FirDBcAWQD pengendalian menara telekomunikasi melalui penetapan zona menara telekomunikasi unair

(1)

“Pengendalian Menara Telekomunikasi melalui

Penetapan zona Menara Telekomunikasi”

Disusun oleh:

Indria Wahyuni, S.H., LL.M. (Ketua)

Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H.

Dr. Emanuel Sujatmoko, S.H., M.S.

Dr. Lilik Pudjiastuti, S.H., M.H.

Agus Widyantoro, S.H., M.H.

Zendy Wulan Ayu W.P., S.H., LL.M.

Nurul Barizah, S.H., LL.M., PhD.

KERJA SA MA PA NITIA PERA NC A NG UNDA NG - UNDA NG DEWA N PERWA KILA N DA ERA H RI DENG A N FA KULTA S HUKUM

UNIVERSITA S A IRLA NG G A SURA BA YA 2 013


(2)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Penelitian : KEBIJAKAN PENGENDALIAN PERTUMBUHAN

MENARA TELEKOMUNIKASI MELALUI PENETAPAN ZONA MENARA

TELEKOMUNIKASI

2. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Indria Wahyuni, S.H., LL.M.

b. Jenis Kelamin : P

c. NIP : 198201232006042001

d. Pangkat/Golongan : III/a

e. Jabatan : Asisten Ahli

f. Bidang Keahlian : Hukum Pemerintahan Daerah

g. Fakultas/ Jurusan : Fakultas Hukum/ Hukum Administrasi

h. Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Tim Peneliti

No Nama Peneliti Bidang Keahlian Departemen Perguruan Tinggi 1. Dr.Sri Winarsi, S.H.,

M.H. Hukum Administrasi, Sengketa Pemerintahan Hukum Administrasi UNAIR

2. Dr. Lilik Pudjiastuti, S.H., M.H.

Hukum Administrasi Hukum

Administrasi

UNAIR

3. Dr. Emanuel Sujatmoko, S.H., M.S

Hukum Administrasi

UNAIR

4. Agus Widyantoro, S.H., M.H.

Hukum Perusahaan Hukum

Perdata

UNAIR

5. Zendy Wulan Ayu

W.P., S.H., LL.M.

Hukum Tata Negara Hukum Tata

Negara

UNAIR

6. Nurul Barizah, S.H., LL.M., PhD.


(3)

iii

5. Pendanaan dan Jangka waktu Penelitian

a. Jangka Waktu Penelitian yang diusulkan : 4 bulan

b. Biaya yang Disetujui : Rp.100.000.000,-

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. NIP. 195205291974121001

Surabaya, 18 Maret 2013 Ketua Peneliti

Indria Wahyuni, S.H., LL.M. NIP. 198210232006042001


(4)

iv

ABSTRAK

Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana telekomunikasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Peningkatan ini dibarengi dengan pertumbuhan menara telekomunikasi sebagai infrastruktur bagi para penyedia jasa telekomunikasi untuk memberikan layanan telekomunikasi bagi penggunanya. Keberadaan pengaturan tentang menara telekomunikasi sangat penting untuk menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi, hak untuk melakukan kegiatan bisnis serta menyeimbangkan hak tersebut dengan kepentingan pemerintah untuk melindungi masyarakatnya. Di dalam penelitian ini akan membahas secara mendalam mengenai urgensi pengaturan menara telekomunikasi, kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengendalian menara telekomunikasi dan instrument yang dapat digunakan untuk pengendalian tersebut serta model hukum yang diperlukan guna penataan menara telekomunikasi. Pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi harus diselaraskan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. Daerah dapat melakukan pengendalian dengan menggunakan instrument diantaranya zonasi, pengaturan Izin mendirikan bangunan menara, kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama serta instrument ekonomik. Diantara instrument tersebut, hanya penerbitan Izin mendirikan bangunan menara dan instrument ekonomik yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, sedangkan pengaturan zonasi dan kebijakan pemanfaatan bersama menara telekomunikasi hanya dituangkan dalam bentuk hukum Peraturan Bersama Menteri, yang menimbulkan problematika hukum bila ditinjau dari daya mengikat dan keberlakuannya sebagai pembebanan kewajiban bagi daerah untuk menerapkan kebijakan zonasi menara telekomunikasi. Penataan Zonasi diperlukan agar pertumbuhan manara telekomunikasi dapat dikendalikan, sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, estetika dan keamanan lingkungan.

Kata kunci : Menara Telekomunikasi, Zonasi, penataan.


(5)

v

RINGKASAN

Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana telekomunikasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Penggunaan sarana telekomunikasi mempermudah masyarakat untuk melakukan komunikasi dan meningkatkan produktifitas. Ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut perlu didukung dengan infrastuktur yang memadai berupa menara telekomunikasi sebagai bangunan yang difungsikan sebagai penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan jaringan komunikasi dengan memperhatikan efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan.

Pengaturan mengenai menara telekomunikasi sangat penting untuk memenuhi hak telekomunikasi masyarakat, hal ini terkait dengan konsepsi filosofis pertanggungjawaban negara dalam memenuhi hak berkomunikasi warganya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi”. Selain itu sebagai penjabaran fungsi pemerintah selaku wasit (umpire), maka pengaturan penataan menara telekomunikasi diperlukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha di bidang menara telekomunikasi, masyarakat dan pemerintah.

Kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengendalian dan penataan menara telekomunikasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berupa kewenangan pemerintah untuk mengatur daerah otonomnya. Hal ini mencakup kewenangan pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan tata ruang wilayahnya dengan tetap berpedoman pada tata ruang nasional. Dalam hal penataan menara telekomunikasi pemerintah daerah berwenang untuk mengatur pertumbuhan menara telekomunikasi agar sesuai dengan peruntukan wilayah di daerahnya. Kewenangan pemerintah daerah dalam pengaturan menara telekomunikasi tersebut juga didukung dengan peraturan-peraturan terkait lainnnya seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan peraturan pelaksananya. Dasar kewenangan ini menjadi sangat essensial mengingat tanpa dasar kewenangan


(6)

vi

setiap tindakan pemerintah menjadi cacat dikarenakan pemerintah tidak berwenang (on bevoegheid) dalam melakukan tindakan hukum tersebut.

Dalam hal penataan tersebut, pemerintah daerah dapat menggunakan empat instrument diantaranya Instrumen Zonasi, Izin mendirikan bangunan menara, perizinan atau dokumen lainnya, kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama dan instrument ekonomik. Dari ke-empat instrument tersebut yang diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota hanya tegas menyatakan kewenangan pemerintah daerah untuk menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan Menara serta melakukan pungutan retribusi atas Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Sedangkan ketentuan mengenai Zonasi dan kebijakan penggunaan menara telekomunikasi secara bersama hanya diatur dalam bentuk hukum Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Problematika hukum timbul atas daya mengikat dari aturan tersebut terhadap pelaksanaan kebijakan zonasi di daerah. Untuk menjawab problematika tersebut model hukum yang direkomendasikan dalam penelitian ini adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah mengenai Pemanfaatan Menara Telekomunikasi bersama, dimana substansi dari peraturan ini mencakup standarisasi kebijakan zonasi dan pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama.


(7)

vii

PRAKATA

Puji Syukur kepada Allah SWT, karena hanya dengan perkenan, hidayah dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan penelitian ini, yang mengambil

judul KEBIJAKAN PENGENDALIAN PERTUMBUHAN MENARA

TELEKOMUNIKASI MELALUI PENETAPAN ZONA MENARA TELEKOMUNIKASI. Ide awal dari penelitian ini bahwa kebutuhan masyarakat akan telekomunikasi semakin meningkat, hal ini dibarengi dengan pertumbuhan menara telekomunikasi sebagai upaya dari para penyedia jasa telekomunikasi untuk memberikan layanan telekomunikasi terbaik bagi penggunanya. Apabila hal ini tidak diatur maka menara telekomunikasi akan berdiri di setiap tempat tanpa memperdulikan tata ruang, peruntukan lahan dan keamanan bagi masyarakat di sekitar menara. Pertumbuhan menara telekomunikasi yang tidak terkendali juga mengakibatkan buruknya estetika kota, karena dipenuhi oleh menara-menara telekomunikasi yang menjulang tinggi. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu melakukan kebijakan untuk mengatur pertumbuhan menara telekomunikasi tersebut. Namun sampai saat ini belum ada perundangan yang mengatur tentang pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi, peraturan yang ada hanya berupa Surat Keputusan Bersama yang dari segi tata urutan peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 bukan merupakan bagian dari tata urutan.

Selesainya penelitian ini merupakan bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Unair, Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah (PPUU DPD RI), Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Surabaya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan pihak-pihak lain yang telah membantu kami, menyediakan data, memberikan saran dan masukan. Tanpa adanya bantuan dari para pihak tersebut, tentunya penelitian ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak, oleh karena itu penulis sangat berharap adanya kritik konstruktif dalam rangka perbaikan penelitian ini, karena penulis sadar bahwa Laporan penelitian ini tentunya banyak kekurangan dan kesalahan.

Surabaya, 10 Juli 2013 Tim Penulis


(8)

viii

DAFTAR ISI

HAL

HALAMAN PENGESAHAN………...………….………..……….. ii

ABSTRAK ………. Iv RINGKASAN ………..………. V PRAKATA ………. Vii DAFTAR ISI ………. viii

BAB I : PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan ………..…. 1

I.2. Perumusan Masalah ………. 4

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Hubungan antara Pemerintah dan Masyarakat………..……….. 5

a. Negara sebagai Penyedia Sarana Telekomunikasi ……….……. 6

BAB III : TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN III.1. Tujuan Penelitian ………... 10

III.2. Manfaat Penelitian ………. 10

BAB IV : METODE PENELITIAN IV.1. Pendekatan Masalah ………. 11

IV.2. Bahan Hukum ………...… 11

IV.3. Teknik Pengumpulan Data ………...… 11

IV.4. Pengolahan dan Analisis Data ………. 12

BAB V : HASIL DAN PEMBAHASAN 13 V.1.Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi Hak Telekomunikasi ……… 14

A. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Internasional ……….……….. 15 B. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Nasional ………..……… 18

C. Konsepsi Pertanggungjawaban Negara Dalam Hak Untuk Berkomunikasi menurut Instrumen Hukum Internasional dan Nasional ……… 20 V.2. Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam perspektif Hukum

Bisnis ....………. 26


(9)

ix

A. Menara Telekomunikasi ………. 28

B. Legalitas Bisnis ………. 29

C. Model Bisnis Menara Telekomunikasi ……… 33

D. Pengaturan Sub Bidang Usaha Menara Telekomunikasi …………. 35

V.3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara Telekomunikasi ……….. 37

A. Keabsahan Tindak Pemerintahan Dalam Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi ……….. 37

B. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengaturan Menara Telekomunikasi ……… 42

V.4. Instrumen Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi ………... 65

A. Zona Penempatan Menara Telekomunikasi ……… 66

B. Izin Mendirikan Bangunan Menara ……….. 69

C. Perizinan dan dokumen yang terkait dengan penataan dan pengendalian menara telekomunikasi ………... 78

D. Kebijakan penataan Menara Telekomunikasi Bersama ……. 78

E. Instrumen Ekonomik ………. 80

V.5. Penataan Pengendalian Menara Telekomunikasi di beberapa daerah di Jawa Timur A. Kota Surabaya ……….. 82

B. Kabupaten Pasuruan ……… 89

C. Kabupaten Blitar ……… 95

D. Kabupaten Ngawi ………. 99

E. Kabupaten Tulungagung ………. 107

V.6. Model Hukum Pengaturan Kebijakan Penataan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi A. Daya Mengikat Peraturan Bersama Menteri ………. 109

B. Model Hukum Pengendalian Penataan Menara Telekomunikasi ………... 112

BAB VI : PENUTUP VI.1. Kesimpulan ……… 116

VI.2. Rekomendasi ………. 117 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Permasalahan

Seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkat kebutuhan atas sarana telekomunikasi semakin meningkat guna mendukung aktivitas sehari-hari. Penggunaan sarana telekomunikasi mempermudah masyarakat untuk melakukan komunikasi dari jarak yang berjauhan. Selain memperpendek jarak dan mempermudah komunikasi, ketersediaan fasilitas telekomunikasi akan meningkatkan produktifitas masyarakat. Ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut perlu didukung dengan infrastuktur yang memadai berupa menara telekomunikasi. Menara Telekomunikasi merupakan bangunan yang difungsikan sebagai penunjang jaringan telekomunikasi yang desain/bentuk konstruksinya disesuaikan dengan keperluan jaringan komunikasi. Pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi sebagai salah satu infrastruktur pendukung dalam penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan efisiensi, keamanan lingkungan dan estetika lingkungan.

Menara Telekomunikasi adalah bangunan untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana

penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi1

1

Ps 1 angk 8 Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negari, Menteri Pekerjaan Umum, Menkominfo, Kepala BKPM tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi

. Mengingat fungsinya guna menunjang jaringan telekomunikasi, dengan demikian menara telekomunikasi sangat dibutuhkan dalam upaya pemenuhan atas hak masyarakat atas fasilitas telekomunikasi.


(11)

2

Keberadaan menara telekomunikasi di setiap kabupaten/kota menunjukkan angka pertumbuhan yang tinggi. Di Surabaya misalnya, dengan luas wilayah Kota 326.37 Km2, sampai dengan tahun 2010 terdapat 857 menara telekomunikasi yang terdiri dari menara Green Field sebanyak 455 buah, menara Roof Top sebanyak 398 buah dan menara

Combat sebanyak 4 buah dengan jumlah 1207 BTS2

Pada beberapa kondisi dan keadaan, kehadiran menara telekomunikasi dengan fungsi sebagai base transceiver service (BTS) bagi beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota dirasa mengganggu, sehingga memerlukan langkah pengaturan, penataan, penertiban. Meskipun secara fungsional BTS sangat dibutuhkan untuk mendukung teknologi komunikasi, bukan berarti pembangunan dan pertumbuhannya boleh bebas dibiarkan tanpa kendali, sehingga dalam konteks itu diperlukan pengendalian. Pemerintah

. Setiap menara telekomunikasi yang berdiri haruslah memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan masyarakat, tata ruang dan lingkungan hidup. Oleh karena itu pemerintah daerah dalam fungsinya sebagai pelindung masyarakat (to protect) haruslah melakukan kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi guna menjamin pematuhan terhadap aspek-aspek tersebut. Penataan menara telekomunikasi bertujuan untuk mengendalikan dan mensinergikan antara ketersediaan ruang kota kebutuhan menara telekomunikasi, keamanan serta meningkatkan kehandalan cakupan frekuensi telekomunikasi. Dengan tujuan tersebut, maka dalam melakukan penataan menara telekomunikasi sangat diperlukan guna menyeimbangkan jumlah dan prioritas penggunaan menara sehingga dapat dicapai efesiensi dalam pemanfaatan ruang.

Mendirikan menara telekomunikasi merupakan salah satu dari kegiatan mendirikan bangunan, khususnya bangunan non gedung, oleh karena itu mendirikan menara telekomunikasi perlu mendapat pengaturan yang berorientasi pada keamanan, keindahan dan kebutuhan tata ruang kota guna kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan non gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

2


(12)

3

daerah memiliki berbagai kepentingan untuk mengatur, menata, menertibkan, dan mengawasinya.

Sebagai contoh kasus, beberapa waktu yang lalu Pemerintah Kabupaten Badung, Provinsi Bali, menyatakan bahwa perlu penertiban terhadap bangunan yang tidak

memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)3

Di dalam penataan menara telekomunikasi tersebut, pemerintah daerah perlu melakukan berbagai kebijakan hukum dalam menjamin keberlangsungan Menara Telekomunikasi yang sesuai dengan ketentuan kelayakan bangunan dan aspek-aspek

, termasuk BTS. Sebagai perwujudan atas penertiban itu, Pemerintah Kabupaten Badung merobohkan 14 (empat belas) menara telekomunikasi yang mengakibatkan sekitar 88 BTS tidak beroperasi sehingga ratusan ribu pelanggan ponsel dari berbagai provider terganggu pelayanannya. Peristiwa itu menimbulkan permasalahan hukum yang menarik untuk diteliti atau dikaji. Pertama, kajian tentang wewenang pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur, menata, menertibkan, mengawasi BTS. Kedua, persyaratan dan ketentuan tentang perijinan BTS.

Secara fungsional, BTS merupakan infrastuktur pendukung utama untuk akses telekomunikasi. Keterbatasan BTS akan menyebabkan akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan juga berkurang, apalagi jika hal itu dikaitkan dengan persoalan dalam rangka menghadapi masalah globalisasi. Isu-isu global menjadi sangat mudah diakses oleh masyarakat apabila pembangunan dan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi di masyarakat tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Kejadian di Badung, pada satu sisi dapat dilihat sebagai suatu bentuk peristiwa yang menyebabkan terjadi gangguan dan hambatan bagi akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan yang diperlukan oleh masyarakat dalam menjalankan kehidupannya, baik ekonomi, sosial, politik dan aspek kehidupan sosial lainnya sebagai bagian dari sistem komunikasi global. Namun, pada sisi lain, juga perlu ditegakkan peraturan yang berlaku di Badung, untuk dipatuhi oleh para pelaku usaha terkait dengan BTS. Artinya, pemenuhan infrastruktur telekomunikasi harus memenuhi aspek legal sesuai peraturan di kabupaten/kota, jangan menggunakan hak masyarakat atas perolehan informasi dan pengetahuan sebagai dalih untuk melakukan pelanggaran IMB.

3


(13)

4

terkait. Model kebijakan hukum tersebut diantaranya dengan instrument zonasi dan medorong penggunaan bersama menara telekomunikasi.

