Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Perkembangan kehidupan manusia dari waktu ke waktu terjadi berkat adanya penyebaran informasi, dari satu tempat ke tempat lainnya. Penyebaran informasi tersebut pada umumnya melalui majalah, surat kabar, buku, radio, televisi, internet maupun film. Film merupakan salah satu media penyebaran informasi yang perkembangannya sulit dihambat. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1 film merupakan salah satu bentuk hiburan yang digemari banyak orang, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa; 2 pada film terdapat tokoh- tokoh yang sebagian besar memiliki keunikan tersendiri dengan daya tarik yang berbeda-beda pula; 3 film merupakan sarana hiburan yang mudah sekali diakses tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak, misalnya melalui program unduh gratis di internet, acara-acara film di televisi atau di bioskop maupun dengan pembelian DVD. Setiap film mengandung suatu cerita. Cerita tersebut pada umumnya berasal dari kisah fiktif, namun tidak sedikit juga yang berdasarkan kisah nyata. Cerita pada film merupakan buah karya seorang sutradara, yang dipresentasikan oleh para tokoh. Tokoh-tokoh tersebut memerankan karakter sesuai dengan alur cerita. Melalui cerita film tersebut, penonton dapat melihat sikap, cara berbicara, cara berbusana, bahasa, dan budaya para tokoh sesuai dengan konteks cerita dan 1 Universitas Sumatera Utara budaya yang dimiliki oleh daerah dimana film tersebut diproduksi. Hal tersebut selaras dengan pendapat Hoed 2006:11 yang menyatakan bahwa: “Di samping dampak visual, film memberikan dampak verbal melalui bahasa yang prosesnya lambat, seperti halnya dampak melalui bacaan. Akan tetapi dampak verbal dari film dapat bertahan lama karena yang ditangkap adalah bahasa dengan konsep-konsep di dalamnya yang dipadu dengan tayangan gambar. Melalui bahasanya penonton dapat lebih mengerti tema film dan moral yang tersimpan dalam film tersebut. Penontonpun dapat melihat tingkah laku tokoh-tokoh dalam film dan pakaian serta adat kebiasaannya.” Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa, melalui film dapat diperoleh informasi secara kontekstual, nyata dan jelas bagaimana bahasa digunakan dengan oleh penutur aslinya, karena film merupakan refleksi dan representasi dari masyarakat, bahasa dan budaya asli film itu tersebut. Pada saat sekarang ini, banyak sekali film yang diproduksi oleh satu negara, namun ditayangkan bukan hanya di negara tempat produksinya tetapi juga di negara yang berbeda. Ketika film asing tersebut ditayangkan bukan di negara tempat produksinya, maka naskah cerita film tersebut akan diterjemahkan. Penerjemahan cerita film tersebut, dapat berupa penerjemahan lisan maupun tulisan. Hoed 2006:107-108 menyatakan bahwa: “penerjemahan teks lisan dalam dialog sebuah film terbagi atas dua jenis yakni penerjemahan teks lisan dialog film dalam bentuk sulih suara dubbing atau penerjemahan teks lisan film dalam bentuk teks tulisan subtitling.” Film merupakan salah satu dokumen audio-visual yang bersifat resmi karena melalui proses sensor yang dilakukan oleh lembaga resmi bernama badan sensor film dan pada umumnya ditujukan bagi khalayak ramai. Seperti yang tercantum dalam UU No. 02 Tahun 2009 dalam Trianton tentang perfilman pasal 1 bahwa: “Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan Universitas Sumatera Utara media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.” Film merupakan salah satu media komunikasi yang banyak mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat. Film juga dapat menjadi acuan atau pedoman gaya hidup masyarakat pada saat sekarang ini. Hoed 2006:101 menyatakan bahwa: “Film Asing di Indonesia cenderung sering menjadi acuan moderenisasi”. Trianton 2013:ix menambahkan bahwa: “Film merupakan karya sinematografi yang dapat berfungsi sebagai alat culture education atau pendidikan budaya.” Berdasarkan pendapat ahli tersebut terlihat jelas bahwa penerjemahan teks lisan film yang dilakukan, khususnya di Indonesia, harus benar-benar memilah unsur budaya yang dapat ditampilkan dan tidak ditampilkan pada subtitle. Hal tersebut karena, ditemukannya perbedaan budaya yang ditampilkan pada sebuah film, dapat menimbulkan efek negatif bagi penonton film dengan budaya yang berbeda pula. Maksudnya adalah, budaya yang tidak tabu dalam budaya bahasa sumber, merupakan hal yang tabu dalam budaya bahasa sasaran. Masalah perbedaan budaya tersebut menjadi penting, karena film pada umumnya menjadi salah satu acuan gaya hidup, dan sarana penyebaran informasi serta budaya. Contoh nyata pengaruh film sebagai acuan gaya hidup dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat Indonesia misalnya: pada zaman dahulu sekitar era tahun 60-an dan 70-an para remaja belum mengenal gaya potongan rambut demimor, namun ketika film berjudul “Ghost” yang diperankan oleh Demi Moore, dimana potongan rambutnya begitu pendek, banyak orang yang mengganti model rambut mereka menjadi seperti potongan rambut pemeran film perempuan dalam film ghost tersebut, setelah penayangannya di bioskop atau televisi. Universitas Sumatera Utara Contoh lain, ketika film berbahasa Prancis Taxi 3 diluncurkan, pada film tersebut penonton dapat melihat begitu banyak mobil-mobil sport atau mewah yang dilengkapi mesin berteknologi canggih. Bagi masyarakat kelas atas, memiliki mobil seperti yang ditampilkan dalam film tersebut memiliki nilai prestise tersendiri. Sehingga banyak masyarakat kelas atas pada saat itu cenderung ingin memiliki dan akhirnya membeli mobil sport dengan harga fantastis. Film Prancis merupakan salah satu jenis film yang berpengaruh besar dalam perkembangan perfilman dunia. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui keberhasilan film-film Prancis dan sineas-sineasnya dalam berbagai penghargaan kelas dunia seperti Festival Film de Cannes¸ Oscar Awards, Festival du Film Américains, dsb. Penyebaran film Prancis, sudah sejak lama sampai di Indonesia. Beberapa film Prancis terkenal yang sudah pernah ditayangkan di Indonesia yakni: Taxi 1, 2 dan 3, Plan Parfait, Intouchable, Le guetteur, Mobius, Zarafa, L’amour et Turbulance, L’écume du Jour dan Comme un Chef. Comme un Chef merupakan salah satu film yang sangat populer di Prancis. Film ini telah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Pada film ini juga banyak ditemukan pesan pendidikan karakter seperti: kerja keras, idealisme, jujur, bertanggung jawab, cerdas, sabar, dan kesetiakawanan. Namun, ketika peneliti menonton film tersebut dengan subtitle berbahasa Indonesia, peneliti menemukan hal-hal yang ganjil dan tidak sesuai dengan pesan moral yang dikandung oleh film tersebut. Keganjilan tersebut berupa kalimat yang dianggap kurang berterima baik dari aspek budaya atau aspek kebahasaan dalam bahasa sasarannya, yakni bahasa Indonesia. Universitas Sumatera Utara Misalnya: Tsu.: Bocuse, je Nom pron. verbe m’ en tape. Bocuse, saya ku nya memukul. Tsa. : Bocuse bisa meniup keluar dari pantatnya. Comme un Chef : 00:03:26,088 -- 00:03:28,397 Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa subtitle pada kalimat Bocuse, je m’en tape menjadi Bocuse bisa meniup keluar dari pantatnya. Penerjemahan ini tampak sukar untuk dipahami, karena orang Indonesia tidak mengenal siapa tokoh Bocuse tersebut. Kemudian kata pantat juga terasa tabu dan berbenturan dengan budaya Indonesia. Karena, kata tersebut merupakan ungkapan yang sering disebutkan untuk menghardik atau menghina orang lain. Dari terjemahan di atas peneliti menganggap penerjemah subtitle itu menggunakan metode penerjemahan bebas free translation dimana teks dalam bahasa sumber diterjemahkan secara bebas ‘je m’en tape’ ini pada dasarnya berasal dari subjek ‘Je’ saya dan verba ‘s’en taper’ memukul acuh mengejek tidak tertarik. Dalam penerjemahan tersebut terlihat jelas bahwa tata bahasa Prancis yakni subjek je dan verba pronominal dalam hal ini, verba yang bermakna bahwa pelaku dan objek kata kerjanya adalah sama s’en taper sama sekali tidak tampak dalam teks sasaran yakni menjadi bisa meniup keluar dari pantatnya. Mengapa kalimat ini diterjemahkan demikian karena pada saat itu pemilik restoran sedang marah terhadap Jacky Bonnot dan menganggap kemampuan Jacky Bonnot