BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara berkembang seperti Indonesia secara berkelanjutan melakukan pembangunan baik fisik maupun mental untuk mencapai pemenuhan hak-hak
manusia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tertulis bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pendidikan merupakan bagian dari hak dasar anak yang wajib dipenuhi. Hak anak merupakan bagian dari
hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 9 ayat 1 menyatakan setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya. Pendidikan adalah unsur terpenting di
dalam sebuah negara karena, dari pendidikan lahir para sumber daya manusia yang handal oleh karena itu, jika pendidikan di dalam suatu negara tidak dikelola
dengan baik bahkan diabaikan maka, sudah dapat dipastikan anak bangsa yang lahir sebagai penerus untuk membangun negara akan menjadi seorang yang tak
berdaya terjerumus oleh zaman, dan akan berdampak pada kelangsungan hidup suatu negara.
Saat ini pemerintah mempunyai program Wajib Belajar 9 tahun Program ini didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” universal basic education,
yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk semua anak.
Universitas Sumatera Utara
Melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki
semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke
lembaga pendidikan sekolah ataupun luar sekolah.
Kelangsungan hidup bangsa Indonesia kedepannya berada ditangan anak- anak dimasa sekarang. Dengan begitu seorang anak yang menginginkan
kesenangan dimasa yang akan datang maka anak pada masa sekaranglah anak merasakan hak-hak tersebut. Misalnya tempat bermain, pendidikan, jaminan
kesehatan, dan lain sebagainya. Sebagai perwujudan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa. Anak merupakan bagian dari generasi
muda, penerus cita-cita, dan perjuangan bangsa. Disamping itu, anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari
berbagai ancaman dan gangguan supaya hak-haknya tidak terabaikan.
Bagi bangsa Indonesia, masyarakat, keluarga miskin, dan terlebih lagi anak-anak krisis ekonomi menjadi awal mula timbulnya berbagai masalah yang
mustahil untuk di pecahkan dalam waktu yang singkat. Situasi ekonomi tidak hanya melahirkan kondisi kemiskinan yang semakin parah, tetapi juga
menyebabkan situasi menjadi sulit. Ironisnya, saat ini kesejahteraan bagi masyarakat sangat sulit didapat terutama bagi masyarakat kelas menengah ke
bawah dan tidak semua kebutuhan anak terpenuhi. Salah satunya adalah masih banyak anak Indonesia yang tidak dapat menikmati atau melanjutkan
pendidikannya. Di dalam pendidikan terdapat banyak anak putus sekolah. Faktor penyebab anak putus sekolah dikarenakan keadaan lingkungan yang kurang
mendukung, ekonomi, dan sosial ekonomi. Putus sekolah bukan salah satu
Universitas Sumatera Utara
permasalahan pendidikan yang tidak pernah berakhir dan masalah ini telah berakar serta sulit untuk dipecahkan.
Sebagai sebuah permasalahan sosial, disadari bahwa dalam menyikapi persoalan anak putus sekolah pemerintah bukan hanya dituntut untuk
meningkatkan perlindungan sosial dan santunan sosial seperti beasiswa bagi siswa miskin. Lebih dari itu, yang dibutuhkan anak-anak putus sekolah sesungguhnya
sebuah komitmen yang benar-benar serius tidak hanya menjadi slogan politik, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam hak-hak anak.
Kecenderungan terjadinya masalah anak-anak putus sekolah tentu sangat memprihatinkan. Studi yang dilakukan di LPPM Universitas Airlangga di
Provinsi Jawa Timur menemukan bahwa dikalangan masyarakat miskin, kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak relatif
tidak berkembang. Di kalangan anak-anak usia 7-13 tahun, secara teoritis pengaruh peer-group memiliki efek yang kuat sehingga dapat dipahami
masyarakat bersama-sama memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah, mengemban pendidikan hanya sampai di jenjang SD atau bahkan berhenti di
tengah jalan Suyanto, 2010:339. Berdasarkan laporan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, setiap
minggu ada anak yang putus sekolah. Sementara itu, menurut Pengamat Pendidikan, mengatakan bahwa tahun 2010 tercatat terdapat 1,3 juta anak usia 7 –
15 tahun di Indonesia terancam putus sekolah. Tingginya angka putus sekolah ini, disebabkan mahalnya biaya pendidikan. Tentu saja kondisi ini sangat
memprihatinkan, mengingat bahwa seluruh anak di Indonesia harus memperoleh pendidikan dasar minimal 12 tahun jenjang SD sd SMA. Data dari Mendikbud
menyebutkan bahwa pada tahun 2009, dari 100 anak-anak yang masuk SD,
Universitas Sumatera Utara
yang melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80 , sedangkan 20 persen lainnya harus putus sekolah. Dari 80 siswa SD yang lulus sekolah, hanya 61 yang