I.2. Perumusan Masalah

Beranjak dari pemikiran dan paparan yang disajikan dalam latar belakang diatas, maka penelitian ini akan menyuguhkan pembahasan terkait dengan persoalan-persoalan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi, yaitu:

a. Urgensi Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam memenuhi hak Telekomunikasi.

b. Kewenangan Pemerintah daerah dalam pengaturan menara telekomunikasi.

c. Model Kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi di Wilayah


(14)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pola Hubungan antara Pemerintah dan Masyarakat

Secara filosofis, negara sebagai pemegang mandat dari rakyat bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pelayanan sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Dalam hal ini, posisi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public service) dari pengguna layanan. Sementara rakyat memiliki hak atas pelayanan dari negara karena sudah memenuhi kewajiban sebagai warga negara, seperti membayar pajak atau punggutan lainnya (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat dalam partisipasi penyelenggaraan pelayanan publik. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam Negara demokrasi dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Pemerintah mempunyai kewenangan dalam mengendalikan masyarakat (Sturen) serta memberikan sanksi apabila terdapat pelangggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka pengendalian tersebut. Lebih lanjut, dalam konsep demokratisasi pembangunan, menurut Friedmann, Negara memegang beberapa fungsi yaitu: (a) Negara sebagai regulator; (b) Negara sebagai provider (penyedia layanan publik); (c) Negara sebagai entrepreneur; dan (d) Negara sebagai wasit. Sebagai penyedia layanan publik Negara (dalam hal ini pemerintah daerah) wajib memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor


(15)

6

38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat tersebut haruslah sesuai dengan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Kewajiban dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk pada pemenuhan kebutuhan akan telekomunikasi, mengingat bahwa tingkat kebutuhan masyarakat atas telekomunikasi terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Mobilitas masyarakat perlu didukung dengan sarana telekomunikasi yang memadai. Kebutuhan telekomunikasi juga berpengaruh pada pertumbuhan bisnis dan ekonomi masyarakat. Dalam hal peningkatan kebutuhan masyarakat atas telekomunikasi, pemerintah berperan penting dalam mengatur agar pemenuhan kebutuhan tersebut tidak menggangu hak masyarakat yang lain serta mengatur agar kenyamanan dan keamanan masyarakat tetap terjaga.Pengaturan tersebut perlu dituangkan dalam bentuk produk hukum agar memenuhi asas legalitas.

B. Negara sebagai penyedia sarana telekomunikasi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi telekomunikasi sangat berpengaruh pada pada kebutuhan manusia. Telekomunikasi saat ini tidak saja sebagai sarana untuk melakukan hubungan antar masyarakat, namun telekomunikasi telah menjadi bagian dari peradaban manusia dan kepentingan ekonomi. Selain itu telekomuniukasi juga sudah merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.”

Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tersebut dapat dilakukan dan diperoleh antara lain melalui sarana telekomunikasi yang tersedia. Telekomunikasi dapat diartikan “setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui


(16)

7

sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.”4

Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945, bahwa tujuan

bangsa Indonesia bernegara yang merdeka antara lain “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….. “. Salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut antara lain tersedianya sarana telekomunikasi yang memadai. Hal tersebut mengingat bahwa “telekomunikasi digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas masyarakat melalui penyampaian pesan dan informasi. Menyusul memudarnya era ekonomi industri, informasi sudah mulai menunjukkan peran pentingnya bagi pembentukan era ekonomi baru, ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Di sisi lain, informasi juga berperan signifikan dalam proses pendidikan

Artinya telekomunikasi merupakan instrumen untuk berkomunikasi atau penyampaian informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dimana berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Mengingat bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan bagaian dari hak asasi manusia, sehingga dalam melakukan komunikasi dapat dimungkinkan adanya benturan kepentingan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut tentunya menuntut negara untuk mengatur dan mengendalikan telekomunikasi dalam upaya pemenuhan hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Selain itu peran negara dalam telekomunikasi juga disebabkan semakin berkembang dan meningkatnya kegiatan usaha telekomunikasi, sehingga telekomunikasi diharapkan dapat memajukan kesejahteraan masyarakat baik dari sisi pengusaha telekomunikasi maupun pengguna telekomunikasi itu sendiri. Peran negara dalam pengendalian dan pemenuhan sarana telekomunikasi tidak dapat dilepaskan dari fungsi negara sebagai penyedia (provider), dimana Negara bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana untuk layanan sosial dalam rangka menjamin standar kehidupan bagi semua orang, dalam hal ini menyediakan sarana untuk terpenuhinya kebutuhan komunikasi. Selain itu Negara juga sebagai pengatur (regulator), dimana negara sebagai pembuat peraturan yang digunakan berbagai sarana kontrol/pengendalian telekomunikasi

4


(17)

8

masyarakat, penyebarluasan pengetahuan, perkuatan budaya, dan pemupukan ideologi bangsa yang pada akhirnya akan memengaruhi pembinaan mental dan karakter anak bangsa. Dengan kata lain, posisi telekomunikasi menjadi sangat strategis bagi Republik Indonesia, karena telekomunikasi memfasilitasi penguatan sistem pertahanan dan ketahan nasional.”5

Memperhatikan hal tersebut di atas dan dikaitkan dengan kesejarahan pengelolaan telekomunikasi penyelenggaraan telekomunikasi sejak kelahirannya merupakan jenis layanan publik yang dikuasai pemerintah karena adanya pemahaman bahwa telekomunikasi merupakan kekayaan alam yang dimiliki negara dan digunakan sebanyak-banyaknya bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dalam perjalanan waktu, pemerintah memberikan kekuasaan pengelolaan telekomunikasi kepada sebuah badan usaha milik negara (BUMN) untuk menjalankan fungsi penyediaan infrastruktur dan penyelenggraan telekomunikasi. Guna memastikan pelaksanaan mandat negara kepada BUMN dibuatlah regulasi yang memberikan koridor operasional. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyediaan sarana telekomunikasi yang awalnya dikuasai oleh negara, maka telah digeser oleh peran swasta, sehingga telekomunikasi sudah merupakan sebuah industry yang lebih mengedepankan keuntungan. Walaupun demikian peran negara masih sangat diperlukan, hal tersebut mengingat bahwa hak untuk memperoleh informasi, dan berkomunikasi merupakan bagian dari hak asasi manusia, sehingga ada kewajiban negara untuk memenuhinya. Sebagaimana diketahui bahwa wilayah negara Indonesia yang sangat luas ini tidak semua dapat dilayani oleh pihak swasta, namun masih banyak wilayah yang belum terjangkau telekomunikasi, mengingat bahwa tidak adanya pihak swasta yang mau melakukan usaha telekomunikasi di wilayah tersebut dikarenakan mahalnya membangun infrastruktur telekomunilasi. Dalam keadaan demikian, maka peran negara untuk menyediakan sarana dan prasarana telekomunikasi yaitu “segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi.”6

5

http://maswig.blogspot.com/2006/10/telekomunikasi-memperkuat-pertahanan.html

6

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Telekomunikasi dikuasai oleh Negara


(18)

9

dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.” Hal tersebut mengingat bahwa telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka penyelenggaraan telekomunikasi tersebut dikuasai oleh negara. Penyelenggaraan telekomunikasi sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 36 tahun1999 meliputi:

a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi; b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi; c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.

Pengusaan oleh negara atas telekomunikasi tersebut diartikan bahwa negara mempunyai kewenangan untuk mengatur, mengendalikan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta, melalui perizinan.


(19)

10 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

III.1. Tujuan

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1) Untuk mengidentifikasi dan menganalisa urgensi telekomunikasi dalam memenuhi hak

telekomunikasi dari perspektif hak asasi manusia dan hukum bisnis.

2) Untuk mengidentifikasi dan menganalisa kewenangan dari pemerintah daerah atas

penataan menara telekomunikasi berdasarkan peraturan perundang-undangan.

3) Untuk merumuskan model pengendalian menara telekomunikasi melalui penetapan Zona

menara telekomunikasi.

III.2. Manfaat penelitian

Dengan penelitian ini diharapkan dapat diidentifikasi konsepsi mengenai pengendalian menara telekomunikasi daerah baik dari segi kewenangan maupun dari segi bentuk hukum pengendalian menara telekomunikasi, sehingga dapat diperoleh rekomendasi bentuk hukum dan model pengendalian menara telekomunikasi yang tepat guna menyelesaikan permasalahan penataan menara telekomunikasi. Hasil penelitian ini selain dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Pusat atas urgensi dari pengendalian pertumbuhan Menara Telekomunikasi.


(20)

11 BAB IV

METODE PENELITIAN

IV.1. Pendekatan masalah

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum normatif pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

IV.2. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini diperlukan bahan hukum yang dibedakan dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri dan peraturan daerah. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini berbagai karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian, ensiklopedi, jurnal-jurnal ilmiah, terbitan (media massa) harian atau berkala di bidang hukum dan naskah akademik dari beberapa peraturan perundang-undangan.

IV.3. Prosedur pengumpulan bahan hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui metode bola salju (snow ball method) dan prosedur identifikasi serta invertarisasi bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan klasifikasi secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Klasifikasi dimaksudkan untuk melakukan pemilahan bahan hukum sedasar dengan tema-tema analisis yang relevan dengan menggunakan kartu catatan.


(21)

12

IV.4. Pengolahan dan analisis data

Bahan-bahan hukum yang diperoleh diolah dengan kategorisasi sebagai pengklasifikasian bahan hukum secara selektif. Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan menggunakan pembahasan diskriptif analitik yang oleh Jan Gijssels dan Mark Van Hoeke dikatakan sebagai orang membatasi penyusunan studinya pada suatu pengkajian. Suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung berupaya untuk mengkonstruksikan atau menguji hipotesa atau teori7

7

Jan Gissels dan Mark Van Hoeke, Rechtswetwnschappen,1982


(22)

13 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan penelitian ini akan mencakup berbagai aspek yang terkait dengan kebijakan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi. Pada bagian pertama akan membahas mengenai Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi hak telekomunikasi. Pada bagian ini akan dianalisa secara mendalam mengenai pengaturan hak untuk berkomunikasi dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional. Analisa mengenai hal ini ditujukan untuk memotret pengaturan hak berkomunikasi masyarakat dari sudut pandang instrumen hukum internasional dan instrumen hukum nasional. Akan dianalisa juga dalam bagian ini konsepsi pertanggungjawaban negara dalam hak berkomunikasi guna menemukan landasan filosofis bagi pembebanan tanggung jawab negara dalam memenuhi hak berkomunikasi masyarakat. Pembahasan pada bagian pertama ini merupakan landasan bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya di penelitian ini.

Sebagai penjabaran fungsi pemerintah selaku wasit (umpire)8

8

Lihat Friedman Wolfgang, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens, Sons, London, 1971 .

, maka pengaturan penataan menara telekomunikasi diperlukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha di bidang menara telekomunikasi, masyarakat dan pemerintahBagian Kedua dari pembahasan penelitian ini akan mendalami pengaturan menara telekomunikasi dalam perspektif hukum bisnis. Pada bagian ini juga akan dianalisa lebih lanjut mengenai legalitas bisnis dan model bisnis menara telekomunikasi. Pembahasan pada bagian kedua ini ditujukan untuk memahami urgensi pengaturan menara telekomunikasi dari perspektif hukum bisnis, hal ini menjadi penting karena dalam pengaturan menara telekomunikasi, pemerintah diwajibkan untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyeimbangkan kepentingan pengaturan, kepentingan pengusaha, masyarakat dan pemerintah. Bagian ketiga pembahasan penelitian akan menganalisa secara spesifik mengenai Kewenangan Pemerintah daerah dalam Pengaturan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi. Pembahasan pada bagian ini akan melihat kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi yang bersumber dari berbagai


(23)

14

peraturan perundangan-undangan yang terkait. Analisa dalam bagian ini sangatlah penting karena melandasi dasar kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan hukum terkait dengan pengendalian menara. Dasar kewenangan ini menjadi sangat essensial mengingat tanpa dasar kewenangan setiap tindakan pemerintah menjadi cacat dikarenakan pemerintah tidak berwenang (on bevoegheid) dalam melakukan tindakan hukum tersebut.

Bagian keempat dari pembahasan penelitian ini akan membahas perihal instrument penataan dan pengendalian menara telekomunikasi. Pembahasan ini akan dilanjutkan pada kondisi penataan pengendalian menara telekomunikasi di beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur. Daerah yang dijadikan rujukan pada pembahasan ini adalah Kota Surabaya, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Ngawi, Kabupatem Tulungagung. Tujuan dari pembahasan pada bagian ini untuk memberikan gambaran dan analisa mengenai pelaksanaan penataan pengendalian menara telekomunikasi di beberapa daerah di Jawa Timur.

Bagian terakhir (keenam ) penelitian ini akan menganalisa dan merumuskan model hukum dalam pengaturan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi. Analisa pada bagian ini berpijak pada analisa-analisa sebelumnya. Bagian ini akan membahas keberlakuan daya mengikat sebuah Surat Keputusan Bersama dan perumusan rekomendasi model hukum dalam penataan dan pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi. V.1. Urgensi Telekomunikasi dalam memenuhi Hak Telekomunikasi

Komunikasi merupakan kebutuhan manusia yang mendasar. Komunikasi juga merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting dan merupakan hak asasi manusia. Tanpa memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan orang lain, tidak mungkin individu, masyarakat atau kelompok akan mampu bertahan. Hal tersebut disebabkan karena dengan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi; individu, masyarakat atau kelompok akan memiliki kemungkinan untuk bisa bertukar pendapat atau pikiran dengan individu, masyarakat atau kelompok lain. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa komunikasi memungkinkan setiap orang, masyarakat atau kelompok untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan titik pandang mereka. Akibatnya adalah bahwa


(24)

15

komunikasi berperan dalam pembentukan diri seseorang dan khususnya memperkuat martabat seseorang sebagai manusia. Dengan memiliki hak untuk berkomunikasi dan mengungkapkan pikiran pribadi, gagasan, dan pendapat; seseorang akan merasa dirinya diperlakukan sama dengan orang lain. Dengan kata lain, komunikasi memvalidasi kesetaraan manusia. Dengan demikian perlindungan dan pelaksanaan hak-hak komunikasi merupakan bagian penting dari topik umum hak asasi manusia.

A. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Internasional Untuk mengetahui hubungan antara hak untuk berkomunikasi dan sistem hak asasi manusia pada umumnya, pertama yang penting untuk dilihat adalah hak atas kebebasan berekspresi. Merupakan suatu pandangan yang umum jika hak untuk berkomunikasi berakar dari hak atas kebebasan berekspresi. Hak atas kekebasan berekspresi adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang mendasar; kunci dari pemenuhan hak-hak yang lain, dan sebuah pondasi yang penting dari demokrasi. Pentingnya kebebasan berekspresi memang tidak bisa dipungkiri. Hal tersebut terdapat di dalam hukum internasional yang sarat dengan pernyataan-pernyataan yang menggarisbawahi sifat esensial atau pentingnya kebebasan berekspresi. Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) mengikat negara-negara sebagai customary international law atau hukum kebiasaan internasional.9

Dari Pasal 19 UDHR tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. Ketentuan dalam Pasal 19 UDHR tersebut tidak lebih dari

Article 19 UDHR:

‘Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes the right to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.’

9

ARTICLE 19 Global campaign for Free Expression, STATEMENT on the Right to Communicate, London, February 2003, h. 2-3.


(25)

16

sekedar untuk menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengatakan apa yang mereka inginkan.10

- Hak untuk tidak terkekang dalam menganut pendapat;

Lahirnya International Bill of Human Rights yang diawali oleh UDHR pada Tahun 1948, diikuti oleh dua kovenan HAM yang terpisah yang dilengkapi dengan mekanisme pemantauan terpisah pada Tahun 1966, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).Di dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) ICCPR terdapat pengaturan yang hampir sama dengan yang ada di Pasal 19 UDHR.

ARTICLE 19 PARAGRAPHS (1), (2) ICCPR 1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference.

2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.

Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR dirancang secara hati-hati untuk menjamin secara eksplisit mengenai:

- Hak untuk mengekspresikan dan menyebarkan informasi atau ide-ide;

- Hak untuk memiliki akses ke media massa;

- Hak untuk mencari dan menerima informasi dan ide-ide.11

Selain Pasal 19, di dalam UDHR juga terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi, diantaranya adalah:

- Pasal 12 mengenai perlindungan terhadap privasi;

- Pasal 18 mengenai kebebasan kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; - Pasal 20 mengenai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat;

- Pasal 26 mengenai hak atas pendidikan; dan

10

Ibid, h.3.

11


(26)

17

- Pasal 27 mengenai turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, untuk

menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.

Demikian juga halnya dengan ICCPR. Beberapa pasal di ICCPR selain Pasal 19 yang berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi diantaranya adalah:

- Pasal 18 mengenai kebebasan kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; - Pasal 21 dan 22 mengenai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat.

Sedangkan hak atas pendidikan dan hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 dan 27 UDHR, di jamin oleh ICESCR.

Ketika komponen-komponen penting dari hak untuk

berkomunikasi, seperti misalnya yang tercantum dalam Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR telah ditetapkan sebagai hukum internasional, bahkan ICCPR telah diratifikasi oleh banyak negara, hak untuk berkomunikasi sendiri belum ditetapkan dalam hukum internasional secara komprehensif.12

Dalam kenyataannya, memang belum ada instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai hak untuk berkomunikasi. Sampai saat ini pun, perdebatan tentang definisi atau konsep hak untuk berkomunikasi belum diselesaikan. Demikian juga mengenai perlu tidaknya pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi masih menjadi suatu perdebatan yang belum terselesaikan di dunia internasional. Perdebatan mengenai hak untuk berkomunikasi terutama dipicu oleh D’Arcy yang mengakui bahwa Pasal 19 khususnya UDHR terlalu sempit dalam dunia komunikasi global yang interaktif.13

Dari paparan sebelumnya dapat ditarik satu poin penting yaitu bahwa hak untuk berkomunikasi sebenarnya bukanlah merupakan suatu hak yang baru, melainkan bisa diibaratkan sebagai hak payung yang di dalamnya meliputi sebuah kelompok hak

12 William J. McIver, Jr. & William F. Birdsall

, Technological Evolution and the Right to Communicate: The Implications for Electronic Democracy, Paper Presented at Euricom Colloquium: Electronic Networks & Democracy, 9-12 October 2002, Nijmegen, the Netherlands.

