bagaimana cerita itu dilukiskan. Perhatian dari pengarang tersebut dapat terlihat dari analisis yang dituangkan dalam cerita ini yang banyak mengandung nilai-nilai kehidupan,
seperti berikut. 1.
“Kita bisa usaha dengan uang pesangon yang Bapak dapatkan dari Toko Luwes. Nanti kita pikirkan usaha apa yang bisa dibuat” Leander, 2012 : 7.
2. Bu Sastro berangkat ke pasar sebelum matahari benar-benar tinggi. Di
genggamannya terdapat uang Rp30.000 yang akan menjadi penentu masa depan dirinya dan keluarganya Leander, 2012 : 53.
3. Ketika membahas Kang Asep beserta keluarganya pun, tidak ada penyesalan dalam
suaranya. Ibu tetap bertutur bahagia Leander, 2012 : 266. Bu Sastro sangat memberikan pengaruh terhadap jalan cerita dari awal-tengah-
hingga akhir. Sedangkan tokoh tambahannya yaitu Pak Sastro, Kang Asep, Mono, Dasman, dan Simbolon. Tokoh-tokoh tersebut memiliki keterlibatan dan mengambil bagian jalannya
peristiwa yang dialami tokoh utama. Tokoh-tokoh tersebut mempunyai peran masing- masing dalam mengembangkan peristiwa yang mendukung munculnya nilai-nilai
kehidupan atau nilai-nilai moral dalam diri tokoh utama.
3. Penokohan
Berdasarkan teori tentang penokohan yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, peneliti akan menganalisis penokohan tokoh utama dan tokoh tambahan dalam novel
Warung Bu Sastro Tidak Rugi Berbisnis Dengan Hati.
1. Bu Sastro
Bu Sastro digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh yang hormat terhadap suami.
Beliau juga memiliki kesabaran dan ketegaran dalam menerima setiap peristiwa yang
terjadi dalam hidup, salah satunya pada saat harus menerima kenyataan bahwa Bapak diputuskan dari pekerjaannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan teknik langsung atau
ekspositori melalui kutipan berikut. 1
“Maksudnya ditutup, Pak?” Tanya Bu Sastro mencoba tetap tenang. Suaranya juga dipertahankan untuk menurun di akhir kalimat. Bu Sastro khawatir suami yang
dihormatinya itu tidak sanggup menjawab jika nada suaranya meninggi Leander, 2012 : 6.
2 “Tidak apa-apa Pak, ini sudah waktunya. Waktunya Tuhan, kalau Bapak harus
berhenti bekerja dari Toko Luwes yang sudah 33 tahun menghidupi kita,” jawab Ibu Sastro perlahan. Tekadnya begitu kuat untuk menenangkan lelaki yang dikasihinya
itu agar tidak menyimpan gulana dalam-dalam Leander, 2012 : 7.
3 “Kita bisa usaha dengan uang pesangon yang Bapak dapatkan dari Toko Luwes.
Nanti kita pikirkan usaha apa yang bisa dibuat. Tenang saja ya, Pak,” suara lembut Ibu Sastro meneduhkan hati suaminya Leander, 2012 : 7.
4 “Kita pasti akan menemukan jalan keluar ya, Wo. Anak-anak masih membutuhkan
banyak biaya, tapi saya yakin kalau Allah merestui, jalan pasti ada,” ungkap Pak Sastro sambil mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Iya Pak, pasti,” jawab Bu
Sastro Leander, 2012 : 8. 5
Itulah hari ketika Bu Sastro mengukir janji dalam hatinya, tanpa kemarahan, hanya dibumbui sedikit kesedihan. “Kalau saya punya sumur sendiri nanti, siapa saja
boleh ambil air dari sumur saya. Mau mandi… boleh. Mau cuci baju… silakan. Mau bersihkan sayur dan daging
… boleh juga” Leander, 2012 : 44. 6
“Kalau anak SMA, mungkin karena masih kecil, belum dewasa, dan rasa tanggung jawab belum terbentuk, kalau mereka makan hati atau tempe yang kecil-kecil,
disembunyikan dulu di bawah tumpukan nasi, jadi antara yang dilaporkan dan yang betul-
betul dimakan, biasanya ada perbedaan. Tapi yaaa… biar saja. Rezeki ada di tangan
Tuhan,” kata Bu Sastro selalu Leander, 2012 : 226.
Bu Sastro memiliki sifat penyayang,sertanaluri keibuannya tidak hanya ia tunjukkan
kepada keluarganya, namun juga kepada anak-anak mahasiswa khususnya yang biasa makan di rumahnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan teknik tidak langsung atau dramatik
melalui kutipan berikut. 7
“Sudah sarapan, pak?” Bu Sastro bertanya sambil menyeka sandalnya di keset depan rumah, membersihkan tanah dan sedikit lumpur yang sempat menempel dari