28
telekomunikasi dari segi, tata letaklokasi BTS, ijin mendirikan BTS, dan sebagainya. Aspek pelayanan membahas tentang fungsi teknis BTS sebagai pendukung utama penyelenggaraan
layanan telekomunikasi seluler. Aspek bisnis membahas tentang nilai ekonomis BTS sebagai obyek bisnis. Dalam paper ini, lingkup materi yang dipaparkan meliputi: legalitas bisnis,
model bisnis menara telekomunikasi, pengaturan bidang usaha menara telekomunikasi, proyeksi pengaturan bisnis menara telekomunikasi.
A. Menara Telekomunikasi
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18
Tahun 2009, Nomor: 07PRTM2009, Nomor: 19PERM.KOMINFO03 2009, Nomor: 3P2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi
selanjutnya disebut PB-P3B-MT, Pasal 1 angka 8, pengertian menara telekomunikasi dirumuskan sebagai berikut:
Menara telekomunikasi, yang selanjutnya disebut menara, adalah bangunan-bangunan untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan
satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh
berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat
telekomunikasi.
Pada PB-P3B-MT juga didefinisikan Penyedia menara, serta Pengelola Menara. Penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan mengelola menara telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara telekomunikasi Pasal 1
angka 10.
Pengelola menara adalah badan usaha yang mengelola danatau mengoperasikan menara yang dimiliki oleh pihak lain Pasal 1 angka 11.
Berdasarkan konsep sebagaimana yang dirumuskan tersebut di atas, maka menara telekomunikasi merupakan obyek bisnis yang disediakan, dikelola, dioperasikan oleh pelaku
29
usaha. Penyediaan, pengelolaan, pengoperasian menara telekomunikasi berkedudukan sebagai unit bisnis dalam kerangka pengelolaan jaringan komunikasi. Subyek pelaku usaha
dapat berupa perorangan maupun badan usaha.
B. Legalitas Bisnis
Tidak ada langkah bisnis yang tidak bertumpu pada hukum, karena setiap langkah bisnis pada hakikatnya adalah langkah hukum. Oleh karena itu, setiap penyelenggaran bisnis
wajib memperhatikan, memahami, dan menegakkan hukum yang mengatur bidang bisnis tersebut. Hukum akan melahirkan legalitas bisnis yang diselenggarakan oleh setiap pelaku
bisnis. Dalam bisnis terdapat 3 tiga legalitas yang wajib dipenuhi yaitu legalitas eksistensional pendirian, legalitas operasional, dan legalitas transaksional.
1. Legalitas Eksistensional pendirian organisasi perusahaan.
Legalitas eksistensional merupakan aspek legal yang berkaitan dengan pendirian sauatu badan usaha. Badan usaha dibedakan ke dalam badan usaha badan hukum
BUBH dan badan usaha bukan badan hukum BUBBH. BUBH ada yang bersifat komersial dan nirlaba. BUBH komersial antara lain terdiri atas perseroan terbatas PT,
usaha bersama, koperasi, dana pensiun. BUBH nirlaba antara lain berbentuk yayasan. BUBBH antara lain berupa persekutuan perdata atau matschaap, vennootschaap on de
firma firma, dan commanditaire vennotschaap CV. Kehadiran atau eksistensi setiap bentuk badan usaha tersebut, baik BUBH maupun BUBBH digantungkan pada prosedur
pendiriannya, sehingga keabsahan badan usaha tersebut wajib memenuhi ketentuan pendiriannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Matschaap, firma, CV diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juncto Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pendirian PT diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pendirian Koperasi daitur di dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Pendirian dana pensiun diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Pendirian yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan juncto Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
30
Tahun 2001 tentang Yayasan. Bentuk BUBH yang terdapat dalam praktik akan tetapi belum ada undang-undang yang mengaturnya adalah usaha bersama.