13

Jean d'Arcy (1969). Direct Broadcast Satellites and the Right to Communicate. dalam: Right to Communicate: Collected Papers, ed. L. S. Harms, Jim Richstad, and Kathleen A. Kie (Honolulu: University of Hawaii Press, 1977), 1-9. Originally published in EBU Review 118 (1969): 14-18.


(27)

18

terkait, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan ide, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik, hak untuk mengakses informasi dari badan-badan publik, dan beberapa hak lainnya.14

B. Pengaturan Hak untuk Berkomunikasi dalam Instrumen Hukum Nasional

Walaupun di dalam instrumen hukum internasional belum ada pengaturan secara eksplisit mengenai hak untuk berkomunikasi, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia telah memberikan jaminan pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi secara eksplisit yang terdapat dalam Pasal 28F. Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28F ini merupakan hasil dari perubahan kedua UUD 1945 pada Tahun 2000. Selain Pasal 28F, UUD NRI Tahun 1945 juga memberikan jaminan perlindungan terhadap beberapa hak yang terkait dengan hak untuk berkomunikasi, diantaranya adalah:

- Pasal 28 :

‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’.

- Pasal 28C (1) UUD NRI Tahun 1945:

‘Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’**)

- Pasal 28E UUD NRI Tahun 1945:

14


(28)

19

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih

pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. **)

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran

dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. **)

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

pendapat.**)

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang lahir sebelum lahirnya Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 juga bahkan telah menyebutkan mengenai hak untuk berkomunikasi. Di dalam Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:

Pasal 14

(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang

diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan sejenis sarana yang tersedia.

Selain Pasal 14, UU No. 39 Tahun 1999 juga menjamin beberapa hak lain yang terkait dengan hak untuk berkomunikasi, diantaranya adalah:

- Pasal 11 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya

untuk tumbuh dan berkembang secara layak.’ - Pasal 12:

‘Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.’

- Pasal 13 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan dan

memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.

- Pasal 15 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak

pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.


(29)

20

Walaupun UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 telah secara eksplisit menyebutkan mengenai jaminan terhadap hak untuk berkomunikasi, dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi yang ada di dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 hampir sama dengan pengaturan mengenai hak atas kebebasan berekspresi yang ada di Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR. Namun UUD NRI Tahun 1945 atau UU No. 39 Tahun 1999 tidak memberikan definisi atau konsep ataupun batasan dari hak untuk berkomunikasi sebagai hak yang berdiri sendiri.

Pada tahun 2005, Indonesia telah meratiifkasi ICCPR dan juga ICESCR melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Dengan diratifikasinya kedua instrumen hukum internasional dalam bidang HAM tersebut maka Indonesia terikat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai Negara pihak sebagaimana diamanatkan oleh kedua instrumen hukum tersebut.

C. Konsepsi Pertanggungjawaban Negara Dalam Hak Untuk Berkomunikasi menurut Instrumen Hukum Internasional dan Nasional

Konferensi HAM sedunia di Wina yang diselenggarakan pada tahun 1993, menegaskan kesatuan kerangka normatif HAM, yaitu:

‘All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated. The international community must treat human rights globally in a fair and equal manner, on the same footing, and with the same emphasis. While the significance of national and regional particularities and various historical, cultural and religious backgrounds must be borne in mind, it is the duty of States, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms.’15

‘Democracy, development and respect for human rights and fundamental freedoms are interdependent and mutually reinforcing. Democracy is based on the freely expressed will of the people to determine their own political, economic, social and cultural systems and their full participation in all aspects of their lives. In the context of the above, the promotion and protection of human rights and fundamental

15


(30)

21

freedoms at the national and international levels should be universal and conducted without conditions attached. The international community should support the strengthening and promoting of democracy, development and respect for human rights and fundamental freedoms in the entire world.’16

Salah satu prinsip hak asasi manusia adalah responsibilitas atau pertanggungjawaban (responsibility). Prinsip pertanggungjawaban dalam hak asasi manusia ini menuntut diperlukannya pengambilan langkah-langkah atau tindakan-tindakan tertentu dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Di dalam prinsip pertanggungjawaban hak asasi manusia ini juga ditegaskan mengenai kewajiban-kewajiban

Dari pernyataan di Paragraf 5 Bagian I Vienna Declaration and Programme Of Action tersebut dapat diketahui bahwa semua hak asasi manusia adalah universal, tidak dapat dibagi saling bergantung dan berkait. Masyarakat internasional secara umum harus memperlakukan hak asasi manusia di seluruh dunia secara adil dan seimbang, dengan menggunakan dasar dan penekanan yang sama. Sementara kekhususan nasional dan regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah suatu yang penting dan harus terus menjadi pertimbangan, adalah tugas negara-negara, apapun sistem politik, ekonomi dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua hak asasi manusia dan kebebasan asasi.

Sedangkan menurut Paragraf 8 Bagian I Vienna Declaration and Programme of Action dinyatakan bahwa demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan dan kebebasan asasi saling bergantung dan saling memperkuat. Demokrasi didasari oleh tekad suatu bangsa yang diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri serta partisipasi penuh mereka dalam segala aspek kehidupan mereka. Dalam konteks tersebut di atas, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi pada tingkat nasional maupun internasional harus bersifat universal dan dilakukan tanpa terkait dengan syarat-syarat. Masyarakat internasional harus mendukung penguatan dan pemajuan demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi di seluruh dunia.

16


(31)

22

paling minimum dalam rangka pemajuan hak asasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada secara maksimal.17

Di dalam prinsip pertanggungjawaban, peran negara menjadi besar karena negara merupakan bagian dari organ kekuasaan politik yang mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Prinsip pertanggungjawaban ini termasuk di dalamnya adalah mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang diambil sebagai kebijakan tertentu dan mempunyai dampak atau pengaruh terhadap kelangsungan hak-hak rakyat. Peran negara sangat vital bukan hanya ketika negara mengambil tindakan tertentu (by commission), tetapi Negara juga bisa dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia, namun negara tidak mengambil tindakan apapun (by omission). Walaupun di dalam prinsip responsibility ini ditekankan mengenai peran negara, tidak berarti bahwa aktor nonnegara tidak mempunyai peran dalam pemajuan hak asasi manusia. Baik individual maupun kolektiva sosial dalam organisasi kemasyarakatan juga mempunyai tanggung jawab dalam pemajuan hak asasi manusia.18

Kewajiban negara dalam hak asasi manusia tidak hanya berupa kewajiban negatif saja dimana negara hanya wajib untuk menghormati kebebasan individu. Tetapi juga berupa kewajiban positif untuk menjamin hak yang sama dapat dinikmati secara efektif dalam praktiknya, contohnya adalah di bidang perundang-undangan atau alokasi-alokasi sumber-sumber anggaran belanja.19

17

R. Herlambang Perdana Wiratraman, Konstitusionalisme & Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia), Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, h. 32-50.

18

Ibid.

19

Martin Scheinin (n.d), Tanggung Jawabb Negara, Good Governance dan HAM yang tidak dapat dibagi, dalam: Hak Asasi Manusia dan Good Governance: Membangun Suatu Keterikatan, Alih Bahasa: Rini Adriati, Editor: Suprijanto, h. 29-43. Penerbitan asli: H.O. Sano dan G. Alfredsson (ed.), Human Rights and Good Governance, the Netherlands: Kluwer Law International, 2002, h. 29-43.

Di sisi lain, HAM juga tidak hanya mengenai tindakan apa saja yang tidak boleh atau wajib dilakukan oleh Negara, tetapi juga mengenai kondisi sosial yang harus ada melalui berbagai cara yang dapat dipilih yang mungkin tersedia tetapi tidak dianggap sebagai kewajiban Negara. Seringkali berlaku kewajiban yang


(32)

23

dikategorikan sebagai tiga langkah palalel, yaitu: kewajiban untuk menghormati,

melindungi dan memenuhi HAM.20

R. Herlambang Perdana Wiratraman menyebut konsepsi dalam Pasal 28I ayat (4) sebagai konsep realisasi progresif (progressive realization). Dalam konsepsi Pasal 28I ayat (4) tersebut secara substansi menegaskan bahwa Negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada kesengajaan atau kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan Pasal 28I ayat (5), disebut sebagai konsepsi pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, Negara dalam menjalankan kewajibannya, ia bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, Pasal 19 ICCPR tidak hanya melarang Negara untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam penikmatan hak yang dimaksud, namun hukum internasional juga mengharuskan Negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin kebebasan berekspresi bisa dinikmati oleh warga negaranya. Termasuk langkah-langkah dalam bidang legislasi atau regulasi, serta langkah-langkah positif yang praktis, misalnya melalui pendirian pusat komunikasi publik. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa kewajiban Negara dalam hak untuk berkomunikasi tidak hanya sekedar kewajiban negatif saja, namun juga termasuk melakukan kewajiban positif nya.

Di dalam UUD NRI Tahun 1945, terdapat pengaturan mengenai tanggung jawab negara yang ada di dalam Pasal 28I ayat (4) dan (5). Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal yang sama ditegaskan kembali dalam Pasal 8 UU no. 39 Tahun 1999 bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Sedangkan Pasal 28I (5) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

20

Lihat Maastricht Guidelines on Violation on Economic, Social and Cultural Rights, Human Rights Quarterly 20, 1998, h. 691-705, paragraph 6 dan 7.


(33)

24

baik dalam sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi.21

Konsep tanggung jawab yang di atur UUD NRI Tahun 1945 juga mengenal apa yang disebut sebagai kewajiban asasi (human obligations).

Di dalam Pasal 19 ayat (3) ICCPR dinyatakan bahwa:

‘The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:

(a) For respect of the rights or reputations of others;

(b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or moral’

Dari Pasal 19 ayat (3) ICCPR dapat diketahui bahwa kebebasan untuk berekspresi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:

(a) Menghormati hak atau nama baik orang lain;

(b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

22

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Konsep ini terdapat dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945.

Pasal 28J

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

21

R. Herlambang Perdana Wiratraman, Loc. Cit.

22


(34)

25

Pasal 32 UU no. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi sarana elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Dari ketentuan di ICCPR, UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa terhadap penikmatan hak untuk berkomunikasi bisa dilakukan pembatasan. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa pembatasan tersebut harus ditetapkan melaui hukum yang sah atau dengan undang-undang dan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain atau melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

Non-diskriminasi, seperti halnya pertanggungjawaban, juga merupakan salah satu prinsip HAM. Prinsip non-diskriminasi menjelaskan bahwa tidak ada perlakuan yang membedakan, baik berdasarkan kelas/ bangsa tertentu, agama, suku, adat, keyakinan, jenis, kelamin, warna kulit, dan sebagainya; dalam rangka penghormatan, perlindungan adan pemenuhan hak asasi seseorang. Prinsip non-diskriminasi ini adalah bagian dari prinsip persamaan (equality) dalam HAM. Martin Scheinin menyatakan bahwa:

‘Larangan dan perlindungan terhadap diskriminasi merupakan unsur mendasar pedoman normatif HAM. Unsur mendasar ini sudah terbukti jelas dapat digunakan sebagai titik awal HAM, yaitu: kesetaraan martabat atas semua manusia, terlepas dari misalnya: jenis kelamin, asal usul etnis atau status sosial. Akibatnya, hampir semua perjanjian-perjanjian HAM menyertakan ketentuan atau paling tidak acuan tentang hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif.’23

Scheinin menambahkan bahwa Pasal 26 ICCPR menempatkan klausul non-diskriminasi sebagai unsur konstitutif gagasan penting tentang HAM. Sebagai ketentuan tersendiri, perlindungan yang diberikan oleh Pasal 26 tidak terbatas pada seputar hak sipil dan politik saja tetapi meliputi seluruh kegiatan yang menjadi Negara pihak, contohnya: apabila terjadi diskriminasi apa saja pada hak sosial dan ekonomi.24

Pasal 28I (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak

23

Martin Scheinin, Loc.Cit.

24


(35)

26

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Hal yang sama diatur di dalam Pasal 3 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Tidak jauh beda dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, di dalam Pasal 14 nya menetapkan bahwa setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut, UU No. 36 tahun 1999 menjamin dalam Pasal 17 bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan salah satu prinsipnya adalah perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam melakukan kewajibannya dalam hak untuk berkomunikasi, Negara khususnya pemerintah harus memperhatikan prinsip non-diskriminasi dalam HAM.

V.2. Urgensi Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam perspektif Hukum Bisnis

Perkembangan telekomunikasi di Indonesia didorong oleh kemajuan telepon genggam sebagai terjemahan dari istilah handphone atau dikenal juga dengan sebutan telepon seluler (ponsel). Sekarang ini, ponsel dan alat telekomunikasi bergerak lainnya, bukan lagi merupakan barang langka karena jumlah penduduk Indonesia yang menggunakannya ternyata cukup besar. Hal itu berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1990-an. Menara telekomunikasi merupakan pendukung utama pengoperasioan ponsel dan sistem telekominikasi bergerak lainnya, karena menara telekomunikasi akan berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan antena sebagai transceiver dalam system komunikasi seluler.

Pengguna ponsel di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Saat ini diperkirakan 50% penduduk Indonesia (sekitar 110 juta) menggunakan ponsel, sehingga menyebabkan kebutuhan jaringan telekomunikasi yang handal makin tinggi. Operator berusaha menjangkau pelanggannya dengan pelayanan yang semakin baik sesuai dengan perkembangan teknologi di bidang komunikasi, sehingga masing-masing operator berlomba-lomba untuk membangun


(36)

27

menara BTS (base transceiver station). Dari wilayah perkotaan sampai di desa-desa ditemui BTS. Pembangunan BTS memiliki karekteristika mengikuti area atau wilayah pelanggannya, sehingga di tempat yang banyak pelanggan dibutuhkan BTS yang memadai. Karakteristik demikian itu menyebabkan hutan menara telekomunikasi di tempat yang padat penduduk – pengguna ponsel.

Di sekitar kita, saat ini, sering dijumpai menara telekomunikasi yang sering dikenal dengan sebutan “tower” BTS berjajar, menjulang ke langit. Dalam praktik, banyak dijumpai “hutan menara BTS” di sebuah kawasan, sehingga dari segi estetika kawasan, baik di perkotaan maupun di lokasi lain, kondisi demikian menganggu pemandangan atau keindahan sebuah kawasan, oleh karena itu perlu dikendalikan dalam arti dilakukan pengaturan dan penataan. Dalam kerangka pengaturan dan penataan, maka akan muncul permasalahan institusi atau instansi apa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan dan penataan, substansi apa yang akan diatur dan ditata, bagaimana jika terjadi konflik pengaturan dan penataan antara satu instansi dengan instansi lain atau daerah satu dengan daerah lain, atau antara daerah dengan pusat. Problematika itu bukan ranah persoalan yang akan didekati dari perspektif hukum bisnis. Hukum bisnis menyoal, mengkaji antara lain bagaimana agar pengaturan dan penataan BTS tidak merugikan, menghambat, operasional bisnis para pelaku usaha yang terkait dengan BTS.

Dari segi fungsional, dan secara teknikal, keberadaan BTS sangat berpengaruh terhadap pelayanan telekomunikasi bagi pelanggan operator telepon seluler dan merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi pelaku usaha operator seluler.

Pada perkembangannya, saat ini operator ponsel banyak yang tidak lagi membangun sendiri menara BTS untuk memenuhi kebutuhan jaringan selularnya. Para operator ponsel lebih memilih untuk menggunakan jasa pihak lain yang menyewakan BTS. Ini merupakan peluang bisnis bagi pelaku usaha yang ingin berusaha di sektor telekomunikasi. Ada perusahaan yang bergerak di bidang usaha menyewakan BTS, termasuk yang menawarkan model usaha penyewaan Tower BTS atau yang dikenal dengan Tower Leasing Provider (TLP).

BTS memiliki beberapa aspek yang melekat, seperti regulasi, pelayanan telekomunikasi, dan aspek bisnis. Aspek regulasi membahas tentang pengaturan menara


(37)

28

telekomunikasi dari segi, tata letak/lokasi BTS, ijin mendirikan BTS, dan sebagainya. Aspek pelayanan membahas tentang fungsi teknis BTS sebagai pendukung utama penyelenggaraan layanan telekomunikasi seluler. Aspek bisnis membahas tentang nilai ekonomis BTS sebagai obyek bisnis. Dalam paper ini, lingkup materi yang dipaparkan meliputi: legalitas bisnis, model bisnis menara telekomunikasi, pengaturan bidang usaha menara telekomunikasi, proyeksi pengaturan bisnis menara telekomunikasi.

A. Menara Telekomunikasi

Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 18 Tahun 2009, Nomor: 07/PRT/M/2009, Nomor: 19/PER/M.KOMINFO/03/ 2009, Nomor: 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi (selanjutnya disebut PB-P3B-MT), Pasal 1 angka 8, pengertian menara telekomunikasi dirumuskan sebagai berikut:

Menara telekomunikasi, yang selanjutnya disebut menara, adalah bangunan-bangunan untuk kepentingan umum yang didirikan di atas tanah, atau bangunan yang merupakan satu kesatuan konstruksi dengan bangunan gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum yang struktur fisiknya dapat berupa rangka baja yang diikat oleh berbagai simpul atau berupa bentuk tunggal tanpa simpul, dimana fungsi, desain dan konstruksinya disesuaikan sebagai sarana penunjang menempatkan perangkat telekomunikasi.

Pada PB-P3B-MT juga didefinisikan Penyedia menara, serta Pengelola Menara.

Penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan mengelola menara telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara telekomunikasi (Pasal 1 angka 10).

Pengelola menara adalah badan usaha yang mengelola dan/atau mengoperasikan menara yang dimiliki oleh pihak lain (Pasal 1 angka 11).

