20
Walaupun UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 telah secara eksplisit menyebutkan mengenai jaminan terhadap hak untuk berkomunikasi, dapat dilihat bahwa
pengaturan mengenai hak untuk berkomunikasi yang ada di dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 hampir sama dengan pengaturan mengenai hak atas
kebebasan berekspresi yang ada di Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR. Namun UUD NRI Tahun 1945 atau UU No. 39 Tahun 1999 tidak memberikan definisi atau
konsep ataupun batasan dari hak untuk berkomunikasi sebagai hak yang berdiri
sendiri. Pada tahun 2005, Indonesia telah meratiifkasi ICCPR dan juga ICESCR melalui UU
No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Dengan diratifikasinya kedua instrumen hukum internasional dalam
bidang HAM tersebut maka Indonesia terikat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai Negara pihak sebagaimana diamanatkan oleh kedua instrumen hukum tersebut.
C. Konsepsi Pertanggungjawaban Negara Dalam Hak Untuk Berkomunikasi menurut
Instrumen Hukum Internasional dan Nasional
Konferensi HAM sedunia di Wina yang diselenggarakan pada tahun 1993, menegaskan kesatuan kerangka normatif HAM, yaitu:
‘All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated. The international community must treat human rights globally in a fair and equal
manner, on the same footing, and with the same emphasis. While the significance of national and regional particularities and various historical, cultural and religious
backgrounds must be borne in mind, it is the duty of States, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights
and fundamental freedoms.’
15
‘Democracy, development and respect for human rights and fundamental freedoms are interdependent and mutually reinforcing. Democracy is based on the freely
expressed will of the people to determine their own political, economic, social and cultural systems and their full participation in all aspects of their lives. In the context
of the above, the promotion and protection of human rights and fundamental
15
Paragraf 5 dalam Bagian I Vienna Declaration And Programme of Action, ACONF.15723, 12 July 1993
21
freedoms at the national and international levels should be universal and conducted without conditions attached. The international community should support the
strengthening and promoting of democracy, development and respect for human rights and fundamental freedoms in the entire world.’
16
Salah satu prinsip hak asasi manusia adalah responsibilitas atau pertanggungjawaban responsibility. Prinsip pertanggungjawaban dalam hak asasi manusia ini menuntut
diperlukannya pengambilan langkah-langkah atau tindakan-tindakan tertentu dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Di dalam prinsip
pertanggungjawaban hak asasi manusia ini juga ditegaskan mengenai kewajiban-kewajiban Dari pernyataan di Paragraf 5 Bagian I Vienna Declaration and Programme Of
Action tersebut dapat diketahui bahwa semua hak asasi manusia adalah universal, tidak dapat dibagi saling bergantung dan berkait. Masyarakat internasional secara umum harus
memperlakukan hak asasi manusia di seluruh dunia secara adil dan seimbang, dengan menggunakan dasar dan penekanan yang sama. Sementara kekhususan nasional dan
regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah suatu yang penting dan harus terus menjadi pertimbangan, adalah tugas negara-negara, apapun sistem
politik, ekonomi dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua hak asasi manusia dan kebebasan asasi.
Sedangkan menurut Paragraf 8 Bagian I Vienna Declaration and Programme of Action dinyatakan bahwa demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi
manusia diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan dan kebebasan asasi saling bergantung dan saling memperkuat. Demokrasi didasari oleh tekad suatu bangsa yang
diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri serta partisipasi penuh mereka dalam segala aspek kehidupan mereka.
Dalam konteks tersebut di atas, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi pada tingkat nasional maupun internasional harus bersifat universal dan
dilakukan tanpa terkait dengan syarat-syarat. Masyarakat internasional harus mendukung penguatan dan pemajuan demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan asasi di seluruh dunia.
16
Paragraf 8 dalam Bagian I Vienna Declaration And Programme of Action, ACONF.15723, 12 July 1993
22
paling minimum dalam rangka pemajuan hak asasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada secara maksimal.
17
Di dalam prinsip pertanggungjawaban, peran negara menjadi besar karena negara merupakan bagian dari organ kekuasaan politik yang mempunyai kewajiban untuk
melindungi warga negaranya. Prinsip pertanggungjawaban ini termasuk di dalamnya adalah mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang
diambil sebagai kebijakan tertentu dan mempunyai dampak atau pengaruh terhadap kelangsungan hak-hak rakyat. Peran negara sangat vital bukan hanya ketika negara
mengambil tindakan tertentu by commission, tetapi Negara juga bisa dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia, namun negara tidak
mengambil tindakan apapun by omission. Walaupun di dalam prinsip responsibility ini ditekankan mengenai peran negara, tidak berarti bahwa aktor nonnegara tidak mempunyai
peran dalam pemajuan hak asasi manusia. Baik individual maupun kolektiva sosial dalam organisasi kemasyarakatan juga mempunyai tanggung jawab dalam pemajuan hak asasi
manusia.
18
Kewajiban negara dalam hak asasi manusia tidak hanya berupa kewajiban negatif saja dimana negara hanya wajib untuk menghormati kebebasan individu. Tetapi juga
berupa kewajiban positif untuk menjamin hak yang sama dapat dinikmati secara efektif dalam praktiknya, contohnya adalah di bidang perundang-undangan atau alokasi-alokasi
sumber-sumber anggaran belanja.
19
17
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Konstitusionalisme Hak-Hak Asasi Manusia Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, h. 32-50.
18
Ibid.
19
Martin Scheinin n.d, Tanggung Jawabb Negara, Good Governance dan HAM yang tidak dapat dibagi, dalam: Hak Asasi Manusia dan Good Governance: Membangun Suatu Keterikatan, Alih Bahasa: Rini Adriati, Editor:
Suprijanto, h. 29-43. Penerbitan asli: H.O. Sano dan G. Alfredsson ed., Human Rights and Good Governance, the Netherlands: Kluwer Law International, 2002, h. 29-43.
Di sisi lain, HAM juga tidak hanya mengenai tindakan apa saja yang tidak boleh atau wajib dilakukan oleh Negara, tetapi juga mengenai kondisi
sosial yang harus ada melalui berbagai cara yang dapat dipilih yang mungkin tersedia tetapi tidak dianggap sebagai kewajiban Negara. Seringkali berlaku kewajiban yang
23
dikategorikan sebagai tiga langkah palalel, yaitu: kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM.
20
R. Herlambang Perdana Wiratraman menyebut konsepsi dalam Pasal 28I ayat 4 sebagai konsep realisasi progresif progressive realization. Dalam konsepsi Pasal 28I ayat
4 tersebut secara substansi menegaskan bahwa Negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju tiada kesengajaan atau kelalaian untuk mundur,
dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan Pasal 28I ayat 5, disebut sebagai konsepsi pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, Negara dalam
menjalankan kewajibannya, ia bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat,
Pasal 19 ICCPR tidak hanya melarang Negara untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam penikmatan hak yang dimaksud, namun hukum internasional juga
mengharuskan Negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin kebebasan berekspresi bisa dinikmati oleh warga negaranya. Termasuk
langkah-langkah dalam bidang legislasi atau regulasi, serta langkah-langkah positif yang praktis, misalnya melalui pendirian pusat komunikasi publik. Dari hal tersebut dapat
diketahui bahwa kewajiban Negara dalam hak untuk berkomunikasi tidak hanya sekedar kewajiban negatif saja, namun juga termasuk melakukan kewajiban positif nya.
Di dalam UUD NRI Tahun 1945, terdapat pengaturan mengenai tanggung jawab negara yang ada di dalam Pasal 28I ayat 4 dan 5. Pasal 28I ayat 4 UUD NRI Tahun
1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Hal yang sama ditegaskan
kembali dalam Pasal 8 UU no. 39 Tahun 1999 bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Sedangkan Pasal 28I 5 UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
20
Lihat Maastricht Guidelines on Violation on Economic, Social and Cultural Rights, Human Rights Quarterly 20, 1998, h. 691-705, paragraph 6 dan 7.
24
baik dalam sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi.
21
Konsep tanggung jawab yang di atur UUD NRI Tahun 1945 juga mengenal apa yang disebut sebagai kewajiban asasi human obligations.
Di dalam Pasal 19 ayat 3 ICCPR dinyatakan bahwa: ‘The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it
special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:
a For respect of the rights or reputations of others; b For the protection of national security or of public order ordre public, or of public
health or moral’
Dari Pasal 19 ayat 3 ICCPR dapat diketahui bahwa kebebasan untuk berekspresi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai
pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:
a Menghormati hak atau nama baik orang lain; b Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral
umum.
22
1 Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konsep ini terdapat dalam
Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945. Pasal 28J
2 Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
21
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Loc. Cit.
22
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Loc.Cit.
25
Pasal 32 UU no. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi sarana elektronika tidak boleh
diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
Dari ketentuan di ICCPR, UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa terhadap penikmatan hak untuk berkomunikasi bisa dilakukan
pembatasan. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa pembatasan tersebut harus ditetapkan melaui hukum yang sah atau dengan undang-undang dan sepanjang diperlukan
untuk menghormati hak atau nama baik orang lain atau melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Non-diskriminasi, seperti halnya pertanggungjawaban, juga merupakan salah satu prinsip HAM. Prinsip non-diskriminasi menjelaskan bahwa tidak ada perlakuan yang
membedakan, baik berdasarkan kelas bangsa tertentu, agama, suku, adat, keyakinan, jenis, kelamin, warna kulit, dan sebagainya; dalam rangka penghormatan, perlindungan adan
pemenuhan hak asasi seseorang. Prinsip non-diskriminasi ini adalah bagian dari prinsip persamaan equality dalam HAM. Martin Scheinin menyatakan bahwa:
‘Larangan dan perlindungan terhadap diskriminasi merupakan unsur mendasar pedoman normatif HAM. Unsur mendasar ini sudah terbukti jelas dapat digunakan
sebagai titik awal HAM, yaitu: kesetaraan martabat atas semua manusia, terlepas dari misalnya: jenis kelamin, asal usul etnis atau status sosial. Akibatnya, hampir semua
perjanjian-perjanjian HAM menyertakan ketentuan atau paling tidak acuan tentang hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif.’
23
Scheinin menambahkan bahwa Pasal 26 ICCPR menempatkan klausul non- diskriminasi sebagai unsur konstitutif gagasan penting tentang HAM. Sebagai ketentuan
tersendiri, perlindungan yang diberikan oleh Pasal 26 tidak terbatas pada seputar hak sipil dan politik saja tetapi meliputi seluruh kegiatan yang menjadi Negara pihak, contohnya:
apabila terjadi diskriminasi apa saja pada hak sosial dan ekonomi.
24
Pasal 28I 2 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
23
Martin Scheinin, Loc.Cit.
24
Ibid.
26
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Hal yang sama diatur di dalam Pasal 3 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999 yang mengatur bahwa setiap
orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Tidak jauh beda dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999,
UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, di dalam Pasal 14 nya menetapkan bahwa setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Lebih lanjut, UU No. 36 tahun 1999 menjamin dalam Pasal 17
bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan salah satu prinsipnya adalah
perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam melakukan kewajibannya dalam
hak untuk berkomunikasi, Negara khususnya pemerintah harus memperhatikan prinsip non-diskriminasi dalam HAM.
V.2. Urgensi Pengaturan Menara Telekomunikasi dalam perspektif Hukum Bisnis
Perkembangan telekomunikasi di Indonesia didorong oleh kemajuan telepon genggam sebagai terjemahan dari istilah handphone atau dikenal juga dengan sebutan telepon
seluler ponsel. Sekarang ini, ponsel dan alat telekomunikasi bergerak lainnya, bukan lagi merupakan barang langka karena jumlah penduduk Indonesia yang menggunakannya
ternyata cukup besar. Hal itu berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1990-an. Menara telekomunikasi merupakan pendukung utama pengoperasioan ponsel dan sistem
telekominikasi bergerak lainnya, karena menara telekomunikasi akan berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan antena sebagai transceiver dalam system komunikasi seluler.
Pengguna ponsel di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Saat ini diperkirakan 50 penduduk Indonesia sekitar 110 juta menggunakan ponsel, sehingga menyebabkan
kebutuhan jaringan telekomunikasi yang handal makin tinggi. Operator berusaha menjangkau pelanggannya dengan pelayanan yang semakin baik sesuai dengan perkembangan teknologi
di bidang komunikasi, sehingga masing-masing operator berlomba-lomba untuk membangun
27
menara BTS base transceiver station. Dari wilayah perkotaan sampai di desa-desa ditemui BTS. Pembangunan BTS memiliki karekteristika mengikuti area atau wilayah pelanggannya,
sehingga di tempat yang banyak pelanggan dibutuhkan BTS yang memadai. Karakteristik demikian itu menyebabkan hutan menara telekomunikasi di tempat yang padat penduduk –
pengguna ponsel. Di sekitar kita, saat ini, sering dijumpai menara telekomunikasi yang sering dikenal
dengan sebutan “tower” BTS berjajar, menjulang ke langit. Dalam praktik, banyak dijumpai “hutan menara BTS” di sebuah kawasan, sehingga dari segi estetika kawasan, baik di
perkotaan maupun di lokasi lain, kondisi demikian menganggu pemandangan atau keindahan sebuah kawasan, oleh karena itu perlu dikendalikan dalam arti dilakukan pengaturan dan
penataan. Dalam kerangka pengaturan dan penataan, maka akan muncul permasalahan institusi atau instansi apa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan dan
penataan, substansi apa yang akan diatur dan ditata, bagaimana jika terjadi konflik pengaturan dan penataan antara satu instansi dengan instansi lain atau daerah satu dengan
daerah lain, atau antara daerah dengan pusat. Problematika itu bukan ranah persoalan yang akan didekati dari perspektif hukum bisnis. Hukum bisnis menyoal, mengkaji antara lain
bagaimana agar pengaturan dan penataan BTS tidak merugikan, menghambat, operasional bisnis para pelaku usaha yang terkait dengan BTS.
Dari segi fungsional, dan secara teknikal, keberadaan BTS sangat berpengaruh terhadap pelayanan telekomunikasi bagi pelanggan operator telepon seluler dan merupakan
suatu kebutuhan mendasar bagi pelaku usaha operator seluler. Pada perkembangannya, saat ini operator ponsel banyak yang tidak lagi membangun
sendiri menara BTS untuk memenuhi kebutuhan jaringan selularnya. Para operator ponsel lebih memilih untuk menggunakan jasa pihak lain yang menyewakan BTS. Ini merupakan
peluang bisnis bagi pelaku usaha yang ingin berusaha di sektor telekomunikasi. Ada perusahaan yang bergerak di bidang usaha menyewakan BTS, termasuk yang menawarkan
model usaha penyewaan Tower BTS atau yang dikenal dengan Tower Leasing Provider TLP.
BTS memiliki beberapa aspek yang melekat, seperti regulasi, pelayanan telekomunikasi, dan aspek bisnis. Aspek regulasi membahas tentang pengaturan menara
28
telekomunikasi dari segi, tata letaklokasi BTS, ijin mendirikan BTS, dan sebagainya. Aspek pelayanan membahas tentang fungsi teknis BTS sebagai pendukung utama penyelenggaraan
layanan telekomunikasi seluler. Aspek bisnis membahas tentang nilai ekonomis BTS sebagai obyek bisnis. Dalam paper ini, lingkup materi yang dipaparkan meliputi: legalitas bisnis,
model bisnis menara telekomunikasi, pengaturan bidang usaha menara telekomunikasi, proyeksi pengaturan bisnis menara telekomunikasi.
A. Menara Telekomunikasi