c. Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam
Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa Cahaya matahari bersumber dari dirinya
sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan dari cahaya matahari perhatikan QS. Yunus10: 5; atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang
wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan ladang QS. Al- Baqarah2: 223; dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui
manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui.
Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk- petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian
manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya. 5.
Hikmah Kandungan Ayat a.
Kebenaran Al-Qur’an bersifat haq, yakni keberadaan mulai dari yang menurunkan,
yang membawa turun dan yang diberi wewenang untuk mengajarkan kepada seluruh manusia adalah mutlak kebenaranya, sehingga Al-Qur’an tidak akan
disentuh oleh perubahan dan kerusakan walau satu huruf. Itu semua karena Allah adalah sumber kebenaran yang abadi.
b. Manusia dihadapkan pada dua pilihan yang bertolak belakang yakni antara
menerima kebenaran atau menolaknya. Penerimaan dengan keimanan yang mantap akan kebenaran Al-Qur’an akan membawa manusia kepada bimbingan dan petunjuk
Allah yang berakibat pada kebahagian. Dan sebaliknya mereka yang menolak kufr
kebenaran Al-Qur’an karena ego dan nafsunya akan membawa manusia kearah kesengsaraan terlebih pada hari pembalasan.
c. Keimanan dan kekufuran yang di tampilkan setiap pribadi manusia apa akhirnya
berpulang kepada pribadi itu senddiri. Hal itu tidak berpengaruh terhadap keberadaan Allah sedikitpun, karena Allah sesungguhnya tidak butuh kepada
manusia Tetapi sebaliknya, manusialah yang membutuhkan kasih dan sayangNya selama hidup di dunia sampai kelak di ahirat.
D. QS. Al Hujuraat49: 10-13
1. Redaksi Ayat
ﺸ ُ ﺸﺴﻮﺴ ﺴأ ﺴﺸﲔﺴﺦ ﺒﻮُ ِﺸ ﺴﺄﺴ ﺲةﺴﻮﺸ ِﺐ ﺴنﻮُِﺸﺆُﺸﺒ ﺎﺴﳕِﺐ ◌
ﺴنﻮُﺴﲪﺸﺮُﺦ ﺸ ُ ﺴﺴ ﺴﺦ ﺒ ﺒﻮُﺦ ﺒﺴو ١٠
ﺒﻮُﺴآ ﺴ ِﺬﺒ ﺎﺴﻬﺦﺴأ ﺎﺴ ﺸﺮﺴ ﺸ ﺴ ﺴ
ٰﻰﺴ ﺴ ﺳمﺸﻮﺴﺦ ﱢ ﺲمﺸﻮﺴﺦ ٰﻰﺴ ﺴ ﺳﺌﺎﺴ ﱢ ﱢ ﺲﺌﺎﺴ ِ ﺴﺴو ﺸ ُﻬﺸﺦﱢ ﺒًﺮﺸﺦﺴ ﺒﻮُﻮُ ﺴ نﺴأ
ﺒًﺮﺸﺦﺴ ُﺴ نﺴأ ُﻬﺸﺦﱢ
◌ ِبﺎﺴﺸﺴﺸﻷﺎِ ﺒوُﺰﺴﺦﺎﺴﺴﺦ ﺴﺴو ﺸ ُ ﺴ ُ ﺴأ ﺒوُﺰِﺸﺴﺦ ﺴﺴو
◌ ِ
نﺎﺴﳝِﺸﻹﺒ ﺴﺪﺸﺴﺦ ُﺨﻮُ ُﺸﺒ ُ ﺸ ِﺒ ﺴ ﺸِ ◌
ﺸ ﺴﺴو ُﺴﺦ
ٰﺦﺴوُﺄﺴ ﺸ ﺴنﻮُِﺎ ﺒ ُ ُ ﺴ ِ
١١ ﱢ ﺒ ﺴ ﺸﺴﺦ نِﺐ ﱢ ﺒ ﺴ ﱢ ﺒًﲑِﺴ ﺒﻮُِﺴﺸ ﺒ ﺒﻮُﺴآ ﺴ ِﺬ ﺒ ﺎﺴﻬﺦﺴأ ﺎﺴ
ﺲﺸﰒِﺐ ◌
ﺎً ﺸﺴﺦ ُ ُ ﺸﺦ ﺴﺸﺴﺦ ﺴﺴو ﺒﻮُ ﺴﺴ ﺴﺴو ◌
ﺎًﺸﺴ ِ ِﺴأ ﺴﺸﺴ ﺴ ُ ﺸﺄﺴ نﺴأ ﺸ ُُﺪﺴﺴأ ُِﺴأ ﺸِﺮﺴ ﺴ
ُﻮُُ ◌
ﺴﺦ ﺒ ﺒﻮُﺦ ﺒﺴو ◌
ﺲ ِﺜ ﺲبﺒﻮﺴﺦ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ ١ﺻ
ٰﻰﺴُأﺴو ﺳﺮﺴﺴﺛ ﱢ ُﺎﺴﺸﺴﺴ ﺎ ِﺐ ُسﺎ ﺒ ﺎﺴﻬﺦﺴأ ﺎﺴ ﺒﻮُﺴﺜﺎﺴﺴﺦِ ﺴِﺎﺴﺴﺦﺴو ﺎًﻮُُ ﺸ ُﺎﺴﺸﺴﺴ ﺴو
◌ ﺸ ُ ﺎﺴﺸﺦﺴأ ِﺦ ﺒ ﺴﺪ ِ ﺸ ُ ﺴﺴﺮﺸ ﺴأ نِﺐ
◌ ﺲ ِﺴ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ
ﺲﲑِﺴ ١ﺼ
Artinya:
10. orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk
panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka kecurigaan, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. 13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
2. Makna Mufrodat
Kata اوحلــصأ ashlihû terambil dari kata حلــصأ ashlaha yang asalnya adalah حلــص
shaluha. Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata ــسف fasada yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian
shaluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang اــصإ ishlâh adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas
sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Memang ada nilai-nilai yang harus dipenuhi sesuatu agar ia bermanfaat atau agar ia dapat berfungsi dengan baik. Kursi,
misalnya, harus memiliki kaki yang sempurna baru dapat berfungsi dengan baik dan dapat bermanfaat. Jika salah satu kaki kursi tersebut rusak, maka perlu dilakukan
ishlahperbaikan agar ia dapat berfungsi dengan baik serta bermanfaat sebagai kursi. Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam
keharmonisan hubungan. Ini berarti jika hubungan antar dua pihak berkurang kemanfaatan yang dapat diperoleh dari mereka. Ini menuntut adanya
ishlah, yakni perbaikan agar keharmonisa pulih, dan dengan demikian terpenuhi nilai-nilai bagi
hubungan tersebut, dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemaslahatan.
