16 c.
Berdasarkan taraf penguasaan bahasa 1
Tuli pra bahasa prelingually deaf adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa usia 1,6 tahun artinya anak
menyamakan tanda signal tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk sistem lambang.
2 Tuli purna bahasa post lingually deaf adalah mereka yang menjadi
tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami sistem lambang yang berlaku di lingkungan.
Andreas Dwidjosumarto
Sutjihati Somantri,
2012: 95
mengemukakan untuk
kepentingan pendidikan
ketunarunguan diklasifikasikan menurut tarafnya yang dapat diketahui dengan tes
audiometris, sebagai berikut: a.
Tingkat I, kehilangan kemampuan mendengar antara 35 dB – 45 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar
secara khusus. b.
Tingkat II, kehilangan kemampuan mendengar antara 55 dB – 69 dB, penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara
khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.
c. Tingkat III, kehilangan kemampuan mendengar antara 70 dB – 89 dB.
d. Tingkat IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.
17 Tunarungu yang berada pada tingkat I dan II dikatakan mengalami
ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar, berbahasa, dan memerlukan layanan pendidikan secara khusus.
Anak yang kehilangan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan layanan pendidikan khusus.
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Anak tunarungu memiliki beberapa karakteristik yang dapat dilihat dari berbagai aspek yakni kognitif, bahasa dan bicara, emosi, sosial, dan motorik.
Dalam proses pendidikan perlu diperhatikan karakter yang terdapat pada setiap peserta didik agar dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemberian
tindakan dan pembelajaran dapat berlangsung secara optimal. Sutjihati Soemantri 2006: 95-99 menyatakan karakteristik anak tunarungu antara lain:
a. Segi kognitif
Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya
dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan daya abstraksi anak. Kerendahan tingkat inteligensi anak
tunarungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya yang rendah melainkan secara umum karena inteligensinya tidak mendapat kesempatan
untuk berkembang. Tidak semua aspek inteligensi anak tunarungu terhambat perkembangannya, aspek yang terhambat berkaitan dengan
18 kemampuan verbal, seperti merumuskan pengertian, mengasosiasikan,
menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian. Aspek inteligensi yang bersumber dari penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak
mengalami hambatan tetapi justru berkembang lebih cepat. Sementara itu, menurut Tin Suharmini 2009: 36 perkembangan kognitif anak tunarungu
banyak tergantung pada kemampuan bahasa dan menggunakan fungsi bahasa.
b. Segi bahasa dan bicara
Terbatasnya ketajaman
pendengaran pada
anak tunarungu
mengakibatkan tidak terjadinya proses peniruan suara. Setelah masa meraban, proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual.
Selanjutnya dalam perkembangan bahasa dan bicara, anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan
kemampuan dan taraf ketunarunguannya. Haenudin 2013: 67 menyebutkan tunarungu dalam segi bahasa memiliki ciri yang khas, yaitu
sangat terbatas dalam pemilihan kosa kata, sulit mengartikan arti kiasan
dan kata-kata yang bersifat abstrak.
c. Segi emosi
Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif dan ini
sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosi anak tunarungu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan