Tinjauan Pustaka Kemajemukan Hukum Dalam Pengoperasian Angkutan Kota (Studi Deskriptif Tentang Pengoperasian Angkot Di Medan)

27 ditetapkan oleh Negara karena pengemudi angkot tersebut juga harus memberikan retribusi organisasinya. Setiap angkutan kota memiliki organisasi yang berbeda-beda dan mempunyai aturan sendiri dan aturan tersebut diberlakukan kepada supir angkot, pemilik angkot dan pihak lainnya. Aturan yang ada merupakan kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota. Secara umum kemajemukan hukum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota tersebut terkait dengan adanya interaksi antara aturan lapangan, aturan bersama dan aturan Negara dalam pengoperasian angkot. Hal-hal tersebutlah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengetahui lebih dalam mengenai aturan atau hukum yang berhubungan dengan pengoperasian angkutan kota yang ditetapkan oleh Negara dan hukum di luar hukum formal pengoperasian angkutan kota serta perilaku pihak-pihak terkait terhadap aturan-aturan tersebut.

1.2 Tinjauan Pustaka

Kemajemukan hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi di mana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Kemajemukan hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat. Lebih lanjut menurut Griffith 1986:12, dalam kenyataan sehari-hari dimana sistem hukum bekerja dalam arena sosial, terjadi interaksi yang tidak dapat dihindarkan antara hukum negara dengan berbagai hukum lainnya meskipun situasi 28 kemajemukan hukum secara potensial memang merupakan situasi konflik antara sistem-sistem hukum yang saling berbeda, baik bentuk, struktur, isi, fungsi politik dan efektivitasnya, namun tidak berarti harus selalu memunculkan konflik, karena ada juga terjadi saling mempengaruhi dan adaptasi Griffith,1986 Dalam konteks ini, Griffiths 1986:12 menegaskan: The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state Secara jelas ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, dan bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara state law. Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Hal ini dapat dikaitkan dengan apa yang dimaksud oleh Sally F. More 1993:148 sebagai konsep Semi Autonomous Sosial Field yang masuk dalam kategori kemajemukan hukum yang kuat mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial Sosial field dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri self-regulation. Sally F. More juga menggambarkan bahwa di dalam suatu bidang sosial terdapat sejumlah aturan baik aturan yang dihasilkan dari dalam sosial itu sendiri maupun aturan-aturan yang berasal dari luar bidang sosial itu 29 misalnya hukum negara. Aturan-aturan itu seluruhnya bekerja sebagai self- regulation di dalam bidang sosial itu. Sally F. More 1993:154 dalam penelitiannya tentang Kewajiban Antar- sesama Secara Hukum dan Non-Hukum, dalam Bidang Industri Pakaian Gaun- Mahal menuliskan: Beberapa aturan tentang hak dan kewajiban yang menguasainya berasal dari lingkungannya yaitu dari pemerintah, pasar, hubungan-hubungan di antara warga berbagai kelompok etnik yang bekerja pada industri gaun itu, dan sebagainya. Tetapi banyak aturan lain yang dihasilkan di dalam bidang kegiatan itu sendiri. Beberapa dari aturan ini dihasilkan melalui tindakan legislative semu yang eksplisit dari badan-badan korporasi yang terorganisasi serikat, perkumpulan dan yang mengatur beberapa aspek dari industri. Akan tetapi, Seperti telah digambarkan di muka, terbentuk melalui interaksi antara para kontraktor, pedagang ecera, dan pekerja ahli, di dalam proses melakukan kegiatan bisnis satu sama lain. Aturan-aturan tersebut merupakan hasil hubungan timbal-balik dan pertukaran