Kata اــ نإ innamâ digunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini kaum beriman dibatasi
hakikat hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan
hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu. Kata innamâ biasa digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal yang demikian itu adanya dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik. Penggunaan kata
innamâ
dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan antara sesama mukmin ini,
mengisyaratkan bahwa sebenarnya semua pihak telah mengetahui secara pasti bahwa kaum beriman bersaudara, sehingga semestinya tidak terjadi dari pihak mana pun hal-
hal yang mengganggu persaudaraan itu. Kata
وــخإ ikhqah adalah bentuk jamak dari kata أ akh, yang dalam kamus-kamus bahasa sering kali diterjemahkan
saudara atau sahabat. Kata ini pada mulanya berarti yang sama. Persamaan dalam garis keturunan mengakibatkan persaudaraan, demikian
juga persamaan dalam sifat atau bentuk apapun. Persamaan kelakuan pemboros dengan setan, menjadikan para pemboros adalah saudara-saudara setan QS. Al-
Isra’17: 27. Persamaan dalam kesukuan atau kebangsaan pun mengakibatkan persaudaraan QS. Al-A’raf7: 65. Ada juga persaudaraan karena persamaan
kemakhlukan, seperti ketika Nabi Muhammad Saw. menamakan jin adalah saudara- saudara manusia. Beliau melarang menjadikan tulang sebagai alat beristinja karena itu
adalah makanan saudara-saudara kamu dari jenis jin. Kata
أ akh yang berbentuk tunggal itu, biasa juga dijamak dengan kata اوــخإ ikhwân. Bentuk jamak ini biasanya menunjuk kepada persaudaraan yang tidak
sekandung. Berbeda dengan kata وــخإ ikhwah yang hanya terulang tujuh kali dalam
Al-Quran, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan seketurunan, kecuali ayat al-Hujurat di atas. Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan
yang terjalin antara sesama muslim, adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman, dan kali kedua adalah persaudaraan seketurunan,
walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demikian tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu. Ini lebih-lebih lagi jika masih
direkat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib dan sepenanggungan.
Kata مكيوــخأ akhwaikum adalah bentuk dual dari kata أ akh. Penggunaan bentuk
dual di sini untuk mengisyaratkan bahwa jangankan banyak orang, dua pun, jika mereka berselisih harus diupayakan
ishlah antar mereka, sehingga persaudaraan dan hubungan harmonis mereka terjalin kembali.
Kata وــق qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa
menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita dapat saja masuk dalam
pengertian qaum –bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk
kepada laki-laki misalnya kata al-muminûn dapat saja tercakup di dalamnya al-
muminâtwanita-wanita mukminah. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan
kata ءلــسن nisâperempuan karena ejekan dan merumpi lebih banyak terjadi di
kalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki. Kata
او ــ لتإ talmizû terambil dari kata ــ للا al-lamz. Memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir,
tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu bentuk kekurangajaran dan penganiayaan.
Firman-Nya : مھنــم ارــيخ اوــنوكي ا ىــسع asâ an yakûnû khairan minhumboleh jadi
mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan tentang adanya tolok ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian
Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolok ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau
orang lain, justru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian yang
ditetapkan Allah, tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek. Kata
او بانت tanâbazû terambil dari kata ــبنلا an-Nabdz yakni gelar buruk. At-tanâbuz adalah
saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna
timbal balik, berbeda dengan larangan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja karena
at-tanâbuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, Tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan
memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengandung siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan
gelar buruk, sehingga terjadi tanâbuz.
Perlu dicatat bahwa terdapat sekian gelar yang secara lahiriah dapat dinilai gelar buruk, Tetapi karena ia sedemikian populer dan penyandangnya pun tidak lagi
keberatan dengan gelar itu, maka di sini, menyebut gelar tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Misalnya
Abu Hurairah, yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakir, atau
Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Thalib. Bahkan al-Araj si Pincang untuk perawi hadis kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan
al-Amasyi si Rabun bagi Sulaiman Ibn Mahrân dan lain-lain.
Kata مــسإا al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama, Tetapi
sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan Seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan
setelah ia disifati dengan sifat keimanan. Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata
al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: Seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandangkan kepada
seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa
yang pernah dilakukannya. Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan di Pembobol Bank atau Pencuri dan lain-lain.
Kata اوــبنتجإ ijtanibû terambil dari kata بــنج j a n b yang berarti samping.
Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan
jauhi. Penambahan huruf ta pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan kata
ijtanibû berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk.
Kata ارــيثك katsiranbanyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau
diterjemahkan sementara penerjemah. Tiga dari sepuluh adalah banyak, dan enam dari sepuluh adalah
kebanyakan. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang indikatornya
demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang diharamkan,
baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Termasuk juga dugaan yang bukan dosa adalah rincian hukum-hukum keagamaan. Pada umumnya atau dengan kata lain
kebanyakan dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat
zhanniydugaan, dan tentu saja apa yang berdasar dugaan hasilnya pun adalah dugaan.
Kata اوــسسجت tajassasû terambil dari kata ســج jassa, yakni upaya mencari tahu
dengan cara tersembunyi. Dari sini mata-mata dinamai سوــساج jâsûs. Imam
Ghazâli memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang
enggan diketahui
-
orang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan
negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga.
Kata بــتغي yaghtab terambil dari kata ةــبيغ ghîbah yang berasal dari kata بــيغ
ghaib yakni tidak hadir. Ghibah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan,
maka ia dinamai اــتھب baghtânkebohongan besar. Dari penjelasan di atas terlihat
bahwa walaupun keburukan yang diungkap oleh penggunjing tadi memang disandang oleh obyek
ghibah, ia tetap terlarang. Firman-Nya:
وـــ تھركف fa karihtumûhumaka kamu telah jijik kepadanya menggunakan kata kerja masa lampau untuk menunjukkan bahwa perasaan jijik itu
adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh setiap orang. Redaksi yang digunakan ayat di atas mengandung sekian banyak penekanan untuk
menggambarkan betapa buruknya rnenggunjing. Penekanan pertama pada gaya
pertanyaan yang dinamai istifhâm taqrîri yakni yang bukan bertujuan meminta
informasi, tetapi mengundang yang ditanya membenarkan. Kedua, ayat ini
menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak disenangi, dilukiskan sebagai disenangi.