Apabila badan usaha didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka kehadiran atau eksistensi badan usaha itu sah sehingga memenuhi
legalitas pendiriannya atau yang saya sebut legalitas eksistensional. Dalam perspektif legalitas eksistensional, maka penyedia menara yang dapat berbentuk usaha
perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta wajib memenuhi aspek legalitas pendiriannya. Secara konkrit,
legalitas pendirian dibuktikan dengan akta pendirian perusahaan berikut dokumen adminstratif terkait yang diterbitkan oleh lembaga otoritas yang berbentuk akta
pengesahan atas pendirian perusahaan, sebagai contoh: legalitas pendirian PT ditentukan oleh keberadaan akta pendiriannya yang berbentuk akta notaris dengan disertai Surat
Keputusan Pengesahan Pendirian PT yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dalam kerangka pengaturan badan usaha yang diperbolehkanmenjalankan usaha di bidang bisnis menara telekomunikasi perlu ditetapkan bentuk badan usaha apa yang
diperkenankan untuk menjalankan bisnis menara telekomunikasi. Alternatif pilihannya digantungkan pada keluwesan atau fleksibilitas bentuk badan usaha itu ketika
bekerjasama dengan user atau pengguna menara telekomunikasi secara bersama. Apabila ditijnau berdasarkan provider penyelenggara bisnis telekomunikasi ponsel, pada
umumnya pelaku usahanya berbentuk perseroan terbatas PT. Dengan kerangka berpikir berdasarkan kelinieran bentuk badan usaha, maka tidak ada salahnya jika pelaku usaha
bisnis menara telekomunikasi diarahkan kepada badan usaha yang berbentuk PT. Pertimbangannya selain kelinieran itu, juga dengan menimbang kedudukan PT sebagai
badan usaha yang berstatus badan hukum, sehingga memudahkan pertanggungjawabannya dalam kerangka operasional bisnis. Pada PT, keberadaannya
tidak digantungkan pada orang perorangan yang menjadi pemegang saham, sehingga pergantian pemegang saham tidak berpengaruh terhadap eksistensi PT sebagai subyek
hukum yang mandiri atau legal entity. Semakna dengan PT dimaksud, termasuk pula BUMN yang berbentuk PT Persero maupun BUMD yang berbentuk PT.
31
Sistem pertanggungjwaban seperti itu tidak dijumpai pada bentuk badan usaha yang tidak berstatus sebagai badan hukum, seperti usaha perorangan, CV, atau firma.
Selain PT, koperasi juga luwes dan layak untuk menjalankan bisnis menara telekomunikasi, apabila ditinjau berdasarkan pertanggungjawabannya yang terletak pada
koperasi itu sendiri sebagai badan usaha yang berstatus sebagai badan hukum. Oleh karena itu, PT dan koperasi merupakan bentuk badan usaha yang luwes dan layak untuk
diposisikan sebagai penyelenggara bisnis menara telekomunikasi. Berdasarkan pemikiran di atas, maka ketentuan dalam PB-P3B-MT yang
menegaskan “Penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan
mengelola menara telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara telekomunikasi” perlu ditinjau ulang atau direview, sehingga pelaku usaha penyedia
menara telekomunikasi adalah badan usaha yang berbadan hukum, yakni PT, koperasi, PT Persero maupun PT yang didirikan dalam rangka BUMD.
