100 Anggota keluarga umur produktif umumnya dijumpai baik pada laki-laki
maupun perempuan. Jenis pekerjaan yang dimiliki terdiri dari tiga jenis pekerjaan utama yaitu laki-laki umur produktif sedang bekerja sebanyak 69,93 persen dan
perempuan umur produktif yang sedang bekerja yaitu 10,46 persen. Selanjutnya laki-laki umur produktif yang sedang sekolah yaitu 26,14 persen dan perempuan
umur produktif yang sedang sekolah yaitu 35,29 persen. Sedangkan laki-laki umur produktif mengurus rumah tangga yaitu 3.92 persen serta perempuan umur
produktif mengurus rumah tangga yaitu 54,25 persen. Nampak bahwa perempuan yang berumur produktif lebih banyak memiliki
pekerjaan bila dibanding dengan laki-laki yang berumur produktif, meskipun laki- laki memegang peran penting dalam pekerjaan namun perempuan selain
mengurus rumah tangga juga bersekolah. Hal lain dijumpai juga laki-laki umur produktif yang mengurus rumah tangga karena dijumpai di lokasi penambang
tanpa izin seperti di pegunungan Waluhu terdapat beberapa perempuan yang ikut bekerja sebagai buruh dan menjual makanan serta pedagang asongan, hasil
wawancara dengan seorang ibu yaitu: “Saya pe jualan makanan deng rokok capat habis disini, kalau cuaca bagus saya
dua kali balik bawa makan deng minuman kesini, soalnya disini harga makanan mahal jadi depe untung lumayan juga cukup untuk biaya anak-anak pigi
disekolah.Bu Nou
” Tabel 36. Jumlah Anggota Keluarga Umur Produktif
Laki-laki Perempuan Total
Bekerja 69.93
10.46 40.20
Sekolah 26.14
35.29 30.72
URT 3.92
54.25 29.08
Lainnya
V. ANALIS SPASIAL DAN LAND TENURE
Komponen analisis spasial akan diawali dengan analisis land tenure yang bertujuan untuk menelusuri klaim lahan dari para aktor yang kurang jelas pada
aspek historis, yuridis, ekologis dan sosial ekonomi serta legalitas dari arah kebijakan perubahan status kawasan di wilayah tumpang tindih, memiliki
interpretasi berbeda dari parapihak Suyanto et al, 2010. Adapun tujuan lain adalah memberikan pengayaan terhadap output spasial. Disisi lain dukungan data
atribut ini adalah bagian dari komponen penting untuk menyusun suata sistem informasi yang berbasis geografis berupa narasi tentang tinjauan sejarah dari
eksisting lahan tumpang tindih, sehingga menjadi obyek penelitian dalam Disertasi ini, sekaligus untuk memperkuat argumentasi ilmiah terhadap model
data spasial yang telah diolah.
Teknologi dengan berbasis sistem informasi geografis telah menjadi sarana penting dalam membangun alat bantu yang standar dan digunakan dalam
rangka proses pengambilan keputusan dalam pembuatan arah kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam. Hanya saja ketersediaan sarana belum terasa
cukup bila tidak ada komitmen yang terus menerus dan berwawasan masa depan untuk mencapai sebuah sistem kelembagaan pemerintahan yang baik good
governance dengan diiringi peningkatan kapasitas institusional yang kuat,
kapasitas teknis yang memadai, serta pandangan yang baik terhadap pilihan- pilihan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan adalah prasyarat
mutlak yang harus dipenuhi. Adapun komponen data naratif tersebut yaitu:
5.1. Analisis Land Tenure
Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam model deskriptif antara lain:
5.1.1 Aspek Yuridis
Isu-Isu yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bone Bolango sangat erat
kaitannyan dengan perubahan sebagian Taman Nasional TN menjadi HPT dan dapat menimbulkan preseden bagi TN yang lain serta dikawatirkan dapat
berkembang menjadi isu internasional, dapat dijelaskan bahwa dalam kawasan
konsesi kontrak karya saat ini telah diturunkan statusnya dari hutan produksi terbatas HPT dan sebelumnya status kwasan ini yaitu bagian dari Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone TNBNW terdapat lahan tumpang tindih dengan kontrak karya PT. Tropic Endeavour Indonesia seluas 14,000 hektar. PT.
