lama terpapar timbal Pb dan mengakibatkan adanya kadar timbal Pb yang tinggi pada darah ibu. Ibu tersebut akan melahirkan dan menyusui anak yang lahir
dengan berat badan lahir rendah BBLR, tidak optimalnya perkembangan otak anak yang mengakibatkan tingkat kecerdasan IQ anak rendah, gangguan fungsi
pendengaran, perubahan tingkah laku dan gangguan fungsi organ vital lainnya. Keracunan pada orang dewasa kebanyakan terjadi akibat paparan di
tempat mereka bekerja. Gejala yang terlihat adalah wajah pucat, sakit perut, konstipasi, muntah, anemia dan sering terlihat garis biru pada gusi di atas gigi.
Pada pemeriksaan psikologi dan neuropsikologi ditemukan gejala berkurangnya kemampuan sistem memori, konsentrasi menurun, sulit berbicara dan gangguan
saraf lainnya.
2.5 Metode Spektrofotoskopi Serapan Atom
Spektrofotoskopi Serapan Atom SSA merupakan metode yang paling umum digunakan untuk menganalisis zat atau unsur logam berat atau metaloida
yang berdasarkan pada penyerapan, absorpsi dan radiasi oleh atom bebas. Azis 2007 menyebutkan bahwa prinsip kerja SSA didasarkan pada hukum Labmert-
Beer, yaitu absorbansi berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala.
Pada penggunaan spektrofotometri serapan atom, sampel yang dianalisis harus dalam keadaan asam dengan pH antara 2 sampai 3, karena pada keadaan
inilah proses atomisasi dapat berjalan dengan sempurna dan dapat mencegah keadaan korosi pada dinidng kapiler spektrofotometri serapan atom. Adapun hal
yang perlu diperhatikan dalam pemakaian SSA antara lain: pemilihan lampu,
Universitas Sumatera Utara
pemilihan panjang gelombang dan pengaturan celah, penyediaan cuplikan, penyediaan api dan pengaturan dan pembacaan serapan.
2.6 Ketengikan
Menurut Aminah 2010, masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai makanan yang diolah dengan menggunakan minyak goreng dibanding makanan
yang diolah dengan cara direbus. Hal ini dikarenakan hasil dari bahan pangan yang diolah dari proses penggorengan memiliki cita rasa yang khas sehingga
memang lebih nikmat di lidah. Namun sayangnya, terkait hal ini muncul masalah baru, yakni maraknya penggunaan minyak goreng secara berulang kali dengan
alasan tidak tahu dampak dari hal tersebut bagi kesehatan, adanya anggapan sebagian besar masyarakat rasa dari bahan pangan yang digoreng dengan minyak
jelantah ini akan jauh lebih nikmat dan alasan penghematan, merasa sayang jika minyak goreng tersebut harus dibuang sementara tampilan fisiknya masih tampak
bagus. Padahal sebenarnya batas maksimal pengulangan pemakaian minyak goreng adalah sebanyak 2 kali dan itupun tergantung pada kondisi fisik minyak
goreng tersebut, di mana apabila minyak sudah berubah menjadi warna kecoklatan atau kehitaman, sudah dapat dipastikan bahwa kualitas minyak tersebut sudah
menurun dan tidak layak digunakan kembali.
Minyak goreng yang digunakan berulang kali atau yang lebih dikenal dengan istilah minyak jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-
jenis minyak goreng yang merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya dan digunakan kembali untuk keperluaran kuliner. Namun
apabila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-
Universitas Sumatera Utara
senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Ketengikan merupakan suatu proses di mana minyak goreng mengalami kerusakan dengan tanda adanya cita rasa dan bau yang tidak sedap pada minyak
goreng yang disebabkan oleh suhu pemanasan yang tinggi dan adanya kandungan udara dan air pada bahan makanan yang tentunya mengalami kontak langsung
dengan minyak goreng pada saat proses penggorengan berlangsung.
2.6.1 Jenis-Jenis Ketengikan
Menurut Ketaren 1986 berdasarkan penyebabnya, ketengikan minyak goreng terbagi atas 3 tiga jenis, yaitu ketengikan oleh hidrolisis, ketengikan oleh
oksidasi dan ketengikan oleh enzim. 1.
Ketengikan Hidrolisis Hydrolitic Rancidity Ketengikan hidrolisis terjadi akibat lepasnya komponen asam lemak bebas
karena terlepasnya ikatan ester pada lemak trigliserol sehingga mengakibatkan memendeknya rantai asam lemak bebas dan menghasilkan asam lemak dan
gliserol dan juga bau khas yang tidak sedap. Menurut Winarno 1995, ketengikan hidrolisis biasanya terjadi dalam proses penggorengan dengan metode deep-fat
frying karena menggunakan suhu yang tinggi yang dapat memecahkan struktur lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Selanjutnya, ikatan gliserol akan pecah
dan menyebabkan lepasnya dua molekul air dan membentuk senyawa akrolein yang dapat mengiritasi mata dan tenggorokan.
Universitas Sumatera Utara
��
2
OOC �
1
H C OH ��
2
OOC �
2
-2 �
2
� H C
+ �
2
O ��
2
OOC �
3
panas H C H
gliserol akrolein
Gambar 2.3 Proses Hidrolisis Minyak dan Pembentukan Akrolein
Winarno, 1995 2.
Ketengikan oleh Oksidasi Oxidative Rancidity Ketengikan oksidatif terjadi akibat terjadinya proses oksidasi lemak pada
minyak goreng yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti komposisi asam lemak, konsentrasi oksigen, pencahayaan, temperatur yang tinggi dan keberadaan
logam tertentu pada minyak goreng yang dapat membentuk radikal bebas. Ada tiga tahapan penting dalam proses ketengikan oksidatif, yaitu tahap inisiasi
aktivasi yang ditandai dengan pemutusan ikatan rangkap dari asam lemak jenuh RH yang dikatalis oleh cahaya, panas dan ion logam. Selanjutnya adalah tahap
propagasi atau dekomposisi peroksida yang ditandai dengan pelepasan atom hidrogen dari molekul lemak atau minyak atau penambahan oksigen ke radikal
alkil. Tahap terakhir adalah tahap terminasi atau penghentian yang ditandai dengan adanya penggabungan produk-produk radikal membentuk senyawa-
senyawa nonradikal.
Universitas Sumatera Utara
Tahap Inisiasi Aktivasi : RH+
O
2
radikal bebas : ROOH
ROOH
2
Tahap Dekomposisi Peroksida: R+ O
2
RO
2
RO
2
+ RH R + ROOH Tahap Terminasi
: R +R RR R + OR
R + RO
2
Gambar 2.4
Tahapan Ketengikan Oksidasi Lawson, 1985 3.
Ketengikan oleh Enzim Enzymatic Rancidity Ketengikan enzimatis merupakan proses rusaknya komponen minyak
goreng dikarenakan adanya aktivitas organisme penghasil enzim tertentu dalam lemak yang dapat menguraikan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol
juga sekaligus dapat berperan sebagai katalisator dan menghasilkan hyperperoxyde nilai peroksida yang berlebih. Menurut Ketaren 1986 sebagai
contoh bahan pangan dengan kadar air dan kelembaban udara tertentu merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan jamur. Jamur dapat mengeluarkan enzim
lipo clastic yang mampu menguraikan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol.
2.6.2 Racun dalam Minyak yang Digunakan Berulang Kali dan
Dampaknya bagi Kesehatan
1. Akrolein
Akrolein adalah senyawa yang terbentuk apabila minyak digunakan berulang kali dalam suhu yang sangat tinggi. Akrolein inilah yang dapat
R, OR, RO
2
dan OH
Hasil akhir tidak stabil Nonradikal
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan alergi kerongkongan dan berujung pada terjadinya radang kerongkongan.
2. Jamur Aflatoksin
Minyak jelantah merupakan media yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan jamur. Hal ini dikarenakan adanya kandungan air yang terdapat pada
bahan makanan tertentu yang digoreng dan tertinggal pada minyak penggorengan tersebut. Jamur aflatoksin tersebut dapat menginfeksi hati dan mengakibatkan
radang hati Sulistiyowati, 2011. 3.
Asam Lemak Tidak Jenuh Minyak jelantah merupakan minyak yang sudah mengalami perubahan
kandungan nilai gizi yang di mana pada akhrinya minyak mengandung lebih sedikit asam lemak jenuh yang baik untuk kesehatan daripada asam lemak tak
jenuh yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Jika termasuk ke dalam tubuh, ikatan asam lemak tak jenuh ini sulit diuraikan dan dibawa dalam
aliran darah sehingga dapat menimbulkan endapan yang menyumbat aliran pembuluh darah. Tersumbatnya aliran pembuluh darah mengakibatkan muncul
penyakit degeneratif seperti arterosklerosis dan penyakit jantung koroner PJK. Selain itu, asam lemak tak jenuh juga dapat mengganggu susunan protein
DNA dalam tubuh dan mengakibatkan mutasi sel dan dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan dapat menimbulkan sel-sel kanker.
4. Peroksida
Peroksida dapat mengakibatkan destruksi berbagai macam vitamin dalam bahan pangan berlemak, misalnya A, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin B.
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan peroksida dalam sistem peredaran darah akan menigkatkan kebutuhan tubuh akan vitamin E Ketaren, 1986.
5. Residu Karbohidrat
Residu karbohidrat berasal dari sisa penggorengan dari tepung yang digunakan untuk menggoreng bahan makanan tertentu. Tepung tersebut akan
tertinggal dalam minyak dan jumlahnya akan meningkat sebanding dengan frekuensi pengulangan penggorengan dengan minyak yang sama. Jika
mengonsumsi makanan yang digoreng dengan minyak goreng tersebut, karbohidrat dalam tepung akan masuk ke aliran darah, meningkatkan kadar gula
darah dan mengakibatkan penyakit diabetes mellitus.
2.7 Metode Titrasi Iodine
Secara kualitatif, kualitas minyak goreng dapat dilihat dari tampilan fisiknya seperti adanya bau yang tidak sedap dan warna kecoklatan pada minyak
goreng. Namun, secara kuantitatif, kualitas minyak goreng dapat ditentukan dari pennetuan bilangan peroksida yang merupakan indikator terjadinya pemecahan
atau kerusakan minyak yang dikarenakan adanya kontak langsung minyak dengan oksigen. Semakin tinggi bilangan peroksida yang ditunjukkan, maka semakin
rendah pula kualitas minyak goreng tersebut. Penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan cara titrasi dengan larutan
Natrium tiosulfat 0,02 N sebagai pentiter. Prinsip dari penentuan bilangan peroksida ini adalah senyawa dalam minyak akan dioksidasi oleh Kalium Iodida
KI dan iod yang dilepaskan akan dititer dengan tiosulfat Farihah, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Bilangan peroksida dapat ditentukan secara kuantitatif dengan metode titrasi iodine, dengan menentukan jumlah iodine yang dibebaskan menggunakan
kalium iodida. Jumlah iodine yang terbebas akan dititrasi dengan natrium tiosulfat dan ditambahkan indikator amilum hingga muncul warna kebiruan. Selanjutnya
dititrasi kembali dengan natrium tiosulfat hingga warna biru tepat menghilang. Nilai bilangan peroksida dinyatakan dalam satuan miliekivalen iodine per
kilogram minyak atau lemak Arianti, dkk , 2003.
2.8 Minyak Goreng