tidak sebanding dengan kemampuan Bocuse yang merupakan juru masak yang sangat terkenal dan handal, karena Jacky Bonnot mengatakan bahwa kemampuan memasaknya sama hebatnya dengan kemampuan Universitas Sumatera Utara Bocuse. Kemudian Jacky Bonnot juga telah mengecewakan pelanggan restoran tersebut dengan cara mengganti menu yang dipesannya dengan menu yang dipilih oleh sang koki. Penggantian menu tersebut terjadi karena Jakcy Bonnot merasa menu yang dipilih oleh pelanggan tersebut tidak berkualitas dan tidak sesuai dengan jenis anggur yang diminumnya. Dalam budaya Prancis anggur putih diminum jika mengkonsumsi daging yang berwarna putih misalnya daging ikan atau unggas dan anggur merah jika mengkonsumsi daging yang berwarna merah misalnya daging sapi, babi, domba, kambing dsb. Menurut peneliti kalimat tersebut sebaiknya diterjemahkan menjadi Bocuse, aku tidak perduli, karena sebenarnya kata kerja s’en taper juga masih memiliki arti lain yakni tidak menarik namun untuk tetap menjaga unsur sintaksis yang terdapat dalam bahasa sasaran maka subjek je yang sepadan dengan kata aku dalam bahasa Indonesia masih dapat dipertahankan. Berdasarkan analisis di atas dapat diketahui bahwa dalam penerjemahan subtitle Comme un Chef tersebut masih terdapat hal yang tidak jelas, kemudian tabu, dan bahkan tidak berterima dalam bahasa Indonesia. Ketidakberterimaan tersebut pada hakekatnya disebabkan oleh ketidaktepatan metode penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Machali 2009:78: “metode penerjemahan berkenaan dengan rencana dalam pelaksanaan penerjemahan yang meliputi 3 tahap yaitu analisis, pengalihan, dan penyerasian dimana ketiga tahapan tersebut harus dilalui oleh seorang penerjemah”. Jika ketiga hal tersebut dilalui dengan baik maka tidak akan muncul terjemahan yang tidak berterima. Puteri juga menambahkan 2013:78: Universitas Sumatera Utara Thereby, the quality of a text can be assessed by two features: 1 Its inteligibility the translation is understandable and 2 its fidelity the message transmitted by the translation corresponds exactly to the original message.” Yang artinya adalah kualitas terjemahan dapat dinilai melalui dua hal yaitu mudah dipahami dan pesan yang disampaikan benar sesuai dengan pesan yang terkandung dalam bahasa sumber dengan tetap menghormati budaya sasaran. Selain contoh di atas, pada subtitle film tersebut juga ditemukan istilah- istilah kulinari dan nama masakan dalam bahasa Prancis yang terkadang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia namun tidak sedikit yang tetap ditulis dalam bahasa Prancis dalam versi terjemahan berbahasa Indonesia dari teks cerita film “Comme un Chef “ tersebut. Misalnya : Tsu: “La blanquette pour la 11. Art. nom pré. Art. Adj. de quantité. Itu blanquette untuk sebuah 11 Tsa: “Blanquette untuk 11”. Comme un Chef: 00:02:17,140 -- 00:02:18,774 Pada teks di atas dapat diketahui bahwa metode penerjemahan yang digunakan adalah metode harafiah literal traslation dimana kata la blanquette dipadankan dengan Blanquette kata pour diterjemahkan dengan untuk dalam bahasa Indonesia dan 11 dengan 11. Metode Penerjemahan harafiah literal traslation juga dibuktikan melalui tata urutan kata yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Machali 2009:78 yakni: Metode penerjemahan harafiah literal translation adalah « …jenis ini biasanya Tsa langsung diletakkan di bawah versi Tsu, kata-kata dalam Tsu biasanya diterjemahkan di luar konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural dipindahkan Universitas Sumatera Utara apa adanya. Jika dianalisis lebih jauh Blanquette adalah salah satu makanan Prancis yang sangat terkenal yakni berupa daging unggas, sapi muda, atau ikan, domba yang direbus dengan menggunakan krim putih dan telur. Jenis masakan ini masih dapat dipadankan dengan daging gulai putih daging gulai kurma, yang memang masih ada dalam jenis masakan indonesia. Hal tersebut dapat dipadankan karena untuk blanquette dan memasak daging dalam tradisi kulinari indonesia tradisional tidak pernah menggunakan krim tetapi pada umumnya menggunakan santan, dalam hal ini santan dapat