Tropic Endeavour Indonesia memperoleh kontrak karya pertambangan pada tahun 1971 sekarang beralih kepada PT. Gorontalo Minerals. Pada 1974 Kennecott
mulai bermitra dengan Endeavour Res, Penyelidikan Lanjut dan pengeboran awal di Tapadaa dan Cabang Kiri. Pada saat yang sama pemerintah meningkatkan
status beberapa kawasan di daerah tersebut menjadi kawasan lindung yaitu: 1 Suaka Margasatwa SM Dumoga seluas 93,500 hektar yang ditetapkan
berdasarkan SK Mentan No. 476KptsUM81979, 2 Cagar Alam CA Bulawa seluas 75,200 hektar yang ditetapkan
berdasarkan SK Mentan No. 764KptsUM121979, dan 3 SM Bone seluas 110,000 hektar yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan
No. 438KptsUM61980. Meskipun kawasan ini telah ditetapkan menjadi suaka margasatwa namun
kegiatan penelitian eksplorasi oleh perusahaan pemegang konsesi tetap berjalan, terbukti pada tahun 1980 Utah Int. Divisi Pertambangan dari General Electric
mengambil alih saham Endeavour Res di PT Tropic Endeavour Indonesia TEI, dan melakukan kegiatan pengeboran untuk menentukan sumberdaya di Cabang
Kiri East dan Sungai Mak dan pengeboran awal di Cabang Kanan dan Kayubulan. Pada saat yang sama pada tahun 1982 pemerintah melalui Departemen Pertanian
menetapkan Calon Taman Nasional Dumoga-Bone. Pada tahun 1983 PT BHP mengambil alih saham Utah Int. dari General
Electric, dan melakukan Evaluasi Potensi AuEmas di Motomboto, termasuk pengeboran awal di Main and East Motomboto, kemudian pada tahun 1986
Pengakhiran KK Gen II, TEI dan Permohonon KP Konsesi Pertambangan oleh PT. Aneka Tambang ANTAM dan pada tahun 1988 pemerintah memberikan
izin KP Penyelidikan Umum PU ke PT Aneka Tambang ANTAM dan bermitra dengan BHP untuk melakukan percontohan geokimia di daerah Pantai Selatan
dan pengeboran di West Motomboto dan Tulabolo.
Pada tahun 1991 Peningkatan ke KP Eksplorasi, namun disaat yang sama semua kegiatan perusahaan diberhentikan karena kawasan tersebut telah
ditetapkan menjadi taman nasional berdasarkan SK Mentan No. 731Kpts-II1991. Ketiga kawasan di atas ditetapkan sebagai Taman Nasional Dumoga Bone dengan
luas 287,115 hektar. Pada tahun 1992 TN Dumoga Bone berubah nama menjadi TN Bogani Nani Wartabone berdasarkan SK Menhut No. 1127Kpts-II1992.
Perubahan status telah memberikan ruang pemanfaatan bagi penambang tanpa izin PETI memulai kegiatannya. Awal mulanya adalah karena ada informasi potensi
cadangan emas dari beberapa mantan pegawai perusahaan pertambangan yang dilibatkan dalam kegiatan penelitian eksplorasi terutama di daerah Mohutango dan
daerah Motomboto. Selanjutnya pada tahun 1992 BHP Copper mengambil alih pembiayaan evaluasi endapan cutembaga dan berusaha mendapatkan izin
memasuki kawasn hutan. Pada tahun 1996 perusahaan ini telah melakukan survei geofisika dari udara dan pengeboran di Gunung Lintah dengan izin secara terbatas
untuk eksplorasi dikeluarkan oleh Pemerintah. Pada tahun 1998 penandatanganan kontrak karya antara Pemerintah
Indonesia dengan perusahaan pertambangan yang dikenal kontrak karya KK generasi VII ke PT. Gorontalo Minerals dengan posisi kepemilikan saham yaitu
PT Gorontalo Minerals 80 persen, kemudian PT BHP dan PT Aneka Tambang 20 persen. Pada tahun 1999, PT Normandy mulai bermitra dengan PT BHP untuk
melakukan kegiatan penyelidikan lanjutan di daerah Mamungaa, Pantai Selatan dan saat ini yang melakukan kegiatan di daerah ini yaitu penambang tanpa izin
PETI. Pada tahun 2002 PT Newmont mengambil alih saham PT Normandy dengan melakukan kegiatan evaluasi di kantor perusahaan di jalan Sawah Besar
Kecamatan Kabila Kabupaten Gorontalo dan kunjungan singkat ke lapangan , namun pada tahun 2003 PT Newmont menyampaikan surat mundur kepada
pemerintah dan mulai bermitra dengan PT BHP di PT. Gorontalo Minerals di wilayah konsesi kontrak karya tersebut.