2. Legalitas Operasional perijinan.
Kegiatan operasional bisnis badan usaha, baik BUBH maupun BUBBH digantungkan pada ijin operasional yang dimilikinya yang dalam praktik dikenal dengan
istilah ijin usaha. Ijin usaha merupakan landasan operasional bagi suatu badan usaha untuk menjalankan atau menyelenggarakan kegiatan bisnisnya. Contoh: perusahaan yang
bergerak di bidang usaha perbankan wajib memiliki ijin usaha bank dari Bank Indonesia. PJPT wajib memiliki ijin usaha menara telekomunikasi dari pahak otoritas, dalam hal ini
Kementerian Komunikasi dan Informasi Menkominfo. Pendirian bangunan menera telekomunikasi harus dilengkapi dengan Ijin Mendirikan Bangunan Menara
Telekomunikasi. Hakikat ijin adalah keabsahan melakukan tindakan atau kegiatan usaha sesuai
dengan ijin yang dimilikinya. Ijin akan “menghalalkan suatu tindakan yang semula haram”. Pada sisi inilah, maka legalitas operasional merupakan kebutuhan mendasar bagi
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kepastian bahwa PJPT memiliki
32
ijin merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum kepada para user pengguna menara telekomunikasi secara bersama-sama dengan para userpengguna yang lain.
3. Legalitas Transaksional.
Legalitas transaksional bermuatan tentang hubungan hukum pelaku bisnis dengan partner bisnisnya. Dalam konteks penyewaan menara telekomunikasi, wujud atau
realisasi hubungan transaksional itu antar alain dalam bentuk perjanjian sewa menyewa tower. Substansi perjanjiannya, proses pembentukan perjanjian sewa menyewa tower,
kapasitas para pihak dalam perjanjian sewa menyewa tower merupakan aspek yang mutlak wajib diperhatikan dalam kaitan dengan keabsahan kontrak yang terjadi. Oleh
karena itu, PJPT perlu untuk menyiapkan, antara lain: 1
Kelengkapan data teknis tower seperti ketinggian, tipe, luas lahan, jumlah antena terpasang, dll.
Kelengkapan data baik teknis maupun administrasi merupakan kunci utama dalam keberhasilan usaha jasa penyewaan tower. Hal ini perlu disadari khususnya oleh
operator telekomunikasi seluler yang banyak memiliki aset tower yang pada awalnya memang tidak dijadikan sebagai alat penghasilan dari sisi penyewaan tower. Para
operator tersebut kebanyakan tidak memiliki kelengkapan data khususnya data teknis yang tentunya akan menyulitkan jika suatu waktu towernya akan disewakan ke
operator lainnya. 2
Kelengkapan dan kejelasan data hukum dan administrasi site, seperti dokumen kontrak dengan pemilik lahan atau pemilik gedung, PBB, SHM, tanggal mulai sewa
oleh operator, dll. Dengan menimbnag bahwa tidak setiap menara telekomunikasi didirikan di atas tanah milik pelaku usaha pembangun menara telekomunikasi, maka
kepastian hukum tentang status tanah temapt didirikannya menara merupakas aspek legal yang perlu dikemukakan secara terbuka agar calan user memahami posisi PJPT.
3 Kejelasan isi perjanjian sewa menyewa tower dengan pelanggan.
Kejelasan kontrak perjanjian penyewaan tower harus sudah sangat disadari oleh pihak Tower Leasing Provider bahwa salah satu kunci suksesnya usaha ini adalah kejelasan
kontrak yang mengatur, antara lain:
33
a obyek sewa,
b harga sewa dan cara pembayarannya,
c asuransi,
d hak dan kewajiban,
e jangka waktu kontrak
f pengakhiran kontrak
g dispute settlement dan hal-hal lain yang sangat jelas pada akhirnya akan
berpengaruh pada pendapatan usahanya. Kontrak yang jelas, baik, dan lengkap merupakan dasar dua belah pihak yang
mengikatkan diri pada perjanjian sewa menyewa sangat berguna untuk meminimalisir adanya dispute dalam menginterpretasi isi kontrak sehingga dengan kontrak yang
baik dapat memberi kenyamanan dan keberlangsungan perjanjian diantara dua pihak yang telah bersepakat untuk mengadakan sewa menyewa tower.
C. Model Bisnis Menara Telekomunikasi
1. Pembangunan Menara Telekomunikasi oleh Operator
Pada masa-masa awal operator beroperasi, kebutuhan menara telekomunikasi dibangun sendiri oleh operator. Operator ponsel harus mengeluarkan dan untuk
diinvestasikan ke dalam pembangunan BTS. Mulai dari pembebasan lahan untuk lokasi BTS, biaya perijinan, biaya konstruksi, dan biaya-biaya lain ditanggung oleh operator.
Pada waktu itu, berdiri perusahaan yang memberikan jasa pengurusan BTS mulai dari penyiapan lahan sampai dengan pendirian menaranya, akan tetapi belum sampai kepada
bentuk perusahaan yang menyewakan BTS. Pada perkembangannya, kemudian berkembang usaha penyewaan jasa tower atau Tower Leasing Provider.
2. Tower Leasing Provider atau Sewa Menyewa antara Perusahaan Penyedia Jasa
Tower dengan Operator
Dana untuk pembangunan menara BTS termasuk cukup besar. Kebutuhan dana untuk pembangunan satu menara termasuk untuk investasi pembelian lahan berkisar
antara Rp 700 juta hingga Rp 1 milyar, bahkan bisa mencapai Rp 1.5 milyar. Apabila satu
34
perusahaan operator memerlukan 1.000 menara BTS, maka perusahaan itu akan mengeluarkan dana investasi sekitar Rp 1 trilyun. Besaran biaya itu tergantung pada
lokasi dan tingkat ketinggian menara tersebut. Uang sebesar atau lebih dari Rp 1 milyar itu untuk pembangunan menara BTS yang memiliki ketinggian antara 31-72 meter.
Nilai investasi yang cukup besar untuk satuan unit BTS membuka alternatif model bisnis BTS. Operator tidak harus menyediakan sendiri, membangun sendiri
menara BTS. Ada peluang bagi perusahaan lain non operator untuk membangun menara BTS kemudian disewakan kepada perusahaan operator dalam konstruksi perjanjian sewa
menyewa menara BTS, sehingga sewa menyewa menara BTS berkembang sebagai salah satu model bisnis. Harga sewa menyewa satu buah menara, pihak operator dikenakan
biaya antara Rp 15 juta – Rp 20 juta per bulan. Harga sewa ini, merupakan biaya keseluruhan yang termasuk biaya sewa menara, biaya listrik, maintenance perawatan,
dan juga retribusi terhadap pemerintah. Bagi perusahaan jasa penyewaan tower PJPT,
tower merupakan aset dan alat produksi penghasilan usaha jasa penyewaan tower. Pada tataran sekarang ini, antara PJPT dengan operator berada dalam tahapan mencari bentuk
terbaiknya dalam hal proses dan prosedur bisnis serta tatacara sewa menyewa tower antara operator telekomunikasi yang membutuhkan sarana infrastruktur berupa menara
untuk penempatan antenanya. Pada sisi PJPT, penyedia jasa pembangunan tower berhadapan dengan masalah
lahan dan masalah akses kepada para operator ponsel. Padahal, dalam industri telekomunikasi seluler kecepatan penambahan jaringan merupakan faktor penentu
keberhasilan dalam melayani kebutuhan pelanggan. PJPT dituntut untuk dapat memenuhi standar kebutuhan waktu para penyewaoperator telekomunikasi seluler. Selain itu, PJPT
juga dituntut untuk memenuhi standar teknis yang dibutuhkan oleh pelanggannya. Perkembangan terkini, operator yang mengoperasikan BTS banyak juga yang
menyewakan BTS-nya kepada operator lain. Apalagi setelah keluar PB-P3-MT. Pada praktik pembangunan BTS terbuka peluang bagi pemilik lahan untuk
melakukan kerjasama dengan PJPT. PJPT tidak harus membeli lahan untuk lokasi BTS, namun dapat menyewa tanah dari pemilik tanah. Apabila sewa lahan itu dilakukan maka
terbuka peluang bisnis bagi perorangan atau badan usaha, termasuk desa yang memiliki
35
aset yang idle yang lokasinya bersesuaian dengan kebutuhan pembangunan BTS untuk menyewakan lahannya kepada PJPT, sehingga tercipta peluang bisnis pada sisi
pemenuhan kebutuhan lahan. Demikian pula untuk BTS yang didirikan di atas bangunan permanen, maka terbuka peluang kerjasama bisnis antara pemilik bangunan dengan PJPT
untuk merealisasikan BTS di atas bangunan.
3. Keahlian atau Profesi
Menara telekomunikasi juga mengundang pengembangan keahlian yang menuju kepada kelahiran kaum profesional di bidang pembangunan tower, bisnis penyewaan
tower, legal di bidang tower, pengembangan produk tower. Kompetensi yang menyuguhkan keahlian di bidang-bidang tersebut mendorong lembaga pendidikan untuk
menghasilkan kaum profesional di bidang yang terkait dengan menara telekomunikasi, baik dari segi teknikal, manajemen bisnis, dan legal.
D. Pengaturan Sub Bidang Usaha Menara Telekomunikasi
1. UU Penanaman Modal juncto Perpres 362010
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur
antara lain bidang usaha. Bidang usaha dalam rangka penanaman modal selanjutnya diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha
yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Pada Perpres 362010, Lampiran II Bidang Usaha yang Terbuka
dengan Persyaratan, Bidang Usaha angka 11 yakni Bidang Komunikasi dan Informatika, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia KBLI 42217, ditegaskan bahwa
“Penyedia, Pengelola Pengoperasian dan Penyewaan dan Penyedia Jasa Konstruksi untuk Menara Telekomunikasi, ditentukan Modal dalam negeri 100”. Artinya,
pengusahaan BTS tertutup bagi pemodal asing, sehingga hanya pemodal dalam negeri yang dapat melakukan usaha menara telekomunikasi.
Dalam Perpres 362010 tersebut dibedakan antara bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Pasal 1 Perpres 362010 menyatakan
bahwa bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang
36
diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Perpres 362010 adalah bidang usaha
tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu:
1
bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi,
2
bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan,
3
bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya,
4
bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan
5
bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Berdasarkan Perpres 362010 tersebut, tegas bahwa penyedia, pengelola pengoperasian
dan penyewaan dan penyedia jasa konstruksi untuk menara telekomunikasi merupakan
obyek bisnis meskipun hanya dapat dilakukan oleh penanam modal dalam negeri. Sebagai catatan, beberapa waktu yang lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal
BKPM bermaksud melepaskan kendali bisnis menara BTS kepada asing, yang mendapatkan tentangan dari Menkominfo karena tetap berusaha untuk mempertahankan
dominasi bisnis BTS kepada pengusaha domestik. Sejalan dengan Menkominfo, Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi Aspimtel dan Badan Regulasi
Teknologi Informasi BRTI juga tegas menolak inisiatif dari BKPM tersebut, yakni menolak secara tegas adanya asing di bisnis menara.
2. UU Telekomunikasi juncto PP 52 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi UU Tel, menegaskan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah. Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan,
pengawasan dan pengendalian. Fungsi penetapan kebijakan antara lain perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi
nasional. Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum danatau teknis operasional yang antara lain tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan
37
bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan
frekuensi dan orbit satelit serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang
telekomunikasi dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan
global. Dalam rangka pembinaan di bidang telekomunikasi, maka UU Tel dilengkapi
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 Tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi PP 522000 serta PB-P3-MT.
Dalam Pasal 6 ayat 1 PP 522000 ditegaskan: 1
Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau
menyediakan jaringan telekomunikasi.
Penjelasan Pasal 6 ayat 1 menegaskan: Dalam membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi penyelenggara
jaringan dapat membangun keseluruhan jaringan dapat pula membangun sebagian dan atau menyediakan sebagian jaringan untuk terselenggaranya telekomunikasi. Misal,
dalam hal diperlukannya penggunaan transponder satelit, penyelenggara jaringan tidak harus memiliki satelit sendiri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 1 PP 522000 tersebut penyelenggara jaringan tidak harus membangun keseluruhan kebutuhan jaringan, termasuk BTS, secara mandiri, akan
tetapi terbuka kemungkinan melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan jaringan komunikasinya. Ketentuan demikian itu membuka peluang usaha bagi
perusahaan-perusahaan lain untuk menyokong kebutuhan penyelenggara jaringan.
