1. Redaksi Ayat
ٰﺴﺸﺮُﺸﺒ يِﺛ ِﺌﺎﺴ ِﺐﺴو ِنﺎﺴ ﺸ ِﺸﻹﺒﺴو ِلﺸﺪﺴﺸﺎِ ُﺮُﺸﺄﺴ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ ﺴﻬﺸﺦﺴﺦﺴو
ٰﻰ ِ ﺸ ﺴﺦﺸﺒﺴو ِﺮﺴ ُﺸﺒﺴو ِﺌﺎﺴ ﺸ ﺴﺸﺒ ِ ﺴ
◌ ﺸ ُ ﺴﺴ ﺸ ُ ُ ِﺴ
ﺴنوُﺮ ﺴﺬﺴ ﻂ٠
ﺴ ﺴﺦ ﺒ ُُﺸﺴﺴ ﺸﺪﺴﺴو ﺎﺴِﺪ ِﺸﻮﺴﺦ ﺴﺪﺸﺴﺦ ﺴنﺎﺴﺸﳝﺴﺸﻷﺒ ﺒﻮُ ُ ﺴ ﺴﺴو ﺸﰎﺪﺴﺎﺴ ﺒﺴﺛِﺐ ِﺦ ﺒ ِﺪﺸﻬﺴِ ﺒﻮُﺸوﺴأﺴو ﺸ ُ ﺸﺴ
ً ِﺴ ◌
ﺴﺸﺴﺦ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ ﺴنﻮُﺴ ﺸﺴﺦ ﺎﺴ ُ
ﻂ١ ٰﺴﺸﺮُﺸﺒ يِﺛ ِﺌﺎﺴ ِﺐﺴو ِنﺎﺴ ﺸ ِﺸﻹﺒﺴو ِلﺸﺪﺴﺸﺎِ ُﺮُﺸﺄﺴ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ
ٰﻰﺴﻬﺸﺦﺴﺦﺴو ِ ﺴ
ِ ﺸ ﺴﺦﺸﺒﺴو ِﺮﺴ ُﺸﺒﺴو ِﺌﺎﺴ ﺸ ﺴﺸﺒ ◌
ﺴنوُﺮ ﺴﺬﺴ ﺸ ُ ﺴﺴ ﺸ ُ ُ ِﺴ ﻂ٠
ﺴ ﺴﺴو ﺸﰎﺪﺴﺎﺴ ﺒﺴﺛِﺐ ِﺦ ﺒ ِﺪﺸﻬﺴِ ﺒﻮُﺸوﺴأﺴو ﺒﻮُ ُ
ً ِﺴ ﺸ ُ ﺸﺴﺴ ﺴﺦ ﺒ ُُﺸﺴﺴ ﺸﺪﺴﺴو ﺎﺴِﺪ ِﺸﻮﺴﺦ ﺴﺪﺸﺴﺦ ﺴنﺎﺴﺸﳝﺴﺸﻷﺒ ◌
ﺴنﻮُﺴﺸﺴﺦ ﺎﺴ ُﺴﺸﺴﺦ ﺴﺦ ﺒ نِﺐ ﻂ١
Artinya: 90. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. 91. dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpahmu itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu terhadap sumpah-sumpahmu itu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
92. dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah perjanjian mu sebagai alat penipu
di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan
dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.
2. Makna Mufrodat
Kata
دــعلا al-adl terambil dari kata دــع adala yang terdiri dari huruf-huruf ain,
dal dan lam. Rangkaian huruf-huruf ini mengandung dua makna yang bertolak belakang, yakni
lurus dan sama serta bengkok dan berbeda. Seseorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan
ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih.
Beberapa pakat mendefinisikan adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang
semestinya. Ini mengantar kepada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Ada juga yang menyatakan bahwa
adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya, melalui jalan yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang
memberi hak kepada pihak lain, Tetapi juga hak tersebut harus diserahkan tanpa menunda-nunda. Penundaan utang dari seseorang yang mampu membayar
hutangnya adalah penganiayaan. Demikian sabda Nabi Saw. Ada lagi yang berkata adil adalah moderasi : tidak mengurangi tidak juga melebihkan, dan masih banyak
rumusan yang lain. Kata
اــسحإا al-ihsân menurut ar-Raghib al-Ashfahani digunakan untuk dua hal,
pertama memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik. Karena itu – lanjutnya – kata
ihsan lebih luas dari sekadar memberi nikmat atau nafkah. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna adil, karena adil
adalah memperlakukan orang lan sama dengan perlakuannya terhadap Anda, sedang ihsan adalah memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda. Adil
adalah mengambil semua hak Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus Anda beri dan mengambil
lebih sedikit dari yang seharusnya Anda ambil. Kata
ءاــتيإ îtâ pemberian mengandung makna-makna yang sangat dalam. Menurut
pakar bahasa Al-Quran, ar-Raghib al-Ashfahan, kata ini pada mulanya berarti kedatangan dengan mudah. Al-Fairuzabadi dalam kamusnya menjelaskan sekian
banyak artinya, antara lain, istiqâmah bersikap jujur dan konsisten, cepat,
pelaksanaan secara amat sempurna, memudahkan jalan mengantar kepada seorang agung lagi bijaksana, dan lain-lain. Dari makna-makna tersebut dapat dipahami apa
sebenarnya yang dikandung oleh perintah ini dan apa yang seharusnya dilakukan oleh sang pemberi, serta bagaimana seyogyanya sikap kejiwaannya ketika memberi.
Kata
فلا ءاــشح al-fahsyâ keji adalah nama bagi segala perbuatan atau ucapan,
bahkan keyakinan yang dinilai buruk oleh jiwa dan akal yang sehat, serta mengakibatkan dampak buruk bukan saja bagi pelakunya Tetapi juga bagi
lingkungannya. Kata
رــ ن لا al-munkar kemungkaran dari segi bahasa, berarti sesuatu yang tidak
dikenal sehingga diingkari. Itu sebabnya ia diperhadapkan dengan kata al-marûf yang dikenal. Dalam bidang budaya kita dapat membenarkan ungkapan :Apabila maruf
sudah jarang dikerjakan, ia bisa beralih menjadi munkar, sebaliknya bila munkar sudah sering dikerjakan ia menjadi maruf.
Ibn Taimiyah mendefinisikan munkar, dari segi pandangan syariat sebagai Segala
sesuatu yang dilarang oleh agama. Dari definisi ini dapat disimak bahwa kata munkar lebih luas jangkauan pengertiannya dari kata
mashiyat kedurhakaan. Binatang yang merusak tanaman, merupakan kemungkaran, Tetapi bukan kemaksiatan, karena
binatang tidak dibebani tanggung jawab, demikian juga meminum arak bagi anak kecil, adalah mungkar, walau apa yang dilakukannya itu – melihat usianya – bukanlah
maksiat. Sesuatu yang mubah pun, apabila bertentangan dengan budaya, dapat dinilai
mungkar, seperti misalnya bergandengan tangan dengan sangat mesra dengan istri sendiri di depan umum apabila dilakukan dalam suatu masyarakat yang budayanya
tidak membenarkan hal tersebut. Munkar bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap Allah, baik dalam bentuk pelanggaran ibadah, perintah non- ibadah, dan ada juga yang berkaitan dengan manusia, serta lingkungan. Bahwa
al- munkar, adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan
dengan nilai-nilai Ilahi. ia adalah lawan maruf yang merupakan sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat selama sejalan dengan al-khair.
Kata
يــغبلا al-baghy penganiayaan terambil dari kata bagha yang berarti
memintamenuntut, kemudian maknanya menyempit sehingga pada umumnya ia digunakan dalam arti menuntut hak pihak lain tanpa hak dan dengan cara aniayatidak
wajar. Kata tersebut mencakup segala pelanggaran hak dalam bidang interaksi sosial, baik pelanggaran itu lahir tanpa sebab, seperti perampokan, pencurian, maupun
dengan atau dalih yang tidak sah, bahkan walaupun dengan tujuan penegakan hukum Tetapi dalam pelaksanaannya melampaui batas. Tidak dibenarkan memukul seseorang
yang telah diyakini bersalah sekalipun dalam rangka memperoleh pengakuannya. Membalas kejahatan orang pun tidak boleh melebihi kejahatannya. Dalam konteks ini
Al-Quran mengingatkan pada akhir surah ini bahwa: Apabila kamu membalas maka
balaslah persis sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu QS. An-Nahl16: 128.
Kejahatan al-baghy pun sebenarnya telah dicakup oleh kedua hal yang dilarang
sebelumnya. Tetapi di sini ditekankan, karena kejahatan ini – secara sadar atau tidak – sering kali dilanggar. Dorongan emosi untuk membalas, bahkan keinginan menggebu
untuk menegakkan hukum serta kebencian yang meluap kepada kemungkaran, sering kali mengantar seorang yang taat pun – tanpa sadar – melakukan
al-baghy. Firman-Nya :
ورك ــت مــ لعل laallakum tadzakkarûn agar kamu dapat selalu ingat
yang menjadi penutup ayat ini dapat dipahami sebagai isyarat bahwa tuntunan- tuntunan agama, atau paling tidak nilai-nilai yang disebut di atas, melekat pada nurani
setiap orang, dan selalu didambakan wujudnya, karena itu nilai-nilai tersebut bersifat universal. Pelanggarannya dapat mengakibatkan kehancuran kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan
اوــضقنت tanqudhû membatalkan adalah melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan kandungan sumpahjanji. Yang dimaksud dengan
ﷲ دــھعب bi ahd Allah perjanjian Allah dalam konteks ayat
ini antara lain, bahkan terutama adalah baiat yang mereka ikrarkan di hadapan Nabi
Muhammad saw. untuk tidak mempersekutukan Allah SWT serta tidak melanggar perintah Nabi SAW. yang mengakibatkan mereka durhaka. Janji dan atau sumpah yang
menggunakan nama Allah yang kandungannya demikian, seringkali dilaksanakan oleh para sahabat Nabi SAW. sejak mereka masih di Mekkah, sebelum berhijrah. Memang
redaksi ayat ini mencakup segala macam janji, sumpah, serta ditujukan kepada siapa pun dan di mana pun mereka berada.
Firman-Nya
اھدــيكوت دعب bada taukîdihâ ada yang memahaminya dalam arti sesudah
kamu meneguhkannya. Atas dasar itu yang jelas maksud meneguhkanpeneguhan
tersebut adalah menjadikan Allah Swt. sebagai saksi dan pengawas atas sumpah dan janji-janji manusia. Ayat ini menekankan perlunya menepati janji, memegang teguh tali
agama serta menutup rapat-rapat semua usaha musuh-musuh Islam yang berupaya memurtadkan kaum muslimin, sejak masa Nabi Saw. di Mekah hingga masa kini dan
mendatang. Kata
اــخد dakhalan dari segi bahasa berarti kerusakan, atau sesuatu yang buruk.
Yang dimaksud di sini adalah alat atau penyebab kerusakan. Ini karena dengan
bersumpah seseorang menanamkan keyakinan dan ketenangan di hati mitranya, Tetapi begitu dia mengingkari sumpahnya, maka hubungan mereka menjadi rusak,
tidak lain penyebabnya kecuali sumpah itu yang kini telah diingkari. Dengan demikian, sumpah menjadi alat atau sebab kerusakan hubungan.
Kata
ىــب أ arbâ terambil dari kata وــبرلا ar-rubwu yaitu tinggi atau berlebih. Dari
akar yang sama lahir kata riba yang berarti kelebihan. Kelebihan dimaksud bisa saja
dalam arti kuantitas, sehingga bermakna lebih banyak bilangannya, atau kualitasnya,
yakni lebih tinggi kualitas hidupnya dengan harta yang melimpah dan kedudukan yang terhormat.
3. Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini ayat 91 turun sebagai perintah untuk mematuhi baiat pada Nabi SAW masuk Islam.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Buraidah.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa saidah Al-Asadiyah gila, yang kerjanya hanya mengepang dan mengurai kembali rambutnya berulang kali. Ayat ini ayat 92
turun sebagai perumpamaan kepada orang-orang yang selalu mengikat janji tetapi tidak menepatinya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abu Bakar bin Abi Hafsh.
4. Analisis Kandungan Ayat
Ayat ini dinilai oleh para pakar sebagai ayat yang paling sempurna dalam penjelasan segala aspek kebaikan dan keburukan. Allah Swt. berfirman sambil mengukuhkan dan
menunjuk langsung diri-Nya dengan nama yang teragung guna menekankan pentingnya pesan-pesan Allah yang secara universal bersesuaian dengan nurani setiap
manusia. Manusia dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak dan
dirinya QS. An Nisa4: 135, bahkan terhadap musuhnya sekalipun QS. Al-Maidah5: 8. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari diri dan terhadap diri sendiri dengan
jalan meletakkan syahwat dan amarah sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama, bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan
agamanya. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
Ihsan adalah puncak kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba, sifat perilaku ini tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain sehingga dia memberi
untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya; sedang ihsan antara hamba
dengan Allah adalah leburnya dirinya sehingga dia hanya melihat Allah Swt. Karena itu pula
ihsan antara hamba dengan sesama manusia adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya dan hanya melihat orang lain itu. Siapa yang melihat dirinya pada posisi
kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka dia itulah yang dinamai
muhsin, dan ketika itu dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya.
Hakikat makna di atas, sejalan dengan penjelasan Rasulullah Saw., kepada malaikat Jibril AS. ketika beliau ditanya olehnya dalam rangka mengajar kaum muslimin. Rasul
saw. menjelaskan bahwa ihsan adalah menyembah Allah, seakan-akan engkau
melihat-Nya dan bila engkau tidak melihatnya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu. Dengan demikian, perintah
ihsan bermakna perintah melakukan segala aktifitas positif, seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi
oleh-Nya. Kesadaran akan pengawasan melekat itu, menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik mungkin, dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya
terhadap Anda, bukan sekedar memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap Anda.
Sebenarnya pemberian kepada sanak keluarga telah dicakup dalam dua hal yang disebut sebelumnya, yaitu
adil dan ihsan. Tetapi agaknya hal ini sengaja ditekankan di sini, karena sementara orang mengabaikan hak keluarga atau lebih senang memberi
bantuan kepada orang lain yang bukan keluarganya. Boleh jadi karena ada maksud tertentu di balik pemberian itu, seperti popularitas dan pujian. Perlu dicatat bahwa
salah satu cara yang ditempuh Islam guna memberantas kemiskinan, disamping kerja keras adalah memberi bantuan, dan karena itu pula ketika sahabat Nabi Saw. bertanya
kepada Nabi Muhammad tentang nafkah, Al-Qur’an menjelaskan bahwa sasaran pertamanya adalah kedua orang tua kemudian para kerabat QS. Al Baqarah 2: 215.
Rasulullah Saw. menekankan agar memberi terlebih dahulu siapa yang termasuk dalam tanggungan seseorang, kemudian yang lebih dekat. Para kerabat, lebih utama diberi
maruf daripada yang lain. Apabila setiap orang yang mampu memberi bantuan kepada keluarganya, niscaya tidak ada keluarga yang menderita karena kemiskinan.
