Pengertian Perjanjian Tinjauan Umum tentang Perjanjian.

Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut bersepakat atas hal-hal yang diperjanjikan. 2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata lebih lanjut menyatakan semua orang berwenang untuk membuat perjanjian atau kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan: 1. Orang belum dewasa. 2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan. 3. Orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian- perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sesuai dengan Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963. 3. Adanya suatu hal tertentu. Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. 4. Adanya sebab yang halal. Menurut undang-undang sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Selain itu, Al – Quran juga menegaskan pada surat Al-Maidah ayat 1 tentang keharusan memenuhi perjanjian yang halal: “Wahai orang-orang yang beriman Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram haji atau umrah. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.” Mengernai firman-Nya ِدوقعْلاب اوف ْوأ “Penuhilah akad-akad itu,” Ibnu „Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan aqad adalah perjanjian.” Ibnu Jarir juga menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan “Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.” 5 Dengan kata lain, selain butuh kesepakatan perjanjian juga membutuhkan sebab yang halal sehingga dapat terlaksana. Jika perjanjian sudah dilandaskan dengan sebab yang halal, maka perjanjian tersebut haruslah dipenuhi secara keseluruhan. Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah dipenuhi, maka melihat pada Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.

3. Asas-Asas dalam Perjanjian

Asas-asas yang terdapat dalam perjanjian, terdiri dari: a. Asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari pasal tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa pada dasarnya setiap orang boleh membuat suatu perjanjian secara bebas yang berisi dan berbentuk apapun, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Adapun 5 Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Imam Asy- Syafi’i, 2008, h. 2