Ketiga, yat ini mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan,
Suka kah salah sreorang di antara kamu. Keempat, daging yang dimakan bukan sekadar daging manusia Tetapi daging saudara sendiri. Penekanan
kelima, pada ayat ini adalah bahwa saudara itu dalam keadaan mati yakni tidak dapat membela diri.
Kata اوــتلا at-tawwâb seringkali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini belum
mencerminkan secara penuh kandungan kata tawwâb, walaupun kita tidak dapat
menilainya keliru. Imam al-Ghazali mengartikan at-Tawwâb sebagai Dia Allah yang
kembali berkali-kali menuju cara yang memudahkan taubat untuk hamba-hamba-Nya, dengan jalan menampakkan tanda-tanda kebesaran-Nya, menggiring kepada mereka
peringatan-peringatan-Nya, serta mengingatkan ancaman-ancaman-Nya. Sehingga bila mereka telah sadar akan akibat buruk dari dosa-dosa dan merasa takut dari ancaman-
ancaman-Nya, mereka kembali bertaubat dan Allah pun kembali kepada mereka dengan anugerah pengabulan. Selanjutnya rujuklah ke QS. Al-Baqarah [2]: 37, untuk
memahami lebih banyak tentang makna dan substansi taubat. Kata
وعــش syuûb adalah bentuk jamak dari kata بعــش syab. Kata ini digunakan untuk menunjuk kumpulan dari sekian
ةــليبق qabîlah yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek.
Qabilahsuku pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai
راــ ع imârah, dan yang ini terdiri lagi dari sekian banyak kelompok 3 yang dinamai
نــطب bathn. Di bawah bathn ada sekian ــ ف fakhdz hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil.
Kata اوفراــعت taârafû terambil dari kata فرــع `arafa yang berarti mengenal. Patron
kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian la berarti
saling mengenal. Kata
مكمرــكأ akramakum terambil dari kata رــك karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai objeknya. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang
memiliki akhlak yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesama makhluk. Sifat
ميلع Alîm dan ريبخ Khabîr keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa
Alîm menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu. Penekanannya adalah
pada dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui - bukan pada sesuatu yang diketahui itu. Sedang
Khabîr menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di
sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui Tetapi pada sesuatu yang diketahui itu.
3. Asbabun Nuzul
Asbabbun nuzul ayat 11 adalah: Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama-nama gelaran di zaman Jahiliyah sangat banyak. Ketika Nabi SAW. memanggil seseorang
dengan gelarnya, ada orang yang memberitahukan kepada Nabi bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat ini yang melarang memanggil orang dengan gelaran
yang tidak disukainya. Hadis tentang asba an-nuzul ayat 11 Diriwayatkan oleh Al- Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Jubair Ibnu Dlahhak.
Asbabbun nuzul ayat 11 diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij. Dalam riwayat tersebut, dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Salman al-Farisi yang apabila selesai makan ia terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mempergunjingkan perbuatannya itu. Maka turunlah ayat ini
yang melarang seseorang mengumpat menceritakan keaiban orang lain. Asbab an-nuzul ayat 13 merupakan riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu
Abi Mulaikah. Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim, dikemukakan bahwa ketika fatkhu Makkah, Bilal naik ke atas Kabah untuk adzan. Berkatalah beberapa orang: Apakah
pantas budak hitam adzan di atas Kabah? Maka berkatalah yang lainnya: Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya. Ayat ini turun sebagai
penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling taqwa.
4. Analisis Kandungan Ayat
Hendaknya kita menyadari bahwa firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang mukmin
bersaudara merupakan ketetapan syariat berkaitan dengan persaudaraan antara orang-orang mukmin dan yang mengakibatkan dampak keagamaan serta hak-hak
yang ditetapkan agama. Hubungan kekeluargaan antara anak, bapak atau saudara, ada yang ditetapkan agama atau undang-undang serta memiliki dampak-dampak
tertentu seperti hak kewarisan, nafkah, keharaman kawin dan lain-lain, dan ada juga yang ditetapkan hanya berdasar ketentuan umum natural yakni hubungan pertalian
keturunan atau rahim. Dua orang anak yang lahir dari dua ibu bapak melalui perkawinan yang sah menurut
agama, adalah dua saudara yang diakui oleh agama, sekaligus diakui berdasar ketentuan umum yakni akibat kelahirannya dari ibu dan bapak yang sama. Tetetapi
jika salah seorang dari kedua anak tadi lahir akibat perzinahan, maka yang ini bukanlah anak sah yang diakui agama walaupun dia adalah anak yang lahir dari
sumber sperma yang sama dan rahim ibu yang sama. Anak itu adalah anak hanya
berdasar ketentuan umum natural; bukan ketentuan agama. Demikian juga anak angkat. Boleh jadi sementara peraturan menilainya sebagai anak, Tetapi Islam tidak
menilainya sebagaimana halnya anak kandung. Nah jika demikian, persaudaraan beraneka ragam dan memiliki dampak yang bermacam-macam.
Ada persaudaraan umum natural yang tidak memiliki dampak dalam ajaran agama seperti lahirnya dua orang dari ayah dan ibu yang sama. Ada juga persaudaraan yang
memiliki dampak tertentu yang ditetapkan agama, misalnya dampaknya dalam pernikahan dan kewarisan. Atau persaudaraan berdasar persusuan, yang juga memiliki
dampaknya pada pernikahan, walau tidak dalam kewarisan. Dengan demikian, persaudaraan antar sesama manusia pun berbeda-beda, walau semua dapat dinamai
saudara. Ayat di atas mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan, serta
hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan
hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka, yang pada puncaknya dapat melahirkan pertumpahan darah dan perang saudara sebagaimana dipahami dari kata
qital yang puncaknya adalah peperangan. Di sisi lain, tentu saja siapa yang mengejek orang lain maka dampak buruk ejekan itu
menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan yang lebih buruk dari yang diejek itu. Bisa juga larangan ini memang ditujukan kepada masing-masing
dalam arti jangan melakukan suatu aktivitas yang mengundang orang menghina dan mengejek Anda, karena jika demikian, Anda bagaikan mengejek diri sendiri.
