20 6.
Pemantauan dan penegakan hukum monitoring and enforcement. Aturan main dan norma harus dipantau dan ditegakan oleh suatu badan yang
kompeten, atau oleh masyarakat secara internal pada tingkat individu. 7.
Hierarki dan jaringan nested levels and institutions. Kelembagaan bukanlah struktur yang terisolasi, tapi merupakan bagian dari hierarki dan jaringan atau
sistem kelembagaan yang lebih kompleks. 8.
Konsekuensi kelembagaan consequences of institutions. Umumnya dikenal dua tingkatan konsekuensi. Pertama, kelembagaan meningkatkan rutinitas,
keteraturan, atau tindakan manusia yang tidak memerlukan pilihan lengkap dan sempurna. Kedua, kelembagaan memiliki pengaruh bagi terciptanya suatu
pola interaksi yang stabil yang diinternalisasi oleh setiap individu. Ciri umum kelembagaan menurut Bogason 2000 dalam Suhana 2008,
yaitu adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi di antara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai, dan adanya tekanan untuk
berperilaku sesuai dengan yang telah disepakatiditetapkan. Kelembagaan dilihat sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi terhadap individu-individu
dan kelompok-kelompok dalam menentukan pilihannya. Bogason 2000 dalam Suhana 2008 juga menyatakan bahwa ada
Terdapat tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata dan biasanya
ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, aturan didefinisikan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang atau penetapan aturan ini sering
disebut sebagai kebijakan. Sedangkan pada level konstitusi kita mendiskusikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang,
seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi.
2.5 Kinerja Kelembagaan
The Organisation for Economic Cooperation and Development OECD dalam Ruray 2012 menyatakan bahwa kerangka kelembagaan merupakan bagian
inheren dari sistem manajemen lingkungan. Ini memfasilitasi dan mendukung proses pembuatan kebijakan lingkungan, dan memastikan pelaksanaan dan
21 penegakan kebijakan. Urgensi kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
oleh Magda Lovei dan Charles Waise, Jr mengungkapkan bahwa kerangka administrasi dan institutional merupakan bagian yang melekat dari sistem
manajemen lingkungan. Fasilitas dan dukungan proses pembuatan kebijakan lingkungan, dan kepastian pelaksanaan dan penegakan kebijakan. Instansi
pemerintah yang ditunjuk dan disetujui oleh pejabat terpilih untuk melaksanakan tugas-tugas ini merupakan pilar utama administrasi lingkungan Ruray, 2012.
Keberadaan kelembagaan pengelola lingkungan dan keberhasilan peraturan perundang-
undangan lingkungan juga ditentukan oleh “the existing administrative and institutional framework
” sebagaimana dikemukakan oleh Nancy H. Kumasek dan Gary. S Silverman, pilar utama dari badan-badan
administrasi lingkungan diangkat dan disetujui oleh pejabat terpilih untuk melaksanakan tugas-tugas ini. Kerangka Administrasi juga membutuhkan
organisasi formal dan informal dengan peraturan yang telah ditetapkan; dan pola hubungan dan komunikasi; dan pengembangan kelembagaan, seperti proses
pengambilan keputusan, distribusi kewenangan, interaksi, dan pola komunikasi dengan organisasi lain, individu, dan kelompok Ruray, 2012.
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai aspek kelembagaan waduk telah banyak dilakukan, namun masing-masing memiliki kriteria dan metode yang berbeda-beda.
Penelitian mengenai kelembagaan pengelola waduk sebelumnya pernah dilakukan oleh Widiastuti 2013 yang berjudul “Kerugian Ekonomi PLTA Akibat
Sedimentasi dan Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan Waduk Cirata, Jawa Barat”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui sumber pencemar utama di
Waduk Cirata, besar kerugian yang ditanggung PLTA akibat adanya pencemaran, dan kelembagaan yang mengelola waduk Cirata. Analisis kelembagaan dilakukan
dengan menggunakan pendekatan DolsakOstrom 2003. Berdasarkan hasil analisis kelembagaan dalam penelitiannya diketahui bahwa pengelolaan waduk
saat ini belum maksimal karena tidak ada kekuatan yang lebih besar untuk menekan free rider dan menegakkan peraturan. Konflik kepentingan terjadi
karena dipengaruhi oleh karakteristik waduk yang besar sehingga sulit untuk
22 mengatur tata kelolanya, faktor ekonomi karena demand yang tinggi terhadap
produk perikanan dan pertanian, adanya kepentingan politis masing-masing daerah yang tergenangi waduk untuk memenuhi pendapatan daerahnya, tidak ada
leading sector yang mampu menggerakkan massa untuk melakukan collective action dan lemahnya penegakan peraturankesepakatan yang sudah dibuat.
Penelitian lain pernah dilakukan oleh Nasution 2000 dengan judul “Analisis Kelembagaan dan Perilaku Petani Ikan dalam Pengelolaan Lingkungan
Perairan Waduk” studi kasus di perairan Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Dasar
pengukuran persepsi, perilaku dan pengetahuan petani ikan dilakukan melalui teknik pemberian skor menggunakan interval yang konsisten. Kemudian analisis
datanya dilakukan secara deskriptif dengan bantuan tabulasi dan presentase. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kelembagaan yang mengelola lingkungan
perairan waduk dalam hubungannya dengan pelaksanaan budidaya ikan sistem KJA adalah POJ melalui suatu Tim Penasehat Direksi Bidang Perikanan PDBP.
Koordinasi lembaga terkait dalam mengelola lingkungan perairan waduk dalam hubungannya dengan budidaya ikan sistem KJA telah berjalan sesuai dengan SK
Direksi POJ tentang Tim PDBP dan telah sesuai dengan batas yurisdiksi masing- masing. Hak dan kewajiban setiap lembaga telah berfungsi sebagaimana mestinya,
kecuali petani ikan sebagai pelaksana budidaya ikan belum menerima informasi tentang perubahan keadaan lingkungan perairan waduk kualitas dan kuantitas air.
Begitu pula aturan representasinya yang belum terwakilkan dalam Tim PDBP. POJ, Dinas Perikanan dan Inlitkanwar mempunyai persepsi yang sama terhadap
keberadaan budidaya ikan sistem KJA dan mengatasi kematian ikan di lingkungan perairan waduk. Tindakan kebijakan pengelolaan perairan waduk dalam
hubungannya dengan budidaya ikan sistem KJA yang penting meliputi penetapan tata ruang, pemeriksaan kualitas air, pengukuran parameter klimatologi,
pengaturan operasi tiga waduk Cirata, Saguling dan Jatiluhur, pengembangan budidaya ikan, pengelompokan petani ikan, penetapan kriteria jaring apung,
mengatur perizinan dan melakukan pengendalian. Sebesar 67,5 petani lokal dan 63,0 petani luar lokasi mempunyai persepsi yang baik terhadap lingkungan
perairan waduk dalam hubungannya dengan budidaya sistem KJA. Sebesar 95 petani lokal dan 96,3 petani luar lokasi berperilaku baik dalam pengelolaan
23 lingkungan perairan dalam hubungannya dengan budidaya ikan sistem KJA yang
mereka lakukan. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Suhana 2008 dengan judul
“Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan
aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat,
akademisi dan aparat keamanan. Format kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
harus melibatkan masyarakat formal dan informal, pemerintah, pihak swastausaha dan perguruan tinggi.
24
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN
Waduk Cirata dibangun untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik untuk wilayah Jawa dan Bali. Selain memiliki fungsi utama sebagai pembangkit listrik,
Waduk Cirata dimanfaatkan sebagai lokasi pembudidaya ikan dengan sistem KJA, pariwisata, lalu lintas air, dan penangkapan ikan. Berbagai kegiatan yang ada di
Waduk Cirata tersebut menimbulkan manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pengelola Waduk Citara membiarkan masyarakat
membudidayakan ikan di area sebagai kompensasi dari masyarakat yang kehilangan lapangan pekerjaan akibat penggenangan saat pembuatan waduk.
Kegiatan budidaya ikan menggunakan sistem KJA yang dinilai memberikan keuntungan dalam pekasanaannya membuat semakin banyak orang
yang tertarik untuk ikut mengembangkan usaha yang sama. Para Petani ikan yang awalnya hanya berasal dari masyarakat sekitar, sekarang sudah banyak yang
berasal dari luar wilayah sekitar Waduk Cirata. Akibatnya jumlah KJA semakin meningkat setiap tahunnya bahkan melebihi daya dukung waduk. Peningkatan
jumlah KJA yang tidak terkendali tersebut berdampak pada kualitas air di dalam waduk karena menyebabkan pencemaran. Pencemaran terjadi karena budidaya
ikan itu sendiri dan peralatan yang digunakan dalam pembuatan KJA sebagai sarana budidaya. Limbah dari kegiatan budidaya yaitu sisa pakan yang tidak
termakan dan feses dari ikan. Sedangkan limbah dari KJA yaitu berasal dari sterofoam dan KJA yang sudah rusak namun masih dibiarkan berada dalam
waduk. Air waduk yang tercemar menyebabkan kualitas air buruk dan menurunkan produktifitas ikan tiap petak KJA serta menyebabkan korosi pada
peralatan pembangkit listrik sehingga meningkatkan biaya operasional kegiatan pembangkit listrik. Selain itu, kegiatan budidaya dengan sistem KJA juga
menyebabkan sedimentasi yang tinggi pada dasar waduk. Sedimentasi normal dapat digunakan untuk memperkirakan usia waduk, namun dengan tingginya
sedimentasi yang diakibatkan oleh kegiatan budidaya ikan dapat menyebabkan usia waduk berkurang dari yang sudah diperkirakan. pencemaran dan sedimentasi
mengancam keberlanjutan fisik dan fungsi waduk yang ada.