Analisis Latar Analisis Data
19 ”Saya tidak perlu cepat selesai mandi juga kok, belum tahu mau melakukan apa
hari ini,” demikian gumam Bapak perlahan sambil mengambil posisi menunggu di depan pintu kamar mandi dari arah dalam Pauline, 2012 : 30.
20 Apa pun harapan Bapak pagi itu, hari ini masih hari Selasa. Maka, kembali beliau
masih harus tenggelam dalam berbagai pertanyaan yang berputar-putar di benaknya, “Apa ya yang harus aku lakukan hari ini?” Sambil terus berharap-harap
hari Jumat segera tiba agar ada aktivitas yang bisa dilakukannya Leander, 2012 : 32.
21 “Pergilah gundah… pergilah gulana,” tekad Bu Sastro dalam hatinya Leander,
2012 : 33. Pak Sastro dan Bu Sastro mulai menjalani kehidupan dengan rutinitas yang baru, yaitu
membuka warung makan. Usaha yang sebenarnya tidak berbeda jauh dari kegiatan Bu Sastro sebelumnya, yaitu memasakkan makanan untuk mahasiswa yang indekos atau
menginap di rumahnya. Ide usaha itu justru muncul dari salah satu mahasiswa yang tidak lain adalah pelanggan yang biasa makan di rumah Bu Sastro, Dasman. Siang itu Dasman
datang untuk menengok keadaan sang ibu katering yang dirindukannya. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
22 Sejak hari bersejarah entah tanggal berapa pada tahun 1975 itu, Bu Sastro
memasakkan makanan 3 kali sehari untuk Kusmay. Kusmay pula yang membawa salah seorang teman dari Palembang bernama Natijah, mahasiswi IKIP jurusan
Bahasa Inggris untuk menginap di kamar Bu Sastro yang satu lagi. Lalu Kusmay pula yang mempromosikan masakan Ibu Sastro ke sana kemari Leander, 2012 :
21.
23 Sejak tahun 1975 hingga 1978, di sebagian 3 tahun perjuangan meraih gelar
sarjana, para mahasiswa asal Sumatera Palembang dan sekitarnya itu meramaikan rumah sederhana Bu Sastro untuk mengisi perut mereka 3 kali sehari,
setiap hari. Kusmay dan Natijah mengajak lebih banyak lagi teman untuk makan rutin di sana Leander, 2012 : 21.
24 Jawaban doa dari Tuhan ternyata segera datang pada hari itu juga, tepatnya pukul
2 siang, dalam bentuk seorang DASMAN Leander, 2012 : 33. 25
Ibu menceritakan pertemuannya dengan Dasman siang tadi kepada Bapak. Semua hal yang diungkapkan Dasman, mulai dari ide-ide anak Padang itu beserta
keyakinannya pun disampaikan kepada Bapak Leander, 2012 : 38. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26 Pak Sastro mendengarkan penuturan istrinya dalam diam. Semua harapa dalam
bentuk kata-kata yang disampaikan oleh Wo yang dikasihinya itu dicernanya dengan baik. Jauh dalam lubuk hatinya, Pak Sastro bertekad untuk mendukung
rencana istrinya itu. Dia yakin bahwa keahlian Wo dalam memasak pasti akan membuatnya berhasil. Dia pun yakin bahwa masa depan anak-anaknya, terutama
si kecil Mono akan penuh harapan, dan pada akhirnya dia menyadari bahwa tiba
saatnya untuk berpisah dengan si Onthel kesayangannya… Leander, 2012 : 39.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 27
“Bu, coba Ibu memasak makanan nasi dan lauk-pauknya untuk anak-anak mahasiswa umum. Masakan Ibu enak. Selama 5 tahun ini, kan, Ibu selalu
memasakkan makanan untuk kami. Coba, deh, Ibu masak untuk mahasiswa umum makan di sini” lalu Dasman melanjutkan, “Memasak dan menjualnya pakai
metode Tionghoa, Bu ” Leander, 2012 : 35-36.
28 “Ibu percaya pada saya, Bu,” kata Dasman dengan agak memaksa. Pada tahun-
tahun mendatang, pasti tempat ini akan dipenuhi oleh anak-anak mahasiswa, sampai Ibu akhirnya akan kewalahan,” tutur Dasman dengan yakin. Entah
keyakinan apa yang ada dalam diri Dasman untuk menyampaikan usulan cemerlang ini. Satu hal yang pasti, ide ini mampu membuat Ibu Sastro bersedia
memercayainya dan mewujudkannya segera Leander, 2012 : 37.
Pada pagi hari ketiga berdiam di rumah, Bapak sudah mantab untuk menjual sepeda onthelnya untuk tambahan modal usaha warung makannya. Berikut kutipan tidak langsung
yang mendukung pernyataan tersebut. 29
Pada pagi hari ketiga berdiam di rumah, ketika membuka mata dari tidur, Pak Sastro merasakan perasaan yang berbeda dan sulit dilukiskan. Perasaan lega
karena telah menemukan jalan keluar atas sang gulana yang diam di dalam hatinya selama 3 hari ini Leander, 2012 : 41.
30 Pak Sastro telah membulatkan tekad untuk memodali Wo dengan dana yang
cukup agar dirinya bisa berbelanja dan memasak untuk memulai usahanya Leander, 2012 : 41.
31 Akhirnya, pagi itu Pak Sastro bisa siap juga. Sekarang saatnya untuk berangkat
dan menikmati kebersamaannya dengan si Onthel, rekan kerja terdekatnya itu. Ia ingin menikmati saat-saat terakhir bersama sepedanya sebelum kemudian
melepasnya di pasar loak Pauline, 2012 : 44. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32 Pak Sastro melepaskan si Onthel dengan rela hati. Ia kemudian mengambil becak
yang akan mengantarkannya pulang kembali. Berjumpa dengan Wo adalah hal yang paling ingin dilakukannya segera. Ia ingin memberikan Rp5.000 hasil
penjualan si Onthel dan Rp25.000 pesangonnya dari Toko Luwes kepada istri tercintanya dan menyongsong kehidupan baru mereka bersama-sama Leander,
2012 : 49.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 33
Berpakaian dinas kemeja dan celana baggy warna krem dari masa kerjanya dulu, hati dan pikiran Pak Sastro cukup lega dan rela ketika berpamitan pada Bu Sastro
yang juga melepaskannya dengan doa. “Semoga cepat laku ya Pak, si Onthel itu. Hati-hati
di jalan,” kata Bu Sastro melepas keberangkatan suaminya Leander, 2012 : 44.
Pada hari berikutnya setelah melakukan diskusi pada malam sebelumnya, Bapak dan Ibu Sastro memulai bisnis barunya dengan berjualan pada siang hari. Berikut kutipan tidak
langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 34
Hari keempat Pak Sastro berdiam di rumah adalah hari pertama si Onthel tidak lagi menjadi bagian dari keluarga Sastrodikromo. Hari ini menjadi hari baru, hari
untuk membuka sebuah kehidupan baru bersama Wo yang dikasihinya. Semalam dalam diskusi panjangnya bersama Wo, Bapak dan Ibu Sastro sepakat untuk
menjalankan strategi awal berjualan. Mereka ingin mulai dengan berjualan pada siang hari saja. Alasannya karena pada jam makan siang, lebih banyak orang yang
kebingungan mencari pengisi perut dibandingkan pada pagi atau malam hari Leander, 2012 : 51.
35 Tanpa disadari, keduanya sedang merencanakan konsep marketing beserta
strateginya dalam bentuk yang paling sederhana. Bu Sastro sudah menghitung seberapa besar modal yang diperlukan untuk memasak beberapa porsi sayur
nangka, sayur krecek gudeg, tahu dibacem, beberapa butir telur diceplok atau didadar, beberapa butir telur dipindang, sayur buncis, sayur taoge, dan garang
asem. Hasil hitungan Bu Sastro dan Bapak ternyata bermuara di angka yang tepat,
yaitu Rp30.000. modal terbatas itu tersedia “pas secukupnya” ketika sudah dibutuhkan Leander, 2012 : 52.
36 Sejak hari itu sampai kira-kira 2 bulan kemudian, “Warung Sayur Bu Sastro”
tidak pernah sepi dari pelanggan. Setiap harinya Bu Sastro menjadwalkan memasak sekali saja, yaitu pada pagi hari. Jadilah biasanya Warung Sayur Bu
Sastro sudah kehabisan lauk dan selesai berjualan pada siang hari. Akibatnya, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sedari siang sampai malam hari, keluarga ini menambah kegiatan dengan menjawab pertanyaan banyak orang yang lewat di depan rumah Leander, 55-56.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 37
“Ada banyak persiapan yang harus segera dilakukan pagi ini untuk pembukaan warung,
Wo,” demikian pikir Pak Sastro Leander, 2012 : 53. Warung Sayur Bu Sastro terus mengalami perubahan dalam sistem penjualannya.
Bisnis yang tidak disangka-sangka ini pun berkembang seiring bertambahnya waktu. Hal ini dimulai dari kedatangan Simbolon dengan pesanan khusus untuknya dan ke-12
temannya suatu pagi. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 38
Pagi itu, udara Bandung begitu dingin. Simbolon bangun dari tidur dan bersiap- siap berangkat ke kampus. Sekeluarnya dari kamar mandi, Simbolon berjalan ke
ruang setrika. Di pojok ruangan inilah seharusnya teronggok tumpukan bajunya dan 12 teman indekosnya yang lain. Pagi ini dengan agak terkejut dan kesal,
Simbolon melihat tumpukan baju miliknya dan teman-teman dalam bentuk tak keruan, kusut, dan tidak rapi. Bukan pemandangan yang biasanya Leander, 2012
: 57-58.
39 Ia melangkahkan kaki dengan agak cepat menuju rumah Bu Sastro yang tidak
terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Simbolon mengetuk perlahan pintu rumah Bu Sastro. Pagi hari pukul tujuh seperti itu, sudah terlihat tanda-tanda kehidupan di
dalamnya. Simbolon menunggu pintu dibukakan sambil berharap-harap Bu Sastro bersedia memenuhi permohonannya Leander, 2012 : 60.
40 Setelah Simbolon menghabiskan dua piring nasi goring dan meninggalkan
rumahnya pagi itu, Bu Sastro tampak lebih sibuk daripada biasanya. Dengan lebih bersemangat beliau mempersiapkan racikan makanannya hari itu. Ada tambahan
13 anak mahasiswa dengan ukuran lambungnya yang besar-besar. Pesanan ini sungguh menggirangkan hatinya Leander, 2012 : 63.
41 Bu Sastro tersenyum dan melambaikan tangannya… Hatinya dipenuhi syukur.
Hari ini berlangsung sungguh istimewa. Ini merupakan langkah awal menuju jualan yang lebih baik lagi, yaitu sayur dan lauk serta nasi hangat…Leander,
2012 : 66. 42
Kedatangan Simbolon dengan pesanan khusus untuk dia dan ke-12 temannya menjadi sebuah titik awal “keajaiban” besar yang terus-menerus terjadi hingga
belasan tahun kemudian Leander, 2012 : 69. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 43
“Mbak „Nah mengambek, Bang…” sapa Umbang pada Simbolon yang kebingungan mencari baju yang akan dipakainya Pauline, 2012 : 58.
44 “Kau mintalah Bang, pada Bu Sastro, pada Bu Sastro, apakah beliau mau
memasakkan buat kita. Khusus buat kita saja dicampur dengan nasi,” ujar Alasan. Bangun tidur begini Alasan juga merasakan perutnya berkeroncong karena rasa
lapar yang mulai menyapa. Biasanya setiap pagi Mbak „Nah sudah sediakan minimal nasi dengan 13 telor ceplok di meja makan. “Kita minta Bu Sastro
memasakkan buat kita saja tiga kali sehari, persis seperti kau ingat Bang Dasman dan Bang Kusmay yang tahun lalu juga makan berlangganan di sana?” tanya
Alasan pada kedua temannya Leander, 2012 : 59-60.
Satu tahun telah berlalu sejak kedatangan Dasman sang pemberi ide, usaha Warung Sayur Bu Sastro yang menggunakan metode Tionghoa itu telah banyak mengalami
perkembangan. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 45
Sepanjang waktu makan dan berbincang selama 1,5 jam itu Dasman tertawa-tawa. Hatinya sungguh gembira mendengarkan bagaimana Bu Sastro dengan serius
bersedia menjalankan saran Dasman. Dimulai dari hanya berjualan sayur matang, lalu menyediakan nasi putih juga, ragam menu yang mulai ditambah, sampai
akhirnya Bu Sastro berani untuk berjualan daging dan lauk-pauk beragam jenis lain. Bu Sastro pun tidak lupa menceritakan metode Tionghoa yang dijalankannya
Leander, 2012 : 77.
Bapak dan Ibu Sastro dikaruniai 2 orang anak laki-laki, yaitu Asep dan Mono. Ibu selalu berdoa setiap malam untuk keberhasilan kedua anaknya di dalam pendidikan dan
kehidupan mereka. Namun, keberuntungan kurang berpihak pada Kang Asep anak sulung Bu Sastro, karena keinginannya yang berbeda dengan Mono adiknya. Mono memiliki cita-
cita tinggi dalam pendidikan, selain itu ia turut membantu dalam kegiatan mengelola warung. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
46 Ketika takdir berbicara, rupanya keberuntungan kurang berpihak kepada Kang
Asep. Sang kakak memang tidak bisa dibilang berhasil dalam pendidikannya. Panggilan jiwanya lebih kepada berpetualang dan mengerjakan berbagai
keterampilan menggunakan tangan dan tenaga. Harapan untuk memiliki anak yang berpendidikan tinggi kini tertumpah di pundak Mono. Sejak belia, anak
lelaki yang berkulit gelap namun tampan ini telah menunjukkan kekerasan hatinya untuk bisa meraih apa pun yang diharapkan Leander, 2012 : 82.