melanjutkan sekolah ke jenjang SMP sekolah yang setingkat lainnya. Kemudian setelah itu hanya 48 yang akhirnya lulus sekolah. Sementara itu, 48 yang
lulus dari jenjang SMP hanya 21 persennya saja yang melanjutkan ke jenjang SMA. Sedangkan yang bisa lulus jenjang SMA hanya sekitar 10 Medan
Bisnis, 2013
Menurut hasil Susenas dalam
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Badan Pusat Statistik
2011 : 51 menunjukkan bahwa anak putus sekolah cenderung meningkat seiring bertambahnya kelompok umur. Pada kelompok
umur 7-12 tahun terdapat 0,67 anak yang putus sekolah. Selanjutnya, pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 2,21 dan pada kelompok umur 16-17
tahun meningkat menjadi 2,32 anak putus sekolah. Dari semua kelompok umur yang berbeda, anak yang bertempat tinggal di daerah pedesaan lebih banyak yang
mengalami putus sekolah dibandingkan anak yang berada di daerah perkotaan. Bila dilihat menurut jenis kelamin, anak laki-laki cenderung lebih banyak yang
mengalami putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pola yang sama terjadi baik pada kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun maupun 16-17 tahun. Menurut
jenis kelamin, anak laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pada jenjang SDsederajat, angka
putus sekolah anak laki-laki 2,18 lebih tinggi daripada anak perempuan 1,22 . Begitu pula pada jenjang SMPsederajat, angka putus sekolah anak laki-laki 1,12
lebih tinggi daripada anak perempuan 0,72 . Pada jenjang SMAsederajat juga berlaku hal yang sama yaitu angka putus sekolah anak laki-laki 0,30 lebih
tinggi daripada anak perempuan 0,22 .
Universitas Sumatera Utara
Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan belum dapat dinikmati oleh seluruh anak Indonesia sehingga masih terdapat anak-anak yang tidak pernah
sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Dari beberapa faktor yang dikemukakan bahwa
permasalahan ekonomi sangat dominan menjadi penyebab anak tidak sekolah , mayoritas anak berumur 7-17 tahun belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi
dengan alasan tidak ada biaya yaitu sebesar 49,51 . Faktor ekonomi juga bisa menyebabkan seorang anak harus bekerja dan mencari nafkah sehingga
mendorong anak untuk tidak sekolah. Ada sebesar 9,20 anak yang tidak sekolah dengan alasan bekerja atau mencari nafkah. Selain itu terdapat anak yang
tidak bersekolah karena alasan sekolah jauh 3,87 , merasa pendidikan cukup 3,76, cacat 3,71, menikahmengurus rumah tangga 3,05 , malu karena
ekonomi 1,25 , menunggu pengumuman 0,61 , tidak diterima 0,42 , dan sisanya adalah alasan lainnya 24,62 Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak 2012 : 49. Menurut Biro Pusat Statistik menyebutkan angka putus anak sekolah di
Indonesia masih tinggi. Pada tahun 2013 terdapat angka putus sekolah sebesar 616.416 anak. Untuk usia 7-12 tahun sebanyak 182.773 anak, usia 13-15 tahun
sebanyak 209.976 anak, dan usia 16-18 tahun sebanyak 223.676 anak. Tidak punya biaya ternyata merupakan alasan terbanyak untuk tidak bersekolah lagi
walaupun selama ini pemerintah telah berusaha untuk meringankan uang sekolah bahkan menghapus uang sekolah untuk Sekolah Dasar dan berusaha menekan
uang sekolah untuk sekolah lanjutan. Hal ini dimungkinkan masih bisa terjadi karena, diluar kebutuhan sekolah kebutuhan yang lain juga cukup tinggi disisi lain
belum diimbangi pendapatan sebagian besar masyarakat yang memadai. Belum lagi biaya pendidikan di perguruan tinggi yang cukup mahal Marlinawati, 2014
Universitas Sumatera Utara
Di Jakarta misalnya, sepasang anak kembar berusia 13 tahun; Dina
Lestari dan Diki Wahyudi, putus sekolah SMP sejak dua tahun terakhir Warga RT 08 RW 04 Kelurahan Grogol Utara Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan.
Ibu Rosidah 41 ibu dari pasangan kembar tersebut hanya menjadi buruh cuci hanya mendapatkan upah sebesar Rp.25.000 di lingkungan tempat tinggalnya , ibu
Rosidah mengaku tidak sanggup membiayai kedua anaknya, sehinga anak paling tua putus sekolah dan membantu neneknya untuk berjualan, dan adiknya sudah
dua tahun putus sekolah. Rosidah berharap kedua anaknya bisa melanjutkan sekolah setidaknya tamat SMP. Ramli, seorang tokoh masyarakat di Jalan Pulo
Mawar mengakui, banyak warga di sekitar tempat tinggal Rosidah di Jalan Pulo Mawar I, berpenghasilan rendah dan tergolong kedalam keluarga miskin
Kompas, 2014
Selanjutnya, berdasarkan sumber dari Koran Tribun Medan menyebutkan daerah Provinsi Sumatera Utara sepanjang tahun 2011 jumlah anak usia sekolah
yang tidak sekolah termasuk tinggi, yaitu mencapai sekitar 17.286 anak. Sementara yang tidak melanjutkan sekolahputus sekolah mencapai lebih dari
78.000. Dari jumlah 78.000 siswa putus sekolah, 4.321 siswa berasal dari bangku sekolah dasar. 3.555 dari tingkat SMP, dan 7.025 siswa dari tingkat SMA.
