Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (sT) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-Asi kemenkes di kecamatan Pancoran Jakarta Selatan

(1)

DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2011

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh :

M. ARBI RAMADHAN

NIM : 107101001526

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M


(2)

PEMINATAN GIZI Skripsi, September 2011

M.Arbi Ramadhan, 107101001526

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

xx + 122 halaman, 28 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 1 diagram, 8 lampiran ABSTRAK

Program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Kemenkes bertujuan untuk meningkatkan status gizi bayi dan baduta yang mengalami gizi kurang maupun gizi buruk dari keluarga miskin. MP-ASI yang diberikan berupa bubur untuk 6-11 bulan dan berupa biskuit untuk 12-24 bulan. Jumlah baduta yang mengalami berat badan tidak naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan sebanyak 60 baduta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, dimana sampel penelitian ini adalah 82 ibu baduta yang mendapatkan MP-ASI Kemenkes (biskuit) untuk periode November 2010- Februari 2011. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi case control (1:1). Adapun variabel dependennya yaitu berat badan tidak naik (2T) sedangkan variabel independennya yaitu ASI Eksklusif, Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat penyakit infeksi dan Pola Konsumi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati,sayuran,buah dan susu).

Hasil penelitian ini terdapat hubungan antara ASI Eksklusif dengan OR 3,485 CI 95% (1,380-8,798), Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan OR 0,299 CI 95% (0,095-0,939), Riwayat Penyakit Infeksi dengan OR 3,071 CI 95% (1,174-8,028) dan Pola Konsumsi Susu dengan OR 0,233 CI 95% (0,069-0,791) dengan berat badan tidak naik (2T). Namun tidak terdapat hubungan antara Pola Konsumsi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah) dengan berat badan tidak naik (2T). Adapun faktor yang paling dominan mempengaruhi yaitu ASI Eksklusif (B = 6,152).

Sebaiknya adanya sosialisasi yang menyeluruh dan jelas terhadap program MP-ASI Kemenkes, selain itu diperlukan personal hyiegene ibu, pengetahuan pola makan yang baik dan bergizi serta kebersihan lingkungan rumah dalam


(3)

(4)

NUTRITION DEPARTEMENT

Undergraduate Thesis, September 2011

Ramadhan M.Arbi, NIM 107101001526

The Factors Influence No Weight Gain (2T) Improvement of Baduta’s Gakin After Giving Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health (Kemenkes) at Pancoran District South Jakarta Year 2011

xx + 122 pages, 28 tables, 2 charts, ,1 picture, 1 diagram, 8 attachments

ABSTRACT

Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health aims to improve the nutritional status of infants and baduta who experience malnutrition from poor families. Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health provided in the form of porridge for 6-11 months and biscuits for 12-24 months. The number of that baduta (2T) at Pancoran District South Jakarta reaches 60 babies.

The purpose of this study is to determine the factors influence no weight gain improvement of Baduta’s Gakin after treatment of Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health. This study used primary and secondary data, where the sample of this study were 82 mothers who got Complementary Feeding Program (MP-ASI) Kemenkes’s biscuit for the period November 2010 - February 2011. This study used quantitative methods with case-control study design (1:1). The dependent variable is no weight gain improvement while the independent variable is exclusive breastfeeding, duration of MP-ASI Kemenkes, history of infectious diseases and eating habit (staple food, animal side dish, vegetables, fruit and milk).

The results of this study is a relationship between exclusive breastfeeding with OR 3.485 and 95% CI (1.380 to 8.798), duration of provision of Complementary feeding program (MP-ASI) Kemenkes with OR 0.299 and 95% CI (0.095 to 0.939), History of Infectious Diseases with OR 3.071 and 95% CI (1.174 - 8.028) and the Pattern of Milk Consumption with OR 0.233 and 95% CI (0.069 to 0.791) with no weight gain improvement. But there is no relationship between Eating habit (staple foods, animal side dishes, vegetables and fruits) with no weight gain improvement. The most dominant factor affecting the exclusive breastfeeding (B = 6,152).


(5)

MP-ASI Kemenkes, time frame providing porridge and biscuits and other clues as well as the required personal hygienic for mother, knowledge of nutritious food and hygienic environment in other to improve the health of society with the increasing frequency of drinking milk and exclusive breastfeeding.


(6)

Judul Skripsi

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T) PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES

DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2011

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, September 2011

Mengetahui,

Ratri Ciptaningtyas, SKM,S.Sn.Kes Dr.H. Arif Sumantri, SKM M.Kes Pembimbing I Pembimbing II


(7)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, 29 September 2011

Penguji I,

Ratri Ciptaningtyas, SKM, S.Sn.Kes

Penguji II,

Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes

Penguji III,


(8)

Data Pribadi

Nama Lengkap : M. Arbi Ramadhan

Tempat Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 8 April 1989

Alamat Rumah : Jl. Dr. Samratulangi No. 15/52 Penengahan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung 35112

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Email : bhee.ramadhan@yahoo.com

Telepon : 085693514198 / 021-94119217

Riwayat Pendidikan

1995 – 2001 SD Kartika II-5 Bandar Lampung 2001 – 2004 SMP Negeri 2 Bandar Lampung 2004 – 2007 SMA Negeri 2 Bandar Lampung

2007 – 2011 Peminatan Gizi, Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


(9)

Pengalaman Organisasi

2004 – 2005 OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung 2005 – 2006 OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung

2007 – 2008 BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2008 – 2009 BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Bekerja

2004 – 2006 Penyiar Radio “Sore Ceria “ RRI Pro 2 Bandar Lampung Februari 2011 Magang - Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan


(10)

Dengan segala cinta dan ketulusan,

kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

                 

”... Allah akan Meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang

yang diberi ilmu pengetahuan beberapa Derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan...”

(QS. Al-Mujadilah [58]:11)

      

“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS.Al-Baqarah [2]:286)

Mama dan Papa tersayang yang telah membimbing dan mendoakanku di setiap sujudnya, Mbak Diyan, Mbak Tyas dan Mbak Astrid yang selalu memberikan dukungan,


(11)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011”. Shalawat dan salam senantiasa tecurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi umatnya.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua, mama dan papa tersayang yang tak hentinya selalu memberikan kasih sayang, semangat dan mendoakan saya di setiap waktunya.

2. Mbak Diyan dan Mas Anto, Mbak Tyas dan Mas Dedy, Keponakanku tersayang R.Abid dan Mbak Astrid yang juga memberikan doa dan semangat.

3. (Alm) Mbah H.Sajadi yang memberikan doa dan pesan terakhir untuk penulis agar melanjutkan pendidikan ke Strata (S-2). Insya Allah Mbah.

4. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM,S.Sn.Kes selaku Pembimbing I yang telah memberikan banyak arahan dan masukan serta bimbingannya.

7. Bapak Dr.H.Arif Sumantri,SKM,M.Kes selaku Pembimbing II yang memberikan masukan dan arahan.


(12)

10. Ibu Febrianti, M.Si selaku penanggung jawab peminatan gizi dan seluruh dosen Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

11. Seluruh Seksi Kesmas Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, Kepala Puskesmas Kecamatan Pancoran, Ibu Merry selaku penanggung jawab gizi PKM Kecamatan Pancoran serta semua kader kesehatan PKM Pancoran dan Posyandu-Posyandu yang telah memberikan banyak bantuan.

12. Semua ibu baduta yang berkenan menjadi responden dan sangat membantu dalam penelitian kali ini.

13. Besties Siska untuk bantuannya saat penyebaran kuesioner penelitian.

14. Besties Yuni, Tamalia, Pipit, dan Ika untuk persahabatan dengan suka duka canda tawa, bantuan, semangat dan doa selama ini.

15. Sobat Nancy, S.Ked, Mareisca, SE, dan Ardela yang memberikan doa, bantuan dan semangat, serta rekan Ami Najmi untuk semua bantuannya.

16. OPUS’ Oktober 2011 (Pipit, Ika, Memeng, Zulfa, Rian, Ami, Fitri, Ida, Meli, Lisa,

Ratih, Ovi, Bella, Aan, dan Agung) suka duka, semangat kita membuahkan hasil

“Wisuda Pertama Angkatan 2007”

17. Teman-teman seperjuangan; Gizi dan K3 angkatan 2007 tetap semangat dan sabar, yakinlah dibalik kesulitan pasti ada kebahagiaan yang telah menanti kita semua. Ayo segera menyusul kawan !!!


(13)

bantuannya dan segalanya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran demi kemajuan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin..