Setelah melalui proses kepemilikan konsesi kontrak karya yang panjang, maka pada tahun 2005 telah dilakukan pengambil alihan saham PT BHP di
PT.Gorontalo Minerals oleh PT International Minerals Corp IMC yang dimiliki PT.Bumi Resources Tbk dan pada tahun 2006 PT Gorontalo Minerals memulai
kegiatan penelitian eksplorasi lanjut di daerah Kaidundu, Pantai Selatan di luar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang masih menjadi bagian
dari wilayah konsesi kontrak karya. Wilayah konsesi semakin ramai dengan kegiatan penambang tanpa izin
sekitar 2.000 sampai 6.000 orang melakukan aktivitas PETI dalam kawasan TNBNW. Faktanya tidak dapat dikontrol oleh Balai TNBNW, Dinas Kehutanan
dan Pemda setempat. Berbagai tindakan operasi penertiban dan penegakan hukum telah dilakukan oleh TNBNW dan pemerintah setempat, namun pengaruhnya
hanya sesaat dan tidak mampu menghentikan kegiatan PETI dan bahkan mulai muncul isu-isu klaim kepemilikan lahan oleh pemilik lubang PETI dan Tromol.
Pembiaran terhadap situasi di atas status quo tanpa ada terobosan solusi, akan mengakibatkan kondisi lingkungan semakin buruk, karena kegiatan PETI tidak
menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, bersifat ekspansif dan mengancam kemantapan kawasan taman nasional lainnya yang masih utuh.
Kawasan tumpang tindih dengan kontrak karya pertambangan telah mengalami kerusakan berat akibat kegiatan PETI yang berlarut-larut sejak tahun
1978, tanpa dapat dikontroldikendalikan, baik oleh pihak TNBNW maupun Pemerintah Daerah. Berbagai kajian telah dilakukan untuk memetakan persoalan
konflik PETI, dampak biofisik dan sosial ekonomi budaya serta resolusinya agar dapat diperoleh optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam dan kaitannya dengan
pemantapan kawasan TNBNW. Penelitian dilakukan pada periode tahun 2007 sampai 2008 oleh Universitas Negeri Gorontalo UNG dengan didukung oleh
para pakar dari UNHAS, ITB, IPB, UNPAD dan UI. Oleh karena itu, daerah mengusulkan perubahan fungsi kawasan tumpang
tindih tersebut dari Taman NasionalHutan Konservasi menjadi Hutan Produksi Terbatas HPT atau Hutan Produksi Tetap HP, dan berdasarkan hasil kajian
Timdu direkomendasikan seluas + 14.000 hektar tersebut menjadi HPT. Perubahan tersebut untuk tujuan mengatasi konflik tata ruang dan optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya alam dengan mempertimbangkan aspek biofisik ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, serta hukum dan kelembagaan. Tahun 2010
kawasan ini diturunkan statusnya dari TN menjadi HPT berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 324 dan No 325.
Setelah adanya penurunan status kawasan, maka PT Gorontalo Minerals yang menjadi pemilik kuasa pertambangan kontrak karya pada tahun 2011,
mengajukan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Pemerintah daerah dan diusulkan kepada Kementerian Kehutanan karena wilayah ini masih
berstatus hutan produksi terbatas. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.456Menhut-II2011 sampai 2013 izin pinjam pakai di peroleh. Selanjutnya
PT Gorontalo Minerals mengajukan surat izin perpanjangan penelitian eksplorasi kepada pemerintah derah dan diusulkan kepada Kementerian Energi dan
Sumberdaya Minerals. Akhirnya pada tahun 2011 keluarlah surat keputusan perpanjangan tahap ke tiga berdasarkan Studi Kelayakan SK Menteri ESDM
No.1279.K30DJB2011 sampai 2012.
