sakit yang ia rasakan. Ia tidak dapat bermain dengan leluasa dan kerap kali absen dari sekolahnya.
Hingga saat ini Laila juga kerap merasakan sakit diperutnya yang membuat Laila kesulitan dalam berjalan. Saat ini danpak lain yang harus ia rasakan akibat
kekerasan seksual yang ia alami adalah Laila kerap tidak menyadari bahwa kotoran ataupun air seninya keluar ketika Laila ingin membuang air. Sehingga Laila beberapa
kali akan mengompol atau membuang kotoran dicelananya. Namun rasa sakit yang ia rasakan saat ini hanya dirasakan Laila ketika penyakitnya kambuh. Selain itu saat ini
Laila juga tidak lagi terlihat kurus dan pucat, ia kini terlihat lebih berstamina dan tidak terlalu kesulitan dalam bergerak maupun melakukan aktivitas sehari-hari.
5.2 Perkembangan Intelektual
C.P. Chaplin mengartikan intelegensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Anita E. Woolfolk
mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi tiga pengertian yaitu 1 kemampuan untuk belajar; 2 keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; 3
kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya Yusuf, 2004 : 106.
Mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual, penganut pedagogis radikal memiliki keyakinan bahwa intervensi lingkungan, termasuk
pendidikan, memiliki andil sekitar 80-85 terhadap perkembangan intelektual individu, sedangkan hereditas hanya memberikan kontribusi sebesar 15-20. Ali dan
Anshori juga mengatakan bahwa perkembangan kognitif manusia merupakan proses psikologis yang didalamnya melibatkan proses memperoleh, menyusun, dan
menggunakan pengetahuan, serta kegiatan mental seperti berfikir, menimbang,
Universitas Sumatera Utara
mengamati, mengingat, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi dan memecahkan persoalan yang berlangsung melalui interaksi lingkungan Ali dan Anshori, 2004 : 26,
33. Artinya dalam hal ini kekerasan seksual yang diterima seorang anak sebagai
bentuk persoalan yang berlangsung melalui interaksi lingkungannya sedikit banyaknya tentu akan berpengaruh pada perkembangan intelegensi anak tersebut. Pada kondisi
Laila selain berakibat pada kondisi fisiknya, kekerasan seksual yang ia terima juga berakibat pada perkembangan intelektualnya. Laila yang sebelumnya bersekolah kini
tidak lagi bersekolah pasca kekerasan seksual yang dialaminya. Menurut keterangan ibu Irianti, Laila mulai mengalami sakit sejak ia duduk di bangku kelas 1 SD. Hal itu
kemudian membuat Laila sering kali absen dari sekolahnya. Perutnya yang kerap kali sakit membuat Laila kesulitan dan sedikit malas untuk pergi ke sekolah. Berikut
penuturan Ibu Irianti : “ Memang dia kurang semangat sekolah sebelumnya, dia kan sakit perutnya.
Karena dia kan digitukan sama kakek itu dari kelas 1 SD, cuma dulu walaupun gak rajin masih pigilah terkadang kesekolah. Soalnya kalau jalan kan kakiknya
teseret-seret karena sakit. Jadi agak males dia sekolah. Udah gitu kalau pulang sekolahkan dulu sering dijemput didepan sekolah sama orang tua itu, dikasi
jajan. Fikir, karena kakek-kakek yang sayang sama cucu. Abis itu gak dikasi mamaknya lagilah dia sekolah, takut mamaknya.
Ibu kandung Laila juga membenarkan bahwa akibat kekerasan seksual yang
dialami oleh putrinya, Laila memang sering kali absen dari sekolah. Hal itu membuat Laila banyak ketinggalan pelajaran. Kondisinya yang lemah membuat Laila tidak
konsentrasi saat mengikuti pelajaran, Laila lebih sering terlihat lemas sambil menelungkupkan kepalanya dimeja dari pada mengikuti pelajaran disekolahnya.
Alasan yang membuat orang tua Laila memutuskan untuk tidak lagi menyekolahkan Laila adalah dikarenakan Laila yang sebelumnya kerap dijemput dan
ditunggu oleh pelaku didepan sekolah sebelum selanjutnya ia melakukan kekerasan
Universitas Sumatera Utara
seksual terhadap Laila. Oleh karena itu orang tua Laila yang tidak memiliki intensitas untuk selalu mengawasi Laila khawatir jika anaknya akan mengalami kejadian serupa.
Berikut penuturan Ibu Laila : “ Laila dulu sering ditungguin didepan sekolahnya sama kakek itu, terus pulang
sekolah digoncenglah pigi sama dia. Orang sekitar itu juga bilang Pak uwo itu asal apa-apa pasti boncengnya anak cewek, terus dibawaknya ntah kemana.
Jadinya saya takutlah dek, nantik entah ada apa-apa kalau dia sekolah, entah ditungguin lagi nantik dia didepan sekolahnya. Saya kerja sampek sore, jarang
teliat saya si Laila. Udah gitupun si Laila gak mau jugak sekolah, takut jumpa lagi kurasa sama Pak uwo itu”.
Ketika ditanyakan kepada Laila mengenai keinginannya untuk kembali bersekolah, Laila mengaku tidak ingin lagi sekolah dengan alasan perutnya yang kerap
kali sakit dan ia juga sering dihukum oleh guru karena tidak bisa menjawab pertanyaan dan mengikuti pelajaran dengan baik. Berikut penuturan Laila :
“Nggak, adek-adekku aja yang sekolah, soalnya pak rukunnya jahat, dipukulinya kami kalau ngajar, soalnya gak bisa jawab soal, udah gitu perutku
kan sakit, malaslah aku jadinya kalau pigi kesekolah”.
Selain itu Laila juga tidak memiliki cita-cita, ia tampak tidak begitu perduli ataupun memikirkan cita-citanya. Hal itu terlihat ketika ditanyakan kepadanya
mengenai cita-citanya, ia tidak menjawab pertanyaan tersebut hingga beberapa kali ditanyakan. Ketika teman-temannya yang lain ikut mengatakan cita-citanya barulah
Laila menjawab mengikuti cita-cita teman-temannya. Selain minat Laila terhadap pendidikan yang kurang, kekerasan seksual yang dialaminya juga berdampak pada
penalaran dan kecepatan berfikir Laila. Menurut penuturan Uwak dan Ibu Laila semenjak Laila mengalami kekerasan seksual, ia menjadi lamban dalam memahami
sesuatu. Berikut penuturan Ibu Irianti yang juga merupakan Uwak dari Laila: “Kalau sekarang ya kayak ada oonnya lah, agak-agak paok kalau ngomong
sama orang, gak nyambung, sukak ngelantur, gak ngerti orang ngomong apa kadang dia, udah gitu sering pelupa dia kalau disuruh, nantik ditanyaknya lagi
‘apa tadi wak?’ ”.
Universitas Sumatera Utara
Dalam berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya Laila memang terlihat sulit memahami pertanyaan maupun pernyataan dari lawan bicaranya. Hal itu membuat ia
sering kali menjawab pertanyaan dengan jawaban yang berbeda dan tidak terkait dengan lawan bicaranya. Tetangga dan keluarga Laila juga mengatakan bahwa Laila
menjadi lebih sulit dalam berinteraksi dan melakukan penalaran pasca kekerasan seksual yang dialaminya. Hal itu juga diperkuat dari pengamatan peneliti yang melihat
bahwa Laila kerap kali memberikan jawaban yang tidak memiliki korelasi dengan pertanyaan yang diajukan peneliti.
Sama halnya dengan Laila, kekerasan seksual yang dirasakan Sari juga berdampak pada perkembangannya intelektualnya. Sari yang kini seharusnya
menduduki kelas 3 SD, harus bersedia tinggal kelas dan mengulang kembali di kelas 2 SD dikarenakan pihak sekolah yang merasa prestasi Sari terlalu rendah. Nenek Marulia
mengatakan bahwa Sari memang mengalami kekerasan seksual ketika ia duduk dibangku kelas 2, nenek Marulia juga menambahkan bahwa ia merasa penyebab tinggal
kelasnya Sari sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kekerasan seksual yang dialaminya. Berikut penuturan nenek Marulia :
“Tahun ini tinggal dia, gimanalah ya, dia kan kenaknya waktu dia kelas 2, aku rasa ada pengaruhnya sikit itu gara-gara kejadian kemaren, entah kurasa agak
trauma dia kayaknya”.
Namun berbeda dengan Laila yang sudah kehilangan minat dan semangat bersekolah, Sari justru mengaku semangat dan menyukai sekolah. Sari sangat gemar
pelajaran matematika meski ia mengaku tidak terlalu menguasai pelajaran tersebut. Berikut penuturan Sari :
“Semangat, sukak sekolah, ada banyak temannya jugak. Paling sukak pelajaran matematika kalau disekolah, tapi Sari gak pala pande, Cuma sukak aja ”.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu Sari juga masih memiliki semangat untuk bercita-cita, dengan riang ia menyampaikan bahwa ia bercita-cita ingin menjadi dokter dengan alasan bahwa
menurutnya dokter adalah seseorang yang baik dan bisa mengobati orang lain. Selain itu Sari juga menganggap bahwa ketika ia menjadi dokter ia akan mampu mengobati
neneknya ketika neneknya sakit dikemudian hari. Berikut penuturan Sari: “Sari pengen jadi dokter, soalnya dokter kan baik, bisa ngobatin orang, udah
gitu Sari mau bantu nenek kalau nenek sakit nanti”. Hal yang hampir serupa juga dirasakan oleh Juwita, menurut pengakuan Ibu
kandung Juwita, ia mengatakan bahwa kekerasan seksual yang dialami Juwita juga berpengaruh pada perkembangan intelektualnya. Sebelumnya Juwita adalah anak yang
pintar dan berprestasi disekolah. Akibat kekerasan seksual yang dialaminya, kini nilai- nilai mata pelajaran Juwita menjadi semakin menurun. Selain itu hasil nilai Ujian
Nasional Juwita juga tergolong rendah dan kurang memuaskan, berikut penuturan ibu kandung Juwita tersebut.
“Ya bedalah mia kalau sama sekarang, minat belajarnya jadi bekurang, prestasinya juga pengaruh. Sebelum kejadian ini dia sekolah anaknya pintar,
nilainya tinggi. Ini kan terakhir rendah NEM nya, nilai raportnya pun rendah, pokoknya jauh bedalah. Saya kan juga mantau anak, saya bisa liat kalau dia
berubah sekarang”.
Ketika ditanyakan kepada Juwita, apakah ia semangat untuk berekolah, ia mengaku semangat dalam menjalani pendidikannya meskipun ia sempat takut untuk
kembali ke sekolah dikarenakan kekerasan seksual yang dialaminya. Berikut penuturan Juwita:
“Semangat kak, tapi waktu pertama-pertama takut mau masuk sekolah kan kak, baru kepala sekolahnya bilang kalau malu sekolah disini, pindah aja. Tapi wita
bilang udahlah buk wita gak mau pindah, wita disini aja. Kalau nanti ada yang ngejek’in yaudahlah didiamin aja. Yaudah rupanya pas Wita masuk gak ada
yang ngejek’in cuma ditanyain kemana aja”.
Universitas Sumatera Utara
Ketika ditanyakan kepadanya seberapa penting pendidikan baginya, wita mengatakan bahwa pendidikan sangatlah penting. Dan ketika ditanyakan alasannya,
remaja yang merupakan anak kedua dari 4 bersaudara itu kemudian menjawab bahwa jika seseorang tidak sekolah maka itu akan berpengaruh pada masa depan orang
tersebut. Berikut penuturannya: “Petinglah kak, untuk masa depan, kalau kita gak sekolah kan kak, kedepannya
kita entah kayak mana jadinya kalau kita gak sekolah kak”. Ketika ditanyakan mengenai cita-citanya, Juwita bercerita bahwa ia bercita-cita
ingin menjadi seorang dokter untuk membantu kedua orang tuanya apabila kedua orang tuanya sakit. Ia juga mengatakan bahwa mata pelajaran yang paling ia gemari adalah
mata pelajaran IPA, yaitu biologi dan fisika. Berikut penuturan Juwita: “Pengen jadi dokter kak, alasannya ya pengen jad i dokter aja, soalnya kan
kalau nantik mamak ama bapak ada apa-apapun kan bisa wita obatin. Wita paling suka mata pelajaran IPA kak, mata pelajaran biologi, sama fisika”.
Jika kita amati ketiga kasus diatas, dapat kita lihat bahwa kekerasan seksual yang dialami ketiga korban tersebut memiliki dampak terhadap perkembangan
intelektual mereka baik secara prestasi disekolah, semangat untuk bersekolah, maupun kemampuan dalam hal penalaran. Dalam kasus Laila, ia harus diberhentikan dari
sekolah oleh kedua orangtuanya akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Orangtua Laila yang mengetahui bahwa Laila kerap dijemput oleh pelaku didepan sekolahnya,
merasa tidak tenang melepaskan Laila ke sekolah. Selain itu, sakit yang Laila rasakan diperutnya juga membuat ia sering terlihat lemas dan tidak mampu mengikuti mata
pelajaran yang ada. Belakangan Laila juga terlihat kesulitan dalam memahami maupun melakukan
penalaran. Ia sering kali telihat tidak mengerti perkataan Lawan bicaranya dan memberikan jawaban yang tidak memiliki kaitan dengan pembicaraan. Selain itu Laila
Universitas Sumatera Utara
juga menjadi lebih pelupa dan lambat dalam menerima perintah maupun permintaaan dari orang lain. Laila juga tidak lagi memiliki minat untuk kembali bersekolah
dikarenakan gurunya yang kerap memarahinya karena tidak mampu mengikuti pelajaran.
Berbeda dengan Laila, Sari dan Juwita mengaku masih memiliki semangat untuk bersekolah, mereka juga menganggap bahwa pendidikan adalah suatu hal yang
penting bagi mereka. Meskipun begitu kekerasan seksual yang dialami oleh Sari dan Juwita juga berpengaruh terhadap perkembangan intelektualnya, hal itu terlihat dari
prestasi mereka yang menurun. Sari harus bersedia untuk tinggal kelas dan mengulang kembali dikelas 2 SD pasca kekerasan seksual yang dialaminya. Sedangkan Juwita
yang sebelumnya merupakan anak yang cukup cerdas disekolahnya, harus mengakui bahwa prestasinya jauh menurun. Hal itu terbukti dari buruknya nilai raport sekolah
dan nilai ebtanas murni NEM Juwita ketika ia menamatkan sekolahnya di jenjang SMP.
5.3 Perkembangan Emosi