Persentase jumlah anak putus sekolah yang berkisar 8,08 dari 448.893 penduduk Medan yang berada pada usia sekolah 7-18 tahun atau sekitar 36.288
jiwa. Dari persentase tersebut diketahui jumlah siswa yang putus sekolah tertinggibesar di tingkat Sekolah Menengah Atas SMA. Menurut data statistik
kota Medan bahwa presentase jumlah anak putus sekolah pada tahun ini yang putus sekolah memasuki SMA berkisar 23,9 dari 109.898 remaja kelompok usia
16-18 tahun. Jumlah ini terlalu jauh dari siswa putus sekolah saat memasuki SMP berkisar 6,25 dari 112.636 remaja kelompok usia 13-15 tahun dan berkisar
Universitas Sumatera Utara
1,42 anak putus sekolah pada tingkat SD kelompok umur 7-12 tahun 223.356 anak Tribun News, 2012
Kecamatan Pematang Sidamanik memiliki 10 nagorikelurahan yaitu: Sipolha Horisan, Pem. Tambun Raya, Sihaporas, Jorlang Huluan, Bandar Manik,
Sait Buntu Saribu, Pematang Sidamanik, Sarimattin, Simantin, dan Gorak. Kelurahan Sipolha Horisan merupakan salah satu daerah di Kecamatan Pematang
Sidamanik Kabupaten Simalungun yang memiliki jumlah penduduk 1.014 jiwa dan termasuk wilayah yang memiliki populasi anak putus sekolah yang cukup
banyak . Mayoritas masyarakat di kelurahan tersebut hanya mencapai jenjang pendidikan tingkat SD sampai SMA walaupun demikian masyarakat nagori
Sipolha Horisan menginginkan anak-anak mendapatkan pendidikan yang tinggi dan menyadari penddidikan itu penting. Jika dibandingkan dengan
nagorikelurahan lain seperti Jorlang Huluan memiliki populasi angka anak putus sekolah yang cukup sedikit, dimana masyarakat di daerah tersebut mencapai
jenjang pendidikan DIII dan S1. Hal ini memungkinkan masayarakat di daerah Jorlang Huluan menyadari pendidikan itu penting untuk masa depan.
Dilihat dari kasus anak yang putus sekolah di kelurahan ini tergolong pada tingkat yang tinggi. Terdapat anak putus sekolah pendidikan SD sebanyak
288 jiwa, hanya lulusan SD sebanyak 133 jiwa, lulusan SMP sebanyak 265 jiwa dan lulusan SMA 588 jiwa Profil Kecamatan Pematang Sidamanik Oktober,
2012. Banyaknya angka putus sekolah ini disebabkan oleh kondisi Geografis daerah tersebut dimana terdapat dipinggiran Danau Toba dan berada di sekitar
perbukitan, sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai, jarak pemukiman penduduk dengan gedung Sekolah adalah sekitar 4 kilometer dilalui
dengan berjalan kaki dan untuk mengakses daerah tersebut pun sulit. Disamping
Universitas Sumatera Utara
itu disebabkan oleh Ekonomi Rumah Tangga yang rendah sehingga tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan anak ke jenjang yang lebih tinggi serta adanya
pengaruh dari teman dan lingkungan dimana anak berada. Walaupun masyarakat Kelurahan Sipolha Horisan mengangap pendidikan penting, namun pada
kenyataannya masih banyak terdapat anak putus sekolah yang tinggi.
Permasalahan yang dilihat peneliti adalah apa yang menjadi faktor anak putus sekolah. Beberapa teori menjelaskan bahwa faktor utama anak putus
sekolah adalah faktor ekonomi keluarga yang rendah, dan berdasarkan observasi pra penelitian yang dilakukan oleh penulis, melihat rumah keluarga anak-anak
yang putus sekolah tergolong semi permanen dengan konstruksi pondasi, dinding setengah batu setengah papan, atap genteng dan lantai semen. Sekilas dapat
disimpulkan dengan keadaan rumah tersebut tidak tergolong dalam kategori keluarga miskin. Berkaca dari hal tersebut peneliti ingin menggambarkan lebih
detail faktor dominan anak putus sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk dapat menegtahui apa yang menyebabkan anak putus sekolah perlu
dilakukan kajian lebih lanjut. Berdasarkan pemaparan-pemaparan tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut masalah ini dalam bentuk
skripsi dengan judul “Faktor Dominan Anak Putus Sekolah Di Kelurahan Sipolha Horisan Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun
1.2 Rumusan Masalah