dari kelompok-kelompok yang saling tergantung satu sama lain. Demikian pula halnya dengan kemampuan untuk mengerahkan serikat pekerja atau perkumpulan para pemborong dan kontraktor merupakan imbangan yang penting di dalam negosiasi bisnis yang dilakukan dalam industri pakaian gaun. Melalui penelitian Sally F. More yang mengatakan bahwa ada pihak atau aktor yang terkait dalam pengelolahan bisnis pakaian gaun-mahal di New York tersebut, maka penulis juga melihat adanya aktor-aktor yang terlibat dalam pengoperasian angkot di Medan. Aktor-aktor yang terkait dalam pengoperasian angkot yaitu: adanya pemilik angkutan kota, pihak koperasi angkot, supir, polisi dan Dishub, mandor, preman setempat, serta masyarakat. Pemilik angkutan kota mempunyai wewenang untuk menentukan siapa supir angkotnya, berhak menerima setoran dari supirnya, serta wajib mendatangi koperasi sebelum 30 menjalankan usaha angkutan kotanya. Pemilik angkutan kota KPUM serta supirnya terikat dengan koperasi karena merupakan usaha yang masuk dalam izin usaha koperasi angkutan, pihak koperasi berwewenang dalam organisasi yang mereka buat, mandor wajib menerima iuran dari supir angkot dan setiap hari dilaporkan ke kantor KPUM, preman setempat biasanya melakukan kutipan- kutipan liar terhadap supir angkot, dan supir angkot hanya menjalankan tugasnya serta memikirkan setoranya, selain itu dengan terpaksa mematuhi aturan main yang dibuat oleh pihak tertentu. Polisi dan Dishub dalam hal ini mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan hukum Negara, dan sampai sekarang pihak polisi ataupun Dishub belum bisa mengatasi aturan main yang dibuat oleh preman setempat. Pemilik angkutan kota, supir angkot, dan mandor di lapangan menginginkan usulan trayek melalui rute-rute gemuk penumpang tidak perduli beban lalu lintas jalan dan trayek yang sudah ada dan jumlah armada usulan yang banyak. Di pihak koperasi menginginkan jumlah kendaraan yang banyak dan jumlah trayek yang banyak, dan pihak Pemkolah seharusnya yang lebih berperan mengkondisikan semua kepentingan pihak-pihak terkait tersebut. Dengan demikian, diperlukan sistem kerja yang terorganisir secara terpadu, koordinasi yang benar-benar terintegrasi antar instansi dan organisasikoperasi Harian SIB, 15012005 hal 13. Bila dilihat dari dalam, maka bidang sosial adalah semi-otonom bukan hanya karena bisa dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar yang menerpanya, tetapi karena orang-orang di dalam bidang sosial itu dapat mengerahkan kekuatan- 31 kekuatan luar tersebut, atau mengancam untuk melakukannya di dalam proses tawar-menawar antara mereka. Bahkan sesungguhnya banyak dari tekanan untuk berlaku sesuai dengan hukum, mungkin berasal dari berbagai lingkungan sosial yang ada di mana seseorang ikut berpartisipasi. Penulis melihat bahwa kemajemukan hukum juga hadir dalam pengoperasian angkutan kota dalam bentuk aturan-aturan yang saling berkonsentrasi demi kepentingan-kepentingan oknum-oknum yang mewakili individu juga lembaga tertentu. Pengoperasian mobil angkot ini diatur dalam aturan-aturan tertentu hukum formal dan kadang pula ada bentuk hukum di luar hukum formal. Hukum yang diakui negara adalah hukum formal yang disusun dalam bentuk undang-undang, hukum tersebut diakui sebagai satu-satunya pengendali sosial yang ada, sering disebut sebagai hukum normatif. Hukum yang ada merupakan tatanan normatif yang berasal dari sumber pemaksa yang lain, seperti adat, agama, atau kebiasaan-kebiasaan yang muncul dan dipertahankan dalam interaksi sosial yang dipandang sebagai pedoman berlaku. Dalam pengoperasian angkutan kota, bentuk hukum yang berlaku secara formal adalah Peraturan daerah Perda yang dibuat oleh Pemko, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu Undang-Undang UU No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Daerah Perda No.12 Tahun 2003 Tentang Lalu Lintas, Kereta Api dan Angkutan Jalan, Peraturan Daerah Kota Medan Nomor: 33 tahun 2002 Tentang Retribusi Pelayanan dan izin di Bidang perhubungan. Aturan ini wajib ditaati oleh seluruh Supir angkutan perkotaan pihak-pihak yang terlibat didalam nya, misalnya pemilik angkot. Aturan ini 32 diberlakukan guna untuk ketertiban angkutan jalan dan berlalu lintas. Disamping aturan negara aturan formal terdapat juga aturan lain yaitu aturan non formal dalam pengoperasian angkot yang mengambil bagian dalam pengendalian Sosial. Aturan-aturan di luar hukum formal atau aturan main tersebut terlihat dengan adanya peraturan-pertauran tidak tertulis yang diciptakan oleh para supir angkot, mandor, preman yang mempunyai kepentingan terhadap tegaknya hukum yang mereka buat. Hukum di luar Hukum Negara tersebut yang mengambil bagian dalam pengendalian sosial ataupun lingkungan sosial dapat terlihat seperti yang dikatakan juga oleh Sally F. More bahwa Lingkungan sosial Sosial field dapat lagi dirinci sifatnya, yaitu bahwa lingkunan-lingkungan tersebut memiliki kemampuan untuk menimbulkan dalam lingkungannya sendiri berbagai aturan normative yang mendorong warganya untuk mengikutinya. Dalam kemampuan itu juga tersimpul kemampuan untuk “memaksakan” keberlakuan dari aturan-aturan itu dengan adanya berbagai sanksi yang mungkin bersifat ekonomi atau psikologi. Bidang sosial yang semi-otonom ini didefenisikan dan batas-batasnya ditentukan, bukan melalui organisasinya mungkin saja merupakan suatu kelompok korporasi, atau mungkin juga bukan tetapi terjadi secara berangsur, yaitu fakta bahwa ia dapat menimbulkan aturan-aturan dan memaksakan atau mendorong ketaatan pada aturan-aturan itu Sally Falk Moore:1993. Aturan-aturan main yang dibuat oleh aktor yang terkait dalam pengoperasian angkot ini sebenarnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, sehingga terlihat adanya keterpaksaan dalam mematuhi aturan tersebut. 33 Padahal angkot merupakan sarana transportasi yang dapat membantu pembangunan, seperti yang tertulis dalam GBHN 1993 mengamanatkan bahwa dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam Repelita VI pembangunan sistem transportasi diarahkan pada peningkatan peranannya sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan antara lain dengan meningkatkan sarana dan prasarana transportasi serta menyempurnakan pengaturan yang harus selalu didasarkan pada kepentingan nasional http:library.usu.ac.iddownloadftsipil-filliyanti2.pdf.. Pembangunan transportasi sebagai pendukung pembangunan sektor lainnya dalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional diselenggarakan melalui serangkaian program pembangunan yang menyeluruh, terarah, dan terpadu, serta berlangsung secara terus-menerus. Transportasi berupa angkutan kota mempunyai sistem pengoperasian yang akan menjadi bagian dalam menjalankan angkutan tersebut. Setiap angkot mempunyai jalur trayek yang berbeda-beda dan hal ini sudah diatur oleh Pemko. Selain trayek, terminal dan perilaku supir angkot untuk ngetem juga merupakan bagian dari pengoperasian angkot. Terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan orang dan atau barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkan kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor: 33 Tahun 2002. 34 Urusan terminal merupakan wewenang dan tanggung jawab Dinas Perhubungan dan Pemda setempat. Ini mengacu pada UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: • Pada pasal 41 ayat 2 disebutkan, pelayanan jasa terminal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. • Pada pasal 42 juga ditekankan ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi klasifikasi tipe penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangungan dan pengoperasian terminal diatur Perda. Penyediaan angkutan umum ini juga mempunyai tujuan dasar, Wells 1975 mengatakan, adalah menyediakan pelayanan angkutan yang baik –andal, nyaman, aman, cepat dan murah, untuk umum. Dari beberapa studi mengenai angkutan umum Harries 1976 menyatakan pelayanan angkutan umum dapat diusahakan mendekati angkutan pribadi untuk membuat angkutan umum menjadi lebih menarik dan pemakai angkutan pribadi tertarik berpindah ke angkutan umum. Hal ini dapat diukur secara relatif dari kepuasan pelayanan. Salah satu arahan kebijakan atau konsep sistem transportasi wilayah perkotaan Medan adalah mengembangkan Sistem Angkutan Umum Massa SAUM yang tertib, aman, lancar, nyaman dan efisien agar menarik bagi pengguna jasa angkutan, sehingga diharapkan : • Dapat menarik pengguna angkutan pribadi menjadi pengguna angkutan umum, • Efektivitas dan efisiensi pengoperasian. Pengoperasian SAUM dilakukan berdasarkan: kemampuan angkut yang besar, kecepatan yang tinggi, keamanan dan kenyamanan yang memadai dan karena digunakan secara massa, haruslah dengan biaya perjalanan yang terjangkau. Jadi harus ada 35 sistem transportasi baru yang tidak terikatterpisah dari prasarana jalan raya yang memenuhi semua persyaratan tersebut di atas, Pengoperasian Sistem angkutan Umum Kota Medan SAUM dilakukan berdasarkan: 1. kemampuan angkut yang besar, 2. kecepatan yang tinggi, 3. keamanan dan kenyamanan yang memadai dan 4. karena digunakan secara massa, haruslah dengan biaya. perjalanan yang terjangkau. Harus ada sistem transportasi baru yang tidak terikatterpisah dari prasarana jalan raya yang memenuhi semua persyaratan tersebut di atas. Dalam operasionalnya, masing masing kelompok terkait mempunyai tingkat kepentingan yang berbeda, bahkan ada yang bertolak belakang, seperti: kriteria ongkos penumpang menginginkan penentuan besaran tarif yang minimal, sedangkan supir angkotpemilik angkutan menginginkan besaran tarif yang maksimal, kriteria jumlah penumpang, penumpang menginginkan yang tidak padatberdesakan, sedangkan supir angkotpemilik angkot menginginkan yang maksimal dalam hubungannya dengan besaran pendapatan. Disisi lain pelayanan operasi angkutan umum harus ditingkatkan sesuai dengan tingkat kebutuhan pelaku pergerakan, seperti: 1. Aksesibilitas pra dan purna angkutan yang cukup tinggi, 2. Waktu tunggu penumpang terhadap penggunaan angkutan tidak begitu tinggi, 3. Besaran tarifongkos yang terjangkau disesuaikan dengan pelayanannya, 36 4. Kondisi kenyamanan di kendaraan angkutan yang sesuai dengan harapan penumpang, 5. Penumpang dan operator mendapatkan keamanan yang terjamin, 6. Kelancaran operasional angkutan umum yang lebih terjamin. Dalam hal mengantisipasimengurangi permasalahan angkutan umum penumpang di Kota Medan yang terjadi saat ini selain dengan melakukan peremajaan, maka perlu juga perbaikanpembenahan melalui kajian: • Penataan trayek dilakukan dengan sistem pengaturan trayek yang terhirarki, sehingga tidak terlalu banyak tumpang tindih pada ruas jalan tertentu. • Sistem manajemen pengusahaan angkutan dan pelatihan untuk operator angkutan. • Penataan operasi di terminal, khususnya terminal transit Terminal Amplas dan Terminal Pinang Baris • Penertiban terminal bayangan dan penataan fasilitas prasarana angkutan seperti halte. • Penegakan hukum dan penertiban terhadap kutipan-kutipan liar serta pengamanan terhadap preman setempat.

1.3 Perumusan Masalah