Perkembangan Emosi Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

juga menjadi lebih pelupa dan lambat dalam menerima perintah maupun permintaaan dari orang lain. Laila juga tidak lagi memiliki minat untuk kembali bersekolah dikarenakan gurunya yang kerap memarahinya karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Berbeda dengan Laila, Sari dan Juwita mengaku masih memiliki semangat untuk bersekolah, mereka juga menganggap bahwa pendidikan adalah suatu hal yang penting bagi mereka. Meskipun begitu kekerasan seksual yang dialami oleh Sari dan Juwita juga berpengaruh terhadap perkembangan intelektualnya, hal itu terlihat dari prestasi mereka yang menurun. Sari harus bersedia untuk tinggal kelas dan mengulang kembali dikelas 2 SD pasca kekerasan seksual yang dialaminya. Sedangkan Juwita yang sebelumnya merupakan anak yang cukup cerdas disekolahnya, harus mengakui bahwa prestasinya jauh menurun. Hal itu terbukti dari buruknya nilai raport sekolah dan nilai ebtanas murni NEM Juwita ketika ia menamatkan sekolahnya di jenjang SMP.

5.3 Perkembangan Emosi

Chaplin dalam Ali dan Asrori, 2004: 62 mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Defenisi lain menyatakan bahwa emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus. Daniel Goleman dalam Ali dan Anshori, 2004 : 63 mengidentifikasikan emosi kedalam sejumlah kelompok yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Munculnya emosi seseorang sangat tergantung atau Universitas Sumatera Utara dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman, dan kebudayaan. Berikut ini adalah hasil analisis perubahan emosi yang dirasakan oleh anak-anak korban kekerasan seksual. Pada kasus Laila, perubahan emosi yang terlihat pada perkembangannya adalah Laila menjadi tidak terlalu perduli dan cuek terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut pengakuan ibu Irianti, setelah mengalami kekerasan seksual Laila menjadi lebih pendiam dan cenderung tidak perduli dengan perkataan orang disekitarnya. Selain itu Laila juga jarang sekali menunjukkan emosi marah maupun sedih meskipun lingkungan sekitarnya mengejek, membentak, memukul, maupun mengucilkannya. Berikut penuturan ibu Irianti : “ Kalau sekarang jadi gak terlalu open, kalau diejekin ‘Laila bodoh’, ya dia diam aja, dipukulin sama temannya pun nantik diam aja, dibilang bauk, jorok. Nanti kalau datang kotor-kotor ke rumah orang, terus diusir pun diam aja, gak open gitu, gak pernah marah, gak pernah nangis”. Hal itu juga terlihat dalam keseharian Laila, ia jarang terlihat memberikan respon emosi ketika diejek, dipukul, maupun diasingkan oleh lingkungan sekitarnya. Laila hanya terlihat diam dan tidak perduli meski terkadang ejekan yang ia terima cukup kasar dan keterlaluan. Ibu Irianti juga mengatakan bahwa semenjak kekerasan seksual yang dialami oleh Laila, Laila menjadi lebih penakut dalam berinteraksi dengan orang lain. Ibu Irianti juga menambahkan bahwa ketakutan yang dialami Laila ketika berinteraksi dengan orang lain tidak terlihat ketika ia berinteraksi dengan remaja pria. Berikut penuturannya : “Ya iya jadi kayak lebih takut dia, jadi gak terlalu berani sama kawan- kawannya, nanti dimarahi sama anak kecil aja takut dia. Cuman kalau sama anak lajang berani dia, sukak nantik diganggu-ganggu sama dia”. Selain itu, perubahan emosi yang terlihat dalam diri Laila adalah ia menjadi lebih cepat mengenal perasaan suka terhadap lawan jenis dalam konteks yang lebih dewasa. Ibu Laila mengaku bahwa anaknya kerap terlihat menyukai film remaja yang Universitas Sumatera Utara bertemakan cinta ataupun pacaran. Hal itu membuat ibu Laila khawatir dan sering kali melarang Laila menonton tv. Berikut penuturan Ibu Laila : “Sekarang kalau nonton, apalagi kalau ada adegan pacaran gitu, nanti dia bilang, ih itu ceweknya, ih dipeluknya, ih diciumnya, sambil sukak senyum- senyum kayak ngerti gitu dia. Makanya sukak gak saya kasih nonton kalau sendiri”. Perkembangan emosi Laila tersebut juga dibenarkan oleh Ibu Irianti, ia mengatakan bahwa Laila beberapa kali terlihat berperilaku layaknya orang dewasa yang menyukai lawan jenis. Semenjak kejadian kekerasan seksual yang ia alami, Laila lebih terlihat centil dan menunjukkan ketertarikan lebih terhadap lawan jenis dengan cara-cara yang lebih dewasa. Berikut penuturan ibu Irianti: “Sekarang dia jadi ngerti kalau pacar-pacaran, nanti dia tekadang kalau dibilang kau pacarnya abang itu kau kan, terus sukak senyum malu-malu sambil bilang, iya wak. Pokoknya sekarang dia jadi lebih mentellah, udah gitu pernah si Laila bilang sama pakleknya, paklek aku lagi sendiri lo, sama beberapa anak lajang juga pernah dia ngomong kayak gitu”. Ketika ditanyakan mengenai perasaan yang dirasakan Laila ketika mengingat kejadian yang terjadi pada dirinya, Laila mengaku tidak merasakan apa-apa saat ini. Hal itu dibenarkan oleh Ibu Kandung Laila, ia mengatakan bahwa saat ini Laila memang tidak merasa ketakutan lagi ketika mengingat kejadian yang ia alami. Namun Ibu kandung Laila tersebut juga mengatakan bahwa ketika bahwa dahulu ketika pertama kali Laila menerima kekerasan seksual, ia akan terlihat mual ketika disebutkan atau diingatkan oleh pelaku. Berikut penuturan ibu kandung Laila tersebut : “Kalau sekarang udah bisa dia ditanyain soal kejadian itu, kalau dulu dia gak boleh ditanyain. Soalnya kayak ada teringat-teringat gitu, mau dia mual. Disebut aja nama uwok dulu mual dia langsung kayak mau muntah. Kalau sekarang ya udah biasa aja, ditanyain pun udah gak papa”. Selain pada Laila, perubahan emosi juga terjadi pada perkembangan Juwita. Juwita menjadi lebih penyendiri dan tertutup dengan orang lain. selain itu Juwita juga Universitas Sumatera Utara mengaku selalu dihantui rasa malu dan menyesal. Hingga saat ini Juwita kerap menangis jika memikirkan kondisinya sekarang. Berikut penuturan Juwita: “ Begitu kejadian itu, wita jadi kemana-mana lebih sukak sendiri. Waktu dulu wita sering mikir gitu gimana masa depan wita nanti, masih ada nggak yang mau nerima wita lagi. Kalau sekarang terkadang masih mau kepikiran lagi, kalau udah kepikiran ampek mau nangis, cuman Wita tahan gitu”. Selain itu Juwita juga merasa takut dan trauma atas kekerasan seksual yang ia alami. Ia menjadi lebih enggan untuk keluar rumah dan melakukan interaksi dengan orang Lain. Selain itu Juwita mengaku bahwa ia juga lebih berhati-hati dengan lelaki. Biasanya ia akan menolak jika harus bepergian dengan teman lelakinya setelah kejadian yang ia alami. Berikut penuturan Juwita: “ Agak takut aja kalau sekarang kak, takut nanti ntah digituin lagi. Makanya wita sekarang jarang keluar itu, keluar pun terkadang aja sama kawan-kawan cewek. Kalau sama kawan-kawan cowok gk terlalu takut kalau ngomong, cuma kalau diajak pigi gak mau wita kak, takut. Udah gitu kalau jumpa sama kawan- kawan cowok pun paling bentar aja, itupun jarak jauh”. Hal tersebut juga terlihat melalui pernyataan Juwita ketika ditanyakan mengenai upaya yang harus dilakukan oleh anak lain agar tidak menjadi korban kekerasan seksual. Ketakutan dan traumatik Juwita dalam berinteraksi dengan orang lain terlihat ketika ia menyatakan bahwa upaya yang harus dilakukan oleh anak lain adalah lebih berhati-hati dalam menjaga diri dalam bergaul dan berinteraksi dengan orang lain terutama dengan lelaki. Karena bagi Juwita Lelaki cenderung tidak bisa dipercaya dan pasti memiliki maksud tertentu. Berikut penuturan Juwita : “Harus pande jaga diri, jangan gampang terpengaruh sama kawan, jangan terpengaruh kalau dibawak cowok ntah kemana-mana gitu, soalnya cowok jaman sekarang itu gak bisa dipercaya, pasti ada maunya ujung-unjungnya”. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, Juwita memang lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah. Ia juga lebih suka berada dikamarnya meskipun sesekali ia juga menghabiskan waktu dengan menonton tv. Hal itu juga dibenarkan oleh Universitas Sumatera Utara ibu kandung Juwita, ia mengatakan bahwa semenjak kejadian itu Juwita lebik suka termenung dan menyendiri di kamar. Berikut penuturannya : “Kalau sekarang dia sukak teduduk temenung, sukak dikamar, nantik sukak ibuk suruh dia keluar jangan dikamar aja. Takut jugak ibu nantik kalau pikirannya bingung, sering diejek-ejek orang kampung ini soalnya kan, kita kan gak tau hati dia gimana, ntah nanti dia jadi gak pengen hidup lagi, itu aja yang ibuk jaga sekarang. Makanya kalau dia dikamar sukak ibu liatin, lagi ngapain gitu”. Ibunya juga menambahkan bahwa Juwita juga menjadi lebih cepat marah dan melawan dari pada sebelumnya. Berikut penuturan Ibu Juwita : “Udah gitu sekarang dia jadi cepat marah kalau dirumah, lebih ngelawan, kalau disuruh atau dibilangin apa gitu, sekarang sukak marah, kalau dulu dia masih nurut, masih takut gitu”. Selain itu, pada diri Juwita sendiri ia juga masih menyimpan amarah dan kekecewaan terhadap pelaku kekerasan seksual. Ketika ditanyakan bagaimana ia memandang pelaku kekerasan seksual, serta hukuman yang pantas diterima oleh pelaku kekerasan seksual tersebut. Juwita mengaku mengaku bahwa ia tidak habis fikir tentang perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual. Ia menganggap bahwa seharusnya pelaku kekerasan seksual tersebut juga berfikir jika salah satu anggota keluarganya berada pada posisi yang sama dengannya saat ini. Selain itu Juwita juga merasa bahwa hukuman yang setimpal bagi pelaku kekerasan seksual adalah dipenjara seumur hidup. Karena bagi wita perbuatan tersebut sangat tidak menghargai orang lain terutama perempuan. Berikut penuturannya: “Wita ngeliatnya ya harusnya orang itu gak kayak gitu, kalau dia masi mandang adeknya kalau dia masih punya adek, harusnya dia mikir gitu gimana kalau adeknya digituin orang juga kak. Menurut wita hukuman yang pantes itu ya dipenjara kak seumur hidup, karena dia gak ngargain orang lain terutama perempuan. Dia gak mikir hidup orang yang dia gituin setelah itu”. Berbeda dengan kondisi Laila dan Juwita, kondisi perkembangan emosi Sari terlihat tidak terlalu terganggu. Dalam kesehariannya, Sari terlihat riang bermain Universitas Sumatera Utara bersama teman-temannya. Menurut penuturan nenek Marulia, Sari memang tidak memiliki perubahan emosi yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Namun nenek Marulia juga menambahkan bahwa Sari sempat menerima ejekan dari lingkungan sekitar mengenai kondisi yang ia alami, dan itu sempat membuat Sari malu. Ketika ditanyakan kepada Sari mengenai apa yang ia rasakan saat itu, Sari mengaku malu karena ia kerap diejek sebagai seseorang yang pernah menerima kekerasan seksual. Berikut penuturan Sari : “Malu, soalnya sukak diejek sama orang itu, dibilang ‘ih, sari pernah dikobelin sama pak uwo”. Namun hal itu tidak terlalu mengganggu aktivitas maupun tingkah laku Sari sehari-hari, sari tidak menunjukkan perubahan tingkah laku yang menonjol akibat kekerasan seksual yang ia alami. Interaksi Sari dengan lingkungan sekitarnya juga diakui oleh nenek Marulia tidak ada yang berubah. Selain emosi malu yang dirasakan oleh Sari, ia juga terlihat masih memiliki sedikit kebencian terhadap pelaku kekerasan seksual. Ketika ditanyakan bagaimana ia memandang pelaku kekerasan seksual tersebut, ia mengaku tidak mau bertemu dengan pelaku tersebut dikarenakan kebencian yang ia rasakan. Selain itu, Sari juga menuturkan bahwa hukuman yang pantas didapatkan oleh pelaku adalah hukuman penjara. Berikut penuturannya : “ Gak mau liat mukaknya lagi, bukan takut, tapi aku gak sukak, benci kalau liat mukaknya”. Bagusnya dihukum penjara aja sepuluh tahun, biar dia mati dipenjara”. Kekerasan seksual yang diterima oleh anak-anak korban kekerasan seksual pada kenyataannya berdampak pada perkembangan emosi anak tersebut. Perasaan takut, marah, benci, malu, tidak perduli dengan lingkungan sekitar, maupun perasaan cinta kepada lawan jenis merupakan dampak perkembangan emosi yang terlihat pada anak- anak tersebut. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada pembentukan kepribadian Universitas Sumatera Utara maupun tingkah laku anak tersebut. Seperti pada Laila, perasaan cinta pada lawan jenis yang semakin menonjol akibat kekerasan seksual yang ia alami membuat perilaku Laila terlihat lebih agresif terhadap lawan jenis daripada anak-anak seusianya. Selain itu Laila juga terlihat tidak mampu dan berani mengeluarkan beberapa emosi pada situasi maupun kondisi tertentu. Hal tersebut membuat tingkah laku Laila terkesan tidak begitu perduli dan tanggap dengan lingkungan sekitarnya. Hal serupa juga dirasakan oleh juwita, rasa takut akan kejadian yang menimpanya membuat Juwita enggan bersosialisasi dengan orang lain terutama dengan lelaki. Selain itu perasaan menyesal dan malu juga masih kerap ia rasakan, hal tersebut berdampak pada perubahan perkembangan emosi Juwita seperti mudah menangis jika mengingat kejadian yang ia alami serta penyesalan berlebih kepada kedua orang tuanya atas kondisi yang ia alami. Pada kondisi Sari dapat kita amati bahwa masih terdapat emosi kebencian yang membuat ia enggan bertemu dengan pelaku. Namun secara keseluruhan, kekerasan seksual yang dialami sari memang tidak terlalu berdampak pada kondisi perkembangan emosinya. Tidak terlihat perubahan emosi yang menonjol dalam keseharian Sari setelah kekerasan seksual yang ia alami. Hal itu juga dapat diamati pada tingkah lakunya sari sehari-hari, ia terlihat tidak memiliki ketakutan yang berlebih seperti yang terjadi pada diri Laila dan Juwita. Selain itu Sari juga tetap terlihat riang dalam berinteraksi sehari- hari. Meskipun begitu, sari sempat merasa malu karena ejekan yang kerap ia terima dari teman-temannya.

5.4 Perkembangan Bahasa

Dokumen yang terkait

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

3 35 153

KORBAN KEKERASAN SEKSUAL: STUDI KASUS PENYIMPANGAN SEKSUAL TERHADAP ANAK Korban Kekerasan Seksual: Studi Kasus Penyimpangan Seksual Terhadap Anak Di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 2 16

KORBAN KEKERASAN SEKSUAL STUDI KASUS PENYIMPANGAN SEKSUAL TERHADAP ANAK Korban Kekerasan Seksual: Studi Kasus Penyimpangan Seksual Terhadap Anak Di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 2 11

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

0 0 17

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

0 0 2

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

0 0 9

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

0 0 42

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse) 2.1.1 Pengertian Anak - Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

0 1 12

DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

0 0 10