Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengelolaan KJA Waduk Cirata

76 dalam perlindunganpengawasan sumberdaya perikanan, pembangunan sarana dan prasarana perikanan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan perizinan. Sedangkan DKP Kabupaten Bandung Barat dan Purwakarta berperan dalam pembangunan sarana dan prasarana perikanan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan perizinan. Perbedaan tersebut disebabkan wilayah Bandung Barat dan Purwakarta memiliki wewenang yang lebih tinggi dalam mengurus waduk yang ada di daerah masing-masing jadi tidak terfokus pada Cirata yang letaknya lintas kabupaten. Selain itu DKP Provinsi Jawa Barat dan DKP Kabupaten lebih mudah melakukan kegiatan pengawasan karena masing-masing memiiki UPT Cirata yaitu UPT tingkat Provinsi dan Kabupaten dan keduanya terletak di wilayah Cianjur. BPWC memiliki kewenangan dalam perlindunganpengawasan, pembangunan sarana dan prasarana, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan SPL untuk KJA, yang semuanya terkait dengan pengelolaan sumberdaya waduk agar fungsinya sebagai pemasok listrik tidak terganggu. Kelompok pembudidaya ikandan ASPINDAC melakukan pemberdayaan masyarakat dan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata. Kelompok penjual pakan memiliki peran dalam mensosialisasikan dan memberdayakan masyarakat mengenai penggunaan pakan yang baik kepada pembudidaya ikan. Kontribusi yang diberikan stakeholder dalam kuadran ini yaitu sumberdaya manusia, dana, fasilitas, informasi. Masing-masing stakeholder menggunakan sumberdaya yang disediakannya untuk kegiatan yang menjamin kepentingannya. DKP provinsi dan kabupaten mengadakan program penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat, memberikan informasi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, serta pelatihan dan penyediaan fasilitas dalam usaha perikanan. Kelompok pembudidaya ikan dan ASPINDAC melakukan berbagai kegiatan untuk mendiskusikan pengelolaan dan permasalahan perikanan, penampung aspirasi dan melaksakan kegiatan pelestarian waduk. Pihak BPWC menggunakan sumberdaya manusia, dana, fasilitas, informasi yang dilimilikinya untuk pelestarian waduk. Sementara kelompok penjual pakan dalam kegiatannya menjual pakan juga memberikan transfer informasi mengenai jenis dan cara pemberian pakan yang baik bagi pembudidayaan ikan dengan sistem KJA. 77

6.2.1.3 Bystanders

Bystanders merupakan stakeholder dengan kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata. Stakeholder yang masuk di kuadran ini yaitu aparat desa, BPPT dan lembaga peneliti.

1. Kepentingan

Dilihat dari aspek keterlibatan, manfaat yang diperoleh, sumberdaya yang disediakan, fokus pengelolaan dan tingkat ketergantungan terhdap sumberdaya perikanan, stakeholder yang masuk ke dalam kuadran bystander memiliki nilai yang sangat rendah. Aparat desa hanya menjalankan tugas-tugas administrasi yang menyangkut masalah kependudukan, kelengkapan dalam pengurusan perijinan kegiatan budidaya ikan, dan bersama BPWC melakukan pelaksanaan pembuatan SPL dengan sistem jemput bola. Lembaga BPPT bertugas menerbitkan ijin bagi kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan. Lembaga peneliti memiliki kepentingan sendiri untuk melakukan kegiatan penelitian tentang perairan dan perikanan di bawah Kementrian Kelautan dan Perikanan KKP. Kelompok ini tidak terlalu bergantung terhadap sumberdaya waduk termasuk sumberdaya perikanan karena memiliki mata pencaharian diluar bidang perikanan.

2. Pengaruh

Dilihat dari aspek penetapan dan pelaksanaan aturankebijakan, peranan, kemampuan dalam berinteraksi, kewenangan dan kapasitas sumberdaya yang disediakan bagi pengelolaan waduk dan sumberdaya perikanan, stakeholder yang termasuk bystanders memiliki nilai pengaruh yang sangat rendah. Kelompok ini tidak memberikan kontribusi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata. Stakeholder tersebut dibedakan menjadi stakeholder yang mempunyai kepentingan dan memberikan pengaruh secara langsungserta stakeholder yang mempunyai kepentingan lain dan memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap kegiatan pengelolaan KJA di Waduk Cirata. Kedua kelompok stakeholder tersebut dipisahkan oleh garis diagonal pada Gambar 14. Stakeholder yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Dinas Peternakan 78 Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, BPWC, ASPINDAC, kelompok penjual pakan ikan, Kelompok pembudidaya ikan, dan POKMASWAS. Sedangkan stakeholder yang tidak harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata yaitu kelompok nelayan, kelompok pengolahan hasil perikanan, pedagang ikan, lembaga peneliti, aparat desa, dan BPPT.

6.2.2 Hubungan antar Stakeholder

Stakeholder dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya Waduk Cirata terkait dengan pembudidayaan ikan dengan KJA tergolong dalam level penentu kebijakan collective choice level dan level operasional operational choice level. Stakeholder yang termasuk dalam level penentu kebijakan yaitu Kementrian Kelautan dan Perikanan, DKP Provinsi Jawa Barat, PT. PLN dan PJB. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menentukan kebijakan dan aturan main formal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata. Sedangkan yang termasuk ke dalam level operasional yaitu DKP Kabupaten Cianjur, Bandung Barat, Purwakarta, BPWC, BPPT, UPTD, kelompok pembudidaya ikan, ASPINDAC, kelompok nelayan, kelompok pengolah ikan, pedagang ikan, dan kelompok penjual pakan. Berdasarkan hasil analisis stakeholder pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata diperoleh bahwa koordinasi yang terjadi antar stakeholder belum optimal. Walaupun sudah ada kesepakatan mengenai pemanfataan Waduk Cirata oleh masing-masing stakeholder, namun dalam implementasinya masih belum berjalan. Setiap stakeholder menjalankan perannya di dasarkan pada keputusannya masing-masing. Sehingga terjadi konflik kepentingan dalam kegiatan pengelolaan waduk. Perbedaan kepentingan yang paling besar dan saling mempengaruhi dalam pemenuhan kepentingannya yaitu antara BPWC dan Dinas Perikanan Provinsi. BPWC memanfaatkan waduk dalam kegiatannya untuk menjamin terpenuhinya pasokan listrik. Oleh karena itu, besar sekali kepentingan BPWC dalam menjaga kelestarian waduk. Sedangkan Dinas Perikanan menggunakan waduk sebagai lokasi budidaya ikan yang dalam 79 kegiatannya telah teridentifikasi sebagai salah satu penyebab dari penurunan kualitas air Waduk Cirata. Pada awalnya pihak BPWC memang mengijinkan adanya pemanfaatan waduk untuk budidaya ikan dengan sistem KJA yang dimaksudkan sebagai kompensasi bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat adanya pembangunan waduk. Melihat potensi yang sangat besar untuk kegiatan budidaya tersebut, pada tahun 2003 Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung, Cianjur, dan Pruwakarta, serta Direktur Utama PT. PJB membuat kesepakatan tentang pengembangan pemanfaatan Waduk Cirata. Kegiatan pemanfaatan budidaya ikan dengan KJA merupakan salah satu yang disetujui dengan syarat tidak mengganggu kegiatan pembangkitan listrik. Dalam keputusan gubernur jawa barat no. 41 tahun 2002 telah diatur bahwa kuota KJA untuk seluruh wilayah dianjurkan sebanyak 12.000 petak. Pada kenyataannya jumlah KJA yang terdapat di Waduk Cirata lebih dari 50.000 BPWC, 2011. Banyaknya jumlah KJA tentu saja sejalan dengan keinginan dinas perikanan untuk terus meningkatkan jumlah produksi ikan. Namun hal tersebut jelas menggangu kegiatan pembangkitan listrik. Sisa pakan dan feses yang mengendap di dasar danau ditambah dengan limbah dari aktifitas rumah tangga penghuni KJA menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air. Biaya operasional yang semakin meningkat dan laju sedimentasi yang tinggi adalah dampak yang harus diterima oleh BPWC. Disamping itu, terlalu banyaknya jumlah KJA yang ada juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari ikan yang diproduksi itu sendiri. Tipe pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata tergolong ke dalam tipe instruktif dan konsultatif. Tipe instruktif terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Sedangkan pada tipe konsultatif, terdapat mekanisme dialog antar pemerintah dan pelaku perikanan namun pengambilan keputusan masih dilakukan pemerintah. Petani ikan memberikan aspirasi mereka melalui penyuluh lapang yang kemudian akan disampaikan dalam berbagai rapat pengembilan keputusan mengenai pengelolaan waduk. Pemanfaatan Waduk Cirata yang luas dengan berbagai kepentingan di dalamnnya seharusnya diatur oleh koordinasi yang baik antar stakeholder-nya. 80 DKP provinsi Jawa Barat menentukan aturain main pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata dan kegiatan teknis di lapangannya dilakukan oleh BP3U. masing-masing DKP Kabupaten mengatur pemanfataan perikanan di wilayahnya. Dalam pengaturan ijin dan retribusi langsung ke povinsi, hanya Kabupaten Cianjur yang mendapat retribusi dari kegiatan KJA untuk PAD. Kurangnnya intensif bagi daerah kabupaten menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan Waduk oleh DKP Kabupaten. BPWC berwenang menerbitkan SPL bagi KJA. SPL merupakan salah satu syarat bagi pembuatan ijin di tingkat provinsi. Diagram alur hubungan antar stakeholder yang terlihat dalam pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Cirata dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Grafik keterkaitan antar stakeholder Keterangan : : Garis koordinasi : Garis koordinasi di lapangan : Garis konsultasi : Garis instruksi BPPT Kementrian Kelautan dan Perikanan BPWC Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta BP3U UPTD Provinsi Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat BPBP2U UPTD Kabupaten PT. PJB PLN ASPINDAC Kelompok Pembudidaya Ikan, kelompok nelayan,Kelompok pengola ikan, Pedagang ikan, Kelompok Penjual Pakan Gudang Juragan, GPMT Collectivechoicelevel Operational choice level POKMASWAS 81 Dari grafik tersebut dapat dilihat pihak yang paling berpengaruh dalam membuat kebijakan pengelolaan waduk adalah BPWC dan DKP Provinsi. BPWC mendapat kewenangan dalam pengelolaan waduk atas perintah dari PT. PJB yang merupakan anak perusahaan dari PLN. Segala peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh DKP provinsi Jawa Barat juga harus sejalan dengan peraturan yang telah dibuat oleh KKP. DKP provinsi dibantu oleh DKP Kabupaten Cianjur, Bandung Barat, dan Purwakarta urusan teknis dilapangan. DKP Provinsi berwenang memberikan koordinasi terhadap tiga wilayah kabupaten tersebut dalam menentukan arah pengelolaan perikanan di Waduk Cirata. Selain itu, kegiatan teknis di lapangan dilakukan oleh BP3U yang mendapat koordinasi langsung dari DKP Provinsi Jawa Barat. BPWC berkoordinasi dengan DKP provinsi Jawa Barat dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata. Secara berkala BPWC memberikan laporan kualitas air kepada DKP provinsi sebagai bahan pertimbangan pengelolaan KJA yang akan provinsi lakukan. SPL yang diterbitkan oleh BPWC merupakan syarat bagi Ijin Usaha Prikanan IUP yang diterbitkan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu BPPT atas persetujuan DKP Provinsi. Dalam pelaksanaan penertiban SPL, BPWC dibantu oleh aparat desa dan penyuluh perikanan menggunakan sistem jemput bola. Sebelum sampai di provinsi, terlebih dahulu pengaju harus mendapatkan rekomendasi teknis dari DKP Kabupaten tempatnya berasal. Secara lengkap alur pembuatan IUP dapat dilihat pada Gambar 16. Sumber : BPWC, 2012 Gambar 16. Mekanisme pengurusan SPL dan IUP KJA di Waduk Cirata SPL Stiker IUP Petani Ikan - FC. KTPMPWP - Permohonan SPL IUP - Surat Pernyataan - Surat Ket. Domisili - Rencana Usaha BPWC : 1. Surat Penempatan Lokasi KJA SPL 2. Stiker Lokasi KJA 3. Membayar Rp. 1.000m 2 Berlaku Selama 1 Tahun Dasar : 1. Perda Prop. No. 14 Tahun 2002 2. Kep Gub. No. 45 Tahun 2003 3. SK. DIR PJB 055.KDIRPJB II99 Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat - Membayar Retribusi Rp. 50.000Petak KJA - Mengeluarkan IUP Ijin Usaha Perikanan atas nama Gubernur Rekomendasi Teknis Ijin Usaha Perikanan oleh Dinas Kabupaten 82 BPWC menerbitkan SPL berdasarkan Keputusan Direksi PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II No. 055 K010DIR1999. Terdapat beberapa persayaratan dalam pembuatan SPL seperti yang dapat dilihat pada Gambar 15. Namun dalam surat keputusan mengenai SPL tersebut belum mengatur batas maksimum jumlah KJA yang seharusnya dimiliki RTP. SPL hanya mengatur tata letak KJA sesuai zonasi. Peraturan pembatasan jumlah KJA baru ada ditingkat provinsi misalnya pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2011 yang membatasi jumlah KJA paling banyak 20 petak dengan ukuran keramba 7 x 7 m. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya kewenangan yang dimiliki oleh BPWC untuk membatasi jumlah KJA yang dimiliki oleh petani ikan, padahal mekanisme SPL merupakan langkah pertama dalam penertiban KJA yang ada di Waduk Cirata. Pembatasan jumlah KJA untuk setiap RTP oleh pemerintah provinsi juga belum berjalan dengan baik walaupun sudah ada peraturannya di tingkat provinsi. Jumlah KJA berlebih yang dimiliki petani dapat diketahui ketika pengurusai IUP atau dengan pengawasan langsung. Namun banyak petani ikan yang tidak mengurus IUP ke tingkat provinsi, begitu juga pengawasan yang dilakukan pemerintah provinsi yang masih lemah. Berdasarkan Keputusan Direksi PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II No. 055 K010DIR1999, BPWC dapat memfasilitasi pengurusan IUP dan SPbi ketika petani ikan mengurus SPL. Namun sekarang hal tersebut tidak berjalan karena tingginya biaya operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari pengurusan SPL. Padahal jika sistem ini masih dilaksanakan akan mempermudah dalam pembatasan jumlah KJA karena dilakukan bersamaan antara peraturan di BPWC mengenai SPL dan tingkat provinsi mengenai pembatasan jumlah KJA untuk setiap petani ikan. Banyaknya jumlah KJA yang meningkat setiap tahunnya disebabkan karena kurangnya instrumen pengawas yang dimiliki BPWC maupun pemerintah provinsi. Jumlah KJA yang meningkat menjadi tidak terkontrol. Pemberian SPL sekarang diberikan kepada petani ikan yang sudah mendirikan KJA, bukan lagi kepada petani ikan yang akan mendirikan KJA. Selain itu tidak jelasnya kewenangan antara BPWC dan pemerintah menjadikan mekanisme pembatasan jumlah KJA menjadi kurang efisien. 83 BPWC berkoordinasi dengan DKP Kabupaten dalam menjaga kualitas lingkungan perairan waduk. Beberapa kegiatan seperti pembersihan eceng gondok, pembersihan sampah sterofoam, penertiban KJA dilakukan secara bersama-sama. Masing-masing DKP Kabupaten memiliki penyuluh untuk melakukan kegiatan pembinaan pada petani ikan. Namun, berdasarkan wawancara dengan beberapa informan, jumlah penyuluh yang ada dirasa masih kurang. DKP Kabupaten Cianjur memiliki UPTD daerah yang melakukan kegiatan terknis dilapangan yaitu BPBP2U. Keberadaan lembaga ini di Kabupaten Cianjur mengindikasikan bahwa Kabupaten Cianjur lebih terfokus dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata berbeda dengan kedua wilayah lainnya yang memiliki waduk lain di wilayah administrasinya. Di Kabupaten Bandung Barat terdapat paguyuban kelompok- kelompok petani ikan yaitu ASPINDAC. ASPINDAC ini juga sering melakukan kegiatan pembinaan berupa tukar informasi diantara petani ikan dan melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian waduk. Kelompok-kelompok yang mendapatkan pembinaan dari DKP Provinsi maupun Kabupaten yaitu POKMASWAS, kelompok pembudidaya ikan, kelompok nelayan, kelompok pengolah ikan, dan pedagang ikan. POKMASWAS bertindak mengawasi jalannya kegiatan perikanan. Namun kenyataannya peran dari kelompok ini masih kurang dirasakan. Kelompok penjual pakan memiliki pengaruh yang besar bagi petani ikan. Pakan yang dibayar diakhir setelah panen ikan dapat menjadi hutang apabila petani ikan tidak mampu membayarnya dan ketika hutang tersebut tidak kunjung dibayar maka KJA milik petani ikan dapat diambil atau dibongkar. Beberapa penjual pakan yang disebut gudang ini juga bertindak sebagai penampung hasil panen ikan dari para petani ikan. Terdapat kelompok Gabungan Pengusaha Pakan yang bernama GPMT. GPMT ini sering mengikuti kegiatan pelestarian waduk seperti pembersihan eceng gondok, pembersihan sampah, dan restoking ikan di Danau Cirata. 84

BAB VII. PERSEPSI STAKEHOLDER TERHADAP PENGELOLAAN KJA WADUK CIRATA

Persepsi stakeholder dan petani ikan terhadap kondisi Waduk Cirata penting diidentifikasi. Hasil analisis persepsi dapat diajadikan sebagai acuan perbaikan pengelolaan sumberdaya Waduk terutama kaitannya dengan fungsinya sebagai pemasok aliran listrik dan sarana pembudidaya ikan. Identifikasi kelompok responden mancakup persepsi petani ikan serta persepsi kelompok pemerintah dan private. Parameter yang digunakan untuk menganalisis persepsi responden terhadap kondisi Waduk Cirata yaitu kondisi lingkungan Waduk Cirata, keberadaan KJA, dan pengelolaan Waduk Cirata dalam kaitannya dengan KJA. Persepsi terhadap kondisi lingkungan Waduk Cirata terbagi menjadi 3 yaitu pentingnya keberadaan waduk, kualitas air waduk, dan kondisi sedimentasi waduk. Persepsi terhadap keberadaan KJA terbagi menjadi 2 yaitu jumah KJA dan pembatasan terhadap jumlah KJA. Persepsi terhadap pengelolaan Waduk Cirata dalam kaitannya dalam pengelolaan KJA terbagi manjadi 2 yaitu kepemilikan waduk dan kejelasan aturan main waduk.

6.1 Persepsi terhadap Kondisi Lingkungan Waduk Cirata

Kondisi lingkungan Waduk Cirata merupakan sesuatu yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan waduk. Kondisi lingkungan yang semakin memburuk akan bedampak pada berkurangnya nilai manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan waduk. Pengetahuan stakeholder terhadap kondisi lingkungan Waduk dapat mengarahkan perilaku mereka dalam upaya mengelola dan menjaga kelestarian sumberdaya yang terdapat di Waduk Cirata. Persepsi responden diidentifikasi melalui indikator petingnya keberadaan waduk, pengetahuan terhadap kualitas air dan sedimentasi waduk. Sebaran persepsi pemerintah dan swasta serta petani ikan dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19. 85 Tabel 18 Sebaran persepsi petani ikan terhadap kondisi lingkungan Waduk Cirata Kondisi Lingkungan Waduk Cirata Sebaran Persepsi Jumlah Orang Persentase a. Pentingnya Keberadaan Waduk 1. Sangat tidak penting 2. Tidak penting 3. Cukup penting 4. Penting 5. Sangat penting 2 11 17 7 37 56 b. Kualitas Air Waduk 1. Sangat buruk 2. Buruk 3. Cukup baik 4. Baik 5. Sangat baik 2 25 3 7 83 10 c. Kondisi Sedimentasi Waduk 1. Sangat rendah 2. rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat tinggi 2 4 19 5 7 13 63 17 Sumber : Data primer diolah 2014 Berdasarkan hasil identifikasi persepsi petani ikan pada Tabel 18 diketahui bahwa sebesar 56 petani ikan menyatakan bahwa keberadaan waduk dirasakan sangat penting dan 37 menyatakan bahwa keberadaan waduk penting. Petani ikan yang menyatakan keberadaan waduk sangat penting dan penting rata-rata merupakan petani ikan yang memperoleh sumber mata pencarian utama sebagai pembudidaya ikan di KJA dan tidak memiliki pekerjaan sampingan. Sedangkan 7 petani ikan menyatakan keberadaan waduk cukup penting. Petani ikan yang merasa keberadaan waduk cukup penting karena mereka memiliki penghasilan selain dari memanfaatkan sumberdaya waduk, baik sebagai penghasilan utama maupun sampingan. Sebaran persepsi petani ikan menunjukkan bahwa 83 dari responden merasa bahwa kualitas air di Waduk Cirata buruk dan 7 responden mengatakan bahwa perairan Waduk Cirata sudah sangat buruk untuk kegiatan perikanan. Anggapan ini di dasarkan pada jumlah produksi perikanan mereka yang semakin menurun. Bahkan salah seorang responden yang telah lama berprofesi menjadi petani ikan menyatakan dulu air di Waduk Cirata dapat diminum secara langsung namun sekarang sudah tidak bisa lagi. Sedangkan, sebanyak 10 petani ikan menyatakan perairan Waduk Cirata masih cukup baik untuk kegiatan perikanan.