Hasil Penelitian Terdahulu Model pengembangan kemitraan usaha perikanan tangkap dengan lembaga keuangan di pesisir utara Propinsi Jawa Barat

27 mengakomodir 160 kabupatenkota. Adapun pagu untuk Dana Ekonomi Produktif DEP yang digunakan sebagai penguatan modal sebesar Rp 98.347.592,000 yang dikelola melalui LKM Swamitra Mina, BPR-Pesisir, dan USP. Adapun jumlah LKM Swamitra Mina yang ada saat ini sebanyak 139 buah yang kesemuanya adalah Koperasi LEPP-M3Koperasi Perikanan yang telah berbadan hukum. Dengan status berbadan hukum, maka telah memenuhi persyaratan perundang-undangan yang mensyaratkan bahwa untuk menyerap dana masyarakat dan memberikan pinjaman kepada masyarakat hanyalah lembaga perbankan dan koperasi yang berbadan hukum. Kerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah BPD di seluruh Indonesia yang dilakukan sejak tahun 2001, yaitu melalui penyaluran kredit Ketahanan pangan KKP sektor kelautan dan perikanan senilai Rp. 44,529 milyar. Kredit ini merupakan kredit komersial biasa, hanya saja nelayan mendapat subsidi bunga dari pemerintah sebesar 4 - 4,5 per tahun. Kredit tersebut dialokasikan bagi usaha mikro dan kecil untuk nelayan penangkap, pembudidaya, pengolah tradisional dan pemasar hasil produksi perikanan.

