Pengaruh Faktor-faktor Sosial Budaya

commit to user “Kalau orang mencari informasi lebih pada media sosial, maka newsticker harus waspada karena berarti beritanya tidak akurat. Sehingga pertanyaan apakah newstiker tvOne aktual, cepat dan tepat untuk khalayak umum sebagai pemirsa televisi, harus melihat kompetisi dari media lainnya,” pesan Widja. Hasil wawancara, 3 Desember 2011. “Karena itulah usul saya, bagaimana jika newsticker dibuat dalam format seperti ‘Breaking News’, dalam durasi yang sama untuk sekali tayang keseluruhan newsticker. Mungkin akan lebih menarik dan tepat sasaran, sesuai media audiovisual yang digunakannya,” saran Netti. Hasil wawancara, 8 Oktober 2011.

D. Pengaruh Faktor-faktor Sosial Budaya

Sebagai pertimbangan saat memproduksi newsticker juga digunakan kearifan lokal, karena merupakan bagian dari faktor sosial budaya yang sangat memengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Untuk itu, demi menyelamatkan warga terdampak bencana gunung Merapi secara maksimal, tvOne melakukan wawancara langsung dengan Sultan maupun Mbah Maridjan agar warga dengan sukarela menuruti ucapannya. Ini adalah kearifan lokal sebagai salah satu faktor sosial budaya, yang terbukti ampuh digunakan pada pemberitaan newsticker dalam upaya konstruksi realitas media. Aries sangat meyakini hal ini, sebagaimana dijelaskannya berikut, “Faktor-faktor sosial budaya yang dipertimbangkan saat memproduksi tayangan newsticker, terutama adalah kearifan lokal. Dalam peristiwa bencana gunung Merapi, figur Sultan Hamengku Buwono X dan Mbah Maridjan alm. sebagai Kuncen Merapi adalah tokoh panutan yang dituakan dan dipatuhi masyarakat setempat. Karenanya melalui kutipan dari wawancara mereka, masyarakat didorong untuk menjauhi wilayah bencana menuju daerah aman,” terang Aries. Aries Margono, wawancara, 19 Mei 2011. Sebanyak 70 responden menyatakan newsticker dapat berhubungan dengan faktor-faktor sosial budaya, sebab merupakan konstruksi realitas sosial dalam berbagai faktor, termasuk faktor sosial budaya. “Pada semua aspek, newsticker pasti berhubungan dengan faktor-faktor sosial commit to user budaya,” tegas Irawan Murjayanto. Hasil wawancara, 2 Oktober 2011. “Kalau newsticker sebagai konstruksi sosial saya setuju, karena peran televisi sekarang memang sudah harus begitu,” jelas Indiria Maharsi. Hasil wawancara, 4 Oktober 2011. Para responden menyatakan faktor sosial budaya dapat memengaruhi pertimbangan dampak berita newsticker, karena pada dasarnya kriteria layak berita dapat digolongkan pada 4 bidang poleksosbud politik, ekonomi, sosial dan budaya ini berdampak signifikan. “Faktor sosial budaya sudah bisa dipastikan memengaruhi pembuatan berita, terutama dalam pertimbangan dampaknya,” tandas Wiryawan Sarjono. Hasil wawancara, 3 Oktober 2011. “Tentu, karena faktor-faktor sosial budaya merupakan realitas sosial. Semua media tentunya hasil konstruksi dari medianya,” dukung Tjandra S. Buwana. Hasil wawancara, 3 Oktober 2011. Selebihnya mempertanyakan, jika sosial budaya dipakai sebagai acuan media untuk menulis redaksional newsticker, mungkin akan repot sekali. Karena kultur sosial dan cara ungkap tiap daerah akan berbeda, sehingga bahasa isi redaksional untuk orang Yogya berbeda dengan Medan, misalnya. “Karena tvOne skalanya nasional, jelas tidak bisa mengakomodir semua kultur yang ada di setiap wilayah Indonesia,” jelas Indiria Maharsi. Hasil wawancara, 4 Oktober 2011. “Menurut saya tidak, karena informasi yang disampaikan dalam newsticker akan diterima oleh masyarakat dengan