Demikian ayat-ayat di atas menyimpulkan nilai-nilai yang sangat mengagungkan. Jangankan dewasa ini, kaum musyrikin pun yang mendengar ayat di atas, tanpa ragu
berdecak kagum mendengarnya. Diriwayatkan bahwa Utsman Ibn Mazhun membacakan ayat ini kepada tokoh yang juga sastrawan kaum musyrikin Mekah, yakni
Walid Ibn Al Mughirah, maka sang sastrawan berkata, Sungguh ini adalah kalimat-
kalimat yang sangat nikmat terdengar. Ia memiliki keindahan tanpa cacat, pucuknya berbuah dan dasarnya subur digenangi air. Ia sungguh tinggi tidak dapat ditandingi.
Ini sama sekali bukan ucapan manusia. Dalam riwayat lain diinformasikan bahwa ketika ayat ini dibacakan kepada paman Nabi SAW., Abu Thalib, ia berseru kepada
kaumnya, Ikutilah Muhammad, niscaya kalian beruntung. Dia diutus Tuhan untuk
mengajak kamu kepada budi pekerti luhur. Sahabat Nabi SAW., Ibn Masud, menilai bahwa inilah Al-Quran yang paling sempurna
kandungannya. Al-Izz Abdussalam yang digelari Sulthan al-Ulama menamainya asy-
Syajarahpohon yang mengandung semua hukum syariat serta bab-bab ilmu fiqhhukum. Imam As Subki menamainya
syajar al-maarifpohon pengetahuan. Agaknya itu pula sebabnya sehingga Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz r.a. 681-720 M
memerintahkan membaca ayat ini pada setiap akhir khutbah Jumat, sebagai ganti tradisi yang dilakukan pendahulu-pendahulunya yang mengecam dan memaki Ali Ibn
Abi Thalib r.a. – makian tersebut dinilai oleh khalifah yang adil itu sebagai tidak adil serta merupakan salah satu bentuk
al-baghy. Bahwa setelah ayat yang lalu yang menghimpun semua perintah dan larangan dalam
satu redaksi singkat yang tidak dapat ditampung oleh kitab-kitab dan dada manusia, serta disaksikan oleh para pendurhaka yang keras kepala bahwa redaksi semacam itu
melampaui batas kemampuan manusia, maka ayat berikut melanjutkan sebagaimana dipahami dari konteksnya bahwa : Jika demikian itu kandungan kitab suci ini, maka
laksanakanlah apa yang Allah perintahkan. Kepercayaan seorang muslim akan keesaan Allah dan kekuasaan-Nya seharusnya
dapat menjadi jaminan bagi pihak lain atas kebenaran ucapannya. Keyakinannya itu seharusnya melahirkan jaminan ketepatan janji atau beritanya, karena pengingkaran
janji dan kebohongannya mengundang murka Allah. Dan seorang muslim mustahil melakukan hal-hal yang mengundang murka-Nya. Dengan demikian, kata
bada taukîdihâpengukuhan dimaksud tidak harus dibatasi pengertiannya pada pengukuhan
sumpah yang menggunakan nama Allah. Setelah ayat yang lalu memerintahkan menepati janji dan memenuhi sumpa, ayat 92
melarang secara tegas membatalkannya sambil mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Pengilustrasian ini merupakan salah satu bentuk penekanan. Memang
penegasan tentang perlunya menepati janji merupakan sendi utama tegaknya masyarakat, karena itulah yang memelihara kepercayaan berinteraksi dengan anggota
masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang, bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat.
Ayat ini menegaskan bahwa : Dan janganlah kamu dalam hal mengkhianati perjanjian
dan membatalkan sumpa seperti keadaan seorang perempuan gila yang sedang
menenun dengan tekun hingga ketika telah rampung ia mengurai kembali tenunannya
yang sudah dipintal dengan kuat, sehingga menjadi cera berai lagi. Kamu semua sadar bahwa melakukan hal demikian adalah kebodohan dan keburukan, dan itu sama
halnya dengan apabila kamu menjadikan sumpah dan perjanjian kamu sebagai
penyebab kerusakan di antara kamu, yakni alat menipu yang mengakibatkan kerusakan hubungan antar kamu
disebabkan adanya suatu golongan yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih kuat, lebih kaya dan tinggi kedudukannya dari golongan
yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu, yakni memperlakukan kamu seperti perlakuan seseorang yang menguji
dengannya, yakni dengan adanya jumlah dan harta yang banyak itu, untuk mengetahui apakah kamu setia menepati janji dan
memenuhi sumpah atau tidak. Dan pasti di hati Kiamat nanti akan dijelaskan-Nya
kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu, kemudian akan memberi balasan sesuai amal perbuatan kamu masing-masing.
Konon di Mekah ada seorang wanita yang terganggu pikirannya. Dia memiliki pemintal, yakni alat untuk memintal benang guna membuat tali yang kukuh atau benang.
Bersama para hamba sahaya wanitanya, mereka duduk memintal, dari pagi sampai siang hari, kemudian merombak kembali apa yang mereka lakukan sejak pagi itu
sehingga benang-benang hasil pintalan mereka cerai berai lagi. Konon nama wanita itu adalah Raithah Ibn Sad At Taimiyah. Apakah kisah ini benar atau sekadar ilustrasi,
yang jelas ini adalah kegiatan melemahkan kembali apa yang telah dikukuhkan, serta merusak apa yang telah diperbaiki, ini adalah ibarat seseorang yang tadinya berada
dalam kesesatan, kemudian memeluk Islam dan memperbaiki diri, lalu kembali kepada kesesatan semula. Ayat ini melarang hal tersebut, yakni janganlah kembali kepada
kesesatan setelah kamu menemukan kebenaran, karena jika demikian, keadaan kamu serupa dengan wanita yang dilukiskan di atas.
Penggunaan kata seperti seorang perempuan, sama sekali bukan untuk melecehkan
perempuan, karena apa yang dilakukan perempuan dalam hal ini dapat juga dilakukan oleh lelaki. Penyebutan
perempuan di sini boleh jadi karena memang kisah ini cukup populer dan yang melakukannya adalah perempuan yang disebut namanya di atas,
atau karena biasanya pekerjaan memintal banyak dilakukan oleh perempuan. Dalam konteks ini, pakar hadis Abu Nuaim meriwayatkan melalui sahabat Nabi SAW.,
Abdullah Ibn Rabi Al Anshari bahwa Nabi Muhammad SAW., bersabda, Sebaik-baik
permainan seorang muslimah di rumahnya adalah memintal. Ayat ini melarang seseorang atau suatu kelompok masyarakat-masyarakat, besar atau
kecil membatalkan sumpah atau perjanjian dengan motif memperoleh keuntungan material. Dalam konteks sejarah, ayat ini mengingatkan kaum muslimin agar jangan
memihak kelompok musyrik atau musuh Islam, karena mereka lebih banyak dan lebih kaya daripada kelompok muslimin sendiri. Apa yang diingatkan di atas, sungguh
dewasa ini telah sering kali dilanggar oleh tidak sedikit kaum muslimin, baik secara pribadi, kelompok, bahkan negara.
5. Hikmah Kandungan Ayat
a. Islam menyerukan pemeluknya untuk bersikap adil, bijak dan melarang perbuatan
yang dinilai merusak fitrah manusia. Hal ini menunjukkan ajaran Islam sebagai ajara universal yang pokok pikirannya dapat diterima oleh seluruh umat manusia, baik
yang berhubungan dengan pribadi keluarga, dan masyarakat bahkan antar negara. b.
Islam menyerukan umatnya untuk menepati perjanjian yang telah disepakati baik individu maupun kolektif dengan sekuar kemampuan.
c. Pemutusan perjanjian yang telah disepakati dinilai sebagai sebuah konspirasi jahat
yang berakibat pada keretakan dan perpecahan antara yang bersepakat. d.
Keuntungan pribadi maupun kelompok adalah pemicu awal bagi pembatasan pembatalan perjanjian yang luhur dan suci sebagaimana telah disepakati yang tidak
jarang biasanya menggunakan sumpah setia baik yang berhubungan dengan kesepakatan tertentu sampai pada dasar ketuhanan.
C. QS. An Nisaa’4: 105