bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu
melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
2. Prinsip kehati-hatian.
Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman dan
menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik
terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan.
3. Bentuk Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian maka bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan
dirinya dalam perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, asalkan pada pokoknya telah memenuhi syarat-syarat dalam
membuat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Praktik yang lazim pada masyarakat sekarang dalam membuat
perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat
pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Berbeda dengan perjanjian yang dibuat secara tertulis, yang lebih memudahkan para pihak
dalam mengingat isi perjanjian termasuk mengenai hak dan kewajiban
para pihak. Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara lisan tetap diakui sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dapat
dibuktikan dengan baik oleh para pihak. Dalam praktik bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk
perjanjian kredit yang tertulis, yaitu: 1.
Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dinamakan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan ini sesuai dengan Pasal 1874
KUH Perdata adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara pejabat yang berwenang pejabat umum untuk
dijadikan alat bukti. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat di
antara para pihak sendiri dikategorikan sebagai akta di bawah tangan.
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris, dinamakan
akta otentik atau akta notariil. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai yang berkuasa pegawai umum untuk itu, tempat dimana akta dibuatnya.
Perjanjian kredit saat ini lazimnya sudah menggunakan akta notariil. 4.
Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit yang diatur secara khusus dalam praktik dunia perbankan terdiri dari:
15
1. Jaminan perorangan.
15
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Yogyakarta: Pustaka Yudisia, 2010, h. 68
Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 KUH Perdata disebut sebagai penanggungan utang. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jaminan
perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang kreditur, mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan si berutang manakala orang tersebut tidak memenuhinya. Pelaksanaan perjanjian selalu dibuat oleh pihak ketiga yang
menjamin terpenuhnya kewajiban membayar kredit tersebut, baik diketahui maupun tidak diketahui oleh debitur.
2. Jaminan kebendaan.
Mengingat Pasal 8 UU Perbankan, yang berbunyi: a.
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
b. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman
perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.
Menurut UU Perbankan, jaminan dan agunan merupakan dua unsur yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan, sedangkan jaminan
tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan bank, yaitu agunan. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan agunan atau