V.3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara Telekomunikasi
A. Keabsahan Tindak Pemerintahan Dalam Penataan dan Pengendalian Menara
Telekomunikasi
Hak masyarakat untuk berkomunikasi, Hak atas penghidupan yang layak, dan Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 27, 28 F dan 28
38
H UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hak asasi manusia yang
tergolong hak sosial. Menurut pendapat Philipus M Hadjon bahwa : Inti hak sosial adalah
rights to receive.
25
1 Telekomunikasi dikuasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
, sesuai dengan makna hak sosial, maka masyarakat berhak memperoleh pemenuhan hak tersebut dari negara to receive from the state. Konsekuensi dari makna
hak sosial adalah adanya kewajiban bagi negara untuk memenuhi kebutuhan setiap orang atas hak berkomunikasi, hak untuk hidup layak dan hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Kewajiban negara dalam memenuhi hak masyarakat tersebut dilakukan melalui
penyelenggaraan dan pembinaan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Berdasarkan Pasal 4 UU
Telekomunikasi dinyatakan bahwa :
2 Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan
telekomunikasi yang meliputi : penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
3 Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2, dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang
dalam masyarakat serta perkembangan global . Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk
menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi agar pemenuhan hak atas berkomunikasi dan hak untuk penghidupan yang
layak dapat seimbang dengan pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat akibat dilaksanakannya kegiatan danatau usaha di bidang telekomunikasi, khususnya pendirian
menara telekomunikasi. Hal ini sesuai dengan asas dan tujuan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang tentang
Telekomunikasi, yaitu :
25
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat,Peradaban, 2007, hal. 35. Sebagaimana ditulis Tatiek Sri Djatmiati, Pelayanan Publik dan Tindak Pidana Korupsi, dalam buku Hukum Administrasi dan Tinak
Pidana Korupsi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. hal. 26,
39
1. Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian
hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri. 2.
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, secara adil
dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan serta meningkatkan hubungan antar bangsa.
Pemerintah dalam melakukan pembinaan berupa penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan dengan tindak
pemerintahan yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Bestuurs Handelingen. Dalam hukum administrasi tindak pemerintahan dilakukan untuk penyelenggaraan fungsi
pemerintahan dibagi dalam beberapa jenis. Pembagian tindak pemerintahan sebagaimana
dijabarkan oleh Ten Berge tergambar dalam skema 2 di bawah ini
26
Bestuurs Handelingen Tindak Pemerintahan
Feitelijke handelingen Rechtshandelingen Tindakan Nyata Tindakan Hukum
:
Skema 2
Interne rechtshandelingen externe rechtshandelingen
Privaatrechtelijke handelingen publiekrechtelijke rechtshandelingen Tindakan Hukum Privat Tindakan Hukum Publik
Meerzijdige besluiten eenzijdige besluiten
26
J.B.J.M ten Berge, Besturen door de overhead, WEJ Tjeen Willink, Nederlands instituut voor Sociaal en Economic Recht NISER, 1996, p. 138 Bandingkan dengan Philipus M Hadjon et all, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press,1993, h. 319
40
Algemene strekking concrete strekking Algemeen verbindende voorschriften
Ca; beleidsregels
Berdasarkan jenis dan tujuan tindak pemerintahan bestuurshandelingen, maka tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan telekomunikasi, antara
lain : 1.
Pembentukan peraturan perundang-undangan; 2.
Melakukan kerjasama kontrak; 3.
Melakukan tindakan nyata; 4.
Membentuk peraturan bersama; 5.
Menetapkan Perizinan; danatau 6.
Pengawasan. Berkaitan dengan penyelenggaraan telekomunikasi agar dapat mencapai tujuan
perlu didukung dengan sarana dan prasarana telekomunikasi, yaitu segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi. Salah satu sarana dan
prasarana yang mendukung berfungsinya telekomunikasi adalah adanya menara telekomunikasi. Dalam teknologi telekomunikasi terdapat 3 tiga teknologi yang
digunakan, antara lain telekomuikasi kabel, teknologi nirkabel Wireless Technology dan teknologi satelit. Dalam teknologi nirkabel yang saat ini sedang berkembang memerlukan
menara pemancar yang akan memberikan sinyal gelombang pada perangkat penangkap sinyal pada alat komunikasi yang dimiliki masyarakat.
Menara Telekomunikasi adalah bangunan-bangunan untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi
dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk
tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi. Dengan demikian menara
41
telekomunikasi sangat dibutuhkan dalam upaya pemenuhan atas hak masyarakat atas fasilitas telekomunikasi.
Mengingat pesatnya perkembangan teknologi dan meluasnya perkembangan kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi yang memadai, maka terjadi berbagai
pembangunan di bidang telekomunikasi. Salah satu pembangunan sarana telekomunikasi yang banyak dilakukan adalah pembangunan menara telekomunikasi sebagai sarana
penunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat akan layanan telekomubikasi yang baik. Menara Telekomunikasi memiliki jangkauan dalam pemancaran jaringan sehingga
pendirian untuk Menara Telekomunikasi pun harus didirikan lebih dari satu tempat dalam sebuah kota atau kabupaten berdasarkan luas wilayah kota atau kabupaten tersebut.
Pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi sebagai salah satu infrastruktur pendukung dalam penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan
efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan. Dalam rangka keamanan dan keselamatan masyarakat serta menjaga keselamatan lingkungan, maka dalam mendorong
peningkatan pembangunan menara telekomunikasi perlu dilakukan penataan dan pengendalian oleh Pemerintah. Penataan dan pengendalian menara telekomunikasi
bertujuan untuk mengendalikan dan mensinergikan antara ketersediaan ruang kota kebutuhan menara telekomunikasi, keamanan serta meningkatkan kehandalan cakupan
frekuensi telekomunikasi. Dengan tujuan tersebut, maka dalam melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi perlu dilakukan untuk menyeimbangkan jumlah dan
prioritas penggunaan menara sehingga dapat dicapai efesiensi dalam pemanfaatan ruang. Kebijakan pemerintah untuk melakukan penataan dan pengendalian menara
telekomunikasi dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan telekomunikasi sebagai suatu tindak pemerintahan harus sesuai dengan keabsahan legalitas tindak pemerintahan
yang meliputi : asas legalitas formal dan asas legalitas substansial. Asas legalitas formal tindak pemerintahan terdiri atas : 1. Wewenang, 2 substansi dan 3 prosedur.
27
27
Phipipus M Hadjon, Kebutuhan Akan Hukum Administrasi dalam buku Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, 2010, h. 22.
Sedangkan asas legalitas substansial merupakan asas yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi. Asas legalitas
substansial terdiri dari asas-asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas
42
penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Terkait dengan asas legalitas formal terhadap tindak pemerintahan untuk melakukan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi, maka kewenangan sebagai
dasar legitimasi tindakan tersebut harus jelas instansi dan kewenangnnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dinyatakan bahwa
wewenang penyelenggaraan dan pembinaan telekomunikasi dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan khusus untuk kewenangan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota.
Rincian kewenangan tersebut tercantum dalam tabel di bawah ini :
Pemerintah Pemerintah Provinsi
Pemerintah KabupatenKota
Pedoman pembangunan sarana dan prasarana
menara telekomunikasi.
Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower.
- Pemberian Izin Mendirikan
Bangunan IMB menara telekomunikasi sebagai
sarana dan prasarana telekomunikasi.
B. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara