Redaksi Ayat QS. ADZ-DZARIYAT : 56

1. Redaksi Ayat

ٰﺴﺸﺮُﺸﺒ يِﺛ ِﺌﺎﺴ ِﺐﺴو ِنﺎﺴ ﺸ ِﺸﻹﺒﺴو ِلﺸﺪﺴﺸﺎِ ُﺮُﺸﺄﺴ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ ﺴﻬﺸﺦﺴﺦﺴو ٰﻰ ِ ﺸ ﺴﺦﺸﺒﺴو ِﺮﺴ ُﺸﺒﺴو ِﺌﺎﺴ ﺸ ﺴﺸﺒ ِ ﺴ ◌ ﺸ ُ ﺴﺴ ﺸ ُ ُ ِﺴ ﺴنوُﺮ ﺴﺬﺴ ﻂ٠ ﺴ ﺴﺦ ﺒ ُُﺸﺴﺴ ﺸﺪﺴﺴو ﺎﺴِﺪ ِﺸﻮﺴﺦ ﺴﺪﺸﺴﺦ ﺴنﺎﺴﺸﳝﺴﺸﻷﺒ ﺒﻮُ ُ ﺴ ﺴﺴو ﺸﰎﺪﺴﺎﺴ ﺒﺴﺛِﺐ ِﺦ ﺒ ِﺪﺸﻬﺴِ ﺒﻮُﺸوﺴأﺴو ﺸ ُ ﺸﺴ ً ِﺴ ◌ ﺴﺸﺴﺦ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ ﺴنﻮُﺴ ﺸﺴﺦ ﺎﺴ ُ ﻂ١ ٰﺴﺸﺮُﺸﺒ يِﺛ ِﺌﺎﺴ ِﺐﺴو ِنﺎﺴ ﺸ ِﺸﻹﺒﺴو ِلﺸﺪﺴﺸﺎِ ُﺮُﺸﺄﺴ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ ٰﻰﺴﻬﺸﺦﺴﺦﺴو ِ ﺴ ِ ﺸ ﺴﺦﺸﺒﺴو ِﺮﺴ ُﺸﺒﺴو ِﺌﺎﺴ ﺸ ﺴﺸﺒ ◌ ﺴنوُﺮ ﺴﺬﺴ ﺸ ُ ﺴﺴ ﺸ ُ ُ ِﺴ ﻂ٠ ﺴ ﺴﺴو ﺸﰎﺪﺴﺎﺴ ﺒﺴﺛِﺐ ِﺦ ﺒ ِﺪﺸﻬﺴِ ﺒﻮُﺸوﺴأﺴو ﺒﻮُ ُ ً ِﺴ ﺸ ُ ﺸﺴﺴ ﺴﺦ ﺒ ُُﺸﺴﺴ ﺸﺪﺴﺴو ﺎﺴِﺪ ِﺸﻮﺴﺦ ﺴﺪﺸﺴﺦ ﺴنﺎﺴﺸﳝﺴﺸﻷﺒ ◌ ﺴنﻮُﺴﺸﺴﺦ ﺎﺴ ُﺴﺸﺴﺦ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ ﻂ١ Artinya: 90. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. 91. dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu terhadap sumpah-sumpahmu itu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. 92. dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah perjanjian mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. 2. Makna Mufrodat Kata دــعلا al-adl terambil dari kata دــع adala yang terdiri dari huruf-huruf ain, dal dan lam. Rangkaian huruf-huruf ini mengandung dua makna yang bertolak belakang, yakni lurus dan sama serta bengkok dan berbeda. Seseorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Beberapa pakat mendefinisikan adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar kepada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Ada juga yang menyatakan bahwa adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya, melalui jalan yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang memberi hak kepada pihak lain, Tetapi juga hak tersebut harus diserahkan tanpa menunda-nunda. Penundaan utang dari seseorang yang mampu membayar hutangnya adalah penganiayaan. Demikian sabda Nabi Saw. Ada lagi yang berkata adil adalah moderasi : tidak mengurangi tidak juga melebihkan, dan masih banyak rumusan yang lain. Kata اــسحإا al-ihsân menurut ar-Raghib al-Ashfahani digunakan untuk dua hal, pertama memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik. Karena itu – lanjutnya – kata ihsan lebih luas dari sekadar memberi nikmat atau nafkah. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna adil, karena adil adalah memperlakukan orang lan sama dengan perlakuannya terhadap Anda, sedang ihsan adalah memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda. Adil adalah mengambil semua hak Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus Anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya Anda ambil. Kata ءاــتيإ îtâ pemberian mengandung makna-makna yang sangat dalam. Menurut pakar bahasa Al-Quran, ar-Raghib al-Ashfahan, kata ini pada mulanya berarti kedatangan dengan mudah. Al-Fairuzabadi dalam kamusnya menjelaskan sekian banyak artinya, antara lain, istiqâmah bersikap jujur dan konsisten, cepat, pelaksanaan secara amat sempurna, memudahkan jalan mengantar kepada seorang agung lagi bijaksana, dan lain-lain. Dari makna-makna tersebut dapat dipahami apa sebenarnya yang dikandung oleh perintah ini dan apa yang seharusnya dilakukan oleh sang pemberi, serta bagaimana seyogyanya sikap kejiwaannya ketika memberi. Kata فلا ءاــشح al-fahsyâ keji adalah nama bagi segala perbuatan atau ucapan, bahkan keyakinan yang dinilai buruk oleh jiwa dan akal yang sehat, serta mengakibatkan dampak buruk bukan saja bagi pelakunya Tetapi juga bagi lingkungannya. Kata رــ ن لا al-munkar kemungkaran dari segi bahasa, berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari. Itu sebabnya ia diperhadapkan dengan kata al-marûf yang dikenal. Dalam bidang budaya kita dapat membenarkan ungkapan :Apabila maruf sudah jarang dikerjakan, ia bisa beralih menjadi munkar, sebaliknya bila munkar sudah sering dikerjakan ia menjadi maruf. Ibn Taimiyah mendefinisikan munkar, dari segi pandangan syariat sebagai Segala sesuatu yang dilarang oleh agama. Dari definisi ini dapat disimak bahwa kata munkar lebih luas jangkauan pengertiannya dari kata mashiyat kedurhakaan. Binatang yang merusak tanaman, merupakan kemungkaran, Tetapi bukan kemaksiatan, karena binatang tidak dibebani tanggung jawab, demikian juga meminum arak bagi anak kecil, adalah mungkar, walau apa yang dilakukannya itu – melihat usianya – bukanlah maksiat. Sesuatu yang mubah pun, apabila bertentangan dengan budaya, dapat dinilai mungkar, seperti misalnya bergandengan tangan dengan sangat mesra dengan istri sendiri di depan umum apabila dilakukan dalam suatu masyarakat yang budayanya tidak membenarkan hal tersebut. Munkar bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap Allah, baik dalam bentuk pelanggaran ibadah, perintah non- ibadah, dan ada juga yang berkaitan dengan manusia, serta lingkungan. Bahwa al- munkar, adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. ia adalah lawan maruf yang merupakan sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat selama sejalan dengan al-khair. Kata يــغبلا al-baghy penganiayaan terambil dari kata bagha yang berarti memintamenuntut, kemudian maknanya menyempit sehingga pada umumnya ia digunakan dalam arti menuntut hak pihak lain tanpa hak dan dengan cara aniayatidak wajar. Kata tersebut mencakup segala pelanggaran hak dalam bidang interaksi sosial, baik pelanggaran itu lahir tanpa sebab, seperti perampokan, pencurian, maupun dengan atau dalih yang tidak sah, bahkan walaupun dengan tujuan penegakan hukum Tetapi dalam pelaksanaannya melampaui batas. Tidak dibenarkan memukul seseorang yang telah diyakini bersalah sekalipun dalam rangka memperoleh pengakuannya. Membalas kejahatan orang pun tidak boleh melebihi kejahatannya. Dalam konteks ini Al-Quran mengingatkan pada akhir surah ini bahwa: Apabila kamu membalas maka balaslah persis sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu QS. An-Nahl16: 128. Kejahatan al-baghy pun sebenarnya telah dicakup oleh kedua hal yang dilarang sebelumnya. Tetapi di sini ditekankan, karena kejahatan ini – secara sadar atau tidak – sering kali dilanggar. Dorongan emosi untuk membalas, bahkan keinginan menggebu untuk menegakkan hukum serta kebencian yang meluap kepada kemungkaran, sering kali mengantar seorang yang taat pun – tanpa sadar – melakukan al-baghy. Firman-Nya : ورك ــت مــ لعل laallakum tadzakkarûn agar kamu dapat selalu ingat yang menjadi penutup ayat ini dapat dipahami sebagai isyarat bahwa tuntunan- tuntunan agama, atau paling tidak nilai-nilai yang disebut di atas, melekat pada nurani setiap orang, dan selalu didambakan wujudnya, karena itu nilai-nilai tersebut bersifat universal. Pelanggarannya dapat mengakibatkan kehancuran kemanusiaan. Yang dimaksud dengan اوــضقنت tanqudhû membatalkan adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kandungan sumpahjanji. Yang dimaksud dengan ﷲ دــھعب bi ahd Allah perjanjian Allah dalam konteks ayat ini antara lain, bahkan terutama adalah baiat yang mereka ikrarkan di hadapan Nabi Muhammad saw. untuk tidak mempersekutukan Allah SWT serta tidak melanggar perintah Nabi SAW. yang mengakibatkan mereka durhaka. Janji dan atau sumpah yang menggunakan nama Allah yang kandungannya demikian, seringkali dilaksanakan oleh para sahabat Nabi SAW. sejak mereka masih di Mekkah, sebelum berhijrah. Memang redaksi ayat ini mencakup segala macam janji, sumpah, serta ditujukan kepada siapa pun dan di mana pun mereka berada. Firman-Nya اھدــيكوت دعب bada taukîdihâ ada yang memahaminya dalam arti sesudah kamu meneguhkannya. Atas dasar itu yang jelas maksud meneguhkanpeneguhan tersebut adalah menjadikan Allah Swt. sebagai saksi dan pengawas atas sumpah dan janji-janji manusia. Ayat ini menekankan perlunya menepati janji, memegang teguh tali agama serta menutup rapat-rapat semua usaha musuh-musuh Islam yang berupaya memurtadkan kaum muslimin, sejak masa Nabi Saw. di Mekah hingga masa kini dan mendatang. Kata اــخد dakhalan dari segi bahasa berarti kerusakan, atau sesuatu yang buruk. Yang dimaksud di sini adalah alat atau penyebab kerusakan. Ini karena dengan bersumpah seseorang menanamkan keyakinan dan ketenangan di hati mitranya, Tetapi begitu dia mengingkari sumpahnya, maka hubungan mereka menjadi rusak, tidak lain penyebabnya kecuali sumpah itu yang kini telah diingkari. Dengan demikian, sumpah menjadi alat atau sebab kerusakan hubungan. Kata ىــب أ arbâ terambil dari kata وــبرلا ar-rubwu yaitu tinggi atau berlebih. Dari akar yang sama lahir kata riba yang berarti kelebihan. Kelebihan dimaksud bisa saja dalam arti kuantitas, sehingga bermakna lebih banyak bilangannya, atau kualitasnya, yakni lebih tinggi kualitas hidupnya dengan harta yang melimpah dan kedudukan yang terhormat. 3. Asbabun Nuzul Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini ayat 91 turun sebagai perintah untuk mematuhi baiat pada Nabi SAW masuk Islam. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Buraidah. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa saidah Al-Asadiyah gila, yang kerjanya hanya mengepang dan mengurai kembali rambutnya berulang kali. Ayat ini ayat 92 turun sebagai perumpamaan kepada orang-orang yang selalu mengikat janji tetapi tidak menepatinya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abu Bakar bin Abi Hafsh.

4. Analisis Kandungan Ayat

Ayat ini dinilai oleh para pakar sebagai ayat yang paling sempurna dalam penjelasan segala aspek kebaikan dan keburukan. Allah Swt. berfirman sambil mengukuhkan dan menunjuk langsung diri-Nya dengan nama yang teragung guna menekankan pentingnya pesan-pesan Allah yang secara universal bersesuaian dengan nurani setiap manusia. Manusia dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak dan dirinya QS. An Nisa4: 135, bahkan terhadap musuhnya sekalipun QS. Al-Maidah5: 8. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari diri dan terhadap diri sendiri dengan jalan meletakkan syahwat dan amarah sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama, bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar. Ihsan adalah puncak kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba, sifat perilaku ini tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain sehingga dia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya; sedang ihsan antara hamba dengan Allah adalah leburnya dirinya sehingga dia hanya melihat Allah Swt. Karena itu pula ihsan antara hamba dengan sesama manusia adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya dan hanya melihat orang lain itu. Siapa yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka dia itulah yang dinamai muhsin, dan ketika itu dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya. Hakikat makna di atas, sejalan dengan penjelasan Rasulullah Saw., kepada malaikat Jibril AS. ketika beliau ditanya olehnya dalam rangka mengajar kaum muslimin. Rasul saw. menjelaskan bahwa ihsan adalah menyembah Allah, seakan-akan engkau melihat-Nya dan bila engkau tidak melihatnya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu. Dengan demikian, perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktifitas positif, seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran akan pengawasan melekat itu, menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik mungkin, dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda, bukan sekedar memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap Anda. Sebenarnya pemberian kepada sanak keluarga telah dicakup dalam dua hal yang disebut sebelumnya, yaitu adil dan ihsan. Tetapi agaknya hal ini sengaja ditekankan di sini, karena sementara orang mengabaikan hak keluarga atau lebih senang memberi bantuan kepada orang lain yang bukan keluarganya. Boleh jadi karena ada maksud tertentu di balik