. keterkaitan rencana dengan pelaksanaan Menurut Siagian 2012, untuk mempermudah pelaksanaan diperlukan data, saran dan informasi dari dalam organisasi. Dalam perencanaan yang telah dilakukan oleh petugas program gizi tersebut telah berdasarkan data geografi, namun masih belum baik karena tidak menggunakan data jumlah balita. Sehingga terjadi ketidaksesuaian antara MP-ASI yang dialokasikan dengan jumlah balita yang ada. c. kesederhanaan Menurut Siagian 2012, kesederhanaan menyangkut berbagai hal seperti teknik penyusunan, bahasa yang digunakan, format, dan sebagainya. Rencana yang dibuat oleh para petugas program gizi dibuat begitu sederhana yaitu dengan membagi habis MP-ASI yang ada kepada sasaran, sehingga mudah dipahami oleh para pelaksana kegiatan, terutama kader sebagai perpanjangan tangan Puskesmas dalam melaksanakan kegiatan di masyarakat. d. fleksibilitas Fleksibilitas berarti memperhitungkan apa yang mungkin dilaksanakan, tergantung pada kenyataan yang dihadapi Siagian, 2012. Fleksibilitas ini ditunjukkan dengan adanya perencanaan pengalihan MP-ASI yang ada di wilayah lain jika di suatu wilayah mengalami kekurangan MP-ASI untuk balita yang ada di sana. Selain itu rencana pengalihan MP-ASI ke Puskesmas lain jika Puskesmas yang akan diberikan tersebut menolak diberikan sebanyak yang direncanakan karena masih memiliki stok yang banyak.

6.3 Gambaran Pengorganisasian Program MP-ASI Biskuit untuk Baduta

Korban Bencana Dalam penelitian ini, pengorganisasian merupakan upaya untuk membagi tugas dan wewenang kepada para petugas sesuai potensi yang dimiliki. Di setiap organisasi pelaksana sudah terdapat struktur organisasi. Dalam setiap organisasi pelaksana tersebut terdapat tenaga kesehatan yang bertanggung jawab mengelola dan melaksanakan program gizi di wilayahnya. Berdasarkan hasil penelitan, pengorganisasian telah dilakukan dengan baik berdasarkan kapasitas dan spesialisasi bidang yang disesuaikan dengan bidang pendidikan para tenaga pelaksananya, sehingga sebagai pelaksana program MP-ASI yang merupakan bagian dari program gizi diberikan kepada lulusan bidang gizi. Berdasarkan hasil penelitian, program gizi di Puskesmas Kelurahan Petogogan masih dipegang oleh lulusan kebidanan. Hal ini disebabkan minimnya sumber daya manusia yang dimiliki Puskesmas tersebut sehingga 1 orang pegawai dapat bertanggung jawab terhadap beberapa tupoksi. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah sebab bidang kebidanan juga masih berkaitan dengan kesehatan anak balita. Selain itu TPG Puskesmas Kelurahan Petogogan juga senantiasa mengikuti peningkatan wawasan dan pengetahuan tentang gizi yang diadakan Sudinkes Jakarta Selatan agar ia dapat memahami program gizi dengan baik sehingga dapat melaksanakannya dengan baik pula. Pendelegasian wewenang dari Sudinkes Jakarta Selatan kepada TPG Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru, kemudian TPG Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru kepada TPG Puskesmas Kelurahan Petogogan dan TPG Puskesmas Kelurahan Petogogan kepada kader terbilang baik. Sebab pendelegasian wewenang ini seimbang dengan tanggung jawab yang mereka emban. Tanggung jawab untuk mendistribusikan MP-ASI kepada baduta yang menjadi korban banjir dan wewenang untuk meminta agar petugas pelaksana di organisasi tingkat bawahnya melaksanakan tugas yang diberikan ini tidak berat sebelah. Hal ini sesuai dengan pendapat Muninjaya 2004 yang menyatakan bahwa dalam pembagian tugas harus ada keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab staf. Sebab wewenang yang terlalu besar akan mendorong terjadinya korupsi jika pengawasannya lemah. Sebaiknya, tanggung jawab yang terlalu besar akan mengakibatkan staf sangat berhati-hati dan sering ragu dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat menghambat produktivitas. Kelemahan dalam pengorganisasian program ini yaitu belum dilakukannya penugasan terkait pengawasan dan pelaporan hasil kegiatan. Hal ini disebabkan belum adanya penugasan dari tingkat pusat, sehingga penekanan tentang pengawasan dan pelaporan juga tidak dilakukan hingga tingkat kelurahan. Padahal menurut Muninjaya 2004, hal yang paling pokok dalam fungsi pengorganisasian adalah pembagian tugas. Jika pembagian tugas dilakukan dengan jelas, kelompok kerja akan mempunyai spesialisasi tugas yang terarah, sehingga staf akan berusaha mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan tugasnya mencapai tujuan program yang telah ditetapkan. Jika penugasan tidak dilakukan dengan jelas, seperti penugasan mengenai pengawasan dan pelaporan ini, maka tidak akan jelas juga dalam pelaksanaannya. Bahkan pengawasan dan penilaian program ini bias saja tidak dilakukan oleh petugas pelaksana program. Selain itu, di tingkat kota, koordinator gizi juga mengalami kesulitan dalam pembagian tugas karena beliau kurang memperoleh informasi seputar program tersebut. Hal ini disebabkan sosialisasi program dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta kepada seluruh petugas gizi se-Jakarta Selatan terkait program tersebut sudah dilakukan sebelum beliau menjabat sebagai koordinator gizi Sudinkes Jakarta Selatan. Tugas yang diterima dari tingkat provinsi adalah untuk mendistribusikannya kepada sasaran sesuai stok yang ada. Oleh sebab itu, penugasan yang dilakukan kepada petugas pelaksana tingkat kecamatan dan

Dokumen yang terkait

Pengalaman Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di Puskesmas Pembantu Tanjung Gusta Medan Tahun 2010

3 70 50

Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (sT) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-Asi kemenkes di kecamatan Pancoran Jakarta Selatan

4 43 192

Persepsi Warga di Kelurahan Petogogan Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan Terhadap Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehaan

0 3 101

Persepsi warga di Kelurahan Petogogan Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan terhadap program Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan

0 19 0

Penilaian Ekonomi Ganti Rugi Lahan pada Program Normalisasi Sungai di DKI Jakarta (Studi Kasus: Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta Selatan)

5 28 90

Penilaian ekonomi ganti rugi lahan pada program normalisasi sungai di DKI Jakarta (Studi Kasus: Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang Jakarta Selatan)

0 2 175

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG MP-ASI DENGAN PERILAKU PEMBERIAN MP-ASI DAN STATUS GIZI PADA BADUTA USIA 6-24 BULAN Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Mp-Asi Dengan Perilaku Pemberian MP-ASI Dan Status Gizi Pada Baduta Usia 6-24 Bulan Di Kelurahan Kestala

0 1 16

PENDAHULUAN Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Mp-Asi Dengan Perilaku Pemberian MP-ASI Dan Status Gizi Pada Baduta Usia 6-24 Bulan Di Kelurahan Kestalan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

0 2 6

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG MP-ASI DENGAN PERILAKU PEMBERIAN MP-ASI DAN STATUS GIZI PADA BADUTA USIA 6-24 BULAN Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Mp-Asi Dengan Perilaku Pemberian MP-ASI Dan Status Gizi Pada Baduta Usia 6-24 Bulan Di Kelurahan Kestala

0 2 17

BA Aanwijzing Pengadaan Biskuit MP ASI TA. 2012

0 0 1