Jakarta, September 2011


(14)

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN……… i

ABSTRAK ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN………. iii

RIWAYAT HIDUP PENULIS……… iv

LEMBAR PERSEMBAHAN ... KATA PENGANTAR ………. vi vii DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR TABEL ……… xiv

DAFTAR BAGAN ………... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR GRAFIK ... DAFTAR LAMPIRAN ... xvii xviii xiv xx BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang ………... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.3 Pertanyaan Penelitian ... 1 7 8 1.4 Tujuan ……….. 9

1.2.1 Tujuan Umum ……….... 9

1.2.2 Tujuan Khusus ……….. 9

1.5 Manfaat……… 10

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 12

2.1 Berat Badan ...………. 12

2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan ……… 12

2.1.2 Berat Badan Menurut Umur (BB/U)..…………... 13

2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) ……… 14

2.2.1 Tujuan Pemberian MP-ASI………... 15

2.2.2 Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini ... 16

2.3 Prosedur Mutu MP-ASI Kemenkes ……….. 19


(15)

2.3.4 Spesifikasi MP- ASI Bubur & Biskuit ... 2.3.8 Cara Menghidangkan MP-ASI ...

20 29 2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita……

2.4.1 Karakteristik Keluarga ... a. Pendidikan Ibu ... b. Pendapatan Keluarga ... 2.4.2 Pola Asuh ... a. Pemberian ASI ... b. ASI Eksklusif ... 2.4.3 Karakteristik Anak ...

a. Cakupan Imunisasi ... b. Penimbangan ... 2.4.4 Penyakit Metabolisme Bawaan ...

2.4.5 Pola Konsumsi Makanan (Asupan Zat Gizi) ... 2.4.6 Riwayat Penyakit Infeksi ...

30 30 30 32 33 33 37 39 39 43 44 45 45 2.5 Penilaian Konsumsi Makanan ...…………...

2.6 Kerangka Teori ...

47 50 BAB III Kerangka Konsep………... 53 3.1 Kerangka Konsep ...………... 53 3.2 Definisi Operasional ...………...

3.3 Hipotesis ...

55 57 BAB IV Metodologi Penelitian ... 58 4.1 Desain Penelitian ... 58 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...

4.3 Populasi ... 4.4 Sampel Penelitian ... 4.5 Pengumpulan Data ... 4.6 Instrumen Penelitian ... 4.7 Uji Coba Kuesioner ... 4.8 Pengolahan Data ... 4.9 Analisis Data ... 1. Univariat ... 2. Bivariat ... 3. Multivariat ...

58 58 59 62 63 63 66 67 67 67 68


(16)

5.2.1 Gambaran ASI Eksklusif ... 5.2.2 Gambaran Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes 5.2.3 Gambaran Riwayat Penyakit Infeksi ... 5.2.3 Gambaran Pola Konsumsi Makan ... a. Makanan Pokok ... b. Lauk Hewani ... c. Lauk Nabati ... d. Sayuran ... e. Buah ... f. Susu ... 5.3 Analisis Bivariat ...

5.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan 2T ... 5.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan 2T ... 5.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan 2T ... 5.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan 2T ... a. Makanan Pokok ... b. Lauk Hewani ... c. Lauk Nabati ... d. Sayuran ... e. Buah ... f. Susu ... 5.4 Analisis Multivariat ...

5.4.1 Pemilihan Kandidat Multivariat ... 5.4.2 Pembuatan Model ... 5.4.3 Pengujian Interaksi ... 5.4.4 Tahap Akhir ... BAB VI Pembahasan ...

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 6.2 Gambaran 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan ... 6.3 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi 2T pada

Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 ... 6.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan 2T ...

72 73 73 74 75 75 76 76 77 77 77 78 79 80 82 82 83 84 85 86 88 89 89 90 90 91 94 94 95 96 96


(17)

6.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan 2T ... 6.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan 2T ... a. Makanan Pokok ... b. Lauk Hewani ... c. Lauk Nabati ... d. Sayuran ... e. Buah ... f. Susu ... 6.4 Analisis Faktor Yang Paling Dominan Mempengaruhi 2T

pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 ... BAB VII Penutup ...

7.1 Kesimpulan ... 7.2 Saran ...

101 105 108 109 109 110 111 111 115

119 119 121


(18)

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi MP-ASI Bubur 21

Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi MP-ASI Biskuit 25

Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 5.8 Tabel 5.9 Tabel 5.10

Pemilihan Sampel di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Hasil Uji Validitas dan Rebilitas Kuesioner

Luas Wilayah dan Jumlah RT/RW se-Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010

Jumlah KK dan Jumlah Penduduk se-Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010

Distribusi ASI Eksklusif di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Pola Konsumsi Makanan Pokok di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Distribusi Pola Konsumsi Lauk Hewani di

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Distribusi Pola Konsumsi Lauk Nabati di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Pola Konsumsi Sayuran di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Pola Konsumsi Buah di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

62 65 71 72 72 73 74 75 75 76 76 77


(19)

Tabel 5.12 Tabel 5.13 Tabel 5.14 Tabel 5.15 Tabel 5.16 Tabel 5.17 Tabel 5.18 Tabel 5.19 Tabel 5.20

Analisis Hubungan ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Analisis Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Makanan Pokok dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Lauk Hewani dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Lauk Nabati dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Sayuran dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Buah dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Susu dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

78 79 81 82 83 84 86 87 88


(20)

Tabel 5.22

Tahap 5.23 Tahap 5.24

Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda Tahap Kedua

Hasil Analisis Uji Interaksi

Model Akhir Multivariat Regresi Logistik Berganda

90

91 92


(21)

DAFTAR BAGAN

Halaman 2.1

3.1

Kerangka Teori Kerangka Konsep

52 54


(22)

Halaman


(23)

Halaman 6.1 Diagram Proporsi Sampel Baduta 2T dan Non 2T di

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011


(24)

1 Surat Pengajuan Penelitian ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan 2

3 4

Surat Penelitian ke Puskesmas Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Kuesioner Penelitian

Form FFQ Kualitatif

5 Hasil Output SPSS Univariat 6 Hasil Output SPSS Bivariat 7 Hasil Output SPSS Multivariat

8 Daftar Nama Register Pendistribusian MP-ASI Kemenkes Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan (November 2010-Februari 2011)


(25)

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang sehat, cerdas dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah yaitu berada pada peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dari negara-negara tetangga. Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status kesehatan penduduk. Hal ini antara lain terlihat dari masih tingginya angka kematian bayi sebesar 35/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita sebesar 58/100.000 kelahiran hidup serta angka kematian ibu 307/100.000 kelahiran hidup. Lebih dari separuh kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh buruknya status gizi anak balita (Azwar, 2004).

Arah dan kebijakan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan. Salah satu faktor yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia adalah gizi. Gizi merupakan faktor penting yang memegang peranan dalam


(26)

siklus kehidupan manusia terutama bayi dan anak yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa (Depkes, 2002).

Bayi atau balita yang kurang gizi memiliki resiko kematian yang tinggi dan jika dapat bertahan hidup sering mengalami sakit dan perkembangan fisik maupun mentalnya terganggu. Kurang gizi merupakan penyebab tingginya kematian balita sebesar 60% dari kematian balita setiap tahunnya. Dua per tiga dari kematian ini berkaitan dengan kebiasaan makan yang tidak benar yang terjadi pada tahun pertama umur bayi (WHO dan UNICEF, 2003).

Secara nasional prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Pada tahun 2005 tercatat 1,03% dari jumah penduduk mengidap gizi buruk, kemudian naik menjadi 2,10% pada tahun 2006, dan kembali melonjak menjadi 3,48% pada tahun 2007 (Depkes, 2008).

Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian Makanan Pendamping ASI yang tidak tepat. Ketidaktauan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada anak (baduta) usia dibawah 2 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000).

Dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding untuk mencapai tumbuh kembang optimal, WHO/UNICEF (2001) merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu, pertama memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya ASI saja atau


(27)

pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes, 2006).

WHO dan UNICEF menganjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya sampai usia 2 tahun. Penelitian yang dilakukan pakar-pakar laktasi di WHO mengungkapkan bahwa pemberian ASI di saat anak > 1 tahun tetap memberikan nutrisi yang tidak ternilai harganya. Karena pemberian ASI pada batita memberikan manfaat seperti: 31% kebutuhan energi anak, 38% kebutuhan protein anak, 45% kebutuhan vitamin A anak, 95% kebutuhan vitamin C anak (WHO, 2003).

