51
Telekomunikasi diberi peran strategis untuk semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, semakin menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
NKRI. Pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam kerangka NKRI dengan demikian juga memiliki peran vital untuk mengimplementasikan
peran strategis telekomunikasi. Dalam konteks pengaturan terhadap menara telekomunikasi oleh
pemerintah, bentuk hukum yang digunakan adalah Peraturan daerah. Dalam perspektif Provinsi Jawa Timur, pengaturan terhadap menara telekomunikasi
oleh Pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur harusnya mewujud dalam bentuk harmonisasi peraturan daerah, antara daerah kabupatenkota yang satu dengan
yang lain. Peraturan daerah yang akan ditetapkan haruslah berdasarkan pada asas
manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 UU
Telekomunikasi. Penetapan kebijakan pengaturan, pengawasan dan
pengendalian di bidang telekomunikasi tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 3 UU Telekomunikasi haruslah dilakukan secara menyeluruh dan
terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
33
Menara telekomunikasi, secara fisik dan teknikal, berkaitan dengan persoalan konstruksi, oleh karena itu pembangunan menara telekomunikasi
tidak terlepas dari jangkauan keberlakuan UU Jasa Konstruksi. Dalam UU Jasa Konstruksi terdapat pengaturan kewenangan daerah, sehingga UU Jasa
Konstruksi berposisi sebagai rujukan atau landasan hukum ketika pemerintah selanjutnya disebut sebagai UU Jasa Konstruksi
33
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833.
52
daerah menggali sumber kewenangan untuk mengatur Base Transeiver Station selanjutnya disebut sebagai BTS.
Terkait dengan konstruksi menara telekomunikasi, berdasarkan Pasal 35 ayat 6 UU Jasa Konstruksi bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk
melakukan sebagaian tugas pembinaan jasa konstruksi yang dilimpahkan kepada Pemerintah daerah. Pelimpahan itu diatur dalam bentuk hukum
Peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah No 59 Tahun 2010. Pembinaan yang dimaksud meliputi pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan. Sehingga dalam menetapkan
kebijakan dalam penataan pertumbuhan menara telekomunikasi pemerintah daerah berwenang untuk mengatur pertumbuhan menara agar dapat selaras
dengan pembangunan daerah, tata ruang daerah dan keindahan wilayah estetika kabupatenkota. Di dalam pengaturannya harus dipertimbangkan
kepentingan berimbang antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk melakukan
pengawasan secara rutin terkait dengan kualitas bangunankonstruksi menara telekomunikasi.
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
34
UU Bangunan Gedung memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah, khususnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 6, 7, 8, 9,
10, 33, 35, 39, 40, dan 48. Ketentuan dalam pasal-pasal ini terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenKota, Izin Mendirikan Bangunan,
Penetapan, Persetujuan Pemerintah KabupatenKota terhadap tindakan tertentu terkait dengan bangunan, persyaratan administratif dan lain-lain serta elemen
selanjutnya disebut sebagai UU Bangunan Gedung
34
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247.
53
pembinaan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah KabupatenKota untuk mengatur bangunan termasuk BTS.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pengertian bangunan gedung dalam Undang-Undang ini adalah
bangunan berupa gedung dan bangunan non gedung, dimana menara telekomunikasi merupakan salah satu bentuk dari bangunan non gedung.
Berdasarkan Undang-Undang Bangunan Gedung setiap bangunan baik gedung maupun non gedung harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan
administratif. Salah satu sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam memeriksa bangunan tersebut telah memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis melalui Izin Mendirikan Bangunan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah
kabupatenkota untuk memberikan IMB yang pembentukannya diatur dengan Peraturan Daerah.
Keberadaan menara telekomunikasi yang termasuk dalam kategori bangunan non-gedung haruslah sesuai dengan peruntukan lokasi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenKota. Ketentuan tegas ini dituangkan dalam pasal 6 ayat 1 UU
Bangunan Gedung. Pendirian menara telekomunikasi haruslah didasarkan pada Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi IMB Menara.
Selanjutnya merujuk pada ayat 93 pasal ini, setiap perubahan fungsi dari menara telekomunikasi haruslah mendapatkan persetujuan dan penetapan
kembali oleh pemerintah daerah. Setiap IMB Menara yang diterbitkan haruslah telah melalui pengkajian teknis, dan memenuhi syarat adminstratif, teknis yang
telah ditetapkan. Namun, mengingat karateristik menara telekomunikasi, terdapat
permasalahan mendasar apabila ke depan pengaturan menara telekomunikasi tetap hanya merujuk pada UU Bangunan Gedung an sich. Karateristik menara
telekomunikasi sangatlah spesifik, walaupun dikategorikan sebagai bangunan non-gedung, terdapat permasalahan apabila menara telekomunikasi tersebut
54
berdiri diatas masjid atau gereja yang hanya berfungsi sebagai antenna penerima sinyal. Permasalahan juga timbul apabila menyangkut IMB Izin
Membangun Bangunan dan IMB Menara, terkait dengan retribusi dan persyaratan teknis administratif lainnya serta terkait dengan mekanisme
pembongkaran mengingat pembongkaran menara telekomunikasi tidaklah sama dengan pembongkaran bangunan lainnya karena biaya yang mahal dan
kompleksitas pekerjaan. Mendatang perlu difikirkan oleh pemerintah untuk mengatur bangunan Menara Telekomunikasi dalam satu regulasi
tersendiri.
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang selanjutnya