201 Pasal 145 ayat 1 Undang Undang Minerba lebih tegas lagi tentang
masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan yaitu a memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam
pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan; b mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat
pegusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. Bila disimak bahwa pencegahan secara dini maupun penyelesaian kerusakan lingkungan akibat dari
kegiatan usaha pertambangan pada pasal ini telah cukup maju namun lebih dituntut konsistensi dari semua pihak. Perlindungan hak-hak masyarakat yang
terkena dampak negatif langsung telah tertuang dalam pasal 145 Undang Undang Minerba. Adanya jaminan ini dapat lebih bermakna apabila semua pihak
manyadari akan pentingnya suatu kelembagaan bersama institutional multi stakeholders
yang menjadi wadah bersama masyarakat untuk menyusun program, menerapkan program, mengevaluasi program dan mempertanggung jawabkan
program serta wujud kegiatannya kepada masyarakat secara profesional.
7.4 Sintesa Kerangka Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya
Tambang Sebagai Alternatif Resolusi Konflik di Kabupaten Bone Bolango
Adapun sintesa yang telah diformulasi berdasarkan hasil analisis fakta dan telah diperkaya dengan pendekatan institutional arrangement dan institutional
governance untuk mendukung kerangka resolusi dalam kasus yang diangkat
dalam penelitian ini yaitu:
7.4.1. Kerangka Resolusi
Adanya ketidakpastian dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah konflik konsesi pertambangan PT Gorontalo Minerals telah ada sejak awal
terbentuknya kawasan konservasi, sejak statusnya sebagai Hutan Suaka Margasatwa pada tahun 1971 sampai berstatus Taman Nasional pada tahun
1991 sampai Kawasan TNBNW, dan berlanjut terus sampai saat ini. Berlangsungnya konflik yang telah berjalan selama 40 tahun, tanpa ada
pemecahan yang tuntas, mengakibatkan secara defacto wilayah konflik tidak memiliki kejelasan tentang hak tenurial tenurial right atas kawasan dan
sumberdaya tambang yang terkandung di dalamnya. Keadaan ini
202 menimbulkan kesan bahwa status kawasan berikut sumberdaya tambangnya
berpeluang menjadi open access tanpa kontrol yang signifikan dari pemerintah yang berkewenangan dalam mengatur sumberdaya publik. Hal
ini dimaknai sebagai kondisi ”kekosongan kelembagaan formal”. Kegagalan memerintah failur governace terhadap berlangsungnya situasi
di atas akan menjadikan semakin besarnya peluang konflik yang berakibat pada tren negatif dalam dampak lingkungan, jika tidak segera dilakukan
pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan yang terencana dan terkendali. Hasil analisis fakta pada aspek sosial budaya menunjukkan adanya interaksi
sosial antarpihak dalam masyarakat yang cenderung bersifat kompetisi. Para pihak merasa mempunyai dasar klaim pemanfaatan sebagai implikasi dari
kekosongan kelembagaan yang antara lain berlandaskan pada legitimasi politik lokal, struktural birokrasi, pemerintah daerah, pemerintah,
cukongpermodalan lokal, dan PT Gorontalo Minerals serta Taman Nasional sendiri. Kompleksitas situasi inilah yang membuat sulitnya mencapai solusi
tuntas apabila hanya mendasarkan pada pendekatan generik berupa penegakan hukum law enforcement semata tanpa mengimbagi dengan
pendekatan soial ekonomi. Konflik kelembagaan antar pihak terjadi secara horizontal antar para pelaku
di tingkat lapangan, dan juga secara vertikal dalam struktur birokrasi kepemerintahan daerah
– pusat. Konflik pada tataran regulasi juga terjadi, yang dipicu oleh distribusi
ekonomi dan
kewenangan pengambilan
keputusan yang
lebih mengedepankan distrubusi bagihasil yang merata dengan tidak diimbangi
oleh distribusi resiko dan konsekuensi yang ditanggung oleh daerah penghasil.
Berdasarkan fakta di atas, maka menjadi hal yang penting untuk mengembangkan upaya bersama untuk resolusi konflik yang mampu
mengakomodasi kepentingan para pihak tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan model Dewan Tambang dengan azas keadilan
dan keseimbangan jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat, dan