47 Tugas membantu Ibu yang dicintainya itu dilakukannya dengan hati yang
gembira. Mono belajar mengatur waktu dengan baik untuk memenuhi tugasnya di sekolah sekaligus bekerja membantu Ibu berdagang. Berada di antara para
mahasiswa dari perguruan tinggi nomor satu di Indonesia membuatnya sungguh termotivasi untuk menjadi sama seperti mereka pada suatu hari kelak. Itulah tekad
kuat dan bulat Mono di dalam hatinya Leander, 2012 : 85.
Pada suatu siang, Said memutuskan untuk ikut menitipkan catatan titip uang kepada Bu Sastro. Metode ini dilakukan beberapa pelanggan warung Bu Sastro agar apat terpenuhinya
menu makan kesehariannya. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
48 Waktu menunjukkan pukul 14.00 ketika Said tiba di sana. Suasana warung Bu
Sastro sudah lebih sepi sekalipun masih tampak beberapa mahasiswa yang duduk dan mengobrol di ruang makan Leander, 2012 : 97.
49 Di atas lemari dapur Bu Sastro terdapat tumpukan buku catatan titip uang para
mahasiswa yang berjumlah total 98 orang Leander, 2012 : 99. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyatan tersebut.
50 “Mulai sekarang, saya ikut makan dengan metode titip uang ya Bu,” kata Said
sebelum pulang. Dia mencatatkan dengan rinci nama dan identitasnya, kemudian menyelipkan Rp50.000. Tak lupa juga ia mencatatkannya dengan jelas apa saja
yang disantapnya Leander, 2012 : 101.
Setiap Sabtu sore maupun pada hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri, warung Bu Sastro tidak pernah sepi. Dengan senang hati Bu Sastro akan membukakan pintunya untuk
anak-anak mahasiswa yang ingin menghabiskan malam Minggu dan merayakan hari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lebaran di rumahnya. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
51 Para perjaka ini memang biasanya pergi berjalan-jalan pada malam Minggu.
Tujuan mereka tidak terlalu jauh, kalau bukan alun-alun kota, ya tempat Bu Sastro. Bagi para perjaka ini yang memang tak satu pun memiliki bidadari untuk
merasakan Sabtu malam penuh cahaya, menghabiskan waktu di warung Bu Sastro membuat malam Minggu jadi malam panjang yang seru dan tidak kelabu
Leander, 2012 : 106-107.
52 Hari Idul Fitri tiba. Gema takbir berkumandang bertalu-talu mengagungkan asma
Allah Swt. Seluruh kampong Balubur dan gang Pelesiran tenggelam dalam keriaan Lebaran. Sekalipun Bu Sastro tidak merayakan hari Lebaran, dan
warungnya selalu tutup pada hari besar tersebut, tetap saja terdapat keriaan di sana Leander, 2012 : 117.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 53
“Kalau saja Lebaran bisa setiap hari di tempat Bu Sastro, kita bisa sering-sering makan gratis yaaa,” tambah Daniel, tanpa malu-alu. Bu Sastro tertawa saja
Leander, 2012 : 119. Pada tahun 1982 setelah meninggalnya Pak Sastro, Bu Sastro lebih memilih berdiskusi
dengan Tuhan. Pada waktu itu, ia tidak menyangka pelanggan yang makan setiap hari di warungnya semakin bertambah. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung
pernyataan tersebut. 54
Pada malam-malam panjang setelah Pak Sastro meninggal dunia tahun 1982 tanggal 17 bulan 9, Bu Sastro tidak lagi memiliki teman untuk berdiskusi
mengenai masalah maupun kegembiraannya Leander, 2012 : 111. 55
Bu Sastro tidak pernah mengira kalau akhirnya minimal ada 98 anak pemilik buku titip uang yang akan makan 2 kali sehari di rumahnya. Belum lagi anak-anak tidak
titip uang yang selalu datang dan membayar setelah kenyang. Belum lagi anak- anak yang karena tidak sempat makan, hanya datang untuk membungkus
makanan. Secara total, paling tidak hampir 200 piring nasi dan bahkan lebih yang bisa terjual setiap harinya Leander, 2012 : 112.