pemberian itu, seperti popularitas dan pujian. Perlu dicatat bahwa salah satu cara yang ditempuh Islam guna memberantas kemiskinan, disamping kerja keras adalah memberi bantuan, dan karena itu pula ketika sahabat Nabi Saw. bertanya kepada Nabi Muhammad tentang nafkah, Al-Qur’an menjelaskan bahwa sasaran pertamanya adalah kedua orang tua kemudian para kerabat QS. Al Baqarah 2: 215. Rasulullah Saw. menekankan agar memberi terlebih dahulu siapa yang termasuk dalam tanggungan seseorang, kemudian yang lebih dekat. Para kerabat, lebih utama diberi maruf daripada yang lain. Apabila setiap orang yang mampu memberi bantuan kepada keluarganya, niscaya tidak ada keluarga yang menderita karena kemiskinan. Demikian ayat-ayat di atas menyimpulkan nilai-nilai yang sangat mengagungkan. Jangankan dewasa ini, kaum musyrikin pun yang mendengar ayat di atas, tanpa ragu berdecak kagum mendengarnya. Diriwayatkan bahwa Utsman Ibn Mazhun membacakan ayat ini kepada tokoh yang juga sastrawan kaum musyrikin Mekah, yakni Walid Ibn Al Mughirah, maka sang sastrawan berkata, Sungguh ini adalah kalimat- kalimat yang sangat nikmat terdengar. Ia memiliki keindahan tanpa cacat, pucuknya berbuah dan dasarnya subur digenangi air. Ia sungguh tinggi tidak dapat ditandingi. Ini sama sekali bukan ucapan manusia. Dalam riwayat lain diinformasikan bahwa ketika ayat ini dibacakan kepada paman Nabi SAW., Abu Thalib, ia berseru kepada kaumnya, Ikutilah Muhammad, niscaya kalian beruntung. Dia diutus Tuhan untuk mengajak kamu kepada budi pekerti luhur. Sahabat Nabi SAW., Ibn Masud, menilai bahwa inilah Al-Quran yang paling sempurna kandungannya. Al-Izz Abdussalam yang digelari Sulthan al-Ulama menamainya asy- Syajarahpohon yang mengandung semua hukum syariat serta bab-bab ilmu fiqhhukum. Imam As Subki menamainya syajar al-maarifpohon pengetahuan. Agaknya itu pula sebabnya sehingga Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz r.a. 681-720 M memerintahkan membaca ayat ini pada setiap akhir khutbah Jumat, sebagai ganti tradisi yang dilakukan pendahulu-pendahulunya yang mengecam dan memaki Ali Ibn Abi Thalib r.a. – makian tersebut dinilai oleh khalifah yang adil itu sebagai tidak adil serta merupakan salah satu bentuk al-baghy. Bahwa setelah ayat yang lalu yang menghimpun semua perintah dan larangan dalam satu redaksi singkat yang tidak dapat ditampung oleh kitab-kitab dan dada manusia, serta disaksikan oleh para pendurhaka yang keras kepala bahwa redaksi semacam itu melampaui batas kemampuan manusia, maka ayat berikut melanjutkan sebagaimana dipahami dari konteksnya bahwa : Jika demikian itu kandungan kitab suci ini, maka laksanakanlah apa yang Allah perintahkan. Kepercayaan seorang muslim akan keesaan Allah dan kekuasaan-Nya seharusnya dapat menjadi jaminan bagi pihak lain atas kebenaran ucapannya. Keyakinannya itu seharusnya melahirkan jaminan ketepatan janji atau beritanya, karena pengingkaran janji dan kebohongannya mengundang murka Allah. Dan seorang muslim mustahil melakukan hal-hal yang mengundang murka-Nya. Dengan demikian, kata bada taukîdihâpengukuhan dimaksud tidak harus dibatasi pengertiannya pada pengukuhan sumpah yang menggunakan nama Allah. Setelah ayat yang lalu memerintahkan menepati janji dan memenuhi sumpa, ayat 92 melarang secara tegas membatalkannya sambil mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Pengilustrasian ini merupakan salah satu bentuk penekanan. Memang penegasan tentang perlunya menepati janji merupakan sendi utama tegaknya masyarakat, karena itulah yang memelihara kepercayaan berinteraksi dengan anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang, bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat. Ayat ini menegaskan bahwa : Dan janganlah kamu dalam hal mengkhianati perjanjian dan membatalkan sumpa seperti keadaan seorang perempuan gila yang sedang menenun dengan tekun hingga ketika telah rampung ia mengurai kembali tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat, sehingga menjadi cera berai lagi. Kamu semua sadar bahwa melakukan hal demikian adalah kebodohan dan keburukan, dan itu sama halnya dengan apabila kamu menjadikan sumpah dan perjanjian kamu sebagai penyebab kerusakan di antara kamu, yakni alat menipu yang mengakibatkan kerusakan hubungan antar kamu disebabkan adanya suatu golongan yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih kuat, lebih kaya dan tinggi kedudukannya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu, yakni memperlakukan kamu seperti perlakuan seseorang yang menguji dengannya, yakni dengan adanya jumlah dan harta yang banyak itu, untuk mengetahui apakah kamu setia menepati janji dan memenuhi sumpah atau tidak. Dan pasti di hati Kiamat nanti akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu, kemudian akan memberi balasan sesuai amal perbuatan kamu masing-masing. Konon di Mekah ada seorang wanita yang terganggu pikirannya. Dia memiliki pemintal, yakni alat untuk memintal benang guna membuat tali yang kukuh atau benang. Bersama para hamba sahaya wanitanya, mereka duduk memintal, dari pagi sampai siang hari, kemudian merombak kembali apa yang mereka lakukan sejak pagi itu sehingga benang-benang hasil pintalan mereka cerai berai lagi. Konon nama wanita itu adalah Raithah Ibn Sad At Taimiyah. Apakah kisah ini benar atau sekadar ilustrasi, yang jelas ini adalah kegiatan melemahkan kembali apa yang telah dikukuhkan, serta merusak apa yang telah diperbaiki, ini adalah ibarat seseorang yang tadinya berada dalam kesesatan, kemudian memeluk Islam dan memperbaiki diri, lalu kembali kepada kesesatan semula. Ayat ini melarang hal tersebut, yakni janganlah kembali kepada kesesatan setelah kamu menemukan kebenaran, karena jika demikian, keadaan kamu serupa dengan wanita yang dilukiskan di atas. Penggunaan kata seperti seorang perempuan, sama sekali bukan untuk melecehkan perempuan, karena apa yang dilakukan perempuan dalam hal ini dapat juga dilakukan oleh lelaki. Penyebutan perempuan di sini boleh jadi karena memang kisah ini cukup populer dan yang melakukannya adalah perempuan yang disebut namanya di atas, atau karena biasanya pekerjaan memintal banyak dilakukan oleh perempuan. Dalam konteks ini, pakar hadis Abu Nuaim meriwayatkan melalui sahabat Nabi SAW., Abdullah Ibn Rabi Al Anshari bahwa Nabi Muhammad SAW., bersabda, Sebaik-baik permainan seorang muslimah di rumahnya adalah memintal. Ayat ini melarang seseorang atau suatu kelompok masyarakat-masyarakat, besar atau kecil membatalkan sumpah atau perjanjian dengan motif memperoleh keuntungan material. Dalam konteks sejarah, ayat ini mengingatkan kaum muslimin agar jangan memihak kelompok musyrik atau musuh Islam, karena mereka lebih banyak dan lebih kaya daripada kelompok muslimin sendiri. Apa yang diingatkan di atas, sungguh dewasa ini telah sering kali dilanggar oleh tidak sedikit kaum muslimin, baik secara pribadi, kelompok, bahkan negara. 5. Hikmah Kandungan Ayat a. Islam menyerukan pemeluknya untuk bersikap adil, bijak dan melarang perbuatan yang dinilai merusak fitrah manusia. Hal ini menunjukkan ajaran Islam sebagai ajara universal yang pokok pikirannya dapat diterima oleh seluruh umat manusia, baik yang berhubungan dengan pribadi keluarga, dan masyarakat bahkan antar negara. b. Islam menyerukan umatnya untuk menepati perjanjian yang telah disepakati baik individu maupun kolektif dengan sekuar kemampuan. c. Pemutusan perjanjian yang telah disepakati dinilai sebagai sebuah konspirasi jahat yang berakibat pada keretakan dan perpecahan antara yang bersepakat. d. Keuntungan pribadi maupun kelompok adalah pemicu awal bagi pembatasan pembatalan perjanjian yang luhur dan suci sebagaimana telah disepakati yang tidak jarang biasanya menggunakan sumpah setia baik yang berhubungan dengan kesepakatan tertentu sampai pada dasar ketuhanan.

C. QS. An Nisaa’4: 105