Selanjutnya, memanggil dengan panggilan buruk boleh jadi panggilangelar itu dilakukan atas dasar dugaan yang tidak berdasar. Demikian pula larangan
berperasangka buruk. Prasangka buruk mengundang upaya mencari tahu kesalahan
orang lain yang justru ditutupi oleh pelakunya.
Rangkaian ayat di atas juga menegaskan bahwa sebagian dugaan adalah dosa yakni dugaan yang tidak berdasar. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan
dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Dengan menghindari dugaan dan prasangka buruk, anggota masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta produktif,
karena mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan tidak juga akan tersalurkan energinya kepada hal-hal yang sia-sia. Tuntunan ini juga membentengi setiap anggota
masyarakat dari tuntutan terhadap hal-hal yang baru bersifat prasangka. Dengan demikian ayat ini mengukuhkan prinsip bahwa: Tersangka belum dinyatakan bersalah
sebelum terbukti kesalahannya, bahkan seseorang tidak dapat dituntut sebelum terbukti kebenaran dugaan yang dihadapkan kepadanya. Memang bisikan-bisikan yang
terlintas di dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi, asal bisikan tersebut tidak ditingkatkan menjadi dugaan dan sangka buruk. Dalam konteks ini Rasul saw.
berpesan: Jika kamu menduga yakni terlintas dalam benak kamu sesuatu yang buruk
terhadap orang lain maka jangan lanjutkan dugaanmu dengan melangkah lebih jauh HR. Thabarani.
Upaya melakukan tajassus dapat menimbulkan kerenggangan hubungan, karena itu
pada prinsipnya ia dilarang. Ini tentu saja bila tidak ada alasan yang tepat untuk melakukannya. Selanjutnya perlu dicatat bahwa karena
tajassus merupakan kelanjutan dari
dugaan, sedang dugaan ada yang dibenarkan dan ada yang tidak dibenarkan, maka
tajassus pun demikian. la dapat dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menampik mudharat yang sifatnya umum. Karena itu memata-matai musuh
atau pelanggar hukum, bukanlah termasuk tajassus yang dibenarkan. Adapun tajassus
yang berkaitan dengan urusan pribadi seseorang dan hanya didorong untuk mengetahui keadaannya, maka ini sangat terlarang. Imam Ahmad meriwayatkan
bahwa ada seorang yang bermaksud mengadukan tetangganya kepada polisi karena mereka sering meminum minuman keras. Namun ia dilarang oleh Uqbah - salah
seorang sahabat Nabi saw. yang menyampaikan bahwa Rasul saw. bersabda: Siapa
yang menutup aib saudaranya, maka ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup HR. Abu Daud dan an-Nasai melalui al-Laits Ibn Said. Di sisi
lain Muawiyah putra Abu Sufyan menyampaikan bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda:
Sesungguhnya jika engkau mencari-cari kesalahankekurangan orang lain, maka engkau telah merusak atau hampir saja merusak mereka HR. Abu Daud.
Pakar-pakar hukum membenarkan ghibah untuk sekian banyak alasan antara lain :
a. Meminta fatwa, yakni seorang yang bertanya tentang hukum dengan menyebut
kasus tertentu dengan memberi contoh. Ini seperti halnya seorang wanita yang bernama Hind meminta fatwa Nabi menyangkut suaminya yakni Abu Sufyan dengan
menyebut kekikirannya. Yakni : apakah sang istri boleh mengambil uang suaminya tanpa sepengetahuan sang suami?
b. Menyebut keburukan seseorang yang memang tidak segan menampakkan
keburukannya di hadapan umum. Seperti menyebut si A adalah Pemabuk, karena memang dia sering minum di hadapan umum dan mabuk.
c. Menyampaikan keburukan seseorang kepada yang berwenang dengan tujuan
mencegah terjadinya kemungkaran. d.
Menyampaikan keburukan seseorang kepada siapa yang sangat membutuhkan informasi tentang yang bersangkutan, misalnya dalam konteks menerima
lamarannya.
Bahwa ghibah merupakan perusakan bagian dari masyarakat, satu demi satu sehingga
dampak positif yang diharapkan dari wujudnya satu masyarakat menjadi gagal dan berantakan. Yang diharapkan dari wujudnya masyarakat adalah hubungan harmonis
antar anggota-anggotanya, di mana setiap orang dapat bergaul dengan penuh rasa aman dan damai.
Masing-masing mengenal anggota masyarakat lainnya sebagai seorang manusia yang disenangi, tidak dibenci atau dihindari. Adapun bila ia dikenal dengan sifat yang
mengundang kebencian atau memperkenalkan aibnya, maka akan terputus hubungan dengannya sebesar kebencian dan aib itu. Dan ini pada gilirannya melemahkan
hubungan kemasyarakatan sehingga gunjingan tersebut bagaikan rayap yang menggerogoti anggota badan yang digunjing, sedikit demi sedikit hingga berakhir
dengan kematian. Kata
akhsuudara yang digunakan al-Quran tidak harus selalu berarti saudara segama. Bahkan al-Quran menegaskan kata
seagama jika bermaksud menghilangkan kesan persaudaraan yang tidak seagama seperti firman-Nya:
Jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka itu adalah saudara-
saudara kamu seagama. QS. at-Taubah9: 11. Islam mengundang semua anggota masyarakat untuk bekerja sama menciptakan
kesejahteraan bersama. Menggunjing salah seorang anggota masyarakat dapat melumpuhkan masyarakat itu Di sisi lain, bukankah menggunjing adalah suatu
perbuatan yang tidak baik? Melakukan satu perbuatan buruk -terhadap siapa pun ditujukan- pastilah tidak direstui agama. Bukankah pergunjingan merupakan perlakuan
tidak adil dan agama memerintahkan untuk menegakkan keadilan kepada siapa pun, walau terhadap orang-orang kafir.