5.1.2 Aspek BiofisikEkologi
Terdapat beberapa alasan ilmiah yang mendasari perubahan fungsi kawasan tersebut, antara lain perubahan fungsi kawasan tidak memberikan
pengaruh ekologi yang signifikan terhadap keseluruhan ekosistem kawasan TNBNW 287,115 hektar. Bagian kawasan TNBNW yang dirubah fungsinya
tidak menyebabkan fungsi TNBNW secara keseluruhan menjadi terganggu atau tidak menyebabkan hilangnya keanekaragaman jenis tertentu khususnya flora dan
fauna khas Sulawesi. Bagian kawasan TNBNW yang dirubah fungsinya bukan merupakan suatu tipe ekosistem yang khas tersendiri di antara beberapa tipe
ekosistem di TNBNW. Perubahan fungsi tidak menyebabkan hilangnya tipe ekosistem tertentu dari TNBNW. Bagian kawasan TNBNW yang diusulkan
perubahannya menjadi HPT atau HP merupakan bagian kawasan yang telah kondisi biofisiknya mengalami kerusakan, akibat kegiatan PETI yang tidak dapat
terkontrol dan cenderung ekspansifmeluas. Pada aspek yuridis bahwa perubahan fungsi KSAKPA menjadi HPT atau
HP mengikuti kriteria penetapan fungsi hutan sesuai SK Mentan 8371980 dan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004, yakni skor kawasan antara 125
– 175. Kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT dan HP adalah
merupakan bagian kawasan DAS Bone yang telah tercemar airnya akibat limbah merkuri kegiatan PETI. Hasil Penelitian UNG yang didukung oleh tenaga ahli dari
ITB tahun 2008 sampai 2009 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran Fe besi, Cu tembaga, Hg merkuri di Sungai Mamunggaa dan Mopuya telah melewati
baku mutu kualitas air. Pencemaran Hg dipastikan berasal dari aktivitas PETI. Aspek hidrologi menyatakan bahwa perubahan fungsi sebagian kawasan TN
menjadi HPT dan HP tidak akan merubah fungsi hidrologi DAS tersebut. Kemudian dari aspek zonasi kawasan memilki pertimbangan ilmiah juga yaitu
bagian kawasan yang dirubah fungsinya tidak merupakan bagian kawasan zona inti dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone TNBNW.
5.1.3 Aspek Ekonomi, Sosial dan Budaya
Kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT atau HP merupakan kawasan yang menjadi daerah bagi ± 2.000 sampai 6.000 orang
tergantung musim penambang tanpa ijin PETI. Pada saat ini dan faktanya tidak dapat dikontrol oleh Balai TNBNW, Dinas Kehutanan dan Pemda setempat. Oleh
karena itu perubahan fungsi kawasan merupakan bagian integral dari upaya mengatasi konflik penggunaan kawasan hutan oleh PETI yang berlangsung
berlarut-larut sejak 1978. Hal ini memungkinkan diterapkan pemanfaatan pertambangan yang ramah lingkungan pembukaan minimal, tanpa merkuri untuk
kesejahteraan masyarakat. Selain itu berpeluang untuk dikembangkannya model kelembagaan sebagai solusi alternatif penghidupan masyarakat eks PETI yang
lebih baik agar disaat kegiatan pertambangan tanpa izin ini berhenti tapi eks pemilik dan buruh penambang tanpa izin telah memiliki wadah atau organisasi.
Tujuannya yaitu mereka dinaungi dalam menjalankan aktivitas lainya terutama yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas mereka yang masih
mudah untuk disalurkan menjadi bagian dari tenaga kerja di PT Gorontalo Minerals. Hal yang penting juga bahwa perubahan fungsi TN menjadi HPT
sekaligus menjadi bagian dari akses jalan menuju Desa Pinogu enclave dimana terdapat 1.000 KK yang bermukim di wilayah tersebut dan berada di tengah zona
inti Taman Nasional BNW.
5.1.4 Aspek Hukum dan Kelembagaan
Perubahan fungsi kawasan hutan dijamin oleh Pasal 19 Undang Undang No. 41 tahun 1999, dan merupakan bagian dari cara mengatasi permasalahan
PETI di TNBNW dan dampak ikutannya, seperti kerusakan ekosistem hutan dan pencemaran lingkungan. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan
TNBNW untuk mengatasi fenomena riil de facto ”kekosongan kelembagaan”
melalui penataan hak atas kawasan dan sumberdaya alam yang jelas. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW memungkinkan secara legal
dilakukannya pemanfaatan sumberdaya alam tambang yang ramah lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian
kawasan TNBNW memungkinkan akses dan intervensi pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan hutan, serta mengatasi problem PETI yang selama ini
bersifat ekspansif, tidak terkontrol dan berlarut-larut, baik secara sosial maupun lingkungan pencemaran.
Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW memungkinkan dilakukannya pengelolaan kolaboratif untuk meningkatkan
kemantapan kawasan dan optimalisasi pengelolaan TNBNW yang dipertahankan. Sehingga kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT adalah
merupakan bagian dari kontrak karya PT. Tropic Endeavour Indonesia yang diperoleh pada 1971 sekarang beralih kepada PT Gorontalo Minerals sebelum
Penunjukan dan Penetapan sebagai SM Dumoga 1979, CA Bulawa 1979 dan SM Bone 1980, serta Taman Nasional tahun 1991 dan 1992.
5.2 Analisis Spasial
Model analisis spasial pada penelitian ini yaitu spasial sederhana, bertujuan menunjukkan bahwa telah terjadi penguasaan dan pemanfaatan ruang
pada wilayah tumpang tindih Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals. Terdapat tiga tumpang tindih utama yang diidentifikasi yaitu: Lahan kontrak Karya
tumpang tindih dengan penambang tanpa izin, lahan kontrak karya tumpang tindih dengan pertanian dan lahan kontrak karya tumpang tindih dengan pemukiman
masyarakat. Analisis ini akan diawali dengan melakukan identifikasi kemudian
dilanjutkan dengan analisis inventarisasi. Kedua aspek ini akan digambarkan dan dideskripsikan.
5.2.1. Analisis Identifikasi
Untuk mempertajam informasi ruang yang mengalami tumpang tindih ini melalui hasil proses peta identifikasi secara sederhana, telah dilakukan langkah
pengamatan langsung di lapangan yang berpedoman pada hasil identifikasi awal dengan dibantu dengan alat GPS untuk memastikan atau melakukan koreksi
ulang terhadap lahan –lahan memiliki hubungan langsung dengan tumpang tindih
kawasan Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals. Penguatan terhadap pengamatan langsung ini, telah dilakukan pengamatan dengan model dokumentasi terhadap
lahan-lahan yang telah mengalami perubahan peruntukan. Alasan pada aspek yang ke tiga terkait dengan permukiman karena didalamnya sudah termasuk lahan-
lahan yang digunakan untuk sarana dan prasarana pemerintah seperti fasilitas umum dan khusus.
Adanya lahan terbuka dan tidak dimanfaatkan lagi karena pemanfaatan lahan-lahan tersebut dilakukan secara berpindah-pindah termasuk pemukiman-
pemukiman yang mereka bangun secara tidak permanen. Kecuali pada wilayah yang telah memiliki fasilitas umum dan fasilitas khusus, dimana lahan-lahan
tersebut lebih berada pada lahan yang memiliki dataran yang cukup luas dan lebih banyak pemukiman tersebut berada di pinggir pantai serta dekat dengan muara
sungai yang dimanfaatkan masyarakat sebagai air baku. Kebiasaan masyarakat untuk melakukan peladangan berpindah telah
terjadi secara turun temurun heriditery dan berdampak pada semakin luas lahan- lahan yang tidak berhutan yang hanya ditumbuhi oleh padang safana dan perdu
serta tanaman lain yang tidak begitu membutuhkan cadangan air. Di sisi lain wilayah ini terasa sangat panas dan menyengat karena kurangnya tanaman atau
pohon yang rindang. Hasil citra lokasi ini dapat dilihat pada Tabel 19.