Berdasarkan konsep sebagaimana yang dirumuskan tersebut di atas, maka menara telekomunikasi merupakan obyek bisnis yang disediakan, dikelola, dioperasikan oleh pelaku


(38)

29

usaha. Penyediaan, pengelolaan, pengoperasian menara telekomunikasi berkedudukan sebagai unit bisnis dalam kerangka pengelolaan jaringan komunikasi. Subyek pelaku usaha dapat berupa perorangan maupun badan usaha.

B. Legalitas Bisnis

Tidak ada langkah bisnis yang tidak bertumpu pada hukum, karena setiap langkah bisnis pada hakikatnya adalah langkah hukum. Oleh karena itu, setiap penyelenggaran bisnis wajib memperhatikan, memahami, dan menegakkan hukum yang mengatur bidang bisnis tersebut. Hukum akan melahirkan legalitas bisnis yang diselenggarakan oleh setiap pelaku bisnis. Dalam bisnis terdapat 3 (tiga) legalitas yang wajib dipenuhi yaitu legalitas eksistensional (pendirian), legalitas operasional, dan legalitas transaksional.

1. Legalitas Eksistensional (pendirian organisasi perusahaan).

Legalitas eksistensional merupakan aspek legal yang berkaitan dengan pendirian sauatu badan usaha. Badan usaha dibedakan ke dalam badan usaha badan hukum (BUBH) dan badan usaha bukan badan hukum (BUBBH). BUBH ada yang bersifat komersial dan nirlaba. BUBH komersial antara lain terdiri atas perseroan terbatas (PT), usaha bersama, koperasi, dana pensiun. BUBH nirlaba antara lain berbentuk yayasan. BUBBH antara lain berupa persekutuan perdata atau matschaap, vennootschaap on de firma (firma), dan commanditaire vennotschaap (CV). Kehadiran atau eksistensi setiap bentuk badan usaha tersebut, baik BUBH maupun BUBBH digantungkan pada prosedur pendiriannya, sehingga keabsahan badan usaha tersebut wajib memenuhi ketentuan pendiriannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Matschaap, firma, CV diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juncto Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pendirian PT diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pendirian Koperasi daitur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Pendirian dana pensiun diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Pendirian yayasan diatur dalam Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 16


(39)

30

Tahun 2001 tentang Yayasan. Bentuk BUBH yang terdapat dalam praktik akan tetapi belum ada undang-undang yang mengaturnya adalah usaha bersama.

Apabila badan usaha didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka kehadiran atau eksistensi badan usaha itu sah sehingga memenuhi legalitas pendiriannya atau yang saya sebut legalitas eksistensional. Dalam perspektif legalitas eksistensional, maka penyedia menara yang dapat berbentuk usaha perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta wajib memenuhi aspek legalitas pendiriannya. Secara konkrit, legalitas pendirian dibuktikan dengan akta pendirian perusahaan berikut dokumen adminstratif terkait yang diterbitkan oleh lembaga otoritas yang berbentuk akta pengesahan atas pendirian perusahaan, sebagai contoh: legalitas pendirian PT ditentukan oleh keberadaan akta pendiriannya yang berbentuk akta notaris dengan disertai Surat Keputusan Pengesahan Pendirian PT yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dalam kerangka pengaturan badan usaha yang diperbolehkanmenjalankan usaha di bidang bisnis menara telekomunikasi perlu ditetapkan bentuk badan usaha apa yang diperkenankan untuk menjalankan bisnis menara telekomunikasi. Alternatif pilihannya digantungkan pada keluwesan atau fleksibilitas bentuk badan usaha itu ketika bekerjasama dengan user atau pengguna menara telekomunikasi secara bersama. Apabila ditijnau berdasarkan provider penyelenggara bisnis telekomunikasi ponsel, pada umumnya pelaku usahanya berbentuk perseroan terbatas (PT). Dengan kerangka berpikir berdasarkan kelinieran bentuk badan usaha, maka tidak ada salahnya jika pelaku usaha bisnis menara telekomunikasi diarahkan kepada badan usaha yang berbentuk PT. Pertimbangannya selain kelinieran itu, juga dengan menimbang kedudukan PT sebagai badan usaha yang berstatus badan hukum, sehingga memudahkan pertanggungjawabannya dalam kerangka operasional bisnis. Pada PT, keberadaannya tidak digantungkan pada orang perorangan yang menjadi pemegang saham, sehingga pergantian pemegang saham tidak berpengaruh terhadap eksistensi PT sebagai subyek hukum yang mandiri atau legal entity. Semakna dengan PT dimaksud, termasuk pula BUMN yang berbentuk PT (Persero) maupun BUMD yang berbentuk PT.


(40)

31

Sistem pertanggungjwaban seperti itu tidak dijumpai pada bentuk badan usaha yang tidak berstatus sebagai badan hukum, seperti usaha perorangan, CV, atau firma.

Selain PT, koperasi juga luwes dan layak untuk menjalankan bisnis menara telekomunikasi, apabila ditinjau berdasarkan pertanggungjawabannya yang terletak pada koperasi itu sendiri sebagai badan usaha yang berstatus sebagai badan hukum. Oleh karena itu, PT dan koperasi merupakan bentuk badan usaha yang luwes dan layak untuk diposisikan sebagai penyelenggara bisnis menara telekomunikasi.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka ketentuan dalam PB-P3B-MT yang menegaskan “Penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan mengelola menara telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara telekomunikasi” perlu ditinjau ulang atau direview, sehingga pelaku usaha penyedia menara telekomunikasi adalah badan usaha yang berbadan hukum, yakni PT, koperasi, PT (Persero) maupun PT yang didirikan dalam rangka BUMD.

2. Legalitas Operasional (perijinan).

Kegiatan operasional bisnis badan usaha, baik BUBH maupun BUBBH digantungkan pada ijin operasional yang dimilikinya yang dalam praktik dikenal dengan istilah ijin usaha. Ijin usaha merupakan landasan operasional bagi suatu badan usaha untuk menjalankan atau menyelenggarakan kegiatan bisnisnya. Contoh: perusahaan yang bergerak di bidang usaha perbankan wajib memiliki ijin usaha bank dari Bank Indonesia. PJPT wajib memiliki ijin usaha menara telekomunikasi dari pahak otoritas, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Menkominfo). Pendirian bangunan menera telekomunikasi harus dilengkapi dengan Ijin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi.

Hakikat ijin adalah keabsahan melakukan tindakan atau kegiatan usaha sesuai dengan ijin yang dimilikinya. Ijin akan “menghalalkan suatu tindakan yang semula haram”. Pada sisi inilah, maka legalitas operasional merupakan kebutuhan mendasar bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kepastian bahwa PJPT memiliki


(41)

32

ijin merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum kepada para user/ pengguna menara telekomunikasi secara bersama-sama dengan para user/pengguna yang lain.

3. Legalitas Transaksional.

Legalitas transaksional bermuatan tentang hubungan hukum pelaku bisnis dengan partner bisnisnya. Dalam konteks penyewaan menara telekomunikasi, wujud atau realisasi hubungan transaksional itu antar alain dalam bentuk perjanjian sewa menyewa tower. Substansi perjanjiannya, proses pembentukan perjanjian sewa menyewa tower, kapasitas para pihak dalam perjanjian sewa menyewa tower merupakan aspek yang mutlak wajib diperhatikan dalam kaitan dengan keabsahan kontrak yang terjadi. Oleh karena itu, PJPT perlu untuk menyiapkan, antara lain:

1) Kelengkapan data teknis tower seperti ketinggian, tipe, luas lahan, jumlah antena terpasang, dll.

Kelengkapan data baik teknis maupun administrasi merupakan kunci utama dalam keberhasilan usaha jasa penyewaan tower. Hal ini perlu disadari khususnya oleh operator telekomunikasi seluler yang banyak memiliki aset tower yang pada awalnya memang tidak dijadikan sebagai alat penghasilan dari sisi penyewaan tower. Para operator tersebut kebanyakan tidak memiliki kelengkapan data khususnya data teknis yang tentunya akan menyulitkan jika suatu waktu towernya akan disewakan ke operator lainnya.

2) Kelengkapan dan kejelasan data hukum dan administrasi site, seperti dokumen

kontrak dengan pemilik lahan atau pemilik gedung, PBB, SHM, tanggal mulai sewa oleh operator, dll. Dengan menimbnag bahwa tidak setiap menara telekomunikasi didirikan di atas tanah milik pelaku usaha pembangun menara telekomunikasi, maka kepastian hukum tentang status tanah temapt didirikannya menara merupakas aspek legal yang perlu dikemukakan secara terbuka agar calan user memahami posisi PJPT. 3) Kejelasan isi perjanjian sewa menyewa tower dengan pelanggan.

Kejelasan kontrak perjanjian penyewaan tower harus sudah sangat disadari oleh pihak Tower Leasing Provider bahwa salah satu kunci suksesnya usaha ini adalah kejelasan kontrak yang mengatur, antara lain:


(42)

33 a) obyek sewa,

b) harga sewa dan cara pembayarannya, c) asuransi,

d) hak dan kewajiban, e) jangka waktu kontrak f) pengakhiran kontrak

g) dispute settlement dan hal-hal lain yang sangat jelas pada akhirnya akan

berpengaruh pada pendapatan usahanya.

Kontrak yang jelas, baik, dan lengkap merupakan dasar dua belah pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian sewa menyewa sangat berguna untuk meminimalisir adanya dispute dalam menginterpretasi isi kontrak sehingga dengan kontrak yang baik dapat memberi kenyamanan dan keberlangsungan perjanjian diantara dua pihak yang telah bersepakat untuk mengadakan sewa menyewa tower.

C. Model Bisnis Menara Telekomunikasi

1. Pembangunan Menara Telekomunikasi oleh Operator

Pada masa-masa awal operator beroperasi, kebutuhan menara telekomunikasi dibangun sendiri oleh operator. Operator ponsel harus mengeluarkan dan untuk diinvestasikan ke dalam pembangunan BTS. Mulai dari pembebasan lahan untuk lokasi BTS, biaya perijinan, biaya konstruksi, dan biaya-biaya lain ditanggung oleh operator. Pada waktu itu, berdiri perusahaan yang memberikan jasa pengurusan BTS mulai dari penyiapan lahan sampai dengan pendirian menaranya, akan tetapi belum sampai kepada bentuk perusahaan yang menyewakan BTS. Pada perkembangannya, kemudian berkembang usaha penyewaan jasa tower atau Tower Leasing Provider.

2. Tower Leasing Provider atau Sewa Menyewa antara Perusahaan Penyedia Jasa Tower dengan Operator

Dana untuk pembangunan menara BTS termasuk cukup besar. Kebutuhan dana untuk pembangunan satu menara termasuk untuk investasi pembelian lahan berkisar antara Rp 700 juta hingga Rp 1 milyar, bahkan bisa mencapai Rp 1.5 milyar. Apabila satu


(43)

34

perusahaan operator memerlukan 1.000 menara BTS, maka perusahaan itu akan mengeluarkan dana investasi sekitar Rp 1 trilyun. Besaran biaya itu tergantung pada lokasi dan tingkat ketinggian menara tersebut. Uang sebesar atau lebih dari Rp 1 milyar itu untuk pembangunan menara BTS yang memiliki ketinggian antara 31-72 meter.

Nilai investasi yang cukup besar untuk satuan unit BTS membuka alternatif model bisnis BTS. Operator tidak harus menyediakan sendiri, membangun sendiri menara BTS. Ada peluang bagi perusahaan lain (non operator) untuk membangun menara BTS kemudian disewakan kepada perusahaan operator dalam konstruksi perjanjian sewa menyewa menara BTS, sehingga sewa menyewa menara BTS berkembang sebagai salah satu model bisnis. Harga sewa menyewa satu buah menara, pihak operator dikenakan biaya antara Rp 15 juta – Rp 20 juta per bulan. Harga sewa ini, merupakan biaya keseluruhan yang termasuk biaya sewa menara, biaya listrik, maintenance / perawatan, dan juga retribusi terhadap pemerintah. Bagi perusahaan jasa penyewaan tower (PJPT), tower merupakan aset dan alat produksi penghasilan usaha jasa penyewaan tower. Pada tataran sekarang ini, antara PJPT dengan operator berada dalam tahapan mencari bentuk terbaiknya dalam hal proses dan prosedur bisnis serta tatacara sewa menyewa tower antara operator telekomunikasi yang membutuhkan sarana infrastruktur berupa menara untuk penempatan antenanya.

Pada sisi PJPT, penyedia jasa pembangunan tower berhadapan dengan masalah lahan dan masalah akses kepada para operator ponsel. Padahal, dalam industri telekomunikasi seluler kecepatan penambahan jaringan merupakan faktor penentu keberhasilan dalam melayani kebutuhan pelanggan. PJPT dituntut untuk dapat memenuhi standar kebutuhan waktu para penyewa/operator telekomunikasi seluler. Selain itu, PJPT juga dituntut untuk memenuhi standar teknis yang dibutuhkan oleh pelanggannya. Perkembangan terkini, operator yang mengoperasikan BTS banyak juga yang menyewakan BTS-nya kepada operator lain. Apalagi setelah keluar PB-P3-MT.

Pada praktik pembangunan BTS terbuka peluang bagi pemilik lahan untuk melakukan kerjasama dengan PJPT. PJPT tidak harus membeli lahan untuk lokasi BTS, namun dapat menyewa tanah dari pemilik tanah. Apabila sewa lahan itu dilakukan maka terbuka peluang bisnis bagi perorangan atau badan usaha, termasuk desa yang memiliki


(1)

117

Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Problematika hukum timbul atas daya mengikat dari aturan tersebut terhadap pelaksanaan kebijakan zonasi di daerah apabila ditinjau dari hierarki peraturan perundang-undangan berdasar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena kedua peraturan menteri tersebut tidak terlebih dahulu diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi, sehingga keduanya tidak termasuk dalam tata urusan peraturan perundang-undangan.

VI.2. Rekomendasi

Dalam rangka pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi terintegrasi, diperlukan beberapa hal, antara lain:

a. Standarisasi teknis bangunan menara telekomunikasi di Indonesia serta standarisasi aspek legal dan administrasi pada usaha jasa penyewaan menara, baik antara operator telekomunikasi sebagai penyewa dengan Tower Leasing Provider (TLP), maupun antara TLP dengan pemilik lahan.

b. Daerah mengutamakan penggunakan instrument ZONASI dan Kebijakan pengggunaan menara telekomunikasi bersama dalam rangka pengendalian pertumbuhan menara telekomunikasi di wilayah daerah agar dapat selaras dengan peruntukan ruang daerah.

c. Mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Menara Telekomunikasi Bersama sebagai acuan yang dipatuhi bagi peraturan di bawahnya (Peraturan Daerah) sehingga acuan perda menjadi lebih jelas, dimana substansi dari peraturan ini mencakup standarisasi kebijakan zonasi dan pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama.


(2)

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, cetakan kedua, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2010

Black, Henry Champbell, Black’s Law Dictionary, west Publishing, 1990.

B.J.M ten Berge, Besturen door de overhead, W.E.J Tjeen Willink, Netherlands instituut voor Sociaal en Economic Recht NISER, 1996

Djatmiati, Tatiek S, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2004

---, Pelayanan Publik dan Tindak Pidana Korupsi, dalam buku Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta,Graha Ilmu

dan Universitas Pancasila Press, 2009

Friedman Wolfgang, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens, Sons, London, 1971

Hadjon, P. M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat,Peradaban, 2007

---et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press, 1993

---Kebutuhan Akan Hukum Administrasi dalam buku Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, 2010

Jan Gissels dan Mark Van Hoeke, Rechtswetwnschappen, 1982

Jimmly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Rajawali Pers, 2009

Lotulung, Paulus Effendie, Tata Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance) Dalam Korelasinya Dengan Hukum Administrasi, dalam Buku Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010

Martin Scheinin (n.d), Tanggung Jawab Negara, Good Governance dan HAM yang tidak dapat dibagi, dalam: Hak Asasi Manusia dan Good Governance: Membangun Suatu Keterikatan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2010

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Bandung, Alumni, 1983

H.O. Sano dan G. Alfredsson (ed.), Human Rights and Good Governance, the Netherlands: Kluwer Law International, 2002

Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., 2002,


(3)

Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, 2003

Jurnal/ international publication

Jean d'Arcy (1969). Direct Broadcast Satellites and the Right to Communicate. dalam: Right to Communicate: Collected Papers, ed. L. S. Harms, Jim Richstad, and Kathleen A. Kie (Honolulu: University of Hawaii Press, 1977)

R. Herlambang Perdana Wiratraman, Konstitusionalisme & Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia), Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005

William J. McIver, Jr. & William F. Birdsall, Technological Evolution and the Right to Communicate: The Implications for Electronic Democracy, Paper Presented at Euricom Colloquium: Electronic Networks & Democracy, 9-12 October 2002, Nijmegen, the Netherlands.

Instrumen Hukum Internasional

Vienna Declaration And Programme of Action, A/CONF.157/23, 12 July 1993

Global campaign for Free Expression, STATEMENT on the Right to Communicate, London, February 2003.

Maastricht Guidelines on Violation on Economic, Social and Cultural Rights, Human Rights Quarterly 20, 1998, h. 691-705, paragraph 6 dan 7.

Peraturan Perundang-Undangan

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833);

3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881)


(4)

5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247)

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4275);

8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038)

9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980);

12. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi

13. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika Dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 Tahun 2009, Nomor 19/PER/M.Kominfo/03/2009, Nomor 3/P/2009 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi;

14. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi;

15. Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 24 tahun 2012 tentang Penataan Dan Pengendalian Menara Telekomunikasi Bersama;

16. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembangunan dan Penataan menara Telekomunikasi Bersama;

17. Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi;

18. Peraturan Bupati Ngawi Nomor 11 Tahun 2010 Penataan, Pembangunan dan Pengoperasian Menara telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Ngawi;


(5)

19. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi.


(6)