Janganlah sekali-kali kebencianmu kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Haram,
mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka. Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran QS. al-Maidah5: 2. Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa al-Quran ketika menguraikan tentang
persaudaraan antara sesama muslim, yang ditekankannya adalah ishlah, sambil
memerintahkan agar menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahpahaman baca ayat 11-12. Rasul saw. pun melukiskan petunjuk serupa. Beliau melukiskan
dampak persaudaraan dalam bentuk menafikan hal-hal buruk, bukannya menetapkan hal-hal baik. Beliau bersabda:
Muslim adalah saudara muslim yang lain. Ia tidak menganiayanya, tidak menyerahkannya kepada musuhnya, tidak saling membenci,
tidak saling membelakangi, tidak bersaing secara tidak sehat dalam jual beli, tidak
mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak meninggalkannya tanpa pertolongan,. Pada kesempatan lain dengan gaya tuntunan yang sama, Nabi saw.
bersabda: Seorang muslim adalah yang menyelamatkan kaum muslimin dari lidah dan
tangannya, yakni yang selalu menghindarkan orang lain dari gangguan yang ditimbulkan oleh ucapan dan perbuatannya. Demikian terlihat bahwa langkah pertama
bukanlah memberi sesuatu yang bermanfaat Tetapi yang lebih penting adalah menghindari terjadinya sesuatu yang negatif terhadap orang lain. Inilah yang dinamai
as-salâm as-salbidamai pasif.
Damai pasif adalah batas antara keharmonisankedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan. Seorang muslim yakni yang menyandang sifat damai,
paling tidak, bila dia tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya, maka jangan sampai dia mencelakakannya. Kalau dia tidak memberi maka paling tidak dia tidak
mengambil hak orang lain. Kalau dia tidak dapat menggembirakan pihak lain, maka paling tidak dia tidak meresahkannya, dan kalau dia tidak dapat memujinya, maka
minimal dia tidak mencelanya. Setelah memberi petunjuk tata krama pergaulan dengan sesama muslim, ayat di atas
beralih kepada uraian tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Karena itu ayat di atas tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kcpada orang-orang beriman,
Tetapi kepada jenis manusia. Hal ini untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang
lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Karena itu
berusahalah untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia di sisi Allah. Dalam konteks ini, sewaktu haji wada perpisahan, Nabi saw. berpesan antara lain:
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang Arab atas non Arab, tidak juga non Arab atas orang Arab, atau orang
berkulit hitam atas yang berkulit merah yakni putih tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa HR. al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Abdillah. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang
untuk saling memberi manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling
mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. yang dampaknya
tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Demikian juga halnya dengan pengenalan terhadap alam raya. Semakin banyak
pengenalan terhadapnya, semakin banyak pula rahasia-rahasianya yang terungkap,
dan ini pada gilirannya melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
menciptakan kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Demikian hubungan antara derajat ketakwaan dengan keMaha-Tahuan Allah sampai hal yang terinci pada
penggalan ayat terahir di atas. Penutup ayat di atas
ريبخ ميلع ﷲ إ inna Allâh Alîmun Khabîr sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal mengandung pengertian bahwa hanya Allah
yang mengetahui tempat kematian seseorang; Dan tidak seorang pun yang
mengetahui di bumi mana ia akan mati, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. Luqman31: 34. Allah mengetahui rahasia yang sangat
dipendam; Dan ingatlah ketika Nahi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari
istri-istrinya Hafshah suatu peristiwa. Maka tatkala Hafshah menceritakan peristiwa itu kepada Aisyah dan Allah memberitahukan hal itu semua pembicaraan antara
Hafshah dengun Aisyah kepada Muhammad, lalu Muhammad memberitahukan sebagian yang diberitakan Allah kepadanya dan menyembunyikan sebagian yang lain
kepada Hafshah. Maka tatkala Muhammad memberitahukan pembicaraan antara Hafshah dan Aisyah lalu Hafshah bertanya: Siapakah yang telah memberitahukan hal
ini kepadamu? Nabi menjawab: Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. At-Tahrim66: 3. “Dan Allah mengetahui kualitas
ketakwaan seseorang di sisi Allah”. Ini berarti bahwa adalah sesuatu yang sangat sulit bahkan mustahil, seorang manusia dapat menilai kadar dan kualitas keimanan serta
ketakwaan seseorang. Yang mengetahuinya hanya Allah Swt. Di sisi lain, penutup ayat ini mengisyaratkan juga bahwa apa yang ditetapkan Allah menyangkut esensi
kemuliaan adalah yang paling tepat , bukan apa yang diperebutkan oleh banyak
manusia, karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. Dengan demikian manusia hendaknva memperhatikan apa yang dipesankan oleh sang Pencipta manusia
Yang Maha Mengetahui dan mengenal mereka juga kemaslahatan mereka. 5.
Hikmah Kandungan Ayat a.
Tumbuhnya kesadaran untuk selalu mengadakan perbaikan atas muslim yang tengah mengalami keretakan hubungan dengan bersikap adil dan bijaksana.
b. Tumbuhnya kesadaran untuk tidak bersikap dan berperilaku menjelekkan saudara
muslim atau siapapun baik dengan alasan dan dasar yang kuat. Dengan kata lain timbulnya kesadaran untuk ber
husn dzan bukan suu dzan.
c. Dalam hubungan komunikasi adalah tercela bila memanggil dan memberi gelar
dengan gelar yang berkonotasi jelek, apalagi dengan nada menghina. Karena bila demikian sama halnya dengan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan.
d. Dalam konteks bermasyarakat, muslim dilarang untuk melakukan kegiatan keji yang
menyangkut nama baik dan perilaku seseorang dengan buruk sangka. Sebab hal itu adalah sumber malapetaka perpecahan masyarakat. Yang termasuk dalam sikap
buruk sangka adalah mencari kejelekan dan menggunjung ketika yang bersangkutan tidak berada di tempat.
e. Takwa adalah puncak penilaian Allah SWT. terhadap seluruh umat manusia, tidak
peduli siapa, kapan, di mana dan keturunan suku, bangsa, agama dan lain-lain. E.
QS. Ali Imraan3: 103 1.
Redaksi Ayat
ﺒﻮُﺮﺴﺴﺦ ﺴﺴو ﺎً ِﺴﲨ ِﺦ ﺒ ِﺸﺴِ ﺒﻮُ ِ ﺴﺸﺒ ◌
ﺸ ُ ِﻮُُﺦ ﺴﺸﲔﺴﺦ ﺴ ﺴﺄﺴ ًﺌﺒﺴﺪﺸﺴأ ﺸُ ُ ﺸﺛِﺐ ﺸ ُ ﺸﺴﺴ ِﺦ ﺒ ﺴ ﺴ ﺸِ ﺒوُﺮُﺸﺛﺒﺴو ٰﻰﺴﺴ ﺸُ ُﺴو ﺎًﺒﺴﻮﺸ ِﺐ ِِﺴ ﺸِِ ُﺸ ﺴﺸ ﺴﺄﺴ
ﺴﻬﺸﺦﱢ ُﺴﺬﺴ ﺴﺄﺴ ِﺜﺎ ﺒ ﺴ ﱢ ﺳةﺴﺮﺸُ ﺎﺴﺴ ﺎ
◌ ٰ
ﺴﺬﺴ ِِ
ﺎﺴآ ﺸ ُ ﺴ ُﺦ ﺒ ُﱢﲔﺴﺦُﺦ ﺴ ِ ﺴنوُﺪﺴﺸﻬﺴﺦ ﺸ ُ ﺴﺴ
١٠ﺼ
Artinya “ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu masa Jahiliyah bermusuh-musuhan,
Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” QS. Ali Imran3: 103
2. Makna Mufrodat
Kata اعي ج jamiansemua dan firman-Nya اوقرفتاو wa la tafarraqûjanganlah
bercerai berai. Kata او صتعا itashimû terambil dari kata مصع ashama, yang bermakna
menghalangi. Penggalan ayat ini mengandung perintah untuk berpegang kepada tali Allah yang berfungsi menghalangi seseorang terjatuh.
Kata لبح habl yang berarti tali, adalah apa yang digunakan mengikat sesuatu guna
mengangkatnya ke atas atau menurukannya ke bahwa agar sesuatu itu tidak terlepas atau terjatuh. Memang, setiap orang yang berjalan pada jalang yang sulit, khawatir
tergelincir jatuh, Tetapi jika dia berpegang pada tali yang terulur pada kedua ujung jalan yang dilaluinya, maka dia akan merasa aman untuk tidak terjatuh, apalagi jika tali
tersebut kuat dan cara memegangnya pun kuat. Yang memilih tali yang rapuh, atau tidak berpegang teguh – walau talinya kuat – kemungkinan besar akan tergelincir.
Tali yang dimaksud oleh ayat ini adalah ajaran agama, atau Al-Quran. Rasulullah Saw.
melukiskan Al-Quran dengan sabdanya : نيت لا ﷲ لبح وھ huwa habl Allah al-matin
Dia adalah tali Allah yang kukuh. Firman-Nya :
مكبولق نيب فلأف fa allafa baina qulûbikum, yakni mengharmoniskan atau mempersatukan hati kamu menunjukkan betapa kuat jalinan kasih sayang dan
persatuan mereka, karena yang diharmoniskan Allah bukan hanya langkah-langkah mereka Tetapi
hati mereka. Kalau hati telah menyatu, maka segala sesuatu menjadi ringan dipikul dan segala kesalah pahaman, jika seandainya muncul maka akan mudah
diselesaikan. Memang, yang penting adalah kesatuan hati umat bukan kesatuan organisasi atau kegiatannya.
Kata اناوخإ ikhwânan adalah bentuk jamak dari kata أ akhun yang biasa
diterjemahkan saudara. Makna asalnya adalah sama. Karena itu Al-Qur’an menamai
orang-orang yang boros ني ايشلا اوخإ ikhwân asy-syayâthîn QS. Al-Isra’17: 27
dalam arti memiliki sifat yang sama dengan sifat-sifat setan. Mereka yang dipersatukan hatinya oleh Allah itu, merada dirinya sama dengan yang lain. yang ringan sama
mereka jinjing, dan yang berat mereka pikul bersama. Sakit saudaranya sama-sama mereka rasakan dan kegembiraannya pun mereka nikmati bersama.
3. Asbabub Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika kaum Aus dan Khazraj sedang duduk-duduk, berceritalah mereka tentang permusuhannya di zaman Jahiliyah, sehingga bangkitlah
amarahnya, sehingga masing-masing memegang senjatanya. Maka turunlah ayat tersebut di atas ayat 101,102,103 yang melerai mereka.
Diriwayatkan oleh al- Faryabi dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang Yahudi yang bernama Syash bin Qais, lalu di hadapan kaum Aus dan Khazraj yang sedang bercakap-cakap dengan
riang gembira. Si Yahudi tadi merasa benci melihat keintiman mereka, padahal asalnya bermusuhan. Ia menyuruh seorang pemuda anah buahnya untuk ikut serta bercakap-
cakap dengan mereka dan membangkitkan cerita di zaman Jahiliyah waktu perang Buats. Mulailah kaum Aus dan Khazraj berselisih dan menyombongkan kegagahan
masing-masing, sehingga tampillah Aus bin Qaizhi dari golongan Aus dan Jabbar bin Sakhr dari golongan Khazraj saling mencaci-maki dan menimbulkan amarah kedua
belah pihak serta berloncatlah untuk berperang. Hal ini sampai kepada Rasulullah SAW sehingga beliau segera datang dan memberi nasihat serta mendamaikannya. Mereka
tunduk dan taat. Maka turunlah ayat tersebut di atas ayat 100 berkenaan dengan Aus dan Jabbar serta orang-orang yang menjadi pengikutinya, dan ayat 99 berkenaan
dengan Syash bin Qais yang telah mengadu domba kaum muslimin. Diriwayatkan oleh
Ibnu Ishaq dan Abu asy-Syaikh yang bersumber dari Zaid bin Aslam
4. Analisis Kandungan Ayat
Dapat juga dikatakan ayat ini berpesan kepada kaum muslimin secara kolektif bersama-sama. Pesan dimaksud adalah
Berpegang teguhlah, yakni upayakan sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil
menegakkan disiplin kamu semua tanpa terkecuali. Sehingga kalau ada yang lupa
ingatkan dia, ata ada yang tergelincir, bantu dia bangkit agar semua dapat bergantung kepada tali agama Allah. Kalau kamu lengah atau ada salah seorang yang
menyimpang, maka keseimbangan akan kacau dan disiplin akan rusak, karena itu bersatu padulah,
dan janganlah kamu bercerai-berai dan ingatlah nikmat Allah kepadamu. Bandingkanlah keadaan kamu sejak datangnya Islam dengan ketika kamu
dahulu pada masa jahiliyah bermusuh-musuhan, yang ditandai oleh peperangan yang berlanjut sekian lama generasi demi generasi
maka Allah mempersatukan hati kamu pada satu jalan dan arah yang sama,
lalu menjadilah kamu, karena nikmat Allah yaitu dengan agama Islam,
orang-orang yang bersaudara; sehingga kini tidak ada lagi bekas luka di hati kamu masing-masing. Penyebutan nikmat ini merupakan argumentasi
keharusan memelihara persatuan dan kesatuan – argumentasi – yang berdasarkan pengalaman mereka.
Itulah nikmat duniawi yang kamu peroleh dan yang telah kamu alami, dan di akhirat nanti kamu akan memperoleh nikmat juga, karena ketika kamu bermusuh-musuhan
sebenarnya kamu telah berada di tepi jurang api neraka, sebab kamu hidup tanpa
bimbingan wahyu, lalu dengan kedatangan Islam Allah menyelamatkan kamu darinya,
yakni dari keterjerumusan atau tepi atau dari neraka itu. Demikianlah, yakni seperti
penjelasan-penjelasan di atas Allah terus-menerus menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada
kamu supaya kamu mendapat petunjuk secara terus-menerus pula. Memang petunjuk Allah tidak ada batasnya.
Allah akan menambah petunjuk-Nya bagi orang-orang yang telah memperoleh petunjuk QS. Maryam [19] : 76. Dalil yang dikemukakan kali
bukan dalil pengalaman, Tetapi lebih kepada dalil logika. Ada juga yang memahami kata
api atau neraka dalam arti neraka duniawi dan apinya berupa api perpecahan permusuhan dan dengki-mendengki.
Demikian terlihat bahwa perintah mengingat nikmat-Nya merupakan alasan atau dalil yang mengharuskan mereka bersatu padu, berpegang dengan tuntunan Ilahi. Ini
sejalan dengan kebiasaan Al-Qur’an yang bila memerintahkan sesuatu atau melarangnya menyertakan dalil dan alasan perintah atau larangan, atau paling tidak
memerintahkan untuk memikirkannya. Itu terlihat dalam berbagai perintah dan larangan-Nya baik menyangkut akidah, seperti tentang keesaan Allah yang penuh
dengan aneka argumentasi, atau syariat, seperti ketika memerintahkan puasa dan
zakat, atau melarang riba dan minuman keras, maupun dalam soal akhlak, seperti ketika memerintahkan berbakti kepada ibu dan bapak khususnya ibu yang telah
berpayah-payah dan menyusukan anak. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa keberagamaan yang dituntutnya adalah yang
didasarkan pada pemahaman dan kejelasan argumentasi, walau harus pula dinyatakan bahwa jika seseorang tidak mengetahui dalil atau alasan sesuatu yang diperintahkan-
Nya maka itu bukan berarti dia tidak dituntut untuk melaksanakannya. Ini karena sejak semula telah dinyatakan bahwa agama adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada
Allah Swt.., dan bahwa alam raya dan segala isinya adalah miliki-Nya semata, dan sejak semula agama ini menuntut adanya iman, sedang iman bukan lahir melalui
pengembangan nalar atau akal, Tetapi melalui penyucian hati atau kalbu. Melalu kalbu kepercayaam lahir dan dibina, dan melalu akal, kepercayaan yang telah ada benihnya
itu diasah dan diasuh, sehingga semakin kokoh. Karena itu, Al-Qur’an dalam dakwahnya memberikan perhatian sangat besar terhadap akal yang merupakan alat
penyerap dan pemahaman ajaran serta kalbu yang menjadi wadah dan pemicu lahirnya iman dan tekad pengamalan. Karena itu pula, Al-Qur’an meyakinkan sasaran
dakwah tentang kebenaran ajarannya dengan argumentasi-argumentasi rasional, disertai dengan sentuhan-sentuhan emosional. Dan hampir selalu hal ini dikaitkan
dengan dunia empiris nyata. 5.
Hikmah Kandungan Ayat a.
Persatuan apapun bentuk dan namanya, di mana dan kapan saja harus menempatkan agama sebagai dasar persatuannya. Sebab hal itu akan mengikat
anggota kelompok sebagai saudara seiman. b.
Kesamaan visi dan misi yang dilandasi oleh kaidah agama akan berdampak pada baiknya proses kerja kinerja karena bermuara pada tujuan yang telah ditentukan
bersama. c.
Persatuan yang dilandasi oleh visi dan misi yang sama sebagai akibat langsung dari kesamaan iman merupakan nikmat Allah SWT yang luar biasa dalam membangun
peradaban manusia dengan kelangsungan hidup generasi berikutnya. d.
Setiap muslim harus mempunyai kemauan untuk mengajak diri dan lingkungan manusia agar mempunyai kecenderungan merasa butuh dengan persatuan, karena
besarnya manfaat yang ada pada sisi persatuan itu sendiri.
TUJUAN DAN FUNGSI MANUSIA A.
QS.: AL BAQARAH2: 30
ًﺔﺴ ِﺴ ِضﺸﺜﺴﺸﻷﺒ ِ ﺲ ِﺎﺴ ﱢﱐِﺐ ِﺔﺴِ ﺴﺴﺸِ ﺴ ﺴﺜ ﺴلﺎﺴ ﺸﺛِﺐﺴو ◌
ﺴﺌﺎﺴﱢﺪ ﺒ ُ ِﺸ ﺴﺴو ﺎﺴﻬ ِ ُﺪِ ﺸُﺦ ﺴ ﺎﺴﻬ ِ ُ ﺴﺸﺴﺴأ ﺒﻮُﺎﺴ ﺴ ﺴ ُسﱢﺪﺴُﺦﺴو ﺴكِﺪﺸﺴِ ُ ﱢﺴ ُ ُ ﺸﺴﳓﺴو
◌ ِﺐ ﺴلﺎﺴ
ﺴنﻮُﺴﺸﺴﺦ ﺴ ﺎﺴ ُﺴﺸﺴأ ﱢﱐ ﺼ٠
Artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Mengenai tafsir Surat Al-Baqarah2: 30 di kalangan para ahli tafsir ada 2 pendapat : 1
Pendapat para Mufassir Salaf Lebih selamat kalau ayat tersebut kita anggap tidak ada yang lebih tahu maksudnya
kecuali Allah Swt. Tetapi kita tetap yakin bahwa Allah tidak memberikan informasinya kepada kita kecuali untuk semata-mata kita ambil sebagai landasan dalam bersikap dan
bertindak. Hanya saja kita tidak tahu maksud sebenarnya yang tersirat dalam ayat 30 tersebut, sekalipun dengan menggunakan bahasa yang sebenarnya tidak sulit untuk
dipahami. Berbeda dengan ayat sesudahnya QS. Al-Baqarah2: 31 yang dapat kita pahami bahwa
manusia oleh Allah telah diberi keistimewaan tertentu dengan dibekali berbagai macam ilmu, agar ia mampu mengelolah dunia beserta dengan isinya yang memang
dipersiapkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Akan Tetapi gambaran dalam ayat 30 tentang perdebatan atau tanya jawab antara Allah dan para Malaikat sama sekali
tidak kita ketahui maksudnya. Kecuali kalu kita korelasikan dengan ayat 31, maka ada beberapa kemungkinan tentang maksud ayat 30 itu sebagai berikut:
1. manusia tidak dituntut untuk mengetahui semua rahasia dan hikmah yang tersirat
dalam proses awal penciptaan dirinya, karena para malaikat sendiri juga tidak tahu. 2.
Ketika para malaikat bertanya-tanya, maka Allah berkenan memberikan petunjuk yang intinya menghendaki supaya mereka tunduk dan patuh tanpa perlu mengajukan
pertanyaan, kemudian memberikan penjelasan bahwa manusia telah dibekali dengan berbagai cabang ilmu yang tidak mereka miliki. Lalu allah pamerkan kemampuan
manusia itu kepada para malaikat sebagaimana disebutkan dalam ayat 31. 3.
Allah merestui hambahnya untuk bertanya tentang rahasia penciptaan manusia yang mereka tidak ketahui. Pertanyaan malaikat yang disebutkan dalam ayat 30 itu boleh
jadi dalam bentuk ucapan jika mereka berpotensi untuk berbicara seperti kita, dan boleh jadi dalam bentuk sikap tunduk yang disertai dengan permohonan agar mereka
diberi ilmu untuk dapat mengetahui sesuatu yang musykil sulit dipahami. 4.
Ayat 30 itu bertujuan untuk menghibur Nabi Muhammad SAW yang lagi susah dalam menghadapi pelecehan kaum musyrik terhadap dakwahnya, bahkan beliau lebih
susah lagi ketika menghadapi tantangan mereka untuk meminta bukti yang dapat mereka pegang. Maka Allah pun memberikan contoh kepada beliau tentang
abagimana menanggapi tuntutan malaikat untuk meminta penjelasan tentang rahasia yang tidak mereka ketahui. Dalam hal ini nabi termasuk beliau sebaiknya selalu tetap
bersabar dalam menghadapi kaum penentang dan tetap menyikapi mereka sebagaimana Allah menyikapi para malaikat, yaitu dengan memberikan argumentasi
yang tidak terbantahkan. 2
Pendapat Golongan Mufassir Kholaf Modern Surat Al-Baqarah2: 30 tergolong
Ayat Mutasyabihat yakni ayat yang dalam upaya mengetahui maksudnya diperlukan
Ta’wil. memindahkan ayat dari makna tekstual ke dalam makna kontekstual agar bisa diterima oleh akal yang sehat. Jika sebuah ayat
tidak memerlukan ta’wil maka tergolong Ayat Muhkamat.
Ayat 30 dalam Surat Al-Baqarah2 itu disusun oleh Allah Swt. dalam bahasa Allegoris
Majasikias tentang proses awal kejadian manusia beserta karakteristiknya, tujuanya adalah supaya mudah dipahami. Dalam ayat tersebut dikisahkan bahwa para malaikat
mengajukan permohonan kepada Allah agar diberitahu tentang bagaimana sebenarnya makhlik baru yang bernama
manusia itu diciptakan sebagai Khalifah, yang pengertiannya menurut mereka adalah makhluk yang bebas bertindak dan bebas menentukan. mereka
merasa cemas, jangan-jangan manusia itu bisa berbuat sesuatu yang tidak membawa kemaslahatan dimuka bumi, sehingga tidak sesuai dengan tujuan semula mereka
diciptakanya. Melihat sikap para malaikat seperti itu, maka Allah memberikan ilham inspirasi kepada mereka agar tunduk dan patuh kepada Dzat Yang Maha Tahu.
Apapun yang menyempit dalam pengetahuan malaikat, jin, manusia justru sangat luas dalam
pengetahuan Dzat Yang Maha Tahu. Barangkali jawaban dari Allah itu belum meredakan kecemasan para malaikat. Karena itu,
dalam ayat 31 dijelaskan bahwa Nabi Adam sebagai manusia pertama oleh Allah telah diberi pengetahuan tentang segala sesuatu lalu dipamerkan kepada para malaikat. Barulah mereka
tahu bahwa ”tujuan pokok penciptaan manusia adalah menyiapkan penyebaran ilmu tentang segala sesuatu yang tidak diketahui oleh malaikat, sehingga manusia layak diberi mandat
penuh sebagai khalifah dibumi. sedangkan pertumpahan darah antar sesama manusia yang mereka cemaskan itu tidak akan menghilangkan hikmah dan tujuan pokok penciptaan
manusia beserta pemberian mandat kekhalifahan kepadanya. Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai hamba Allah
abdullah dan sebagai wakil Allah khalifatullah di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya
menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah,
manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil- Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar.
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk
manusia. Sebagai wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan
diberi otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, Tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-
sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang
kesemuanya sangat memadai bagi manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah
dibanding binatang. Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting
yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi
al ‘imarah. Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun
ar ri’ayah. 2.
Memakmurkan Bumi Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus
mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap
menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu. Memakmurkan bumi juga berarti menjaga lingkungan sekitarnya, menjaga
kelestarian hutan dan para penghuninya, karena jika semuanya terjaga benar oleh manusia, maka bencana yang diakibatkan oleh kesalahan manusia akan sedikit
kemungkinan terjadinya. 3.
Memelihara Bumi Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya
sebagai SDM sumber daya manusia. Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang
rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa pengatur bumi. Maksudnya,
manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama Islam.
Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW untuk memelihara bumi dari kerusakan?, karena sesungguhnya manusia lebih banyak yang membangkang dibanding
yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia akan cenderung untuk berbuat kerusakan, hal ini sudah terjadi pada masa nabi – nabi sebelum nabi Muhammad SAW
dimana umat para nabi tersebut lebih senang berbuat kerusakan dari pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum bani Israil, seperti yang Allah sebutkan dalam firmannya
dalam surat Al Isra ayat 4:
Artinya: dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan
kesombongan yang besar“. QS. Al Isra : 4
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap Alam yang
diciptakan oleh Allah Swt. karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
B. QS. ADZ-DZARIYAT : 56