dipadankan dengan krim. Berdasarkan pengalaman pribadi peneliti yang pernah tinggal selama 1 bulan di Prancis dalam rangka mengikuti pelatihan bagi pengajar bahasa Prancis bagi penutur Asing Fle, peneliti pernah mencicipi hidangan Blanquette tersebut, dan telah membuktikan bahwa cita rasa masakan Blanquette tersebut sama dengan cita rasa hidangan daging gulai putih atau sering disebut dengan daging gulai kurma. Berdasarkan fakta tersebut belum dapat diketahui mengapa penerjemah teks lisan pada film Comme un Chef tersebut masih tetap menggunakan bahasa aslinya, padahal sebenarnya nama jenis masakan tersebut dapat dipadankan dengan salah satu masakan Indonesia. Jika penerjemah tetap menggunakan kata Blanquette pada terjemahannya, dapat diketahui bahwa kata Blanquette itu akan mengaburkan pemahaman penonton terhadap pesan yang dikandung oleh bahasa sumbernya, karena penonton hanya akan mengetahui bahwa itu nama makanan namun tidak mengetahui makanan apa. Hal ini bertentangan dengan teori yang diutarakan oleh Dolet dalam Munday 2001:26 yakni: La manière de bien traduire une langue en autre c’est d’avoir bien compris l’intention de Universitas Sumatera Utara l’auteur afin d’éviter l’obscurité. Yang artinya penerjemah harus memahami betul makna yang dimaksudkan oleh penulis, dan oleh sebab itu dia harus menghindari kerancuan atau ketidakjelasan dalam terjemahannya. Sementara penggunaan kata Blanquette tersebut sama sekali tidak jelas bagi penonton yang dalam hal ini berbahasa Indonesia. Hal tersebut yang menjadi pertanyaan bagi peneliti mengapa metode penerjemahan harafiah literal translation digunakan oleh penerjemah, padahal metode tersebut merupakan metode yang berbasis pada teks sumber dan biasanya tidak lazim digunakan. Dari segi pergeseran shifts tidak ditemukan karena seluruh unsur kata dan tata bahasa dalam kalimat ini tidak mengalami pergeseran. Contoh lain : Tsu.: Dans ce cas, on va se replier vers l entrecôte -frites Pré. Adj. nom Pron. Verbe verbe pré. Art. Nom compose. . Dalam ini hal, kita pergi melipat kearah itu steak -kentang goreng Tsa.: “Dalam hal ini, steak dan kentang goreng akan menjadi lebih baik.” Comme un Chef: 00:02:58,530 -- 00:03:02,980 Metode penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan teks di atas adalah metode penerjemahan adaptasi adaptation translation. Penggunaan metode tersebut dapat dilihat dari penerjemahan yang mengacu pada makna dan budaya yang dimaksudkan oleh teks sumber yang dipadankan ke dalam teks bahasa sasaran dengan mempertimbangkan keberterimaan dan kelaziman dalam teks sasaran. Maksud keberterimaan dan kelaziman dalam hal ini adalah makna kata kerja “va se plier” itu sebenarnya mengandung makna “cocok” atau sesuai karena konteks kalimat pada teks ini adalah pelanggan memadukan menu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya sehingga koki Bonnot menggantinya dengan Universitas Sumatera Utara menu steak dan kentang goreng. Kemudian proses adaptasi juga terlihat melalui pemadanan frasa “lentrecôte-frites” dengan steak dan kentang goreng yang memang masih terdapat dalam ranah kulinari Indonesia modern. Kemudian penghilangan kata “vers” dan kata sandang “l’’ juga merupakan bukti penerapan metode adaptasi dalam penerjemahan subtitle film ini. Dianalisis dari segi pergeseran shifts, dapat diketahui bahwa pada penerjemahan subtitle film berbahasa Prancis di atas terjadi pergeseran kelas kata yakni kata kerja “va” future proche bergeser menjadi “akan” yang merupakan adverbia dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya kata “se plier” diterjemahkan menjadi “lebih baik” yakni merupakan adjektiva dalam bahasa Indonesia. Seluruh keganjilan dan ketidakkonsistenan penerjemah dalam menerjemahkan dialog film berbahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia tidak akan terjadi jika penerjemahan menggunakan metode penerjemahan dan pergeseran penerjemahan shifts yang tepat. Oleh sebab itu, peneliti menganggap bahwa penelitian tentang metode dan pergeseran penerjemahan pada film “Comme Un Chef” tersebut penting untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah