Kerangka Analisis Penelitian KERANGKA PEMIKIRAN

barang-barang domestik lebih banyak daripada barang-barang impor dibandingkan dengan perilaku konsumen di wilayah perkotaan. Kenyataan mendasar ini, dimana multiplier pendapatan yang tinggi telah dapat terdeteksi di banyak negara sebagai akibat dari adanya pertumbuhan pertanian dan pendapatan pedesaan.

3.4. Kerangka Analisis Penelitian

Tujuan pembangunan ekonomi di suatu negara tidak hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi efficiency tetapi juga pemerataan hasil pembangunan equity. Menurut Todaro 2000 hal ini dimungkinkan dan pilihan strategi pembangunan menjadi penting. Perekonomian disatu pihak dapat dilihat sebagai agregasi dari seluruh aktivitas ekonomi sektoral dan dipihak lain dapat dilihat sebagai agregasi dari aktivitas ekonomi di seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Dengan demikian masalah pertumbuhan dan disparitas ekonomi antar wilayah akan sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi wilayah maupun sektoral. Pembangunan ekonomi sektoral mempunyai peranan penting dalam proses pembangunan dimana diharapkan tidak terjadi trade off antara efficiency dan equity karena perekonomian suatu wilayah juga tersusun atas aktivitas-aktivitas ekonomi sektoral. Mengacu pada model pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar yang memberikan peranan kunci kepada investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi maka pertumbuhan suatu wilayah atau sektor akan sangat tergantung pada ketersedian atau pertumbuhan investasi di wilayah atau sektor tersebut. Alokasi investasi yang bias sektoral atau wilayah akan menimbulkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda di setiap sektor atau wilayah sehingga akan muncul wilayah atau sektor yang relatif berkembang dan wilayah atau sektor yang kurang berkembang yang pada gilirannya menyebab disparitas pertumbuhan regional dan atau sektoral. Alokasi investasi yang bias sektor industri diduga mempunyai peran besar dalam menciptakan ketimpangan antar wilayah karena meski sektor tersebut kini menjadi sektor yang terbesar kontribusinya terhadap PDB nasional, namun secara regional hanya lima dari 33 provinsi 15 persen yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri dan terpusat pada propinsi yang relatif maju yakni di Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur BPS, 2009. Disamping itu sektor industri lebih padat kapital dan telah terbukti bahwa strategi pembangunan yang bias sektor industri besar yang padat kapital di negara- negara berkembang termasuk Indonesia bersifat foot loose industries dan lemah kaitannya dengan ekonomi lokal sehingga membawa masalah besar yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan serta membawa masalah produktivitas pertanian yang relatif rendah. sehingga relatif sedikit dalam menyerap tenaga kerja. Sektor pertanian masih merupakan kontibutor terbesar terhadap PDRB di sebagian besar provinsi sekitar 60 persen di Indonesia dimana pada umumnya provinsi yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian provinsi pertanian termasuk dalam kategori provinsi dengan pendapatan perkapitanya relatif rendah sehingga dapat dikategorikan sebagai provinsi yang kurang maju. Sementara sektor pertanian juga penyerap tenaga kerja terbesar dan sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang sebagian besar hidup dari sektor pertanian serta sebagai sumber penyedia bahan baku sektor industri dan jasa sehingga di banyak negara berkembang sektor pertanian dapat menjadi leading sector dalam pembangunan ekonomi. Oleh karena itu kebijakan pembangunan ekonomi harus kembali diarahkan kepada strategi pembangunan yang memperkuat dan memprioritas pembangunan sektor pertanian. Prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian diharapkan akan mampu mengatasi masalah disparitas ekonomi antar wilayah maupun antar golongan masyarakat dan sekaligus diharapkan mengatasi masalah kinerja ekonomi mikro dan makro. Stategi pembangunan ADLI adalah pendekatan pembangunan yang mengedepankan sektor pertanian. Strategi yang sama-sama mengedepankan sektor pertanian adalah ”Strategi Induk” hasil pemikiran Tambunan 2002 dengan argumen bahwa industrialisasi ini mengedepankan sektor pertanian dan industri berbasis pertanian karena selain banyak menyerap tenaga kerja juga sebagian besar usaha di sektor tersebut tergolong UKM. Pembangunan ekonomi sektoral dalam mencapai efficiency dan equity tidak dapat sepenuhnya mengandalkan sektor pertanian karena peningkatan investasi yang kemudian diharapkan meningkatkan produktivitas dan produksi sektor pertanian, ketika peningkatan produksi mengalami over supply maka akan terjadi penurunan harga yang cukup besar sedemikian sehingga menurunkan pendapatan petani dan buruh tani yang pada gilirannya tidak mampu menstimulir perkembangan sektor non pertanian. Hal ini karena secara umum permintaan terhadap produk pertanian bersifat inelastis. Disamping itu, memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi pertanian terkendala oleh semakin terbatasnya sumberdaya, khususnya lahan. Dalam hal ini, untuk memperoleh dampak terbaik terhadap perekonomian mikro, makro dan disparitas ekonomi antar wilayah maka prioritas alokasi investasi selain diberikan kepada sektor pertanian, juga harus diberikan kepada sektor industri berbasis pertanian agroindustri dan infrastruktur. Kombinasi peningkatan investasi di ketiga sektor tersebut dipilih karena berdasarkan banyak studi empiris, masing-masing sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kombinasi ketiganya memberikan dampak yang bersifat komplementer. Untuk sektor pertanian, banyak hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas di sektor pertanian akan menurunkan tingkat kemiskinan, memperkecil ketimpangan ekonomi antar golongan masyarakat dan beberapa studi juga menurunkan ketimpangan antar wilayah. Hingga saat ini diyakini bahwa untuk negara-negara berkembang, sektor pertanian merupakan leading sektor karena mempunyai backward linkage dan forward linkage yang paling kuat. Namun untuk Indonesia, berdasarkan studi-studi sebelumnya dengan menggunakan analisis Input Output I-O, ada kecenderungan bahwa secara nasional, sektor agroindustri memberikan multiplier effect yang paling besar meskipun jika dibedakan berdasarkan analisis keterkaitan, sektor pertanian memiliki forward linkage yang tertinggi, sementara backward linkage yang tertinggi terjadi di sektor agroindustri baik berdasarkan Tabel I-O tahun 1998, tahun 2000, maupun tahun 2003 Bernadi, 2001; Kusumaningrum, 2006; dan Kriswantriyono 2002. Menurut studi Kriswantriyono 2002 jika sektor agroindustri digabung dengan sektor pertanian sektor agribisnis maka sektor agribisnis dapat menjadi leading sector karena baik dari nilai keterkaitan maupun multiplier effect nya adalah yang tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Berdasarkan studi Bappenas dengan menggunakan data IRIO tahun 2005 dan analisis multiplier effect, secara regional, cukup banyak provinsi yang leading sector- nya adalah agroindustri. Disamping itu seperti halnya sektor pertanian, sebagian besar industri berbasis pertanian tergolong usaha kecil dan menengah UKM. Sementara sektor infrastruktur menurut banyak studi memberikan dampak yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi karena sebagai barang publik memiliki tingkat multiplier yang besar dan menurut beberapa studi menunjukkan bahwa tambahan keuntungan dari adanya investasi infrastruktur lebih rendah di wilayah yang sudah maju daripada di wilayah yang sedang berkembang atau wilayah tertinggal Hulten dan Schwab, 1993; Puga, 2003; serta Lall et al., 2005. Oleh karena itu diduga, peningkatan investasi di infrastruktur akan secara kuat memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah. Untuk menganalisis dampak peningkatan investasi sektoral dengan pendekatan produktivitas sektoral terhadap perekonomian mikro, makro, wilayah dan disparitas ekonomi digunakan pendekatan multiregional CGE top down yang telah dibangun dalam studi Oktaviani et al. 2006 dengan nama CGE-IR CGE- Investasi Regional sebagai alat analisis utama. Khusus untuk menganalisis disparitas ekonomi antar wilayah tidak dapat dikuantifikasi langsung melalui model CGE-IR, melainkan hasil simulasi mengenai pertumbuhan wilayah dengan menggunakan model CGE tersebut dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan indeks CVw. Karena investasi dalam tabel I-O dan IRIO yang digunakan sebagai data base hanya menunjukkan investasi di masing-masing sektor yang berasal dari sektor tersebut, maka beberapa sektor yang outputnya tidak dapat dijadikan barang investasi tidak ada nilai investasinya nol. Dengan demikian nilai investasi tersebut belum dapat menunjukkan nilai investasi secara keseluruhan dalam perekonomian. Oleh karena itu, simulasi kebijakan investasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan simulasi peningkatan produktivitas input sebagai dampak dari adanya peningkatan investasi. Nilai besaran produktivitas input diduga dari fungsi produksi double-log dimana produksi input tersebut merupakan fungsi dari tenaga kerja, dan investasi. Pendugaan fungsi dilakukan dengan menggunakan analisis ekonometrik khususnya metode Ordinary Least Square OLS. Secara skematis, kerangka pemikiran operasional studi dampak perubahan produktivitas sektoral berbasis investasi terhadap disparitas ekonomi antar wilayah dapat dilihat pada Gambar 7. Dengan mengasumsikan bahwa investasi di suatu sektor dapat meningkatkan produktivitas input di sektor tersebut maka peningkatan investasi di leading sector pertanian, industri berbasis pertanian dan infrastruktur sektor pertanian akan meningkatkan produktivitas input di leading sector tersebut. Adanya peningkatan produktivitas input menunjukkan adanya peningkatan produksi karena secara grafis peningkatan produktivitas tersebut akan menggeser kurva suplai ke arah kanan yang pada gilirannya akan menurunkan harga produk pertanian dan sisi lain akan meningkatkan upah karena peningkatan produksi lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas seperti halnya hasil studi Datt dan Ravallion 1998, Susanti 2003 dan Taufikurahman 2004. Harga LS Produksi LS Ekspor X dan Impor M di LS Agregat Demand Y=C+I+G+ X-M -Kinerja MakroMikro Ekonomi -Distribusi pendapatan RT -Disparitas Ekonomi Antar Wilayah Index cvW Pendapatan RT: -Pendapatan RT Pede- saan RT perkotaan -Pendap RT Gol bawah gol atas Ekonomi Wilayah: PDRB Kesempt kerja wil yg perek dodiminasi LS Non LS Produksi, Kesempatan kerja, Pendapatan RT di LS Foreign Exchange Daya beli RT di LS Pendapatan RT di LS Kesempatan kerja RT di LS X dan M non LS Inflasi Harga Suplai domestik Share output Share CIGX Analisis Ekonometrik Makroekonomi: -Konsumsi RT -Penge Pem -Investasi -Net Export Mikro Ekonomi: -Output Sektor -Harga Sektor -Upah -Kesemptn Kerja Investasi Leading Sector LS Produktivitas Leading Sector LS Multiregional CGE-topdown Gambar 7. Kerangka Analisis Penelitian Dengan adanya peningkatan produksi dan upah, maka tingkat pendapatan masyarakat atau rumahatangga di leading sector yakni masyarakat petani dan pengusaha kecil di pedesaan dan perkotaan akan mengalami peningkatan sebagaimana hasil studi Fan et al. 1999 dan 2002, Anderson 2002, Thirtle, et al. 2003, Yudhoyono 2004, dan Astuti 2005. Peningkatan pendapatan masyarakat petani dimungkinkan meskipun tingkat harga mengalami penurunan karena dengan berkembangnya sektor industri berbasis pertanian yang keterkaitannya kuat dengan sektor pertanian juga mengalami perkembangan sehingga permintaan terhadap produk pertanian akan lebih elastis. Peningkatan pendapatan pada rumahtangga di leading sector tersebut selanjutnya akan meningkatkan daya beli mereka baik terhadap pangan maupun produk-produk non pangan sehingga pada gilirannya akan mengembangkan sektor lainnya di luar leading sektor. Hal ini sejalan dengan temuan studi Sipayung 2000, Susanti 2003, de Ferranti et al. 2005, dan Astuti 2005. Juga beberapa studi empiris sudah membuktikan bahwa di Indonesia, sektor pertanian dan industri berbasis pertanian mempunyai backward dan forward lingkage yang tinggi Bernadi, 2001; Kusumaningrum, 2006; dan Kriswantriyono 2002. Di pihak lain, peningkatan produksi dan penurunan harga produk pertanian sebagai dampak dari adanya peningkatan produktivitas menyebabkan sektor pertanian menjadi lebih kompetitif di pasar internasional, sehingga mampu mensubstitusi impor dan meningkatkan ekspor, serta menjamin ketersediaan bahan baku industri khususnya agroindustri yang lebih murah dan secara kontinu. Jadi perkembangan sektor non pertanian khususnya untuk agroindustri, tidak hanya karena meningkatkatnya permintaan, tetapi juga karena kemampuan sektor pertanian dalam menghasilkan produk yang lebih kompetitif. Peningkatan produksi di leading sector yang kemudian diikuti oleh perkembangan produksi di sektor lainnya karena adanya consumer-demand multiplier effect meningkatkan suplai domestik sehingga tingkat harga secara keseluruhan menurun atau terjadi inflasi sehingga akan mendorong ekspor barang dan jasa serta menekan impor. Di pihak lain, peningkatan suplai domestik juga akan meningkatkan kesempatan kerja. Adanya pertumbuhan output sektoral secara keseluruhan di satu sisi dan di sisi lain akumulasi dari adanya peningkatan konsumsi, investasi dan peningkatan net ekspor akan meningkatkan pendapatan nasional atau menigkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan produktivitas leading sector yang berbasis investasi tidak hanya mempu menstimulir pertumbuhan ekonomi nasional akan tetapi juga akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi regional karena secara sektoral semua sektor mengalami pertumbuhan dan dengan menggunakan model multiregional CGE top down perekonomian wilayah dikuantifikasi berdasarkan share dari perekonomian nasional. Hanya saja, pertumbuhan output, kesempatan kerja, pendapatan rumahtanga, serta penurunan harga di leading sector akan lebih tinggi dibandingkan dengan di sektor lainnya sehingga pertumbuhan ekonomi di wilayah yang perekonomiannya didominasi oleh leading sector akan lebih tinggi. Wilayah tersebut adalah wilayah sumber utama PDRBnya adalah sektor pertanian dan atau indutri berbasis pertanian yang secara umum tingkat pendapatannya relatif rendah. Oleh karena itu pengembangan leading sector akan mampu menurnkan tingkat disparitas ekonomi antar wilayah maupun antar golongan masyarakat. Efektifitas dari leading sector dalam mengembangkan perekonomian wilayah dan nasional akan sangat tergantung pada efektivitas investasi dan keterkaitan antar sektor dimana keterkaitan tersebut akan sangat tergantung pada tingkat elastisitas pendapatan dari permintaan produk pangan maupun non pangan dan elastisitas hargapermintaan produk-produk pertanian Mellor, 1966. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa di negara-negara berpendapatan rendah nilai elastisitas tersebut cukup besar sehingga diduga pengembangan sektor pertanian dan industri berbasis pertanian di negara berkembang seperti Indonesia akan efektif dalam memperkecil disparitas wilayah dan meningkatkan perekonomian mikro dan makro.

3.5. Hipotesis Penelitian