berbagai macam kultur dan status sosial budaya,” terang Hening Budi Prabawati. Hasil wawancara, 4 Oktober 2011. Namun semua responden sepakat newsticker tetap bisa efektif dan aktual meski ada pengaruh faktor-faktor sosial budaya –semisal budaya Jawa seperti itu— tetapi dengan sedikit catatan: kalau konteksnya adalah waspada, tidak ‘grusa-grusu,’ dan ‘kesusukemrusung’ karena terkait bencana, keselamatan manusia lebih diutamakan. Terlebih juga karena sifat newsticker yang sangat aktual dan kebutuhan informasi yang segera. “Walaupun masyarakat Jawa cenderung ‘guyub’ dan ‘alon-alon waton kelakon’, tetapi dalam kasus letusan Gunung Merapi keselamatan jiwa commit to user manusia lebih diutamakan,” sanggah Tjandra S. Buwana. Hasil wawancara, 3 Oktober 2011. “Bagi masyarakat Jawa, newsticker tetap efektif dan aktual, karena menyangkut kebutuhan informasi yang cepat. Falsafah Jaya yang dicontohkan lebih banyak dipraktikkan dalam aspek lain,” dukung Wiryawan Sarjono. Hasil wawancara, 3 Oktober 2011. Dalam newsticker bencana Merapi pengaruh budaya dalam kearifan lokal memang ditengarai agak kental, mengingat lokasi bencana berada di daerah Yogyakarta yang kuat pengaruh budayanya. Soal faktor-faktor sosial budaya memengaruhi pembuatan berita, khususnya pada pertimbangan dampak berita, para pakar mengemukakan jawaban yang berbeda, seperti dikutip di bawah ini. “Newsticker tidak terkait langsung dengan faktor-faktor sosial budaya. Kalau misalnya yang dicontohkan adalah soal Sultan diwawancara tentang zona bahaya bencana Merapi, menurut saya lebih dikarenakan kedudukannya sebagai Gubernur. Begitu juga dengan Mbah Maridjan, karena kapasitasnya sebagai Opinion Leader Pemuka Masyarakat. Jadi sekali lagi, menurut saya, hal itu bukanlah kearifan lokal berdasarkan pertimbangan sosial budaya,” tandas Netti. Hasil wawancara, 8 Oktober 2011. “Pertanyaan retorikanya: apakah selama ini para penyunting teks maupun visual mempertimbangkan faktor sosial budaya itu dalam kerja mereka? Seperti apa pertimbangannya? Apakah itu sebagai represetasi praktik kosntruksi sosial, dalam kasus Merapi, saya kira jawabnya: iya. Orang pengen tahu nasib Maridjan, orang pengen tahu identitas Maridjan – dalam hal peran dan posisinya, termasuk siapa yang menunjuk Maridjan sebagai ‘penguasa’ Merapi,” kilah Veven. Hasil wawancara, 8 Oktober 2011. Mengenai contoh Sultan diwawancara tentang zona bahaya bencana Merapi, lebih dikarenakan kedudukannya sebagai Gubernur. Begitu juga dengan Mbah Maridjan, karena kapasitasnya sebagai Opinion Leader Pemuka Masyarakat. Bukan semata berdasarkan pertimbangan sosial budaya, demikian ditegaskan para pakar senada. Pendapat ini kemudian dilanjutkan Veven, “Bahwa kemudian menyangkut ranah budaya, itu lebih ke kontennya. Lebih ke peristiwanya, ada atmosfer budaya atau tidak. Tak semua hal harus ditarik ke ranah budaya, kan? Tetapi lazimnya, pembuatan berita dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya, baik pada pertimbangan yang berhubungan dengan konteks atau di luar teks maupun dampak berita.” Hasil wawancara, 8 Oktober 2011. commit to user “Jika pertanyaannya apakah newsticker mengubah budaya orang Jawa, wah, ini sih terlalu jauh hubungannya. Hal ini tidak tampak nyata. Tetapi dengan newsticker ini kepedulian terhadap Yogya meningkat, barangkali benar. Selain karena orang Jawa banyak dan banyak pula bukan orang Jawa yang sekolah dan besar di Yogya, sehingga memiliki keterkaitan dengan Yogya,” jelas Widja. Hasil wawancara, 3 Desember 2011.

E. Pengaruh Kegiatan Sosial