2.5 Hasil Penelitian Terdahulu

Usaha perikanan tangkap di pesisir Propinsi Jawa Barat khususnya pesisir utara belum mendapat dukungan penuh dari lembaga keuangan meskipun aktivitas usaha perikanan tangkap di lokasi sangat padat. Pengelolaan usaha yang masih tradisional termasuk dalam hal evaluasi finansial, ketergantungan pada musim oleh nelayan kecil kebanyakan, serta kebijakan pengelolaan pesisir dan usaha perikanan tangkap yang tidak kuat akibatnya banyak kepentingannya menjadi penghambat berkembangnya usaha ini. Hasil penelitian Setiawan 2007 menyatakan kebijakan usaha perikanan tangkap yang dapat menjadi penghambat dapat berupa kebijakan publik public policy yang mengatur pengelolaan kawasan namun kurang terintegrasi dengan pemangku kepentingan stakeholders perikanan, kebijakan tentang potensi dan kondisi sumberdaya yang cenderung sentralistis dan terkadang kurang didukung dengan data yang akurat tentang 28 lokasi, dan peraturan atau turunan kebijakan publik dalam bentuk program yang secara konseptual bagus namun implementasinya belum menunjukkan hasil nyata. Di sisi lain lemahnya dukungan lembaga keuangan terhadap usaha perikanan tangkap dapat dipahami karena lembaga keuangan merupakan usaha profit yang butuh kepastian dan jaminan termasuk dalam penggunaan dana yang diberikan. Menurut Setiawan 2007 ada enam hal yang perlu diperjelas dan didukung oleh kebijakan untuk membantu pembiayaan dan pengembangan usaha perikanan tangkap di pesisir utara Propinsi Jawa Barat, yaitu pengalihan status mata pencaharian utama menjadi mata pencaharian alternatif pada lokasi yang overfishing nelayan tidak bergantung pada satu usaha, pengembangan teknologi penangkapan yang tepat guna dan berbasis SDM nelayan lebih kreatif, pengembangan nelayan kecil menjadi nelayan besar yang lebih stabil usahanya, memperjelas pemasaran hasil produk perikanan kestabilan harga dan kontinyuitas pasar, pengembangan sarana dan prasarana pendukung peningkatan kinerja perikanan tangkap, dan patroli pengelolaan yang menjamin kelestarian sumberdaya dari illegal fishing dan illegal fisher jaminan kelangsungan usaha penangkapan. Berbeda dengan di pesisir utara, usaha perikanan tangkap di pesisir selatan Jawa Barat lebih didukung oleh operasi kapal-kapal besar yang menjangkau lautan luas. Hal ini lebih menjanjikan bagi pengembangan usaha perikanan tangkap dan ketertarikan lembaga keuangan untuk membantu pembiayaan usaha. Menurut Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat 2003 bahwa produksi perikanan tangkap tahunan di pantai selatan untuk hasil tangkapan utama tuna, cakalang, layang, selar selalu mengalami peningkatan rata-rata 6,59 – 16,40 . Menurut Sutisna 2007, usaha perikanan tangkap di pantai selatan memiliki prospek yang lebih baik karena aktivitas penangkapan lebih sedikit dan potensi SDI masih under fishing, sedangkan di pantai utara Propinsi Jawa Barat aktivitas penangkapan sangat padat dan potensi SDI sudah over fishing. Kekurangan pengembangan usaha perikanan tangkap di pantai selatan dibandingkan pantai utara adalah sarana dan prasarana dasar pendukung penangkapan lebih sedikit dan jaringan pemasaran lebih sulit. Usaha perikanan tangkap di laut selatan Propinsi Jawa Barat lebih dapat dikembangkan untuk ikan 29 konsumsi dan ikan hias karena potensinya lebih banyak, konflik pengelolaan lebih sedikit, dan sebaran nelayan kecil lebih sedikit. Kondisi ini tentu lebih menjanjikan bagi lembaga keuangan dalam memberikan bantuan pembiayaan kepada nelayan lokasi ini daripada di laut utara. Menurut Kimker 1994, usaha perikanan untuk ikan potensial seperti tuna, cakalang, dan tenggiri dapat berkembang dengan baik dan pembiayaannya dapat bermanfaat secara maksimal bila didukung oleh partisipasi kolektif, kemitraan, dan kemandirian bersama pelaku usaha perikanan tersebut terutama kalangan nelayan, lembaga keuangan, dan pemerintah. Hasil penelitian Setiawan 2007 menyatakan bahwa partisipasi dapat ditunjukkan dalam bentuk : 1 pengelolaan suatu program dilakukan dengan melibatkan kelompok nelayan, koperasilembaga keuangan sebagai pelaku utama, dan Dinas Kelautan dan Perikanan atau dinas terkait sebagai pembinan dan fasilitator; 2 mengutamakan sikap saling menguntungkan dalam bermitra pada kegiatan ekonomi produktif; 3 berorientasi bisnis dengan mengedepankan sikap antipatif, kematangan, dan bertanggung jawab; 4 dikelola secara transparan dan accountable. Untuk meyakinkan lembaga keuangan atau pemberi modal dalam mendukung usaha perikanan tangkap khususnya usaha ikan demersal, Imron 2008 menyatakan ada dua strategi yang dapat diterapkan, yaitu 1 meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana produksi sehingga jangkauan daerah penangkapan lebih luas, dan 2 mengoptimalkan fungsi pelabuhan perikanan yang ada. Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana produksi penting untuk menjaga kontinyuitas hasil tangkapan baik pada musim puncak maupun musim paceklik sehingga kewajiban kredit selalu dapat dipenuhi. Optimalisasi fungsi pelabuhan perikanan penting untuk menjaga kestabilan pemasaran dan harga jual. Hasil penelitian Setiawan 2007, usaha perikanan tangkap skala kecil sangat rentan terhadap harga jual ikan dan pola musim di perairan utara Jawa. Musim puncak di perairan utara Jawa terjadi antara pertengahan Maret sampai pertengahan Juni. Pada musim puncak ini, banyak dijumpai berjenis ikan dan udang di lokasi yang dangkal. Permasalahan yang cukup sulit untuk pengembangan usaha perikanan tangkap di pesisir utara propinsi Jawa Barat adalah wilayah perairan yang sudah 30 over fishing . Hasil penelitian Imron 2003 menunjukkan nelayan dari Indramayu dan Cirebon banyak menangkap ikan di luar perairannya, seperti di perairan Karimun Jawa, perairan Matasiri dan Masalembo, dan sampai ke perairan Kalimantan dan laut Cina Selatan. Hasil tangkap di wilayah perairan sendiri hanya tidak lebih dari 50 . Untuk usaha perikanan tangkap skala kecil, hal ini tentu menjadi faktor lemah untuk mendapat dukungan pemodalan dari lembaga keuangan, terutama karena wilayah perairan yang bisa dijangkau sangat terbatas, sehingga kontinyuitas hasil tangkapan tidak ada. Di samping faktor skala, jenis alat tangkap juga mempengaruhi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Hasil penelitian Imron 2008 menunjukkan bahwa alat tangkap arad tidak bagus dikembangkan karena tidak memberikan keuntungan finansial baik dari segi NPV, IRR, maupun Net BC ratio. Hasil penelitian Bintoro 1995 terkait kebijakan perikanan tangkap menunjukkan bahwa keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan perlu didukung oleh upaya terpadu berupa kegiatan pemanfaatan, pengawasan dari kerusakan, dan restocking period. Bila hal ini dilakukan, maka akan memberikan jaminan terhadap kelayakan dan keberlanjutan usaha perikanan tangkap yang banyak dilakukan oleh nelayan secara tradisional. Jaminan tersebut secara luas akan terlihat pada sumberdaya ikan potensial yang selalu ada, upaya pemanfaatan yang berlangsung terus, kesejahteraan dan kebutuhan hidup yang tercukupi bagi kehidupan sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang. Hasil penelitian Suman et al. 1993 dan Nurani 2008 menyatakan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap untuk pesisir selatan Jawa termasuk Jawa Barat dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengembangkan berbagai aktivitas bisnis pada usaha skala kecil atau skala menengah bidang perikanan tangkap. Pengembangan tersebut sebaiknya difokuskan pada komoditas unggulan daerah, pengembangan pelabuhan perikanan terutama yang berstatus PPPPPI dalam bentuk penambahan fasilitas, pembinaan SDM, perbaikan pelayanan, peningkatan peran dari kebijakan dan kelembagaan di tingkat kabupaten. Pengembangan ini dapat djadikan acuan untuk pengembangan usaha perikanan tangkap di pesisir utara Propinsi Jawa Barat, dimana 31 pengembangan SDM dapat dijadikan prioritas. Hal ini sangat dibutuhkan untuk pengembangan kemitraan dengan lembaga keuangan.

2.6 Kemitraan Usaha