Menurut WHO (2009) cara terbaik dalam mencegah kekurangan nutrisi dan kematian para bayi dan anak- anak adalah dengan memastikan mereka telah memperoleh ASI dimulai dalam jangka 1 (satu) jam setelah kelahiran, lalu ASI Ekslusif (tanpa disertai makanan atau cairan maupun air sekalipun selain hanya ASI saja) hingga usia 6 (enam) bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian ASI yang disertai tambahan makanan pelengkap yang tepat hingga 2 (dua) tahun atau lebih. Bahkan dalam situasi darurat pun, pemberian ASI tetap terus dianjurkan diberikan secara berkala dan berkesinambungan hingga sedikitnya usia 2 (dua) tahun. Hal tersebut telah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran sebagai berikut:


(28)

                      

“ Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui dengan sempurna... (QS. Al-Baqarah: 233).

Berdasarkan Kitab Tafsir Tafsir Al-wasith, karya Muhammad Sayid Thonthowi, Juz 1 hal 532, yang dimaksud dengan dua tahun penuh yaitu seperti yang dikatakan Al-Raghib yaitu merubah sesuatu dan melepaskannya (menyapih).

Batasan dua tahun bukan merupakan batasan kewajiban karena masih diperbolehkan menyapih sebelum dua tahun. Pada ayat yang ini, para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh. Telah jelas bahwa merupakan bentuk perlindungan dari Allah kepada manusia sejak kelahirannya. Bahkan sejak manusia dibentuk di perut ibunya menjadi sebuah janin. Maka Allah memerintahkan kepada manusia untuk menyusui anaknya selama dua tahun. Karena ASI adalah sebaik-baiknnya makanan bagi anaknya. Serta berguna untuk menjaga kesehatan dan melindungi dari serangan penyakit karena bayi rentan terserang berbagai penyakit baik penyakit jasmani, rohani, dan jiwa.

Pada usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini, bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka


(29)

periode emas akan berubah menjadi periode kritis, yang akan menggangu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes, 2006).

Dalam mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJPMN) bidang Kesehatan, dilakukan sejumlah kegiatan yang bertumpu kepada perubahan perilaku dengan cara mewujudkan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Melalui penerapan perilaku Keluarga Sadar Gizi, keluarga didorong untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan dan memberikan MP-ASI yang cukup dan bermutu kepada bayi dan anak usia 6-24 bulan. Bagi keluarga mampu, pemberian MP-ASI yang cukup dan bermutu relatif tidak bermasalah. Pada keluarga miskin, pendapatan yang rendah menimbulkan keterbatasan pangan di rumah tangga yang berlanjut kepada rendahnya jumlah dan mutu MP-ASI yang diberikan kepada bayi dan anak. Maka Depkes RI membagikan MP-ASI berupa bubur dan biskuit pada balita gakin yang mengalami kekurangan gizi maupun gizi buruk di seluruh Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan status gizinya balita tersebut (Depkes, 2009).

Program perbaikan gizi yang bertujuan meningkatkan jumlah dan mutu MP-ASI, selama ini telah dilakukan, diantaranya pemberian MP-ASI kepada bayi dan anak usia 6 sampai 24 bulan dari keluarga miskin. Secara umum terdapat dua jenis MP-ASI yaitu hasil pengolahan pabrik atau disebut dengan MP-ASI pabrikan dan yang diolah di rumah tangga atau disebut dengan MP-ASI lokal (Depkes, 2006).

Dari beberapa penelitian dinyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat dan


(30)

ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar sehingga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI. Selain itu faktor lain seperti cakupan imunisasi, pendidikan ibu, status pekerjaan, dukungan keluarga serta peran petugas kesehatan juga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI (Depkes, 2006).

Selain itu pemberian MP-ASI yang terlalu dini kepada bayi (kurang dari 6 bulan) akan memberikan beberapa resiko kepada bayi. Menurut Rahardjo (2006) dalam Utami (2011) penyakit infeksi saluran nafas dan diare merupakan penyebab utama kematian bayi. Hal tersebut dapat dicegah dengan pemberian MP-ASI secara benar atau dengan kata lain menunda pemberian MP-ASI dini pada bayi.

Hasil survei Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (2008) menunjukkan bahwa beberapa faktor penyebab terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi usia 6-11 bulan dan anak usia 12-24 bulan (Baduta) di Indonesia adalah rendahnya mutu Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan pola asuh pemberian makan yang tidak tepat sehingga kebutuhan zat gizi tidak tercukupi khususnya energi dan zat gizi mikro seperti Zat Besi (Fe) dan Seng (Zn).

Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan melakukan program MP-ASI menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan melakukan pendistribusian MP-ASI ke 10 kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Selatan kepada bayi berumur 6-11 bulan dan baduta berumur 6-24 bulan dari keluarga miskin (Gakin) yang mengalami kasus gizi buruk maupun gizi kurang. Sehingga setelah dilakukan program pemberian MP ASI diharapkan status gizi bayi dan baduta tersebut menjadi lebih baik dengan melihat kenaikan berat badannya. Tetapi pada kenyataannya masih adanya baduta yang berat badannya tidak naik (2T)


(31)

dan ada pula yang berat badannya naik setelah pemberian MP-ASI Kemenkes (Sudin Kesehatan Jakarta Selatan, 2011).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari 2011 terhadap data sekunder mengenai laporan MP-ASI di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, di 10 kecamatan se- Jakarta Selatan. Prevalensi kasus baduta 2T tertinggi di wilayah Pancoran sebesar 31,58% (60 baduta), Kebayoran Baru sebesar 27,84% (27 baduta), Kebayoran Lama sebesar 26,67% (48 baduta), Tebet sebesar 13,16% (5 baduta), Setiabudi sebesar 12,9% (4 baduta), Mampang sebesar 6,56% (4 baduta), Jagakarsa sebsesar 5,08% (10 baduta), Pasar Minggu sebesar 3,45% (5 baduta), Cilandak sebesar 3,33% (2 baduta) dan prevalensi terendah di wilayah Pesanggrahan sebesar 3,12% (5 baduta). Sehingga penelitian dilakukan di Kecamatan Pancoran dengan persentase terbesar yaitu 31,58%.

1.2Rumusan Masalah

Pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI yang kurang tepat dapat mengakibatkan kurang gizi pada balita. Sekitar 6,7 juta (27,3%) dari sejumlah balita di Indonesia yang menderita kurang gizi dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk sehingga Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengadakan program MP-ASI kepada bayi dan baduta kepada keluarga miskin di Indonesia (Depkes, 2008).

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (2008), latar belakang dilaksanakan pengadaan MP-ASI adalah angka kematian yang tinggi karena penyakit infeksi yang diperberat dengan keadaan gizi buruk, krisis ekonomi,


(32)

Standar Pelayanan Minimal (SPM) 100% dan untuk melindungi masyarakat dari kekurangan gizi serta meningkatkan status gizi khususnya bayi dan balita umur 6-24 bulan dari keluarga miskin.

Keadaan gizi buruk dan kurang pada baduta yang tidak ditangani segera akan berdampak buruk yang nantinya dapat berujung kematian. Sehingga dengan adanya program MP-ASI Kemenkes diharapkan dapat memperbaiki status gizi baduta gakin, terutama terhadap kenaikan berat badan. Tetapi pada kenyataanya di dalam satu kecamatan masih terdapat baduta yang mengalami kenaikan berat badan dan terdapat pula baduta yang tidak mengalami kenaikan berat badan dua bulan berturut-turut atau dikenal dengan istilah 2T. Prevalensi tertinggi se-Jakarta Selatan pada bulan November 2010- Februari 2011 untuk kasus 2T berada di wilayah Pancoran yaitu sebesar 31,58% (60 baduta).

Sehingga melalui uraian tersebut, membuat peneliti tertarik meneliti Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.

1.3Pertanyaan Penelitian

Apa saja yang menjadi Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 ?


(33)

1.4Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran pemberian ASI Eksklusif pada baduta setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

2. Diketahuinya gambaran lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes pada baduta gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 3. Diketahuinya gambaran riwayat penyakit infeksi pada baduta gakin

setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

4. Diketahuinya gambaran pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

5. Diketahuinya hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011


(34)

6. Diketahuinya hubungan antara lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

7. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 8. Diketahuinya hubungan antara pola konsumsi makan (makanan pokok,

lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu) dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.

9. Diketahuinya faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti

Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta sebagai sarana bagi peneliti dalam mengaplikasikan berbagai ilmu di bidang kesehatan masyarakat yang telah didapat selama bangku kuliah.

1.5.2 Bagi Institusi

Memberikan tambahan informasi dan bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang berminat untuk penelitian serupa di masa yang akan datang.


(35)

1.5.3 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi penting bagi masyarakat agar lebih memperhatikan status gizi anaknya, dikhususkan pada keluarga miskin (gakin) setelah pemberian MP-ASI terutama dalam hal kenaikan berat badannya.

1.6Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dengan subyek yang akan diteliti yaitu ibu baduta dan baduta yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan dan Puskesmas Kecamatan Pancoran. Penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap keberhasilan program MP-ASI Kementerian Kesehatan RI untuk wilayah Jakarta Selatan, khususnya Pancoran. Karena di wilayah Pancoran paling banyak jumlah baduta yang mengalami berat badan tidak naik (2T) setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes dibandingkan kecamatan lain se-Jakarta Selatan. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi case control.


(36)

2.1 Berat Badan

Berat badan dikatakan sebagai berat bobot (massa) tubuh seseorang. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir. Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupaun status gizi. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang (Supariasa, 2001).

Setiap manusia yang hidup mengalami proses tumbuh kembang. Proses tumbuh kembang anak terdiri atas dua proses yang tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi, yaitu proses pertumbuhan yang ditandai oleh semakin besarnya ukuran tubuh (berat, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lainnya) dan proses perkembangan yang ditandai oleh semakin bertambahnya kemampuan anak (koordinasi gerakan, bicara, kecerdasan, pengendalian perasaan, interaksi dengan orang lain dan sebagainya) (Santoso, 1999).

2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan

Pada masa tumbuh kembang seorang anak, faktor genetik yang dianggap sebagai penentu potensi bawaan berpengaruh dengan faktor lingkungan yaitu antara lain infeksi, gizi, sosial, emosional, kultural, dan politik (Santoso, 1999).


(37)

Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau nature) dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor bawaan mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan, sedangkan faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi dan kesehatan bayi dan balita (Satoto, 1997).

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh. Pertumbuhan lebih ditekankan pada pertambahan fisik seseorang, yaitu menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti pertambahan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala (Nursalam, 2005). Berdasarkan definisi The British Medical Dictionary, pertumbuhan merupakan perkembangan progresif dari makhluk hidup dari tahap paling awal sampai dewasa, termasuk pertambahan dalam ukuran (Hurlock, 1997).

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2002 dalam Nursalam, 2005).

2.1.2 Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan


(38)

adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini maka indeks berat badan per umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa, 2001).

2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI (Depkes, 2006).

MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat diperlukan hygienitas dalam pemberian MP-ASI tersebut (Depkes, 2000).


(39)

Menurut Brown et al.,(1998) sanitasi dan hygienitas MP-ASI yang rendah memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba yang dapat meningkatkan risiko atau infeksi lain pada bayi.

2.2.1 Tujuan Pemberian MP-ASI

MP-ASI diberikan sebagai pelengkap ASI sangat membantu bayi dalam proses belajar makan dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik. Pemberian makanan pelengkap bertahap dan bervariasi dari sari buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Husaini, 1999 dalam Utami, 2011). Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Dengan demikian makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO, 2003).

Menurut Ziegler et al.,(2000) pemberian MP-ASI pemulihan sangat dianjurkan untuk penderita KEP, terlebih bayi berusia enam bulan ke atas dengan harapan MP-ASI ini mampu memenuhi kebutuhan gizi dan mampu memperkecil kehilangan zat gizi.

Adapun tujuan pemberian Makanan Pendamping ASI adalah (Persagi, 1994):


(40)

2. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa

3. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan 4. Melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung kalor

energi yang tinggi

2.2.2 Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini

Menurut Siahaan (2005), pemberian MP-ASI harus memperhatikan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan kelompok umur dan tekstur makanan yang sesuai perkembangan usia balita. Terkadang ada ibu-ibu yang sudah memberikannya pada usia dua atau tiga bulan. Padahal di usia tersebut kemampuan pencernaan bayi belum siap menerima makanan tambahan. Akibatnya banyak bayi yang mengalami diare.

Menurut Jahari et all. (2000), masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini yang terjadi di Indonesia diduga kuat berhubungan dengan banyaknya bayi yang sudah diberi MP-ASI sejak usia satu bulan, bahkan sebelumnnya.

Pemberian MP-ASI terlalu dini juga akan mengurangi konsumsi ASI, dan bila terlambat akan menyebabkan bayi kurang gizi. Sebenarnya pencernaan bayi sudah mulai kuat sejak usia empat bulan. Pada bayi yang mengonsumsi ASI, makanan tambahan dapat diberikan setelah usia enam bulan. Selain cukup jumlah dan mutunya, pemberian MP-ASI juga perlu


(41)

memperhatikan kebersihan makanan agar ank terhindar dari infeksi kuman yang membuat gangguan pencernaan (Siahaan, 2005).

Umur yang paling tepat untuk memperkenalkan MP-ASI adalah enam bulan. Pada umumnya kebutuhan nutrisi bayi yang kurang dari enam bulan masih dapat dipenuhi oleh ASI. Tetapi, setelah berumur enam bulan bayi umumnya membutuhkan energi dan zat gizi yang lebih untuk tetap bertumbuh lebih cepat sampai dua kali atau lebih darti itu, disamping itu pada umur enam bulan saluran cerna bayi sudah dapat mencerna sebagian makanan keluarga seperti tepung (Albar, 2004).

Anshori (2002), dalam Utami (2011) melaporkan bahwa bayi yang mendapat MP-ASI < empat bulan akan mengalami risiko gizi kurang lima kali lebih besar dibandingkan bayi yang mendapatkan MP-ASI pada umur empat-enam bulan setelah dikontrol oleh asupan energi dan melakukan penelitian kohort selama empat bulan melaporkan pemberian MP-ASI terlalu dini (< empat bulan) berpengaruh pada gangguan pertambahan berat badan bayi, meskipun tidak berpengaruh pada gangguan pertambahan panjang bayi.

Pemberian makanan tambahan terlalu dini kepada bayi sering ditemukan dalam masyarakat seperti pemberian pisang, madu, air tajin, air gula, susu formula, dan makanan lain sebelum bayi berusia 6 bulan (Azwar, 2002).

Adapun resiko pemberian makanan tambahan terlalu dini, yaitu: jangka pendek dan jangka panjang.


(42)

1. Resiko Jangka Pendek

Resiko jangka pendek yang terjadi seperti mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga frekuensi dan kekuatan bayi menyusui berkurang dengan akibat produksi ASI berkurang. Selain itu pengenalan serelia dan sayur-sayuran tertentu dapat mempengaruhi penyerapan zat besi dan ASI, walaupun konsentrasi zat besi dalam ASI rendah, tetapi lebih mudah. Pemberian makanan dini seperti pisang, nasi di daerah pedesaan di Indonesia sering menyebabkan penyumbatan saluran cerna/diare serta meningkatnya resiko terkena infeksi (Azwar, 2002)

2. Resiko Jangka Panjang

Resiko jangka panjang dihubungkan dengan obesitas, kelebihan dalam memberikan makanan adalah resiko utama dari pemberian makanan yang terlalu dini pada bayi. Konsekuensi pada usia-usia selanjutnya adalah terjadi kelebihan berat badan ataupun kebiasaan makan yang tidak sehat.

Kandungan natrium dalam ASI yang cukup rendah (± 15mg/100ml) namun, jika masukan dari diet bayi dapat meningkat drastis jika makanan telah dikenalkan. Konsekuensi di kemudian hari akan menyebabkan kebiasaan makan yang memudahkan terjadinya gangguan hipertensi. Selain itu, belum matangnya sistem kekebalan dari usus pada umur yang dini dapat menyebabkan alergi terhadap makanan (Azwar, 2002).


(43)

2.3 Prosedur Mutu Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Kemenkes

Adapun prosedur mutu untuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bagi bayi 6-11 bulan dan baduta 12-23 bulan, BGM Gakin menurut Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

2.3.1 Sasaran MP-ASI

Adapun sasaran pemberian MP-ASI yaitu:

1. Sasaran pemberian MP-ASI bubur adalah bayi usia 6-11 bulan dari keluarga miskin

2. Sasaran pemberian MP-ASI biskuit adalah anak usia 12-24 bulan dari keluarga miskin

3. Penentuan keluarga miskin sesuai kriteria keluarga miskin yang berlaku

2.3.2 Pengadaan MP-ASI

Pengadaan MP-ASI dapat dilakukan di tingkat Provinsi, Kota/Kabupaten Administrasi, Puskesmas dan pihak lain yang tidak mengikat. Sebagian dasar perencanaan pengadaan MP-ASI adalah data Baduta keluarga miskin yang ada di suatu wilayah kerja Puskesmas Kecamatan/Kelurahan.

2.3.3 Pemberian MP-ASI

Jangka waktu pemberian MP-ASI diberikan selama 90 hari. Adapun jumlah MP-ASI yang diberikan:

1. Untuk sasaran bayi umur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI bubur sebanyak 100 gr/hari yang diberikan dalam 3 kali penyajian per hari


(44)

2. MP-ASI bubur dikemas dalam sachet ukuran 200 gram. Setiap satu sachet dapat dikonsumsi selama 2 hari

3. Untuk sasaran anak umur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI biskuit sebanyak 120 gr/hari

4. Biskuit dikemas dalam sachet roll dengan berat bersih 120 gr. Setiap 7 rol dibungkus dalam satu palstik bertuliskan “untuk dikonsumsi 1 minggu”

5. Sisa MP-ASI harus disimpan dengan baik, di ikat dan disimpan dalam wadah yang kering dan bersih (kaleng, stoples atau lainnya)

2.3.4 Spesifikasi MP-ASI 2.3.4.1 MP-ASI Bubur

1. Nilai Gizi

Takaran saji = 30 gr ( 3 sendok makan )

Dalam 1 sachet 200 gr untuk 6 saji selama 2 hari Komposisi:

a. Tepung Kedelai b.Tepung beras putih c. Sukrosa

d. Skim milk e. Powder

f. Garan beryodium g. Mineral


(45)

h. Premix vitamin dan aroma rasa Tabel 2.1

Kandungan Zat Gizi MP-ASI Bubur

Zat Gizi Satuan

Kandungan Per 100 gr Per saji

Energi Kkal 438,87 131,66

Protein Gram 19,62 5,89

Lemak Gram 12,4 3,72

Karbohidrat Gram 62,26 18,68

Air Gram 1,37 0,41

Vitamin

Vitamin A RE 335 100,5

Vitamin D µg 8,5 2,55

Vitamin E µg 3,6 1,08

Vitamin K µg 8,36 2,51

Vitamin B1 Mg 0,33 0,1

Vitamin B2 Mg 0,45 0,14

Vitamin B6 Mg 0,5 0,15

Vitamin B12 µg 0,09 0,03

Vitamin C Mg 31 9,3

Asam Folat µg 28,27 8,48

Niasin Mg 3,5 1,05

Asam Panthotenat Mg 1,75 0,53

Mineral

Besi Mg 10,55 35,22

Selenium µg 13,8 27,6

Seng Mg 5,2 26

Natrium Mg 245 21

Kalsium Mg 392 23,52

Iodium µg 62 18,6

Fosfor Mg 234 17,55


(46)

2. Karakteristik Produk a. Bentuk

MP-ASI bubuk instan berbentuk bubuk dengan distribusi partikel 95% lolos uji penyaringan 600 micrometer dan 100% lolos uji penyaringan 1000 micrometer.

b. Konsistensi

MP-ASI bubuk instan bila dicampur dengan air akan menghasilkan bubur halus tanpa gumpalan dengan kekentalan yang memungkinkan pemberian dengan sendok.

c. Rasa

MP-ASI bubuk instan mempunyai tiga rasa yang disukai oleh bayi yaitu : beras merah, kacang hijau dan pisang.

d. Kadaluarsa

MP-ASI bubuk instan aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan setelah tanggal produksi.

3. Keamanan Pangan a. Cemaran Mikro

Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng


(47)

2.Coliforms : Most Probable Number (MPN) tidak > 20/gr

3.Escheria coli : negatif/gr

4.Salmonella : negatif dalam 25 gr 5.Staphylococcus : negatif/gr

b. Cemaran Logam

1.Timbal : tidak lebih dari 1,14 ppm 2.Timah : tidak lebih dari 152 ppm 3.Raksa : tidak lebih dari 0,114 ppm 4.Tembaga : tidak lebih dari 5,0 ppm 5.Arsen : tidak lebih dari 0,38 ppm

4. Kemasan

1. Jenis kemasan adalah Metalized Plastic Food Grade

2. Berat bersih tiap kemasan 200 gr

3. Setiap 15 kemasan yang terdiri dari 3 rasa yaitu Beras Merah, Kacang Hijau, dan Pisang masing-masing 5 kemasan @ 200 gr dikemas lagi dalam satu kotak kardus

4. Pada kotak kardus terdapat keterangan: nama produk, tanggal kadaluarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan, petujuk penanganan


(48)

2.3.4.2 MP-ASI Biskuit 1. Nilai Gizi

Takaran saji = 40 gr (4 keping)

Dalam 1 sachet 120 gr untuk 3 saji selama 1 hari Komposisi:

a. Tepung Terigu b. Gula

c. Minyak nabati (antioksidan: askorbilpamitat, tokoferol) d. Susu bubuk

e. Bahan pengembang (natrium bikarbonat, amonium bikarbonat) f. Pengemulsi (lesitin kedelai)

f. Garam g. Perasa susu h. Premix vitamin i. Mineral

Gambar 2.1


(49)

Tabel 2.2

Kandungan Zat Gizi MP-ASI Biskuit Zat Gizi Satuan

Kandungan Per 100 gr Per saji

Kalori Kkal 460 180,00

Lemak Total Gram 14,86 6

Asam Linoleat Gram 1,4 0,5

Karbohidrat Total Gram 72,31 29

Serat Makanan Grm 4,9 2

Gula Gram 15 6

Protein Gram 8,29 3

Vitamin

Vitamin A RE 350 140

Vitamin D µg 5 2

Vitamin E Mg 5 2

Thiamin µg 0,6 0,24

Riboflavin Mg 0,5 0,24

Niacin Mg 8 3,2

Vitamin B6 Mg 0,8 0,32

Asam Folat µg 40 16

Vitamin B12 µg 1 0,4

Mineral

Natrium Mg 80 32

Kalsium Mg 250 80

Besi Mg 6 2,4

Seng Mg 3 1,2

Selenium Mg 13 5,2

Iodium µg 70 28

Sumber: Depkes, 2008

2. Karakteristik Produk a. Bentuk

MP-ASI biskuit berbentuk keping bundar berdiameter 5 s/d 6 cm, berat 10 gram per keping. Pada permukaan atas biskuit


(50)

b. Tekstur

MP-ASI Biskuit bertekstur renyah yang bila dicampur air menjadi lembut.

c. Rasa

MP-ASI Biskuit mempunyai rasa manis gurih yang disukai anak.

d. Kadaluarsa

MP-ASI biskuit aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan setelah tanggal produksi.

3. Keamanan Pangan a. Cemaran Mikro

Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng

1.Total : tidak lebih dari 1,0 x 104 koloni per gram 2.Coliforms : Most Probable Number (MPN) tidak

> 3/gr

4.Salmonella : negatif dalam 25 gr

5.Staphylococcus : tidak lebih dari 1,0 x 102 koloni per gram b. Cemaran Logam

1.Timbal : tidak lebih dari 0,3 ppm 2.Timah : tidak lebih dari 40,0 ppm 3.Raksa : tidak lebih dari 0,03 ppm


(51)

4.Tembaga : tidak lebih dari 5,0 ppm 5.Arsen : tidak lebih dari 0,1 ppm

4. Kemasan dan Label

1. Jenis kemasan adalah Metalized Plastic Food Grade 2. Berat bersih Tiap Kemasan 120 gram atau 12 keping

3. Setiap kemasam berisi 12 keping biskuit yang disusun dalam tray yang mempunyai 2 ruang dengan ukuran diameter sesuai dengan ukuran biskuit. Tray terbuat dari Polyetilen Food Grade

4. Setiap 7 kemasan @ 120 gr dikemas dalam satu plastik bening bertuliskan “Untuk dikonsumsi 1 minggu”

5. Setiap 8 kemasan plastik bening kering berisi 7 kemasan @120 gram kemasan tersebut dikemas lagi dalam 1 kotak kardus. Pada kotak kardus tercantum keterangan tentang: nama produk, tanggal kadaluwarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan, petunjuk penanganan dan tulisan

“MP-ASI mengandung 10 vitamin dan 7 mineral yang dibutuhkan anak”

6. Pelabelan harus sesuai dengan PP No.60 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pada kemasan primer Metalized Plastic Food Grade harus diacantumkan:

a. Nama produk Logi DEPKES RI dan tulisan “DEPKES” serta


(52)

dengan tulisan “Depkes”dibagian tengah atas, diikuti dengan

Logo Depkes RI dan tulisan “MP-ASI BISKUIT”.

Keseluruhan tulisan tersebut dicantumkan pada bagian utama label dan menggunakan 1/3 bagian permukaan kemasan. Selanjutnya semua tulisan didalam label berwarna hitam kecuali lambang dan tulisan Depkes RI berwarna hijau

b. Keterangan tentang berat bersih, dicantumkan pada bagian utama label

c. Daftar bahan yang digunakan

d. Informasi nilai gizi, mencantumkan nilai energi, lemak, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Keterangan tersebut dicantumkan per 100 gram dan per takaran saji, % Anjuran Kecukupan Gizi (AKG) dicantumkan per takaran saji. Format informasi gizi sesuai Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi (BPOM RI, 2004)

e. Petunjuk penyiapan dalam bentuk gambar dan tulisan yang jelas dan dimengerti

f. Petunjuk penyimpanan sebelum kemasan dibuka g. Petunjuk penyimpanan setelah kemasan dibuka

h. Tanggal kadaluwarsa:”Baik digunakan sebelum Tanggal XX Bulan XX Tahun XXXX. Penulisan tanggal kadaluwarsa harus permanen (tidak bisa dihapus)


(53)

j. Nomor pendaftaran pangan (registrasi) mencantumkan tulisan “BPOM RI MD : ...”

k. Pesan: “Berikan MP-ASI dan teruskan pemberian Air Susu Ibu sampai anak usia 24 bulan”

l. Pesan: “ Hanya untuk usia 12-24 bulan” pada bagian utama label

m.Pesan: “GRATIS”

n. Tulisan: “Halal” pada bagian utama label

o. Penjelasan tentang: “Tanda-tanda produk sudah tidak layak konsumsi”

p. Cantumkan tulisan: “Mengandung 12 Vitamin dan 7 Mineral” pada bagian utama label

q. Pesan: “Berikan MP-ASI dan teruskan pemberian Air Susu Ibu sampai anak usia 24 bulan”

2.3.5 Cara Menghidangkan MP-ASI a. MP-ASI Bubur

1. Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu 2. Persiapkan alat-alat dengan bersih

3. Tuangkan air matang hangat (kurang lebih 100 ml) dalam mangkok kering dan bersih, lalu campurkan ± 30 gr MP-ASI atau sekitar 3 sendok makan


(54)

5. Setiap hidangan hanya untuk 1 kali makan, apabila terdapat sisa harus dibuang (jangan berikan pada waktu makan berikutnya)

6. Selama pemberian MP-ASI bubur, ASI dan makanan lainnya tetap diberikan

b. MP-ASI Biskuit

1. Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu

2. Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah air dalam mangkok bersih sehingga dikonsumsi dengan menggunakan sendok

3. Setiap 120 gr biskuit harus dihabiskan dalam sehari, jumlah dan waktu pemberian pada setiap kali makan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak

4. Selama pemberian MP-ASI biskuit, ASI dan makanan lainnya tetap diberikan

2.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita 2.4.1 Karakteristik Keluarga

a. Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh seseorang dimana tingkat pendidikan merupakan suatu wahana untuk mendasari sesorang berperilaku secara ilmiah. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan. Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan


(55)

tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, pemberian makanan, higyene, serta kesadaran terhadap kesehatan anak-anaknya (Ebrahim, 1996).

Menurut Kartono (1993), tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap keadaan gizi anak. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin cenderung mempunyai anak dengan keadaan gizi baik dan sebaliknya semakin rendah pendidikan ibu semakin cenderung mempunyai anak dengan keadaan gizi buruk.

Kurang pengetahuan dari orangtua mengenai pemberian makanan yang banyak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik membuat anaknya tidak mendapat cukup protein dan energi. Karena keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita hanya pada kualitas pengasuhan anak (Biddulph, et al. 1999).

Berdasarkan penelitian Sari (1999), terdapat hubungan bermakna antara pendidikan ibu dengan status gizi balita. Status gizi kurang balita lebih banyak terdapat pada ibu yang tidak tamat SD (45,7%) daripada ibu yang tamat SMP (18,3%). Hal ini serupa juga didapatkan dari hasil penelitian Hadi (2005), bahwa proporsi balita yang mengalami kekurangan gizi lebih banyak ditemukan pada ibu balita yang mempunyai tingkat


(56)

pendidikan rendah (32,8%) dibandingkan ibu balita dengan tingkat pendidikan menengah (10%).

b. Pendapatan Keluarga

Pekerjaan ayah yang tetap, tingkat pendapatannya berbeda dengan pekerjaan ayah yang tidak tetap. Menurut Hermina (1992), pendapatan yang rendah menyebabkan keterbatasan dalam pemilihan dan penyediaan konsumsi pangan keluarga dan balitanya.

Penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan keluarga baik kualitas atau kuantitas (Supariasa, 2001). Di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia, masalah gizi kurang banyak diderita oleh penduduk terutama golongan miskin, hal ini dikarenakan pekerjaan kepala keluarganya tidak tetap dan pendapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang bergizi.

Muthmainah, dkk (1996) menyatakan bahwa orang tua yang berpenghasilan rendah cenderung mempunyai anak kekurangan gizi dan tidak sehat. Hal ini didukung oleh penelitian Sihadi (1999), yang menyatakan ada kaitan antara keadaan gizi balita dengan ekonomi rumah tangga.


(57)

2.4.2 Pola Asuh

a. Pemberian ASI

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi. Air susu ibu sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai segi, baik segi gizi, kesehatan, ekonomi, maupun sosio-psikologis (Suharyono,dkk. 1992).

ASI merupakan makanan yang sempurna untuk bayi dan tidak ada produk makanan pengganti ASI yang kualitasnya menyamai ASI. Hal ini disebabkan karena ASI sehat, tidak mengandung kuman, memenuhi sebagian kebutuhan metabolik bayi dan dapat mengurangi kemungkinan sakit perut dan peradangan secara umum (Yenrina, 2006).

Menurut Depkes (1992), ASI mampu melindungi bayi dari penyakit infeksi terutama diare karena ASI mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makanan pengantinya yaitu:

1. ASI bebas kontaminasi sehingga aman dikonsumsi bayi

2. Mengandung immunoglobulin yang dapat melumpuhkan bakteri E.coli

3. Mengandung sel darah putih

4. Mengandung faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan berperan untuk menunjang pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga juga keasaman


(58)

usus bayi dan berguna menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan

Komposisi zat gizi yang terkandung dalam ASI dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Lemak

ASI maupun susu sapi mengandung lemak yang cukup tinggi yaitu sekitar 3,5%. Namun, keduanya mempunyai susunan lemak yang berbeda. ASI lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sedangkan susu sapi lebih banyak mengandung asam lemak rantai pendek dan asam lemak jenuh. Selain itu ASI mengandung asam lemak omega-3 yang dibutuhkan untuk perkembangan otak. Alat pencernaan bayi akan lebih cepat menyerap asam lemak tak jenuh dibandingkan menyerap asam lemak jenuh. Oleh karena itu, lemak ASI lebih cepat diserap oleh usus bayi dibandingkan lemak susu sapi (Pudjiadi, 2000).

2. Protein

Kualitas protein dalam makanan tergantung pada susunan asam amino dan mutu cernanya. Berdasarkan hasil penelitian, protein susu, telur, daging dan ikan memiliki nilai gizi yang paling tinggi. Protein susu dibagi menjadi dua golongan yaitu caseine dan whey. Kebutuhan protein ASI pada bayi sekitar 1,8/kg berat badan. Sekitar


(59)

80% susu sapi terdiri atas caseine yang sifatnya sangat mudah menggumpal di lambung sehingga sulit untuk dicerna oleh enzim proteinase (Yenrina, 2006).

3. Karbohidrat

Peranan karbohidrat terutama diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Laktosa merupakan salah satu sumber karbohidrat yang terdapat dalam ASI maupun susu sapi. ASI mengandung laktosa sekitar 70% sedangkan kandungan laktosa dalam susu sapi hanya sekitar 4,4% kadar laktosa yang tinggi mengakibatkan terjadinya pertumbuhan Lactobacillus yang terdapat dalam usus utuk mencegah terjadinya infeksi (Soetjingsih, 1997).

4. Mineral

Kandungan mineral dalam ASI lebih kecil dibandingkan dengan kandungan mineral dalam susu sapi (1:4). Karena kandugan mineral yang tinggi pada susus akan menyebabkan terjadinya beban osmolar yaitu tingginya kadar mineral dalam tubuh (Pudjiadi, 2000).

5. Vitamin

Kadar vitamin dalam ASI diperoleh dari asupan makanan ibu yang harus cukup dan seimbang. Kekurangan vitamin tersebut dapat


(60)

mengakibatkan terganggunya kesehatan dan dapat menimbulkan penyakit tertentu (Almatsier, 2001).

Kegunaan ASI dikarenakan kandungan zat kekebalan dan zat gizinya bagi bayi, sehingga bisa mencegah anak dari gizi buruk atau infeksi. Zat gizi dalam ASI cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan sesuai dengan saluran pencernaan, tidak ada bahaya alergi dan komposisi sesuai untuk bayi. Bayi yang baru lahir sampai beberapa bulan pertama kehidupan belum dapat membuat kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan subtansi bahan hidup yang memberikan perlindungan baik secara aktif maupun melalui pengaturan imunologis yang menyediakan perlindungan yang unik terhadap infeksi dan alergi serta menstimuli perkembangan sistem imunologi bayi itu sendiri serta bayi yang diberikan ASI jarang sakit (WHO, 1999).

Terjadinya kurang gizi, erat kaitanya dengan produksi ASI maupun lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang. Bayi hanya diberi ASI saja pada usia 0-6 bulan karena produksi ASI pada periode tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang yang sehat (Depkes, 2003).

Pada keadaan normal, ASI mampu memberikan zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan bayi sampai umur enam bulan. Tetapi untuk mengetahui


(61)

cukup tidaknya kemampuan produksi ASI, tidak hanya menggunakan ukuran volume atau banyaknya ASI. Tanda-tanda lapar atau kepuasan anak khususnya,dengan melihat laju pertumbuhan berat badan merupakan indikator yang lebih baik untuk mengetahui cukup tidaknya ASI (Yenrina, 2006).

Menurut WHO (1998) dalam Mutiara (2006), bayi sampai umur enam bulan tetap tumbuh normal dan sehat dengan hanya diberi ASI. Setelah bayi umur enam bulan MP-ASI harus diberikan karena kebutuhan gizi bayi semakin meningkat dan tidak dapat dipenuhi hanya dari ASI. Bentuk MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi dan harus mengandung cukup energi, protein serta vitamin dan mineral secara cukup.

b. ASI Eksklusif

Jika kita membahas mengenai Makanan Pendamping (MP-ASI), maka tidak akan lepas dari pembahasan mengenai pemberian ASI Eksklusif. Dimana bila yang satu dilaksanakan, maka satu hal yang lain pasti dapat dilakukan.

Pemberian ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan, kecuali obat dan vitamin (Depkes, 2003).


(62)

Roesli (2000) menyatakan pemberian ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti: susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makana padat seperti: pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim.

Kegagalan pemberian ASI Eksklusif akan menyebabkan berkurangnya sel-sel otak bayi sebanyak 15-20% sehingga dapat menghambat perkembangan kecerdasan bayi tahap selanjutnya (Depkes, 2003).

Berdasarkan penelitian Oktaviyanti (2007), terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita. Akan tetapi proporsi anak yang kurus ternyata lebih tinggi pada anak yang mendapat ASI Eksklusif dibandingkan dengan anak yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif. Dari hasil tabulasi silang antara pemberian ASI Eksklusif dengan konsumsi energi dan protein anak, diketahui bahwa proporsi anak yang konsumsi energi dan proteinnya kurang, lebih tinggi pada anak yang mendapatkan ASI Eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mendapat ASI Eksklusif, tetapi konsumsi energi dan proteinnya kurang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi kurang gizi karena kebutuhan energi dan proteinya untuk pertumbuhannya tidak adekuat.

Berdasarkan penelitian Widodo dkk, (2005), berdasarkan indeks antropometri BB menunjukkan bahwa sejak usia 2 – 4 bulan kenaikan


(63)

rata-rata BB bayi yang diberi ASI Eksklusif daripada bayi yang diberi MP-ASI sebelum usia 4 bulan. Tetapi hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian Eregie dan Abraham (1997) dan Heinig, et all., (1993) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan bayi yang diberi ASI Ekslusif dan yang tidak diberi ASI Ekslusif tidak berbeda.

2.4.3 Karakteristik Anak a. Cakupan Imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga dengan imunisasi diharapkan bayi dan anak tetap tumbuh dalam keadaan sehat (Alimul, 2009).

Bayi dan anak tergolong ke dalam kelompok yang rawan terhadap penularan penyakit. Oleh sebab itu, imunisasi dilakukan dengan menyuntikkan vaksin ke dalam tubuh anak. Vaksin adalah bibit penyakit yang telah dilemahkan. Banyak penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui pemberian imunisasi (Lestari, 1996). Penyakit infeksi banyak menyebabkan kematian pada anak-anak khususnya balita. Tubuh bisa melindungi diri dari kuman-kuman penyebab penyakit infeksi bila orang tersebut diimunisasi. Oleh karena itu, tujuan dari imunisasi adalah memberikan kekebalan pada bayi agar tidak mudah tertular penyakit seperti Hepatitis B, Difteri, batuk rejan, Tetanus, Polio dan Campak


(64)

(Depkes, 2000). Adalah manfaat imunisasi adalah melindungi anak dari serangan penyakit tertentu yang berbahaya, anak yang tidak diimunisasi lebih besar kemungkinan menderita kekurangan gizi, cacat, dan meninggal dunia (Depkes, 2000).

Ada lima jenis imunisasi untuk balita yang diwajibkan, yakni (Cynthia, 2009):

1. Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG)

Berupa bakteri tuberculosis bacillus yang telah dilemahkan yang digunakan untuk mencegah penyakit Tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG terbukti 80% efektif mencegah TBC selama 15 tahun, namun efeknya bergantung pada keadaan geografis. Imunisasi BCG hanya dilakukan sekali yakni ketika bayi berusia 0-11 bulan.

2. Vaksin DPT/DTP

Merupakan campuran dari tiga vaksin yang diberikan untuk memberikan kekebalan pada tubuh terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin ini diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan jarak waktu antar pemberian minimal empat minggu. Kemudian diberikan lagi pada usia 18 bulan dan 5 tahun.


(65)

3. Vaksin Polio

Vaksin ini dibuat dari poliovirus yang dilemahkan. Biasanya diberikan kepada anak-anak dengan meneteskannya ke dalam mulut untuk mencegah terjadinya penularan virus polio dari lingkungan. Imunisasi pertama kali dilakukan setelah bayi lahir dilanjutkan pada usia 2, 4, 6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin polio dapat diberikan saat berumur 4 hingga 6 tahun. Vaksin polio ini dapat dikombinasikan dengan vaksin DPT.

4. Vaksin Campak

Penyakit campak hanya menyerang satu kali dalam seumur hidup. Imunisasi ini dilakukan satu kali pada bayi berusia 9-11 bulan dengan menyuntikkannya pada bagian lengan atas. Imunisasi ini memiliki efek samping seperti ruam pada tempat suntikan dan panas. Angka kejadian campak juga sangat tinggi dalam mempenegaruhi angka kesakitan dan kematian pada anak.

5. Vaksni Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis. Karena hepatitis B merupakan jenis hepatitis yang paling berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Vaksin ini sangat penting untuk diberikan sebagai pencegahan, mengingat hingga sekarang belum ditemukan


(66)

obat untuk mengobati orang yang telah terjangkit. Berupa virus yang dilemahkan dan biasanya diberikan tak lama setelah bayi dilahirkan.

Adapun jadwal pemberian imunisasi adalah sebagai berikut (Alimul, 2009):

a. Umur 0 bulan : Hepatitis B

b. Umur 1 bulan : BCG,Polio 1

c. Umur 2 bulan : DPT/HB 1, Polio 2

d. Umur 3 bulan : DPT/HB 2, Polio 3

e. Umur 4 bulan : DPT/HB 3, Polio 4

f. Umur 9 bulan : Campak

Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, Provinsi DKI Jakarta sebanyak 89,3% mendapat imunisasi BCG, sebanyak 68,6% mendapat imunisasi Polio, sebanyak 62,5% mendapat imunisasi DPT-HB dan sebanyak 76,7% mendapat imunisasi Campak sedangkan sebanyak 53,2% mendapat imunisasi lengkap, sebanyak 41,1% mendapat imunisasi tidak lengkap dan sebanyak 5,7% tidak mendapat imunisasi.

Hasil penelitian Oktaviyanti (2007), status gizi kurus lebih banyak terjadi pada balita yang imunisasinya tidak lengkap (7,5%) daripada balita


(67)

yang imunisasi lengkap (5,9%). Berdasarkan tabulasi silang antara pemberian imunisasi dengan penyakit infeksi diketahui bahwa proporsi anak yang terkena penyakit infeksi lebih tinggi pada anak yang imunisasinya tidak lengkap (100%). Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan imunisasi yang tidak lengkap memiliki kekebalan yang rendah terhadap penyakit infeksi sehingga anak akan sering sakit.

b. Penimbangan

Penimbangan balita merupakan salah satu upaya dari pemeriksaan kesehatan balita untuk melihat tumbuh kembang anak. Pertumbuhan anak dapat diamati dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS). Kartu ini berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan menilai status gizi (Arisman, 2004).

KMS adalah kartu dimana dicatat berat badan anak yang ditimbang. KMS dapat menggambarkan pertumbuhan anak sampai usia 5 tahun, dengan berpedoman pada KMS maka dapat diketahui apakah anak tergolong sehat atau tidak (Depkes, 2003).

Berdasarkan penelitian Feddelia (2006), proporsi balita berstatus gizi (kurang dan buruk) lebih tinggi pada balita yang menimbang secara tidak rutin (45,2%) dibandingkan balita yang menimbang rutin (40%).


(68)

2.4.4 Penyakit Metabolisme Bawaan (Inborn Errors of Metabolisme)

Kelompok penyakit ini diturunkan dari orang tua kepada anaknya secara genetik (melalui genes), dan bermanifestasi sebagai kelainan dalam proses metabolisme zat gizi tertentu. Metabolisme zat gizi diatur oleh sistem enzim dan enzim termasuk kelompok protein yang disintesa didalam tubuh (sel tubuh). Mekanisme untuk sintesa protein dikuasai oleh genes yang mengandung kodon bagi jenis protein enzim yang akan disintesanya. Terkadang terjadi gangguan pada sintesa protein ini, sehingga terbentuk enzim yang berlainan dengan yang biasa. Akibatnya terjadi proses metabolisme yang berbeda pada zat gizi tertentu. Perubahan metabolisme ini menyebabkan gejala-gejala biokimiawi maupun klinis (fungsional).

Penyakit-penyakit yang telah dikenal tergolong dalam jenis ini antara lain: cicle cell anemia, lactose intolerance, phenylketonuria, dan sebagainya. Meskipun telah dikenal dasar patogenesis dari berbagai penyakit ini, tidak selalu dapat diusahakan pengobatannya yang memuaskan, karena pengobatan tidak causal memperbaiki kesalahan yang terdapat pada gene tersebut. Tetapi untuk beberapa diantaranya, pendekatan pengobatan dietetik sudah memberikan hasil yang cukup memuaskan, meskipun pengobatan ini harus dilakukan seumur hidup (Sediaoetama, 2006).

Menurut Hauvast et all.,( 2000), gangguan stunting pada balita dapat juga disebabkan faktor genetik dari orang tua yang menurun kepada anaknya


(69)

seperti adanya penyakit metabolisme bawaan. Dimana faktor genetik tersebut bersifat klinis.

2.4.5 Faktor Makanan (Asupan Zat Gizi)

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Asupan zat gizi makanan diperoleh dari makanan sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk, sayuran, buah, dan susu (Almatsier, 2001).

2.4.6 Riwayat Penyaki Infeksi (Sanitasi)

Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit pathogen yang berkembang biak dalam tubuh dan menyebabkan penyakit seperti TBC, Malaria, Diare dan sebagainya (Hull, 1994).

Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi. Derajat infeksi atau apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergis, sebab malnutrisi


(70)

disertai infeksi pada umumnya dapat memperburuk keadaan gizi (Pudjiadi, 1997 dalam Mutiara, 2006).

Kehadiran penyakit infeksi dalam tubuh anak mengakibatkan anak kehilangan nafsu makan, sehingga anak sering menolak makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak (Moehyi, 1988). Infeksi juga menyebabkan penghancuran jaringan tubuh, baik oleh bibit penyakit maupun oleh tubuh sendiri untuk memperoleh protein untuk daya tahan tubuh. Jelasalah kalau infeksi dalam bentuk apapun akan memperburuk status gizi anak ke arah gizi buruk. Keadaan gizi buruk tadi melemahkan kemampuan anak untuk melawan infeksi, kuman-kuman yang tidak berbahaya pun menyerang anak akan menimbulkan penyakit yang berbahaya bahkan kematian pada anak yang menderita gizi buruk (Moehyi, 1988).

Riwayat penyakit infeksi berhubungan dengan sanitasi lingkungan dan personal hygiene. Lingkungan dan personal hygiene merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan. Meningkatnya industrialisasi, emisi kendaran bermotor, pariwisata, dan lain sebagainya menyebabkan degradasi lingkungan. Kualitas udara di daerah perkotaan dan industrial jauh melebihi standar yang telah ditentukan. Air di permukaan dan di dalam tanah di beberapa daerah tercemar oleh sisa air industri yang tidak diolah. Masalah lingkungan yang besar telah menyebabkan masalah kesehatan, termasuk


(71)

sistem pernapasan, kulit, dan penyakit perut (WHO, 2000 dalam Mutiara, 2006).

Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pencernaan (Supariasa, 2001). Salah satu ruang lingkup kesehatan lingkungan yaitu penyediaan air bersih. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, cuci-mencuci, dan sebagianya (Notoatmodjo, 2003).

Berdasarkan penelitian Sukmadewi (2003), menunjukkan bahwa anak yang berstatus gizi buruk lebih banyak disertai dengan riwayat penyakit buruk (pernah menderita penyakit ISPA, diare, atau demam dalam satu bulan terakhir) yaitu 7,6% daripada anak yang gizi buruk dengan riwayat penyakit baik (tidak pernah menderita penyakit ISPA, diare, atau demam dalam satu bulan terakhir) yaitu sebesar 2,3% dan terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan riwayat penyakit (p.value 0,0017).

2.5 Penilaian Konsumsi Makanan

Penilaian konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2001).


(72)

Menurut Supariasa (2001), survei konsumsi pangan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.

Metode pengukuran konsumsi makanan berdasarkan jenis data yang diperoleh dibedakan menjadi:

1. Metode Kualitatif

Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode metode pengukuran konsumsi makanan yang bersifat kualitatif, seperti: metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, dan metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa, 2001).

2. Metode Kuantitatif

Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak.


(1)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .221 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables A5 7.235 1 .007

C9 4.556 1 .033

D13 5.423 1 .020

Susu 6.011 1 .014

A5 by D13 8.071 1 .004

Overall Statistics 24.439 5 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig.

Step 1 Step 30.127 5 .000

Block 30.127 5 .000

Model 30.127 5 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 83.549a .307 .410

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.


(2)

Classification Tablea

Observed

Predicted

BB

Percentage Correct non 2T 2T

Step 1 BB non 2T 24 17 58.5

2T 4 37 90.2

Overall Percentage 74.4

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a A5 6.152 2.423 6.447 1 .011 469.450 4.067 5.419E4

C9 -1.963 .810 5.871 1 .015 .140 .029 .687

D13 5.460 2.065 6.990 1 .008 235.065 4.106 1.346E4

susu -2.296 .825 7.753 1 .005 .101 .020 .507

A5 by D13 -2.874 1.332 4.659 1 .031 .056 .004 .768

Constant -4.517 3.552 1.617 1 .204 .011


(3)

4. Tahap Akhir

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 82 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 82 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 82 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding Original

Value Internal Value

non 2T 0

2T 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 0 BB non 2T 0 41 .0

2T 0 41 100.0

Overall Percentage 50.0

a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500


(4)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .221 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables A5 7.235 1 .007

C9 4.556 1 .033

D13 5.423 1 .020

susu 6.011 1 .014

Overall Statistics 20.913 4 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig.

Step 1 Step 24.828 4 .000

Block 24.828 4 .000

Model 24.828 4 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 88.848a .261 .348

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.


(5)

Classification Tablea

Observed

Predicted

BB

Percentage Correct non 2T 2T

Step 1 BB non 2T 32 9 78.0

2T 21 20 48.8

Overall Percentage 63.4

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a A5 1.194 .535 4.977 1 .026 3.302 1.156 9.429

C9 -2.008 .772 6.772 1 .009 .134 .030 .609

D13 1.342 .581 5.334 1 .021 3.828 1.225 11.959

susu -1.869 .733 6.504 1 .011 .154 .037 .649

Constant 1.856 1.914 .940 1 .332 6.396

a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu.

Block 2: Method = Backward Stepwise (Wald)

Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig.

Step 1 Step 5.299 1 .021

Block 5.299 1 .021


(6)

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 83.549a .307 .410

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 1 BB non 2T 24 17 58.5

2T 4 37 90.2

Overall Percentage 74.4

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a A5 6.152 2.423 6.447 1 .011 469.450 4.067 5.419E4

C9 -1.963 .810 5.871 1 .015 .140 .029 .687

D13 5.460 2.065 6.990 1 .008 235.065 4.106 1.346E4

susu -2.296 .825 7.753 1 .005 .101 .020 .507

A5 by D13 -2.874 1.332 4.659 1 .031 .056 .004 .768

Constant -4.517 3.552 1.617 1 .204 .011