Ibu Sastro selalu memperhatikan pelanggan warungnya, terutama anak-anak mahasiswa yang sedang sakit maupun sedang ada masalah. Salah satunya, kejadian suatu siang saat
salah seorang mahasiswa datang ke warungnya dalam keadaan sakit. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
56 Bu Sastro tidak pernah menganggap lebih dari 200 anak mahasiswa yang datang
ke warungnya setiap hari hanya sekadar pelanggan biasa. Makanya Bu Sastro melakukan lebih dari sekadar kewajiban memasakkan makanan yang enak, layak,
bergizi, dan terjangkau buat mereka. Lebih dari itu, ia juga memperhatikan dengan saksama apakah mereka sehat-sehat saja, atau mungkin sedang ada
masalah yang mengganggu Leander, 2012 : 135.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 57
“Ayo dimakan sampai habis, supaya sehatnya cepat datang” Bu Sastro sedikit memerintah Toni. Perlakuannya ini sama seperti menginstruksikan Mono untuk
menghabiskan makanan di piringnya. Kalau perut kenyang, penyakit jauh Setelah ini cepat pulang
dan istirahat,” kata Bu Sastro Leander, 2012 : 137. Hari ini, setelah 33 tahun yang lalu warung nasinya didirikan pertama kali, warungnya
masih tetap sama. Hanya saja pengelolanya yang berbeda. Dan kini, Mono, si anak bungsu pun akhirnya mencapai cita-citanya. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung
pernyataan tersebut. 58
Saat itu… 33 tahun yang lalu warung nasinya didirikan pertama kali. Semua itu berdiri tanpa rencana, tanpa keberanian, dan bahkan tanpa kepercayaan diri. Bu
Sastro mengenang semua itu terjadi hanya karena tuntunan Yang Mahakuasa yang mendengarkan doa-doanya Leander, 2012 : 259.
59 Hari ini… 33 tahun kemudian, warungnya masih tetap sama. Tetap sederhana,
tetap menjual nasi dengan beberapa pilihan lauk-pauk dan sayur-mayur. Hanya saja pengelolaannya kini bukan oleh Bu Sastro langsung, melainkan dikelola oleh
Mbak Semi, istri Kang Asep. Satu hal yang membedakan adalah warung ini tidak lagi seramai masa jayanya. Kini, warung itu hanya sekadar ada untuk
menyambung hidup keluarga Kang Asep sebagai pengelolanya saja Leander, 2012 : 261-262.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 60
Ibu melanjutkan lagi kisahnya, “Ibu itu minta sama Tuhan agar dicukupkan saja warungnya, terutama untuk bias bayar biaya sekolah. Makanya masa laku-lakunya
warung ini terjadi sejak tahun 1978 sampai 1990, Neng,” kata Ibu padaku
Leander, 2012 : 262. 61
“Ternyata suamimu itu tidak perlu bisa membuat pesawat terbang. Sekarang ini dia hanya perlu terbang ke berbagai Negara yang Ibu nggak ngerti. Mono itu kan
Cuma telepon- telepon Ibu saja dari berbagai Negara,” lanjutnya lagi tanpa nada
protes, lebih banyak tersenyum bahagia Leander, 2012 : 266 . Teknik pelukisan latar waktu yang digunakan dalam novel Warung Bu Sastro Tidak
Rugi Berbisnis dengan Hati karya Pauline Leander adalah teknik langsung dan tidak langsung. Dalam pelukisan latar waktu, teknik langsung atau dapat dilihat melalui kutipan
4, 5, 8, 14, 15, 19, 20, 21, 27, 28, 33, 37, 43, 44, 50, 53, 57, 60, 61. Sedangkan teknik penulisan tidak langsung dapat dilihat melalui kutipan 1, 2,
3, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 22, 23, 24, 25, 26, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52,
54, 55, 56, 58, 59. Berdasarkan kutipan 1 hingga 8 menggambarkan latar waktu malam hari saat
Pak Sastro dan Ibu Sastro berdiskusi. Kutipan 9 hingga 15 menggambarkan latar waktu hari pertama Bapak berdiam di rumah setelah tidak lagi bekerja di Toko Luwes. Kutipan
16 hingga 21 menggambarkan latar waktu pagi hari pada hari kedua Bapak berdiam di rumah. Kutipan 22 hingga 28 menggambarkan latar waktu siang hari saat Pak Sastro
dan Bu Sastro menemukan solusi usaha dari seorang Dasman. Kutipan 29 hingga 33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggambarkan latar waktu pagi hari pada hari ketiga saat Bapak merelakan sepeda onthelnya untuk dijual. Kutipan 34 hingga 37 menggambarkan latar waktu pagi hari
pada hari keempat Bapak di rumah dengan usaha barunya membuka warung sayur bersama sang istri. Kutipan 38 hingga 44 menggambarkan latar waktu pagi hari saat usaha
warung sayur Bu Sastro mulai berkembang. Kutipan 45 hingga 47 menggambarkan latar waktu setelah satu tahun usaha warung sayur Bu Sastro. Kutipan 48 hingga 50
menggambarkan latar waktu siang hari saat Said memutuskan untuk ikut menitipkan catatan titip uang di warung Bu Sastro. Kutipan 51 hingga 53 menggambarkan latar
waktu Sabtu sore saat perayaan Hari Raya Idul Fitri di rumah Bu Sastro. Kutipan 54 dan 55 menggambarkan latar waktu tahun 1982 setelah meninggalnya Pak Sastro. Kutipan
56 dan 57 menggambarkan latar waktu siang hari saat salah seorang pelanggan Bu Sastro yang sedang sakit datang ke warungnya. Kutipan 58 hingga 61 menggambarkan
latar waktu hari ini setelah 33 tahun didirikannya warung sayur Bu Sastro.
2.Latar Tempat
Setelah melakukan diskusi, Pak Sastro dan Bu Sastro akhirnya membangun usaha warung makan di rumahnya di perkampungan Balubur. Berikut kutipan tidak langsung
yang mendukung pernyataan tersebut. 62
Malam itu, rumah sederhana bernomor 34A58 di gang Pelesiran Balubur, Taman Sari, Bandung, masih tampak terjaga Leander, 2012 : 3.
63 Mereka tidak akan menyediakan dan menjual nasi. Alasan utama suami istri ini
adalah karena rumah sederhana mereka tidak menyediakan ruang yang cukup untuk orang duduk dan bisa makan di tempat agak lama. Mereka merasa kasihan
bagi para calon pelanggannya karena akan merasa tidak nyaman jika harus makan di tempat Leander, 2012 : 52.
64 Bayangkan betapa efektifnya strategi promosi “membuka lebar-lebar pintu
rumah” untuk menawarkan wangi masakan yang baru matang ini Leander, 2012 : 55.
Pada akhirnya, Pak Sastro mantab menjual sepeda onthelnya di pasar Cihapit untuk dijadikan tambahan modal usaha warung sayurnya. Berikut kutipan tidak langsung yang
mendukung pernyataan tersebut. 65
Sesampainya di sana, suasana pasar loak baru akan dimulai. Para pedagang barang bekas sebagian baru tiba. Masing-masing mulai mengeluarkan dan menata barang
dagangan mereka. Ada macam-macam jenisnya. Di kios jaket terdapat mulai dari jaket-jaket kulit beragam warna, jas kotak-kotak berbahan wol, sampai dengan
pull-over wanita yang berbulu-bulu putih di sekitar lehernya. Bapak melewati pedagang jaket, baju, dan celana ini sambil tersenyum mengangguk pada
pedagangnya Leander, 2012 : 45.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 66
“Mari Pak, silakan Penglaris di pagi hari,” sapa sang pedagang yang kelihatan cukup trendi dengan kemeja rapi, celana cutbray, dan kacamata hitam kebesaran
pada pagi yang masih redup itu Leander, 2012 : 45.
Setelah resmi dibuka, warung Bu Sastro sudah ramai pembeli. Namun, pada saat itu Bu Sastro hanya khusus menjual sayur dan lauknya. Setelah adanya pelanggan baru, yaitu
anak-anak indekos dekat rumahnya, Bu Sastro mulai menjual sayur dan lauk serta nasi hangat. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
67 “Hmmm… kali ini tidak Bu. Saya kemari mau minta tolong. Ibu bisa
tidak, ya, memasakkan khusus buat kami di rumah indekos RT 05? Menunya masakan Ibu saja, tapi termasuk dengan nasinya juga Leander, 2012 : 61.
Setelah memutuskan untuk ikut menitipkan buku titip uang di warung Bu Sastro, Said segera menuju Toko Yosiko. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan
tersebut. 68
Said kembali melangkah dengan agak tergesa. Panas terik matahari Bandung siang itu kurang bersahabat, jadi dia begitu ingin segera tiba di Toko Yosiko
Leander, 2012 : 95.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 69
“Cari apa, Bang?” Uda penjaga Toko Yosiko menyapa. Said terlihat merunduk- runduk melihat ke dalam etalase toko. Masih terdiam dengan mata menyisir ke
seluruh toko seperti sedang mencari sesuatu, dan kemudian kembali merunduk- runduk Leander, 2012 : 95.
Teknik pelukisan latar tempat yang digunakan dalam novel Warung Bu Sastro Tidak Rugi Berbisnis Dengan Hati karya Pauline Leander adalah teknik langsung dan tidak
langsung. Dalam pelukisan latar tempat, teknik langsung dapat dilihat melalui kutipan 66 dan 67. Sedangkan teknik penulisan tidak langsung dapat dilihat melalui kutipan 62,
63, 64, 65, 68 dan 69. Berdasarkan kutipan 62 hingga 64 menggambarkan keadaan di warung sayur Bu
Sastro yang tidak lain adalah rumahnya sendiri saat awal berjualan. Kutipan 65 dan 66 menggambarkan keadaan di pasar Cihapit saat Bapak akan menjual sepeda onthelnya.
Kutipan 67 menggambarkan keadaan di rumah Bu Sastro saat Simbolon perwakilan dari anak-anak yang indekos di dekat rumahnya meminta untuk dimasakkan makanan setiap
hari. Kutipan 68 dan 69 menggambarkan keadaan saat Said berada di Toko Yosiko untuk mencari buku yang akan digunakan sebagai buku titip uang di warung Bu Sastro.
3.Latar Sosial
Latar sosial dari novel Warung Bu Sastro Tidak Rugi Berbisnis Dengan Hati karya Pauline Leander adalah budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang ada pada masyarakat
Indonesia. Beberapa kebudayaan yang terdapat di dalam cerita ini adalah budaya Jawa khususnya Jawa Tengah, Tionghoa, Sumatera khususnya Palembang, dan Sunda.Hal ini
banyak ditunjukkan dengan bahasa, kebiasaan atau perilaku para tokoh di dalam cerita tersebut.
Pak Sastro bermaksud memulai kisahnya ketika memanggil lembut sang istri dengan sebutan Wo, panggilan kesayangan dalam bahasa Jawa untuk wanita, saat akan berdiskusi.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 70
“Kamu tahu kan, Wo, sejak tahun 1945 sampai dengan sekarang aku sudah sangat lama bekerja di Toko Luwes,” kata Bapak membuka pembicaraan Leander, 2012
: 5. 71
“Jadi… aku besok tidak berangkat kerja lagi ya, wo = panggilan kesayangan dalam bahasa Jawa untuk wanita
” Leander, 2012 : 4. Saat masih bekerja di Toko Luwes, Bapak juga memiliki rutinitas lain yaitu merangkai
bunga pada hari Jumat. Hari Jumat adalah hari Vihara Buddha Vimala Dharma di Jalan Dago. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
72 Selain di sekitar patung besar Sang Buddha Gautama, terdapat berbagai vas
China antik yang harus dipasang juga di ruangan doa lainnya. Bunga-bunga yang dirangkai Bapak ini sungguh beragam dan berwarna-warni, dimasukkan dalam
berbagai bentuk vas yang disesuaikan dengan ruang doanya Leander, 2012 : 30- 31.
Salah satu pelanggan dekorasi bunga Bapak adalah para pengurus vihara di Jalan Dago yang lebih sering dipanggil, Ko, yaitu lelaki keturunan Tionghoa. Berikut kutipan tidak
langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 73
Para pengurus vihara selalu berpesan, “Ini makanan supaya panjang umur dan selalu berbahagia karena telah disera
hkan kepada Para Dewa. Diterima ya, Pak…” Maka Bapak akan menerima dengan sikap takzim, sedikit tersenyum dan
menundukkan tubuhnya, “Terima kasih, Ko,” jawab Bapak Leander, 2012 : 31.
Di kota Palembangterdapat makanan khas selain pempek ikan tenggiri, salah satunya adalah sambal tempoyak. Sambal ini menjadi menu yang dinanti-nantikan para
mahasiswa perantauan asal Palembang ketika tidak sedang pulang kampung. Hal inilah yang dirasakan oleh Natijah dan juga teman-temannya satu daerah. Berikut kutipan tidak
langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 74
Tidak perlu terlalu lama mengabarkan berita baik kehadiran sambal tempoyak ini, karena dalam waktu singkat, ke-9 teman Natijah akan segera datang menyerbu
makanan istimewa tersebut Leander, 2012 : 23.
Beberapa pemakaian bahasa yang khas di dalam novel ini adalah Sunda dan Jawa. Hal ini sering ditunjukkan melalui percakapan tokoh saat menyebut nama seseorang, nama
tempat, maupun nama-nama barang yang diceritakan oleh penulis. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
75 “Nggih = iya Pak,” jawabnya sedih sambil berjalan meninggalkan sumur dan
tidak jadi mengambil air Leander, 2012 : 43. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76 “Masih bagus ya Pak, terawat dan mengilat,” kata Mamang pemilik kios barang
loak Sagalaya sagala aya = segala sesuatu ada, dalam Bahasa Sunda itu Leander, 2012 : 46.
77 “Jadi, bagaimana Pak? Sabarahaeun wanina? = berapa berani tawarnya?”
pertanyaan Mamang buncit menyadarkan Pak Sastro dari lamunannya yang singkat. “Duka atuh Mang, Rp10.000 meureun nya, = tidak tahu Mang, Rp10.000
mungkin, ya,” jawab Bapak Leander, 2012 : 47. 78
“Jangan pikirkan Mamak. Jangan pikirkan keluarga. Mono pikirkan diri dan cita- cita sendiri saja
dulu,” tutur Ibu lagi perlahan Leander, 2012 : 257. 79
Mata Ibu berkaca-kaca, tapi hatinya bahagia. “Syukur Lup…, iku pancen doane Mamak… ben cita-citane numpak motor mabur iso dialami… = syukurlah Nak,
itu memang doanya Ibu. Supaya cita-citamu untuk naik pesawat terbang bias dialami,” kata Bu Sastro sambil membalas pelukan anaknya. “Mamak ora iso
ngongkosi, ming titip dungo karo Gusti Allah, ben opo sing dikareke iso kecapai… = Ibu tidak bisa kasih bekal, hanya titip doa semoga apa yang dicita-
citakan bisa tercapai,” area check in di Bandara Soekarno Hatta Leander, 2012 :
265-266. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
80 Akhirnya Pak Sastro tiba di sebuah kios barang loak yang menjual segalanya.
Kios ini sungguh-sungguh menjual dan membeli segala macam barang. Sebutkan saja apa yang dicari, pasti ada. Peniti? Sepatu Jengki JengkeBahasa Sunda yang
berarti agak menjinjitkan kakiLeander, 2012 : 46.
81 Fattah merupakan anggota Loedroek ITB yang selalu berperan sebagai wedo’an
= wanita dalam istilah ludruk Leander, 2012 : 233. 82
Anggota Loedroek ITB yang lainnya adalah Paidi. Pria ini berperawakan sedang, berkulit sawo matang, dan selalu mampu melontarkan lawakan-lawakan konyol
saat jam makan tiba. Paidi tampak agak “srundal srundul” = gegabah dan cenderung terburu-buru dalam segala hal Leander, 2012 : 233.
Perempuan Indonesia jaman dulu identik dengan kebaya. Pada era sekarang ini, hanya sebagian yang masih menggunakannya. Salah satunya yang masih melestarikan atau
berpakaian ini adalah Bu Sastro. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
83 Pada usianya yang menginjak 80 tahun saat ini, Bu Sastro tampak sehat sekalipun
tubuhnya semakin kurus. Ia masih mampu bepergian dari Bandung ke Bogor PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk menjaga cucu-cucunya yang tinggal di kota itu. Ia juga masih sanggup memasak dan berjalan kaki ke sana kemari. Wajahnya yang berkerut-kerut selalu
tampak gembira, senyum lebarnya selalu bisa membuat orang yang berada di dekatnya ikut tertawa Leander, 2012 : 264.
Cara berjalan dengan sedikit bersimpuh di sekitar patung Sang Buddha merupakan tata cara yang diyakini sebagai tanda hormat kepada Sang Gautama bagi pemeluk agama
Buddha. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 84
Biasanya, Bapak memasang bunga dengan takzim dan penuh hormat di sekitar patung Sang Buddha. Nyonya dokter Bi Boen yang memberikan order dekorasi
bunga, sempat berpesan agar Bapak memasang bunga-bunga di sekitar patung Sang Buddha dengan berjalan sedikit bersimpuh sebagai tanda hormat kepada
Sang Gautama Leander, 2012 : 30.
Teknik pelukisan latar sosial yang digunakan dalam novel Warung Bu Sastro Tidak Rugi Berbisnis Dengan Hati karya Pauline Leander adalah teknik langsung dan tidak
langsung. Dalam pelukisan latar sosial, teknik langsung atau dapat dilihat melalui kutipan 70, 71, 75, 76, 77, 78, dan 79. Sedangkan teknik penulisan tidak langsung dapat
dilihat melalui kutipan 72, 73, 74, 80, 81, 82, 83, dan 84. Berdasarkan kutipan 70 dan 71 menggambarkan latar sosial orang Jawa, yaitu
pemakaian kata sapaan kesayangan, Wo, untuk wanita. Kutipan 72 menggambarkan hari Jumat sebagai salah satu hari besar umat beragama Buddha. Kutipan 73 menjelaskan
bahwa panggilan Ko, identik dengan seseorang yang beragama Buddha atau keturunan Tionghoa. Kutipan 74 menjelaskan beberapa contoh makanan khas daerah Palembang,
yaitu pempek ikan tenggiri dan sambal tempoyak. Kutipan 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, dan 82 menjelaskan beragam bahasa di Indonesia. Beberapa yang ditunjukkan dari
percakapan adalah contoh bahasa Jawa dan Sunda. Kutipan 83 memaparkan bahwa kebaya adalah pakaian khas wanita Indonesia salah satu peninggalan kebudayaan sejak
jaman dahulu. Kutipan 84 menjelaskan bahwa berjalan dengan sedikit bersimpuh di sekitar patung Sang Buddha merupakan salah satu etika yang diyakini umat beragama
Buddha.