13
c Tahap akhir
Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut dengan tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini berisi tentang
kesudahan cerita, atau menyaran bagaimanakah akhir dari sebuah cerita.
2.2.1.2 Tokoh
Menurut Sumardjo 1986: 144, tokoh adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa-peristiwa yang
digambarkan dalam plot. Tokoh dalam sebuah cerita merupakan objek yang menjalankan sebuah cerita.
Pada dasarnya tokoh dibagai menjadi dua jenis yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama senantiasa relevan dalam setiap peristiwa di dalam suatu
peristiwa Stanton via Santoso, 2010: 7. Dalam sebuah cerita, tokoh menjadi pemeran utama yang mewakili topik yang diangkat. Tugas pokok tokoh dalam cerkan
adalah melaksanakan atau membawa tema cerita menuju ke sasaran tertentu. Oleh karena itu, cerita tanpa pelaku sulit menggiring masalah ke tujuan yang ingin dicapai
Santoso, 2010: 6. Abrams mengemukakan, tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang diakukan dalam tindakan.
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, tokoh dibedakan menjadi dua, tokoh utama dan tokoh tambahan. Menurut
14
Nurgiyantoro 1995: 176-178, tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling
banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Di lain
pihak, kehadiran tokoh tambahan lebih sedikit dibandingkan dengan tokoh utama.
2.2.1.3 Penokohan
Penokohan adalah sifat dan sikap para pelaku cerita. Menurut Sumardjo 1986: 63, sebagian besar tokoh-tokoh karya fiksi adalah tokoh rekaan. Tokoh-tokoh
tersebut tidak saja berfungsi untuk menaikkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. Hubungan tokoh dengan aspek lain dalam
sebuah karya sastra tidak bisa dipisahkan. Istilah tokoh menunjuk pada orang pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap
para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca. Jones dalam Nurgiyantoro, 1995: 165 menyebutkan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995: 165 adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Untuk menilai
15
karakter tokoh dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan Abrams via Fananie, 2002: 87.
Dalam menentukan karakteristik sebuah tokoh, penulis sastra harus memperhatikan kewajaran watak tokoh tersebut. Walaupun tokoh cerita hanya
merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar bagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah
dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan Nurgiyantoro, 1995: 167.
1. Teknik Pelukisan Tokoh
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal yang berhubungan dengan jati diri tokoh
– dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yaitu teknik penjelasan, ekspositori expository
dan teknik dramatik dramatic. Abrams via nurgiyantoro, 1995: 194. Sebenarnya para ahli menyebut kedua teknik tersebut dengan sebutan mereka sendiri.
Contoh, Abrams menyebut kedua teknik tersebut dengan sebutan teknik uraian telling
dan teknik ragaan showing tapi pada dasarnya mempunyai pengertian dan esensi yang sama.
Dalam penokohan, kedua cara itu yang paling dominan digunakan oleh para pengarang tergantung pada selera pengarang dan penceritaan.
a Teknik Ekspositori
Dalam hal ini pelukisan tokoh cerita dihadirkan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan
oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbeli-belit, melainkan begitu saja dan langsung diberikan deskripsi kehadirannya, yang mungkin berupa sikap, sifat,
16
watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya Nurgiyantoro, 1995: 195. Cara ini cukup efektif dan ekonomis. Pengarang dengan cepat dan singkat dapat
mendeskripsikan kehadiran tokoh ceritanya. Contoh dari metode ekspositori dapat dilihat dari penggalan novel Katak Hendak Jadi Lembu berikut ini.
Bapaknya yang masih senang duduk di atas kursi rotan itu jadi menteri di kantor kabupaten patih Sumedang. Ia sudah lebih dari separuh baya–sudah masuk bilangan
orang tua, tua umur -tetapi bedanya masih muda rupanya. Bahkan hatinya pun sekali- kali belum boleh dikatakan “tua” lagi, jauh dari itu. Barang dimana ada keramaiandi
Sumedang atau di desa-desa yang tiada jauh benar dari kota itu, hamper ia selalu kelihatan. Istimewa dalam adat kawin, yang diramaikan dengan permaianan seperti
tari menari, tayuban, dan lain-lain, seakan-akan dialah yang jadi tontonan Sampai pagi mau ngibing, dengan tiada berhenti-hentinya. Hampir disegala perkara dia selalu
di atas dan terkemuka …. Rupanya dan cakapnya. Memang dia pantang kerendahan, perkataannya pantang dipatahkan. Meskipun ia hanya berpangkat manteri kabupaten
dan “semah” pula di negeri Sumedang, tetapi hidupnya tak dapat dikatakan berkekurangan. Rumahnya bagus, lebih daripada sederhana.
Terlihat dari contoh di atas, mulai kalimat pertama cerita telah mengarah pada deskripsi kehadiran tokoh.
b Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita, dalam teknik dramatic, artinya mirip dengan yang ditampilkan dalam drama, dilkukan secara tak langsung Nurgiyantoro, 1995: 198.
Dalam hal ini, pengarang tidak mendeskripsikan secara langsung tokoh yang ditampilkan. Pengarang menampilkan tokoh melalui berbagai aktivitas yang
dilakukan. Teknik ini tidak langsung mencakup karakterisasi melalui dialog-apa yang dikatakan penutur, jati diri tokoh, nada suara, penekanan dialeg, kualitas mental
tokoh, dan kosa kata tokoh.
2.2.1.4 Latar
17
Latar, dalam sebuah prosa tidak dapat ditingglkan, karena latar berfungsi sebagai penggambaran sebuah peristiwa itu dilukiskan atau terjadi. Biasanya, latar
mengarah kepada tempat kejadian atau dimana peristiwa itu terjadi. Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995: 216 menyatakan, latar atau setting yang disebut juga sebagai
landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa itu terjadi. Latar dibedakan atas tiga hal, yaitu:
1. Latar Tempat Menurut Nurgiyantoro 1995: 227, latar tempat menyaran pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat dimaksukkan
untuk mengidentifikasi
situasi yang
tergambar dalam
cerita. Penggunaan latar tempat adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata. Latar
tempat dalam sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi. Terlepas dari itu, tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional Nurgiyantoro,
1995: 228. 2. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan “kapan” peristiwa itu terjadi. Masalah waktu dalam karya naratif, menurut Genette dalam Nurgiyantoro, 1995: 231 dapat
bermakna ganda. Latar waktu menyaran pada waktu penceritaan dan waktu penulisan cerita, selain itu, menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan
dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan sangat penting dalam sebuah cerita. Karena tanpa kejelasan urutan waktu, pembaca tidak akan memahami jalannya cerita.
18
Waktu yang dijadikan latar dalam cerita harus wajar, sesuai dengan perkembangan waktu sejarah yang menjadi acuannya. Masalah waktu dalam karya fiksi juga sering
dihubungkan dengan lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita Nurgiyantoro, 1995: 232. Latar waktu harus juga dikaitkan dengan latar tempat dan sosial. Keadaan